BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
E. Hasil Penelitian
1. Identitas Subjek Penelitian
Tabel 4.2. Data Demografis Setiap Subjek
Identitas Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Nama X Y Z
Pekerjaan Guru SD Guru SD Guru SMA Usia 60 tahun 58 tahun 56 tahun Lulusan Subjek SPG (setingkat SMA) D2 SPG (Setingkat SMA) Suami Daryanto Sukamto, BA Mulyadi, SH Pekerjaan Pensiunan Guru
Swasta
Pensiunan Penilik Sekolah
Pensiunan Kepala Sekolah Usia 62 tahun 68 tahun 63 tahun
Alamat Gataktuan, Kalikotes, Klaten Pule, Pasung, Wedi, Klaten Perum Glodogan Indah, Klaten Jumlah anak 2 2 4 Usia Pernikahan
2. Analisis Data
Hasil transkrip wawancara ketiga subjek yang telah dibuat secara verbatim, telah dilakukan pengkodean dan refleksi yang selanjutnya akan dibuat dalam skema.
a) Deskripsi Stressor pada Subjek 1
Peristiwa suami sakit stroke merupakan penyebab stres terbesar yang dialami oleh subjek (P.S.X III 3-14). Subjek mengalami gejala-gejala stres ( K.S.X II 1-4; P.S.X I 29) yaitu penyakit asma yang diderita selama berbulan-bulan setelah suami sakit (W.S.X IV 50-51) karena kelelahan fisik dan pikiran (W.S.X II 5-8, 10-13; W.S.X IV 70-74; W.S.X XI 64-71; K.S.X I 34; K.S.X II 1-4; P.S.X III 3-14), perilaku sering menangis karena perasaan kesepian dan hampir gila, serta ketidaknyamanan melakukan aktivitas (W.S.X VIII 44-45, 53-54; K.S.X II 13-27, 32-38). Gejala tersebut disebabkan karena peristiwa yang terjadi tiba-tiba sehingga memunculkan beberapa reaksi subjek yaitu subjek merasa bingung, kaget, dan tidak bisa berpikir (W.S.X IV 39-40; W.S.X X 21-22,23-25,26-27; K.S.X II 6-13).
Selama proses perawatan suami, subjek juga mengalami beberapa kesulitan (W.S.X II 205-206; W.S.X IV 6-8) berkaitan dengan karakteristik atau kondisi suami pasca stroke. Suami mengalami kelumpuhan pada tangan dan kaki kanan sehingga tidak dapat berjalan (O.S.X). Selain itu, subjek mengalami kesulitan
untuk berkomunikasi dengan suami karena suami tidak bisa bicara, mencerna perintah, dan memahami perkataan orang lain sehingga pelayanan yang dilakukan oleh subjek selalu tidak sesuai dengan keinginan suami (W.S.X IV 41-45; O.S.X I; W.S.X X 31-35 ). Karakteristik suami tersebut membuat subjek harus melakukan pelayanan total kepada suami karena suami tidak mampu melakukan fungsi biologis seperti mandi, BAK, dan BAB.
Pelayanan total terhadap suami juga menyita banyak waktu subjek, khususnya pada saat pagi hari. Subjek harus melayani semua keperluan suami sendirian mulai dari mandi, berak, menyiapkan makanan, menyuapi, dan minum. Aktivitas tersebut dilakukan oleh subjek sendirian setiap hari sehingga subjek selalu terburu-buru melakukannya karena tidak ingin terlambat bekerja walaupun peraturan tempat bekerja tidak terlalu ketat (W.S.Y VIII 55-60; K.S.Y V 21-26). Hal ini membuat suasana hati subjek tidak nyaman karena terus-menerus terlambat kerja (W.S.X IV 16-18; K.S.X II 13-27; K.S.X IV 10).
Suasana hati yang tidak nyaman menambah stressor bagi subjek karena sebelumnya subjek menganggap pekerjaannya melelahkan (W.S.X IV 6-8) dan merepotkan (W.S.X IV 24-25). Hal ini terjadi karena subjek merasa terpaksa mengajar kelas 1 dengan murid-murid yang nakal padahal subjek tidak begitu
menyukai anak-anak (W.S.X I 14-19, 21-22, 22-24, 24-27, 29-31, 34-35, 46; W.S.X XI 64-71; K.S.X II 48-54; P.S.X III 19-23).
Proses perawatan suami juga mengakibatkan munculnya permasalahan ekonomi. Subjek mengeluarkan banyak biaya untuk pengobatan dan perawatan suami yang ditaksir kira-kira delapan ratus ribu/ bulan sehingga subjek mengalami kekurangan materi, khususnya uang (W.S.X III 10-16, 29-30, 86-89, 142-143; W.S.X X 10-12; W.S.X XI 10, 48; K.S.X II 13-27). Selain itu subjek juga harus menanggung biaya pendidikan kedua cucunya (P.S.X III 14) dan menghidupi keluarga anak pertama walaupun tidak sepenuhnya sehingga menimbulkan kekecewaan dalam diri subjek terhadap situasi yang dihadapi (W.S.X III 30-34). Hal ini terjadi karena anak pertama dituntut untuk membantu merawat suami sehingga tidak bekerja (K.S.X II 13-27). Kekurangan uang yang berlangsung secara terus-menerus mengakibatkan hutang yang dimiliki semakin bertambah banyak (K.S.X II 127; P.S.X III 3-14) sehingga subyek merasa tidak tenang dan tertekan (K.S.X IV 23-28).
Selain permasalahan ekonomi, sikap dan sifat suami yang keras (W.S.X VI 65) dan kasar (W.S.X VII 24), tidak mau ditinggal oleh subjek, pemarah, suka mendorong-dorong subjek (W.S.X I 115-117, 119, 121; W.S.X II 224-225; O.S.X; W.S.X V 9-10; W.S.X VI 10-11; W.S.X IX 22, 34-40), sulit untuk dilayani
(W.S.X III 118-119; W.S.X IV 2-4), semena-mena, ringan tangan (W.S.X IX 34-40), manja (K.S.X I 30), dan tidak patuh dengan subjek (W.S.X III 132-136; W.S.X XI 64-71), serta tidak kooperatif (W.S.X II 164-167; K.S.X V 8-14) menyebabkan subjek merasa jengkel dan sakit hati (K.S.X I 20-24; K.S.X II 13-27; P.S.X I 54-59). Selain itu, sikap suami yang dahulu suka berjudi serta tidak pernah mencukupi dan menyayangi keluarga menimbulkan perasaan sakit hati (W.S.X VII 25, 27-28; W.S.X IX 6-14, 44-46, 48-50). Walaupun sifat suami setelah sakit lebih baik dan lebih menghargai istri daripada sebelum sakit (W.S.X IX 36-40).
Secara keseluruhan, subjek menjalani beberapa situasi yang merupakan stressor bagi subjek. Subjek tidak menyukai dan merasa terbebani dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini ditambah dengan stressor utama yang dialami yaitu peristiwa suami sakit stroke yang menyebabkan permasalahan lain, yaitu mengalami kesulitan selama proses perawatan suami karena karakteristik dan latar belakang suami, permasalahan ekonomi, serta kekecewaan subjek terhadap ketidakmapanan anak. Permasalahan tersebut membuat subjek merasa sedih bingung, kecewa, kesepian bahkan tertekan dan hampir gila serta mengalami kelelahan fisik dan pikiran sehingga mengalami stres. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya gejala-gejala stres yaitu sering
menangis, tidak tenang dan tidak nyaman melakukan aktivitas, mengacuhkan dan tidak melayani suami, serta menderita penyakit asma berbulan-bulan setelah suami sakit.
b) Deskripsi Sumber Daya Coping pada Subjek 1
Usaha-usaha yang dilakukan oleh subjek untuk mengatasi permasalahan yang dialami dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki dan digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Adapun sumber daya yang dimiliki oleh subjek yaitu dukungan sosial baik dari keluarga maupun teman-teman subjek.
Dukungan sosial dari keluarga berasal dari anak pertama, menantu, dan kakak subjek yang selalu membantu subjek dalam proses perawatan suami misalnya menjaga, melayani, memandikan, dan merawat suami dengan sabar (W.S.X II 14-18, 92-94; W.S.X III 74-76; W.S.X IV 29-30, 33, 46; W.S.X VI 25-26, 72-74, 73-76; K.S.X IV 2-7). Selain itu anak pertama juga menunggu suami di rumah sakit (W.S.X II 155-158), bersama subjek mengantar suami berobat (W.S.X II 21-23, 229-230), serta membantu berpikir dan menyelesaikan permasalahan yang tidak terduga (W.S.X III 60-65; W.S.X VI 76-79; W.S.X X 25-26; W.S.X XII 36-37; K.S.X IV 2-7). Hal ini terjadi karena hubungan subjek dengan anak baik dan subjek selalu sayang serta bersikap
adil dengan kedua anaknya (W.S.X VI 23-24, 55-56, 56-57, 61-62).
Bersama dengan kedua orang teman subjek, anak juga berusaha mengingatkan untuk memasrahkan semua kepada Tuhan (W.S.X XI 19-20, 61-62; K.S.X IV 16-17; P.S.X IV 5-8), memberikan penghiburan, saran, nasehat, serta menjadi tempat berbagi cerita bagi subjek (W.S.X VII 34-36; W.S.X VIII 12-13; K.S.X IV 14-16). Teman-teman kerja juga bersikap baik kepada subjek, memberikan pengertian (W.S.X VIII 4-7, 21-23, 24-27) dan sikap maklum jika subjek terlambat bekerja (W.S.X IV 14-15, 20; K.S.X IV 7-10). Hal ini terjadi karena sikap subjek yang rajin mengikuti kegiatan, supel, dermawan, menghargai orang lain dan mudah bergaul dengan orang lain (W.S.X VII 25-26; W.S.X VIII 4-5, 15-16, 21-23; K.S.X I 39-46; K.S.X IV 10-14).
Disamping dukungan sosial yang diterima dari keluarga maupun teman-teman, subjek merasa sedih jauh dengan anak kedua. Hal ini disebabkan karena tidak ada komunikasi yang disebabkan oleh alat komunikasi yang rusak (W.S.X III 54-56; W.S.X VI 70-72; K.S.X IV 17-21) sehingga subjek merasa lebih dekat dengan anak pertama dibandingkan dengan anak kedua (W.S.X VI 76-79; K.S.X V 17-21).
Disamping itu, sumber materi juga menjadi hal yang berpengaruh yaitu subjek mempunyai mobil yang memudahkan
membawa suami berobat tanpa harus mengeluarkan biaya penyewaan mobil (W.S.X II 230-235), namun biaya perawatan yang cukup besar dan berlangsung lama menyebabkan subjek mengalami kekurangan uang (W.S.X III 86-89, 142-143; W.S.X XI 10-11, 48) bahkan memiliki banyak hutang. Hal ini juga disebabkan suami tidak mempunyai ASKES sebagai sarana yang mendukung pengobatan suami (W.S.X XI 10-11).
Selain itu, subjek juga memiliki kesehatan yang kurang baik yaitu menderita penyakit asma selama berbulan-bulan setelah suami sakit (W.S.X IV 50-51) dan mudah merasa lelah karena menggunakan tenaga dua kali lipat untuk mengurus suami (W.S.X X 15-17). Oleh karena itu subjek berusaha untuk menjaga kesehatannya dengan cara minum jamu (W.S.X X 46-52; K.S.X IV 32-39).
Hubungan subjek yang tidak harmonis dengan suami adalah permasalahan yang cukup besar dan mempengaruhi proses perawatan suami (W.S.X IX 43-46, 48-50; W.S.X XI 35-39, 64-76). Subjek merasa tidak bahagia dan menderita selama hidup dengan suami (W.S.X IV 5-6). Hal ini terjadi karena subjek dijodohkan dengan suami dan tidak mengetahui sifat suami sebelumnya yang kasar, suka main tangan, mau menang sendiri, egois, dan tidak bertanggung jawab mencukupi kebutuhan keluarga (W.S.X IX 54-56; W.S.X XI 64-76; K.S.X IV 40-48). Hal ini
menyebabkan subjek tersiksa dan tertekan menghadapi suami (K.S.X IV 49-52).
Peristiwa inilah yang membuat subjek belum sepenuhnya bisa memaafkan (W.S.X IX 58-60) dan belum ikhlas merawat suami (W.S.X IX 64-66; P.S.X IV 30-33). Namun, subjek juga merasa bersalah, sedih (W.S.X X 40-41; W.S.X XI 38-40), dan kasihan melihat kondisi suami (K.S.X IV 48-49) sehingga berusaha keras untuk merawat suami (W.S.X IX 75-77; W.S.X X 36-37) dan tidak mempunyai pikiran untuk meninggalkan suami (W.S.X IX 75-77). Hal ini juga didukung oleh sifat subjek yang sabar, lemah, dan mengalah (W.S.X I 47-49; W.S.X IV 4, 75-76; W.S.X VII 28-30; W.S.X IX 11-13, 19-20; W.S.X XI 42-43; K.S.X I 53-63; P.S.X I 23-39). Kadang-kadang subjek merasa terganggu dengan kondisi suami, yang seharusnya hanya mengurus diri sendiri namun terbebani karena harus merawat suami (W.S.X. IX 83-85).
Proses pemilihan coping stress yang dilakukan oleh subjek dipengaruhi oleh beberapa sumber daya coping. Adapun sumber daya coping yang berpengaruh besar terhadap proses perawatan suami yaitu relasi dengan pasangan yang tidak harmonis, locus of control eksternal dimana subjek adalah orang yang selalu membutuhkan orang lain karena karakteristik personal subjek lemah, banyaknya dukungan sosial yang diterima, dan sumber materi yang dimiliki ada namun terbatas.
c) Deskripsi Coping Stress pada Istri Bekerja dengan Suami Penderita Stroke pada Subjek 1
Pengalaman stres yang dilalui menyebabkan subjek melakukan beberapa sikap untuk menyesuaikan diri terhadap peristiwa yang terjadi. Penyesuaian diri untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dialami setelah suami mengalami stroke
diuraikan sebagai berikut.
Pada saat berada di rumah sakit, suami tidak mau minum obat. Oleh karena tidak menunjukkan perkembangan, maka subjek memutuskan untuk membawa suami pulang ke rumah (W.S.X II 163).
Setelah pulang dari rumah sakit, subjek membawa suami berobat ke beberapa pengobatan alternatif yaitu bekam, pijat, dan mengundang terapi dari beberapa tempat seperti daerah Jiwa, Jlumbang, Prigi, Yogyakarta, Boyolali, Pancet, Delanggu, dan Rumah Sakit Jiwa Klaten (W.S.X II 170-173, 175-178, 180-187, 196, 198-199, 212-214; K.S.X III 7-11; P.S.X IV 18-20). Subjek mempunyai keyakinan akan mengobatkan suami sampai sembuh sehingga beban menjadi lebih ringan (W.S.X XI 6-8).
Awalnya, subjek mempunyai harapan yang besar dan optimis sehingga berpikir bagaimana suami bisa berjalan dan
berbicara (W.S.X X 38-40; W.S.X XI 5-7, 24-25, 43-45; P.S.X IV 21-23). Subjek selalu berusaha untuk mencari informasi mengenai tempat pengobatan yang baik untuk kesembuhan suami melalui iklan, bertanya kepada orang lain dan mendapat informasi dari saudara subjek (W.S.X II 168-170, 180-181, 191-195, 208-209, 211-212; W.S.X XI 8-9; K.S.X III 48-52; P.S.X IV 23-25). Selain mencari informasi tentang tempat pengobatan yang cocok, subjek juga berusaha meminta bantuan kepada anak pertama untuk memberikan pendapat tentang permasalahan yang dihadapi oleh subjek (W.S.X X 5-7).
Selama proses perawatan suami, subjek juga sering mengeluh tentang situasi yang dihadapi yaitu suami sakit, materi untuk perawatan suami (W.S.X X 41-43; P.S.X III 4-5; P.S.X IV 27-28), sifat dan sikap suami (W.S.X II 161-162), serta mengira peristiwa tersebut sebagai hukuman (W.S.X II 86-88; W.S.X III 27-29; W.S.X IV 46-49; W.S.X IX 64-66) bahkan pernah menganggap bahwa kejadian tersebut hanyalah sebuah mimpi (W.S.X IV 51-53). Subjek tidak tahan menghadapi permasalahan yang begitu banyak, dipicu dengan adanya konflik dalam diri subjek yaitu merasa jengkel kepada suami namun tetap harus merawatnya (K.S.X III 41-44) dan merasa berdosa karena tidak merawat suami dengan ikhlas (W.S.X XI 38-40, 40-42; K.S.X V 2-8). Akibatnya, subjek merasa putus asa yaitu membiarkan dan
mengacuhkan serta tidak melayani suami walaupun subjek mengetahui bahwa hal tersebut salah (W.S.X XI 15-19, 64-76; W.S.X XII 13-15; K.S.X III 15-16; P.S.X III 6).
Seiring dengan berjalannya waktu, usaha untuk mengatasi permasalahan yang dilakukan semakin beragam dan mengarah pada hal-hal yang positif walaupun hal-hal negatif juga masih dilakukan. Subjek mulai menerima dan menjalani peristiwa itu dengan sabar, tenang, dan berterimakasih kepada Tuhan serta menyadari bahwa merawat suami adalah keharusan (W.S.X VIII 44-46; W.S.X XII 16-17, 28-30; K.S.X I 29; K.S.X III 11-13, 19-26) dan kewajiban subjek (W.S.X III 144-146; W.S.X IX 61-62, 78-79, 85-86). Subjek berusaha memikirkan biaya, cara pengobatan agar suami bisa sembuh (W.S.X IV 55-56; W.S.X X 12-14; W.S.X XI 86-88) dan berusaha menjual mobil untuk menutup hutang (K.S.X II 27-32) serta mengatur kondisi kesehatan subjek dengan cara minum jamu (W.S.X X 46-52) agar bisa merawat suami dengan baik (W.S.X XII 36-42; K.S.X III 46-48).
Selain itu, subjek juga berusaha untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi (W.S.X VIII 40-43, 54-55) dan membatasi diri untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak penting. Subjek berusaha untuk memfokuskan diri merawat suami di rumah (W.S.X V 7-9) dan hanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang dianggap penting saja. Hal tersebut dilakukan karena subjek
merasa tidak tenang dan tidak nyaman meninggalkan suami sendirian (W.S.X VIII 30, 32-36, 55-56; W.S.X XI 49-54, 54-56; K.S.X III 34-38), misalnya kegiatan PKK dipindah di rumah karena subjek adalah ketua PKK (W.S.X V 12-14) dan tidak mau jika harus melakukan kegiatan di luar rumah (W.S.X V 14-15, 18-23) walaupun kadang-kadang PKK menjadi tempat pelampiasan subjek jika bosan merawat suami di rumah (W.S.X VII 30-32; K.S.X III 38-41). Selain itu, subjek juga melakukan ibadah di rumah dan tidak pergi ke masjid (W.S.X V 38-40).
Walaupun demikian, subjek tetap berusaha untuk menjalankan tugas-tugasnya karena subjek adalah orang yang bertanggung jawab (W.S.X V 21-22) dan mempunyai kemauan keras untuk mewujudkan keinginannya (W.S.X VII 20-22). Hal tersebut berjalan dengan baik walaupun sebenarnya subjek merasa kesepian dan ingin melakukan kegiatan di luar rumah namun kesibukan berdagang di rumah membantu subjek untuk mengatasi hal tersebut (O.S.X I 104, 120, 143-144). Walaupun demikian, sikap subjek ini juga menimbulkan dampak yang kurang baik yaitu hubungan subjek dengan anak dan cucu menjadi jauh karena harus terus-menerus mengurus suami (W.S.X VI 68-70).
Perasaan kesepian yang dialami membuat subjek mencari dukungan sosial dari 2 orang teman dan anak subjek. Dukungan tersebut berupa saran, nasehat, dan menjadi tempat bercerita untuk
menguatkan dan menyembuhkan subjek (W.S.X VII 40-41; W.S.X VIII 7-9, 12-13, 36-38, 46-48; W.S.X XI 26-31, 35-39, 57-59, 60-61, 78-80; K.S.X III 5-7, 31-34; P.S.X IV 8-9) pada saat subjek mengalami putus asa (W.S.X II 91-92) serta protes dan mengeluh mengenai peristiwa yang terjadi.
Selain itu subjek juga meminta bantuan kepada anak pertama untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan tentang permasalahan yang dihadapi (P.S.X IV 28-30). Menurut subjek, berada bersama teman dan orang yang dicintai serta diperhatikan oleh teman bisa membuat hati senang, menyemangati dan menguatkan subjek karena sebenarnya subjek merasa tersiksa dan kesepian berada di rumah bersama suami (W.S.X XI 26-31; W.S.X XII 24-26, 51-53).
Melalui saran dan nasehat dari 2 orang teman dan anaknya, subjek menyadari dan berusaha untuk memasrahkan semuanya kepada Tuhan dengan cara bersyukur dan beribadah kepada Tuhan (W.S.X XI 35, 46-47, 80-83) walaupun belum sepenuhnya karena masih menunjukkan sikap mengeluh dan protes kepada Tuhan (W.S.X II 88-89, 97-99; W.S.X IV 80-81; W.S.X X 43-44; K.S.X III 3-5). Hal tersebut membuat subjek merasa lebih tenang, lega, dan kuat ( W.S.X XI 123, 80-83; W.S.X XII 11-13; K.S.X V 9-11) sehingga subjek berusaha untuk menyadarkan dirinya melalui bentuk-bentuk refreshing.
Bentuk-bentuk refreshing yang dilakukan oleh subjek yaitu pergi ke pasar (P.S.X IV 10-16) dan ke kota Klaten (W.S.X V 23-26; K.S.X III 16-19), menangis (K.S.X III 16-19), diam dan mengeluh tentang ganjaran dari Tuhan untuk mengurus suami yang digunakan agar hati subjek tenang, dan lega (W.S.X II 94-97; W.S.X IV 77-80; W.S.X XI 38-40; K.S.X III 13-15) bukan sebagai bentuk perlawanan kepada Tuhan (W.S.X XI 88-91) dan menyadari bahwa merawat suami adalah kewajiban subjek (W.S.X IV 8-9).
Selama proses penyesuaian diri, subjek merasa dapat merawat suami dengan baik walaupun masih terpaksa, tidak ikhlas, tidak senang, menderita dan hanya menganggap bahwa apa yang dilakukan sebagai kewajiban saja (W.S.X XII 4-11). Namun demikian subjek juga merasa sedih, bingung, dan menyesal memiliki perasaan tersebut (W.S.X XII 20-22).
Sikap dan usaha yang dilakukan oleh subjek memberikan beberapa dampak bagi kehidupan subjek yaitu sikap putus asa dan tidak peduli dengan suami semakin berkurang (W.S.X XI 74-75; K.S.X III 45-46; K.S.X VI 11-14). Subjek juga merasa lebih tenang, lega, dan ikhlas melakukan semuanya (K.S.X VI 9-11) sehingga sikap sering mengeluh yang dilakukan juga semakin berkurang (K.S.X VI 18). Selain itu pikiran subjek juga lebih tenang dan pikiran negatif juga semakin berkurang walaupun
masih memiliki banyak hutang (K.S.X VI 18-19). Walaupun demikian subjek masih merasakan penderitaan dalam hidupnya (K.S.X VI 18-19).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diketahui usaha-usaha yang dilakukan subjek untuk mengatasi stressor yang dialami yaitu memfokuskan diri merawat suami dan membatasi melakukan aktivitas lain dengan berusaha mengobatkan suami, menjaga kesehatan, dan menjual mobil untuk melunasi hutang. Selain itu, subjek juga berpikir mengenai tempat pengobatan yang cocok bagi suami berkaitan dengan biaya dengan cara mencari informasi melalui saudara, teman, dan iklan. Subjek juga berusaha mencari bantuan berupa saran, pendapat, dan nasehat untuk menguatkan subjek pada saat mengeluh dan putus asa dalam bentuk membiarkan dan mengacuhkan bahkan tidak melayani suami. Walaupun demikian, subjek terkadang merasa bosan merawat suami dan menggunakan kegiatan PKK sebagai tempat pelampiasan. Akhirnya, subjek berusaha melakukan proses memasrahkan diri kepada Tuhan dengan beribadah dan bersyukur yang sebelumnya didahului dengan proses pemaknaan sehingga subjek dapat menyadari dan menerima kondisi yang dialami.
d) Dinamika Coping Stress pada Istri Bekerja dengan Suami Penderita Stroke pada Subjek 1
Subjek mengalami suatu peristiwa yang tidak terduga yaitu suami menderita penyakit stroke yang merupakan penyebab stres terbesar yang dialami oleh subjek. Peristiwa ini merupakan suatu keadaan yang mengagetkan dan menambah kesulitan bagi subjek yang menyebabkan subjek bingung dan tidak mampu berpikir tentang apapun. Sebelumnya, subjek telah mengalami stressor
yang berhubungan dengan pekerjaannya dimana subjek tidak menyukai & merasa terbebani atas pekerjaannya
Pada saat berada di rumah sakit, suami tidak mau minum obat sehingga kondisi suami tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Berdasarkan beberapa pertimbangan dan pendapat dari anak pertama, maka subjek memutuskan untuk membawa suami ke rumah dan berusaha mencari pengobatan alternatif demi kesembuhan suami.
Sesampainya di rumah, subjek membawa suami ke beberapa pengobatan alternatif yaitu bekam, pijat, dan mengundang terapi dari daerah Jiwa, Jlumbang, Prigi, Yogyakarta, Boyolali, Pancet, Delanggu, dan Rumah Sakit Jiwa Klaten. Hal ini dilakukan dengan bantuan dari anak pertama yang selalu mengantarkan subjek dan suami menggunakan mobil sehingga
mengurangi biaya yang dikeluarkan karena tidak harus menyewa kendaraan.
Subjek juga harus mengeluarkan biaya untuk membayar dengan rutin pengobatan suami. Hal ini membuat subjek merasa terbebani dan menambah pengeluaran keluarga karena hanya mendapat pemasukan dari gaji guru SD karena suami tidak mendapatkan pensiun. Selain itu, subjek juga harus membiayai kehidupan anak pertama dan istrinya walaupun tidak sepenuhnya serta biaya pendidikan cucu. Hal ini terjadi karena subjek telah memutuskan dan menyuruh anak pertama tidak bekerja untuk membantu merawat suami di rumah, walaupun juga dibantu oleh kakak dan menantu subjek yang selalu menjaga, merawat, dan melayani suami. Selain itu, subjek juga meminta bantuan anak pertama untuk membantu memberikan pendapat dan menyelesaikan permasalahan yang dialami.
Keadaan kekurangan uang yang terjadi terus-menerus menyebabkan subjek mempunyai banyak hutang sehingga subjek merasa tidak tenang dan tertekan. Akibatnya, subjek mengambil keputusan menjual mobil untuk membayar hutang. Peristiwa ini menimbulkan kekecewaan terhadap situasi karena subjek merasa bahwa ketidakmapanan anak disebabkan oleh sakitnya suami. Selain itu subjek juga merasa kecewa karena tidak ada komunikasi dengan anak kedua walaupun hal ini disebabkan oleh alat
komunikasi yang rusak sehingga subjek merasa jauh dan tidak mendapatkan dukungan dari anak kedua.
Selama proses perawatan suami, subjek mengalami beberapa persoalan yang menyebabkan subjek mengalami stres selain permasalahan ekonomi. Subjek mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan suami karena kondisi suami yang tidak mampu berbicara, mencerna perintah dan memahami perkataan orang lain. Keadaan ini berlangsung cukup lama sehingga pelayanan yang dilakukan selalu tidak sesuai dengan keinginan suami dan menyebabkan suami marah dengan mendorong-dorong subjek. Subjek sebenarnya merasa jengkel dan sakit hati dengan sikap dan sifat suami yang kasar, semena-mena, ingin menang sendiri, manja dan tidak patuh, walaupun lebih menghargai istri setelah sakit. Namun, subjek juga merasa sedih dan kasihan dengan kondisi suami yang tidak bisa melakukan apapun, yaitu mengalami kelumpuhan pada tangan dan kaki kanan sehingga tidak dapat berjalan dan tidak mampu melakukan sebagian fungsi biologis.
Perasaan ini memunculkan adanya konflik dalam diri yaitu subjek tetap harus merawat suami walaupun merasa jengkel dan sakit hati terhadap suami karena hal tersebut merupakan kewajiban subjek. Perasaan tersebut berlangsung cukup lama dan mengganggu proses perawatan suami. Hal ini terjadi karena subjek masih mengingat-ingat perilaku dan sifat suami dahulu yaitu
pemarah, kasar, suka main tangan, suka membentak, suka berjudi, ingin menang sendiri, dan tidak bertanggung jawab mencukupi kebutuhan keluarga. Menurut anak, salah satu sifat subjek adalah pendendam dan tidak mudah memaafkan orang lain sehingga subjek merasa tidak ikhlas merawat suami.
Karakteristik suami menyebabkan suami menjadi sangat tergantung kepada subjek sehingga harus melayani fungsi biologis. Hal ini menyebabkan waktu yang dimiliki terbatas, apalagi saat subjek berangkat kerja. Akibatnya, subjek selalu terlambat berangkat kerja karena harus melayani suami terlebih dahulu sehingga suasana hati menjadi tidak nyaman, walaupun teman-teman kerja memaklumi keadaan subjek.
Peristiwa suami sakit stroke membuat subjek harus merawat suami sendirian di rumah dan tidak bisa pergi dengan bebas padahal subjek adalah orang yang selalu membutuhkan orang lain dan tidak mampu menanggung sesuatu yang berat sendirian. Oleh karena itu, subjek mengalami perasaan kesepian dan hampir gila. Hal ini mengakibatkan subjek selalu protes dan mengeluh tentang situasi yang dihadapi bahkan merasakan hal tersebut hanya sebagai mimpi selama berbulan-bulan setelah suami sakit. Beberapa keadaan yang tidak mengenakkan membuat subjek putus asa dan bersikap membiarkan dan mengacuhkan suami serta
tidak melayani kebutuhan suami walaupun subjek mengetahui bahwa hal tersebut salah.
Proses penyesuaian diri yang berlangsung cukup lama, perasaan sedih, dan merasa bersalah membuat subjek tidak mempunyai keinginan untuk meninggalkan suami. Kesadaran ini disebabkan oleh dukungan sosial dari anak pertama dan kedua orang teman yang selalu menjadi tempat berbagi dan bercerita,