• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan explore untuk variabel persepsi guru terhadap blended learning. Pada variabel ini sebaran normalnya memperoleh nilai p<0,05 yaitu 0,004. Berdasarkan analisa tersebut, maka variabel persepsi guru terhadap blended learning memiliki sebaran yang tidak normal. Untuk itu peneliti menggunakan teknik median untuk melihat gambaran dan kategorisasi dari persepsi guru terhadap blended learning.

2. Gambaran umum persepsi guru terhadap blended learning pada SMK Tritech Informatika Medan

Gambaran persepsi guru terhadap blended learning pada SMK Tritech Informatika Medan dari hasil analisa ini dapat dilihat melalui skor mean, standar deviasi, nilai minimum dan nilai maksimum. Hasal analisis deskriptif dalam penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tebel 6. Gambaran Mean, Standar Deviasi, Nilai Minimum, Nilai Maksimum Persepsi Guru Terhadap Blended learning (Teoretik Dan

Empirik)

Variabel Hipotetik Empirik

Mean SD Min Max Mean SD Min Max Persepsi guru terhaadap blended learning 84 18 28 140 108,38 8,28 92 133

Tabel di atas menunjukkan bahwa skor mean empirik skala persepsi guru terhadap blended learning adalah 108,38 dengan SD empirik 8,28 dan mean hipotetik 84 dengan SD 18. Hasil perbandingan antara skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukkan bahwa secara rata-rata subjek memiliki persepsi terhadap blended learning di atas rata-rata teoritis.

Tabel 7. Kategorisasi Persepsi Terhadap Blended learning Pada SMK Tritech Informatika Medan

Variabel Kategorisasi

jenjang Kategori N Presentasi Persepsi guru

learning pada SMK Tritech Informatika Medan 108< X Negatif 29 48,33% Total 60 100%

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa guru SMK Tritech Informatika Medan yang memiliki persepsi positif terhadap blended learning sebanyak 31 orang (51,67%), dan sebanyak 29 orang (48,33%) yang masuk kedalam kategori negatif.

3. Gambaran komponen blended learning pada subjek penelitian

Komponen dari blended learning terbagi atas empat, yaitu face to face, e-learning online, e-learning offline dan m-learning. Hasil perhitungan nilai minimum, nilai maksimum, mean, dan standar deviasi dari keempat komponen, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Gambaran Mean, Standar Deviasi, Nilai Minimum, Dan Nilai Maksimum Dari Komponen Blended learning

Komponen blended learning

Mean hipotetik Mean empirik Mean SD Min Maks Mean SD Min Maks Face to face 27 6 9 45 34 2,27 29 38 E-learning online 21 4,67 7 35 26,38 2,91 20 34 E-learning offline 18 4 6 30 23 2,40 18 30 M-learning 18 4 6 30 23,31 3,07 16 30 Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa skor mean dari komponen face to face memiliki skor paling tinggi yaitu (34) dengan standar deviasi (2,27), selanjutnya komponen e-learning online (26,38) dengan standar deviasi (2,91), lalu komponen m-learning (23) dengan standar deviasi

(2,40) dan terakhir komponen e-learning offline (23,31) dengan standar deviasi (3,07).

Tabel 9. Kategorisasi Komponen Blended learning Pada Guru Di SMK Tritech Informatika Medan

Komponen Kategorissiasi jenjang Kategorisasi N Persentase Face to face X > 34 34 < X Positif Negatif 18 42 30% 70% E-learning online X > 26 26 < X Positif Negatif 23 37 38,3% 61,7% E-learning offline X > 23 23 < X Positif Negatif 23 37 38,3% 61,7% M-learning X > 23 23 < X Positif Negatif 30 30 50% 50% Berdasarkan tabel di atas, pada komponen face to face terdapat 18 orang guru (30%) yang memiliki perspsi positif terhadap blended learning, dan sebanyak 42 orang guru (70%). Selanjutnya pada komponen e-learning online, guru yang memiliki perspsi yang posistif terhadap blended learning sebanyak 23 orang (38,3%), sedangkan guru yang memiliki persepsi negatif sebanyak 37 orang (61,7%). Untuk komponen e-learning offline, terdapat 23 orang guru (38,3) yang memiliki persepsi positif terhadap blended learning, dan guru yang memiliki persepsi negatif terhadpa blended learning sebanyak 37 orang (61,7%). Terakhir pada komponen m-learning, guru yang memiliki persepsi yang positif dan negatif memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 30 orang (50%).

4. Gambaran persepsi guru terhadap blended learning pada SMK Tritech Informatika Medan berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, gambaran persepsi guru terhadap blended learning dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel. 10 mean persepsi guru terhadap blended learning pada SMK Tritech Informatika Medan

Jenis kelamin Mean

Laki-laki 109

Perempuan 110,47

Tidak Tergolongkan 106,82

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa subjek yang berjenis kelamin laki-laki memperoleh mean sebesar 109, sedangkan subjek yang berjenis kelamin perempuan memperoleh mean yang lebih tinggi dari subjek laki-laki yaitu 110,47. Serta subjek yang berada dalam kategori yang tidak tergolongkan karena tidak mencantumkan jenis kelamin pada skala pengukuran memperoleh mean sebesar 106,82.

5. Gambaran persepsi guru terhadap blended learning pada SMK Tritech Informatika Medan berdasarkan usia

Berdasarkan usia, gambaran persepsi guru terhadap blended learning dapat dilihat pada tabel di berikut ini:

Tabel. 11 mean persepsi guru terhadap blended learning pada SMK Tritech Informatika Medan

Usia Mean

22-25 tahun 106,72

26-29 tahun 107,64

30 tahun ke atas 112,46 Tidak tergolongkan 106,82

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa subjek yang berusia 22-25 tahun memperoleh mean 106,72, subjek yang berusia 26-29 tahun memperoleh mean 107,64. Sedangkan subjek yang berusia 30 tahun ke atas memperoleh mean tertinggi yaitu 112,46, dan subjek yang berada dalam kategori yang tidak tergolongkan karena tidak mencantumkan usia pada skala pengukuran memperoleh mean 106,82.

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, di dapatkan bahwa mean empirik lebih besar dari skor mean hipotetik yang menunjukkan bahwa persepsi mengenai blended learning pada sampel penelitian berada di atas rata-rata teoritis yang berarti bahwa persepsi guru terhadap blended learning tergolong positif. Berdasarkan kategorisasi, tidak terdapat guru yang memiliki persepsi negatif, selanjutnya sebanyak 42 orang yang memiliki persepsi positif, dan sebanyak 1 orang berada dalam kategori yang tidak tergolongkan. Hal ini menunjukkan bahwa guru yang berada di SMK Tritech Informatika Medan memiliki persepsi yang positif terhadap blended learning. Kategori tidak

tergolongkan menunjukkan bahwa guru bisa saja memiliki persepsi positif dan bisa saja memiliki persepsi yang negatif.

Atkinson (2000) menyebutkan persepsi sebagai proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu baik positif maupun negatif terhadap suatu benda, manusia, atau kejadian. Proses pengorganisasian suatu stimulus berbeda-beda pada masing-masing individu, tergantung pada proses berpikir, perasaan individu, penilaian hingga pengalaman yang berbeda pada masing-masing individu. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa data yang dilakukan, yang mana individu berbeda-beda dalam mempersepsikan suatu objek yaitu blended learning.

Berdasarkan analisa data yang dilakukan, komponen face to face memiliki skor mean yang paling tinggi (34) dan komponen e-learning online (26,38) dan komponen e-learning offline (23). Serta yang terkahir pada komponen m-learning memiliki skor mean (23,31).

Rahmat (2005) mengatakan bahwa terdapat dua bentuk persepsi yaitu persepsi positif dan persepsi negatif. Individu akan mempersepsikan sesuatu dengan positif ketika objek yang dipersepsikan sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima baik secara rasional maupun emosional manusia. Namun individu akan mempersepsikan secara negatif ketika objek yang dipersepsikan tidak sesuai dengan penghayatan, biasanya individu cenderung menolak dan menanggapinya secara berlawanan. Salah satu penyebabnya adalah adanya

ketidakpuasan dan ketidaktahuan individu mengenai objek yang dipersepsikannya.

Pada komponen face to face, guru yang memiliki persepsi yang positif lebih sedikit dari guru yang memiliki persepsi yang negatif terhadap komponen blended learning. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian guru mengenai proses interaksi langsung antara peserta didik dengan guru di dalam kelas dan penyampaian materi selama proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran blended learning masih kurang baik.

Selanjutnya pada komponen e-learning online, jumlah guru yang mempersepsikan secara positif juga lebih sedikit daripada guru yang memiliki persepsi yang negatif. Jumlah ini menunjukkan bahwa penilaian guru masih kurang baik mengenai pemanfaatan jaringan internet sebagai metode penyampaiaan pelajaran dan fasilitas seperti penggunaan website, browsing, mengunduh hingga mengunggah materi pelajaran selama proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas.

Demikian halnya pada komponen yang ketiga, yaitu e-learning offline juga terdapat jumlah guru yang memiliki persepsi yang positif lebih kecil daripada guru yang meemiliki persepsi yang negatif. Dari data penelitian tersebut menunjukkan bahwa penilaian guru belum cukup baik mengenai penggunaan tampilan video, penggunaan CD atau DVD maupun tampilan powerpoint sebagai alat bantu dalam penerapan model pembelajaran blended learning.

Komponen yang terakhir yaitu m-learning (mobile learning), jumlah guru yang memiliki persepsi negatif sama banyaknya dengan jumlah guru yang

memiliki persepsi positif. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa penilaian guru cukup baik mengenai penggunaan perangkat mobile seperti laptop, notebook serta smartphone sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran dan penerapan model blended learning.

Bila dilihat dari jenis kelamin, guru yang berjenis kelamin perempuan memiliki mean yang tinggi daripada guru yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Rookes & Wilson (2000) yang mengatakan bahwa laki-laki lebih dalam kemampuan visual spasial daripada perempuan, selain itu laki-laki juga memiliki ketajaman visual lebih baik pada siang hari sedangkan wanita lebih cepat beradaptasi dalam lingkungan yang gelap. Pada penelitian ini jumlah subjek perempuan lebih banyak daripada jumlah subjek laki-laki, tetapi juga terdapat subjek yang tidak mencantumkan atau tidak mengisi kolom jenis kelamin pada skala pengukuran.

Berdasarkan usia, subjek yang berada pada usia 30 tahun ke atas memiliki skor tertinggi dari subjek lainnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rookes & Wilson (2000) bahwa kemampuan perseptual meningkat dan semakin akurat seiring bertambahnya usia namun kemampuan perseptual juga menurun dalam mempersepsikan dunia fisik seiring bertambahnya usia. Pada penelitian ini, jumlah subjek yang berusia dalam rentang 26-29 tahun memiliki jumlah terbanyak daripada subjek yang berusia diatas 30 tahun. Namun dari hasil analisa menunjukkan bahwa subjek yang berusia diatas 30 tahun memiliki kemampuan perseptual yang lebih baik dari subjek yang berusia dibawah 30 tahun.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Secara umum, guru-guru yang menjadi sampel penelitian di SMK Tritech Informatika Medan memiliki persepsi yang positif terhadap blended learning.

2. Dari keempat komponen blended learning yaitu face to face, e-learning online, e-learning offline dan m-learning, maka dapat disimpulkan bahwa guru SMK Tritech Informatika Medan memiliki persepsi yang negatif pada keempat komponen blended learning.

3. Berdasarkan data yang diperoleh melalui skala pengukuran oleh subjek penelitian dapat dilihat bahwa skor mean guru terhadap blended learning tertinggi terdapat pada:

a. Subjek berjenis kelamin perempuan b. Berusia di atas 30 tahun

B. Saran

Berdasarkan analisa data, pembahasan dan kesimpulan yang sudah di paparkan di atas, peneliti mencoba memberika beberapa saran. Saran yang diberikan oleh peneliti diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya mengenai persepsi terhadap blended learning.

a. Penyusunan skala pengukuran untuk penelitian selanjutnya diharapkan lebih sesuai dengan teori-teori persepsi agar memiliki tingkat valitidas isi yang lebih baik.

b. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan menambah variabel lain agar dapat melihat persepsi guru terhadap blended learning secara lebih mendalam.

c. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan menambah teknik pengambilan data seperti wawancara dan observasi agar mendapat data yang lebih akurat mengenai persepsi guru terhadap blended learning. d. Pada penelitian selanjutnya, penelti diharapkan untuk mempercepat

penyebaran skala penelitian agar mendapatkan data yang lebih banyak dari populasi yang tersedia.

e. Pada penelitian selanjutnya, peneliti diharapkan untuk memeriksa kembali jawaban dari subjek penelitian baik dari kelengkapan identitas maupun jawaban dari pernyataan agar data yang sudah didapatkan dapat digunakan seluruhnya.

2. Saran praktis

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan bahwa pemahaman dan penilaian guru mengenai keempat komponen blended learning sudah cukup baik, namun masih terdapat kekurangan dilihat dari jumlah guru yang memiliki persepsi positif pada keempat komponen tersebut. Untuk itu, pihak sekolah diharapkan melakukan pelatihan keguruan/pengajaran terhadap guru-guru yang ada di SMK

Tritech Informatika untuk lebih meningkatkan pemahaman pada model pembelajaran yang digunakan oleh pihak sekolah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERSEPSI

1. Definisi Persepsi

Atkinson (2000) menyebutkan persepsi sebagai proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu baik positif maupun negatif terhadap suatu benda, manusia, atau kejadian. Selanjutnya, Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai proses pengorganisasian dan interpretasi informasi yang didapatkan dari luar. Sedangkan King (2010) mengatakan bahwa persepsi adalah proses otak dalam mengatur dan menginterpretasi informasi sensoris dan memberikan makna informasi tersebut.

Wade (2007) menyebutkan persepsi merupakan tindakan mental yang mengatur impuls-impuls sensorik menjadi sesuatu yang bermakna, dan Myers (1996) menambahkan bahwa persepsi memungkinkan kita untuk mengenaili makna dari suatu objek dan peristiwa. Persepsi melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam penginterpretasian terhadap informasi sensorik, yang mana kejadian-kejadian sensorik tersebut diproses sesuai pengetahuan kita tentang dunia, sesuai budaya, pengharapan yang memberikan makna terhadap pengalaman sensorik sederhana (Solso., dkk, 2007).

Rahmat (2005) mengatakan bahwa terdapat dua bentuk persepsi yaitu persepsi positif dan persepsi negatif. Individu akan mempersepsikan sesuatu

dengan positif ketika objek yang dipersepsikan sesuai dengan penghayatan dan dapat diterima baik secara rasional maupun emosional manusia. Namun individu akan mempersepsikan suatu objek secara negatif ketika hal itu tidak sesuai dan individu cenderung menolak dan menanggapinya secara berlawanan terhadap objek yang dipersepsikan.

Dalam penelitian ini, definisi persepsi yang digunakan adalah proses pengorganisasian danpenafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukanindividu baik positif maupun negatif terhadap suatu benda, manusia, atau kejadian.

2. Aspek persepsi

Ittelson (dalam Bell, 2001) menyatakan bahwa ada 4 aspek persepsi yaitu :

a. Kognitif, meliputi bagaimana individu berpikir, mengorganisasi dan menyimpan informasi.

b. Afektif, perasaan yang mempengaruhi bagaimana individu mempersepsi sesuatu.

c. Interpretatif, sejauhmana individu memaknai sesuatu.

d. Evaluatif, bagaimana individu menilai sesuatu sebagai aspek yang baik dan buruk.

3. Faktor yang mempengaruhi persepsi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi. Faktor-faktor ini menyebabkan adanya perbedaan persepsi tiap-tiap individu. Menurut Rookes &Willson (2000), faktor-faktor tersebut adalah :

a. Usia

Kemampuan perseptual seseorang berubah dan matang seiring berkembangnya dan bertambahnya usia. Secara umum, kemampuan perseptual terlihat meningkatdan semakin akurat namun ada juga kemampuan perseptual yang menurun dalam merepresntatifkan dunia fisik, seiring bertambahnya usia.

b. Gender

Masalah perbedaan gender dalam proses psikologi sangatkontroversial. Namun, terdapatnya beberapa perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam persepsi visual. Laki-laki memiliki ketajaman visual yang lebih baik disiang hari, sedangkan perempuan lebih cepat beradaptasi dalam kondisi gelap. Salah satu kemampuan yang memiliki perbedaan gender yangkonstan adalah kemampuan visual spasial. Pada kemampuan ini, priamempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.

c. Kepribadian

Orang-orang dengan kepribadian yang berbeda cenderung berperilaku berbeda dalam berbagai situasi dan dapat merespon berbagai informasi dengan cara yang berbeda.

d. Kondisi fisik

Ada banyak kerusakan fisik yang dapat mempengaruhi persepsi. Penyakit seperti katarak, agnosia dan prosopagnosia yang membuat individu kesulitan dalam mempersepsikan sesuatu.,

Penggunaan obat-obatan seperti narkoba dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Selain itu, orang yang menggunakan zat tertentu seperti kafein, juga akan mempunyai pengalaman perseptual yang berbeda.

e. Perceptual set

Set adalah ekspektasi yang dibawa oleh observer ke dalam situasi perseptual. Latar belakang dan pengalaman sepertinya membuat kita melihat suatu hal dengan cara tertentu, khususnya jika stimulus yang diberikan ambigu. Ada beberapa hal yang mempengaruhi set yaitu motivasi, konteks, ekpektasi, pengalaman sebelumnya dan emosi.

f. Budaya dan variasi sosial

Terdapat aspek dari lingkungan dan budaya yang membuat individu mempersepsikan dan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Individu yang dibesarkan dengan pengaruh budaya Barat akan mengenali stimulus visual tertentu seperti televisi dan film, namun stimulus tersebut akan membingungkan individu yang dibesarkan dari daerah yang terpencil. Beberapa studi telah menemukan bukti yang kuat untuk mendukung adanya pengaruh lingkungan fisik terhadap persepsi individu.

B. BLENDED LEARNING 1. Definsi blended learning

Blended learning merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu blended yang berarti campuran atau kombinasi dan learning berarti pembelajaran, jadi blended learning merupakan campuran atau kombinasi antara pembelajaran tradisional atau tatap muka dengan pembelajaran online (Husamah, 2014).

Thorne (2003, dalam Husamah 2014) menggambarkan blended learning sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan kemajuan teknologi dan inovatif yang ditawarkan oleh pembelajaran online dengan interaksi dan partisipasi dari pembelajaran tradisional. Blended learning adalah sebuah konsep yang relatif baru dalam pembelajaran dimana pengajaran yang disampaikan melalui gabungan pembelajaran online dan tradisional yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh instruktur atau pengajar (Bielwski dan Metcalf, 2003 dalam Husamah 2014). Blended learning harus dipandangsebagai pendekatan pedagogis yang menggabungkan efektivitas dan peluang sosialisasi kelas dengan kemungkinan peningkatan teknologi untuk mencapai pembelajaran yang aktif dalam lingkungan online, daripada rasio modalitas pembelajaran tradisional (Dziuban, Hartman and Moskal, 2004).

Akkoyunlu dan Soylu (dalam Husamah, 2014) mendefinisikan blended learning sebagai variasi penggunaan metode yang mengkombinasikan pertemuan tatap muka langsung di kelas tradisional dan pengajaran online untuk mendapatkan objektifitas pembelajaran. Lebih lanjut, Dwiyogo (2013)

mengatakan blended learning mengacu pada pembelajaran yang mengkombinasikan atau mencampurkan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran berbasis komputer (online dan offline).

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa blended learning adalah kombinasi antara model pembelajaran tatap muka (face-to-face) dengan model pembelajaran komputer baik online maupun offline yang didampingi atau diinstruksikan oleh pengajar.

2. Komponen Blended learning

Ada empat hal yang menjadi komponen blended learning yang dikemukakan oleh Husamah (2014), yaitu :

a. Face-to-face

Pembelajaran formal umumnya dilakukan di sekolah berlangsung melalui metode pembelajaran tatap muka (face-to-face). Menurut Bintek KTSP, pembelajaran tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses interaksi langsung antara peserta didik dan pendidik.

b. E-learning offline

Husamah (2014) mendefiniskan e-learning sebagai suatu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi secara sistematis dengan mengintegrasikan semua komponen pembelajaran. Kumar (dalam Husamah, 2014) mendefinisikan e-learning sebagai pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan

isi pembelajaran, interaksi atau bimbingan. Media e-learning dapat dibedakan menjadi dua, yaitu media interaktif onlinedan offline. Media e-learning bersifat online dapat diwujudkan dalam bentuk website/situs.

Media e-learning bersifat offline menurut Artawan merupakan salah satu bentuk pembelajaran elektronik (e-learning) yang pelaksanaannya tidak menggunakan jaringan internet atau intranet. Pembelajaran berbasis e-learning offline dapat dilaksanakan melalui pembelajaran berbasis komputer. Media e-learning yang bersifat offline dapat diwujudkan dalam bentuk CD atau DVD.

c. E-learning online

Pembelajaran online merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan (internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi dan fasilitasi serta didukung berbagai bentuk layanan belajar lainnya. E learning onlinemerujuk kepada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (Feasey, 2001; Karmaga, 2002; dalam Husamah 2014).

d. Mobile learning

Mobile learning (M-learning) didefinisikan sebagai e-learning melalui perangkat komputasi mobile (Andy, dalam Husamah, 2014). Ally mendefinisikan m-learning sebagai penyampaian bahan pembelajaran elektronik pada alat komputasi mobile agar dapat diakses

darimana saja dan kapan saja. Sistem m-learning memanfaatkan mobilitas dari perangkat handled/mobile, seperti ponsel, laptop dan notebook untuk memberikan fungsi pembelajaran yang dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun.

3. Kelebihan dan kekurangan blended learning a. Kelebihan blended learning

1) Peserta didik leluasa untuk mempelajari materi pelajaran secara mandiri dengan memanfaatkan materi-materi yang tersedia secara online.

2) Peserta didik dapat melakukan diskusi dengan pengajar atau peserta didik lainnya diluar jam pelajaran.

3) Kegiatan pembelajaran dilakukan peserta didik diluar jam tatap muka dapat dikelola dan dikontrol dengan baik oleh pengajar. 4) Pengajar dapat menambah materi pengayaan melalui fasilitas

internet.

5) Pengajar dapat meminta peserta didik membaca materi atau mengerjakan tes yang dilakukan sebelum pembelajaran.

6) Pengajar dapat menyelenggarakan kuis, memberikan feedback dan manfaat hasil tes dengan efektif.

7) Peserta didik dapat saling berbagi file pembelajaran dengan peserta didik yang lain.

b. Kekurangan blended learning

Noer (dalam Husamah, 2014) mengemukakan beberapa kekurangan blended learning, yaitu:

1) Media yang dibutuhkan sangat beragam, sehingga sulit diterapkan apabila sarana dan prasarana tidak mendukung.

2) Tidak meratanya fasilitas yang dimiliki peserta didik seperti komputer dan akses internet.

3) Kurangnya pengetahuan sumber daya pembelajaran (pengajar, peserta didik dan orang tua) terhadap penggunaan teknologi.

C. SMK Tritech Informatika Medan

SMK Tritech Informatika Medan didirikan berawal dari niat suci Yayasan Bapak Zulkifli, SE, S.Sos untuk beribadah kepada Allah SWT dan pengabdian dirinya bagi dunia pendidikan, yang diawali dengan dibukanya Lembaga Kursus Komputer dan Bahasa Inggris yang diberi nama Tritech Quantum. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan dari masyarakat maka pada tanggal 20 Mei 2010 didirikanlah SMK Tritech Informatika dengan memakai konsep SMK IT Modern.

SMK Tritech Informatika memiliki 3 Program Keahlian, yaitu Teknik Keterampilan Jaringan, Multimedia, Rekayasa Perangkat Lunak yang bertempat di Jl. Bhayangkara No. 522 Medan dan diasuh oleh Guru dan Dosen berpengalaman tamatan S1 dan S2 dari Universitas Negeri dan Swasta yang terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional. Pada saat ini SMK Tritech Informatika mengasuh 1000 siswa/i, dengan

jumlah pendidik sebanyak 107 orang dan tahun Ajaran 2012/2013 telah menempati gedung baru di Jl. Bhayangkara No. 484 dengan jumlah kelas sebanyak 47 ruang. Pada masing-masing ruang kelas terdapat plasma TV yang digunakan sebagai alat bantu dalam menyampaikan pelajaran, selain itu fasilitas lainnya adalah jaringan

Dokumen terkait