• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. HASIL PENELITIAN

1. Keadaan Sebelum Proses Pengambilan Keputusan

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebelum terjadinya proses pengambilan keputusan, ketiga responden memiliki kondisi rumah tangga yang bermasalah. Namun masalah yang mereka hadapi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Responden YD merasa kurang komunikasi dengan istrinya, responden WR merasa tidak suka dengan sikap istrinya

yang posesif dan sikap mertuanya yang senang mengatur, sedangkan responden TT mendapati istrinya telah berselingkuh.

Responden YD dan responden WR, keduanya merasa perlu mencari hiburan karena kondisi rumah tangga mereka yang bermasalah. Berbeda dengan YD dan WR, responden TT yang mendapati istrinya telah berselingkuh, dirinya menjadi merasa sakit hati dengan sosok perempuan dan tidak berpikir untuk mencari hiburtan seperti kedua responden yang lain.

“akhirnya yang saya nggak suka itu, ya ibaratnya istri saya

ini kurang komunikasi sama saya gitu”(538-540)

“ya dulu istilahnya saya juga pengen cari penghiburan karena

pas itu saya sering ada masalah dengan istri, kemudian saya

mau” (526-529)(YD)

“Ya pelarian karena istri dan mertua mas, saya dulu kan tinggal sama mertua. orangnya posesif banget, keluar malem jam 10 pulangnya dikunciin gak bisa masuk rumah saya, padahal saya kan seneng main orangnya, nggak bisa saya digituin mas, dia ini suka ngatur mas, Saya bangun siang juga sering dimarahin sama mertua, dulu kan saya masih kerja dirumah buka usaha mas jam tujuh belum bangun udah dimarahin aja, katanya ini rumah dia aturan dia, makanya

saya pengen cari hiburan cari pelarian gitu mas” (344-345) (348-353) (356-362) (WR)

“Ya itu mas rasa sakit hati saya diselingkuhin sama yang

pertama. Kan saya bilang dulu saya maunya punya istri satu seumur hidup tapi ternyata istri saya yang pertama ini malah nyelingkuhin saya makanya ya saya terus sakit hati sama

perempuan”, (208-214)(TT)

Ketika rumah tangganya sedang dilanda permasalahan, istri responden YD seringkali justru pulang ke rumah orangtuanya. Hal ini membuat responden YD merasa kurang komunikasi dengan istrinya dan membuat dirinya seringkali bercerita kepada teman. Kemudian karena sering bercerita/curhat, istri teman responden YD memberikan tawaran

kepada YD untuk berkenalan dengan teman kerjanya yaitu FW (istri kedua YD). Karena responden YD merasa butuh hiburan maka responden YD mengiyakan tawaran tersebut.

“curhat masalah rumah tangga, lanjutnya saya kenal sama istrinya, eh entah kenapa istrinya ini menawakan perempuan yaitu istri kedua ini, ya dulu istilahnya saya juga pengen cari penghiburan karena pas itu saya sering ada masalah dengan istri, kemudian saya mau” (523-529)

Setelah bertemu dengan wanita tersebut (FW) responden YD merasa tertarik karena fisik dan penampilan FW yang solekhah, dan responden terkesan dengan perilaku FW yang selalu cium tangan bila bertemu dengan responden YD. Setelah merasa tertarik responden menjalin hubungan pacaran dengan FW. Selain itu lama-kelamaan responden YD menjadi suka dan cinta pada FW karena lebih perhatian jika dibandingkan istri pertamanya.

“kawan saya ini punya istri kerja disatu perusahaan

namanya Panaruh didaerah tangerang setelah itu istrinya ini mengenalkan saya sama istri saya yang kedua sekarang ini lanjutnya saya ngobrol ngobrol diperkenalkan gitu ada rasa tertarik lanjutnya saya jalan sama itu setelah saya jalan saya ada hubungan sama dia, biasalah kayak anak muda seperti itu pacaran gitu lanjutnya setelah itu saya sempatkan jalan berdua gitu ya itu timbul hubungan yaitu

pacaran gitu” (6-16)

“Tertariknya dulu karena fisik ya, fisiknya tu kayanya

solekhah gitu karena perempuan itu kan berkerudung jadi diliatnya itu solekhah kayanya kayanya ada rasa pas kalo menjalani hubungan dengan itu menjalani rumah tangga ya itu dari tampang dia, fisik dia, wajahnya dia, kesolekhahannya dia begitu, masalahnya kan kalo ketemu

dia selalu nyium tangan” (19-26)

“Jadi saya ada terasa suka, cinta sama dia, karena, maaf ya istri saya yang pertama kan intinya kurang memperhatikan entah dari kebutuhan saya sehari hari entah ibaratnya cara berpakaian saya sehari hari, makan saya kurang

diperhatikan dan kenapa saya ketemu orang ini selalu diperhatikan dari a sampai z itu diperhatikan, setiap ketemu juga Tanya udah makan apa belum, terus juga

kerjanya gimana, itu awal pertamanya” (29-38)

Sedangkan responden WR mengalami kondisi di mana istrinya tidak mampu memberikan keturunan, hal ini membuatnya menyesali pernikahannya yang membuat responden gagal menjadi seorang bapak. Selain itu hal ini juga membuat responden merasa pernikahannya tidak sesuai dengan tujuan, yaitu tujuan untuk mendapatkan keturunan. Responden juga merasa minder karena belum memiliki keturunan.

“jadi kan istri saya yang pertama belum bisa kasih saya keturunan sampai sekarang udah nikah 4 tahun” (5-7)

“Pas tau istri saya ternyata gak normal itu perasaan saya nyesel mas, nyesel dalam artian saya salah nikah”, (383 -385)

“tujuan saya nikah itu kan nggak hanya jadi suami istri tapi juga jadi bapak, saya nyesel mas, karena nggak bisa

jadi bapak”(385-388)

“Iya soalnya kan kita nikah tujuannya mempunyai keturunan” (26-27)

“kalo ngumpul sama temen-temen ada acara nikahan, reunian, orang yang ditanya apa sih pertamabukan harta punya mobil berapa kan bukan to, yang ditanya lu punya

anak berapa itu saya minder” (84-91)

Istri dari responden WR juga seringkali tidak memenuhi keinginan responden untuk berhubungan intim dengan alasan kelelahan bekerja. Hal ini membuat responden WR menjadi merasa tidak respect dengan istri.

“Satu dia kerja super sibuk juga kadang waktu buat saya juga nggak ada saya ngajak dia buat hubungan aja dia nolak katanya capek katanya abis ujian, koreksian banyak punyak anak-anak, banyak alesan” (40-44)

“padahal kan harusnya istri kalo suami minta kan harus dikasih itu dari situ saya berpikir aduh istri saya nggak bener nih kalo begini saya kan laki-laki” (45-49)

Selain itu responden juga menjadi tidak suka dengan sikap istri pertama dan mertuanya, sehingga responden mencari pelarian dengan mengenal dan menjalin hubungan dengan SC. SC sendiri adalah mantan teman kerja responden, namun sejak dulu sering memberikan perhatian pada responden WR. Bentuk perhatian tersebut seperti SC yang sering menanyakan kabar, menanyakan pekerjaan dan sering melakukan perbincangan melalui media sosial.

“Istilahnya saya juga cuma cari buat pelarian aja, kenal ngajak jalan” (7-9)

“Ya pelarian karena istri dan mertua mas, saya dulu kan

tinggal sama mertua. makanya saya pengen cari hiburan

cari pelarian gitu mas”, (344-345) (361-362)

“temen kerja tapi perhatian gitu sering kontak-kontakan

terus yang kedua ini kontak lagi lewat facebook “(364 -367)

Responden TT mengalami kondisi awal yang sedikit berbeda. Istri Pertama responden TT terlibat perselingkuhan. Setelah mengetahui istrinya terlibat perselingkuhan kemudian responden merasa sakit hati dengan sosok perempuan. Keinginan responden untuk memiliki satu istri pun menjadi hilang setelah mengetahui istrinya berselingkuh.

“Ya itu mas rasa sakit hati saya diselingkuhin sama yang

pertama. Kan saya bilang dulu saya maunya punya istri satu seumur hidup tapi ternyata istri saya yang pertama ini malah nyelingkuhin saya makanya ya saya terus sakit hati

sama perempuan”, (208-214)

Ketiga responden dapat dikatakan sama-sama memiliki kondisi rumah tangga yang bermasalah sebelum terjadinya proses pengambilan

keputusan. Masalah-masalah inilah yang kemudian melatarbelakangi proses pengambilan keputusan ketiga responden untuk melakukan poligami.

2. Proses Pengambilan Keputusan a. Menilai Masalah

Dalam tahap ini, ketika menilai masalah kedua responden YD dan WR sama-sama merasakan keragu-raguan. Responden YD merasa kasihan dengan FW jika hubungan mereka hanya sebatas pacaran, karena responden YD sudah merasa suka dan cinta pada FW, sehingga muncul keinginan dalam diri responden YD untuk menikahi FW, namun di sisi lain YD sadar bahwa dirinya sudah berkeluarga dan YD menganggap istrinya tidak akan memberikan ijin kepadanya untuk poligami dan kemungkinan istrinya justru akan meminta cerai.

“ada rasa kasian jadi kalo cuma hubungan pacaran,

sempet saya ada pikiran saya kan punya istri punya anak saya bilang lah saya bilang pacaran aja jangan

sampai menikah” (53-57) (YD)

“istri mana yang mau mengijinkan yang ada juga nanti

dia malah yang minta cerai duluan” (397-399)

Sedangkan, responden WR yang awalnya merasa tidak ingin menjalin hubungan yang serius dengan SC menjadi ada keinginan untuk menikahi SC. Hal ini dikarenakan responden WR memandang SC mau menerima dirinya apa adanya dan merasa SC menyayanginya, ditambah WR juga sudah tidak sabar ingin mempunyai keturunan

namun di sisi lain responden WR juga tidak ingin mengkhianati pernikahannya dengan melakukan poligami.

“saya belum kepikir poligami, saya masih mikir cari hiburan aja tapi eh tau-taunya dia ini kayaknya bener-bener sayang mau nerima saya apa adanya yaudah terus ngalir aja, akhirnya saya bilang saya itu udah punya istri ini gimana terus dia malah bilang mau nerima saya apa adanya” (372-379)

“tujuannya kan pengen main-main aja tapi dia udah sayang banget sama saya jadi yaudah apa saya nikahin siri aja gitu” (13-19)

“Sebetulnya dulu saya dilemma juga sih, satu saya menghianati pernikahan ya makanya dilemma, cuma saya pertimbangkan lagi mau sampai kapan saya begini” (94-98)

Responden WR juga menjadi terpikir untuk poligami karena ada saran dari teman-temannya. Mereka menyarankan WR untuk poligami agar dirinya segera mendapatkan keturunan.

“Karena ada saran dari beberapa orang temen udah lu poligami aja saya jadi tersugesti untuk poligami mas mereka bilang udah lu daripada kagak punya-punya anak mending lu kawin lagi aja” (393-397)

Ketika menilai masalah yang terjadi, yaitu perselingkuhan istrinya, responden TT langsung berpikir bahwa dirinya harus membalas perbuatan istri pertamanya dengan melakukan perbuatan yang serupa, yaitu berselingkuh.. Namun responden sendiri tidak ingin dirinya terlibat dalam zinah dan pelacuran, dan merasa lebih baik menikahi wanita yang disukainya nanti.

“kalo ada perempuan mau sama saya saya juga mau asalkan itu satu nikah soalnya saya nggak mau yang zinah-zinah” (65-66, 70)

“kalo suka sama perempuan lebih baik langsung nikah, gausah jajan” (76-77)

b. Meninjau Alternatif

Semua responden melibatkan orang lain untuk meninjau keinginanya untuk menikah lagi/poligami. Ketiga responden meminta saran dan persetujuan dari orang-orang di sekitar mereka. Namun ketiga subjek memilih orang yang berbeda-beda, Responden YD meminta saran pada tokoh masyarakat dan paranormal, responden WR meminta pendapat dan persetujuan pada keluarga calon istri kedua (SC), sedangkan TT meminta pendapat pada orangtuanya sendiri. Mereka memilih orang-orang tersebut dengan alasan-alasan tertentu.

Responden YD memilih bercerita pada orang-orang di sekitarnya yang dapat dipercaya sekaligus dianggapnya paham tentang poligami. Selain itu responden YD juga meminta saran dari paranormal untuk memastikan bahwa dirinya cocok dengan calon istri keduanya (FW).

“saya dengan pak Jarwo dengan pak RT lanjutnya saya diskusi dengan itu apa saya pantes enggak buat poligami terus buat menjalani kehidupan (93-96)

saya sharing sama anggaplah orang tua angkat atau ibarat ini sesepuh lah nama saya sama nama dia pas enggak gitu apabila kita menjalin hubungan kalau menikah ternyata saya MY dengan dia FW lanjutnya

ternyata cocok” (70-75)

Hampir sama dengan responden YD, responden WR juga bercerita pada sahabat-sahabatnya. Namun responden WR justru meminta pendapat langsung pada orangtuanya dan keluarga istri keduanya. Hal ini dilakukan oleh responden WR karena dirinya ingin keluarga istri

keduanya mengerti keadaannya dan agar dirinya tidak dipandang negatif oleh keluarga istri keduanya.

“saya cerita sama orangtua apa adanya, orangtua

mendukung juga biarpun itu perbuatan jelek tapi kan

tujuanya bener “(60-62)

“Ya positif karena kan saya membaur sama keluarga

dia jadi pas di certain saya sudah menikah kakaknya

sama orangtuanya Cuma bilang ya nggak papa“(138 -142)

Berbeda dengan kedua responden sebelumnya responden TT adalah satu-satunya responden yang meminta ijin pada istrinya untuk melakukan poligami. Hal ini didorong karena keinginan untuk membalas perbuatan istri responden yang telah berselingkuh.

“lu bisa begini gua juga bisa begini, terus gua bilang

kalo gua mau nikah lagi lu boleh enggak, terus dia

ngebolehin,” (34-37)

Selain itu responden TT juga secara langsung meminta ijin pada orangtuanya. Orangtua responden TT pun tidak melarang keinginan responden untuk melakukan poligami, asalkan biaya menikah ditanggungnya sendiri karena orangtua TT hanya merasa bertanggungjawab untuk menikahkan anaknya satu kali.

“saya ngomong ke orangtua kalo saya mau kawin lagi

dulu orangtua bilang kalo mereka ngawinin anak cuma sekali kalo anak mau kawin lagi mereka bilang terserah pake uang saya punya uang yaudahlah kita nikah”

(120-127)

c. Menimbang Alternatif

Ketika hendak memutuskan untuk poligami, ketiga responden memiliki pertimbangan yang beragam. Ketiganya memiliki lebih dari

satu pertimbangan. Terutama responden YD dan WR. Responden YD memiliki pertimbangan jika dirinya menikahi FW maka akan ada kemungkinan dirinya mampu membantu merubah keadaan FW dan keluarganya menjadi lebih baik. Pertimbangannya ini muncul karena adanya perasaan iba pada diri responden YD terhadap keadaan FW yang berstatus anak yatim.

“saya ada niatan untuk membahagiakan dia

membahagiakan orangtuanya seperti itu dikarenakan kan dia anak yatim saya kan juga ada keinginan kalo seumpama dia ini berumahtangga saya ada milik rejeki saya lancar insyaallah saya bahagiakan” (173-179)

Meski begitu responden YD juga merasa berat hati untuk melakukan poligami karena dirinya sudah memiliki anak dari pernikahannya yang pertama, responden YD tidak mau suatu saat nanti anaknya juga poligami seperti dirinya.

“saya ada pikirannya ntar alo anak ini udah dewasa

takutnya ini dia mengikuti jejak saya “(364-365)

Selain pertimbangan mengenai anak, responden YD juga merasa jika dirinya nanti poligami maka akan timbul konflik antara dirinya dengan istri pertama dan keluarga istri pertama. Responden YD sendiri takut jika konflik itu terjadi.

“Ya itu kalo kita ketauan yang ada abis digebukin istri

tua, kalo saya ketakutannya ya itu ribut besar, sama

orangtuanya, kakaknya, saudaranya.” (544-550)

Senada dengan YD, responden WR pun menganggap poligami adalah keputusan yang berpotensi merusak hubungan antara dirinya dengan istri pertama dan keluarga dari istri pertama. Selain itu responden WR

juga memiliki anggapan bahwa poligami adalah tindakan yang kurang baik, dan membuat dirinya berdosa.

“saya dulu takut dosa sebenernya, yang menghalangi

saya itu mas takut dosa, kedua saya takut hubungan saya dengan istri saya jadi buruk terus sama kakak ipar

sama mertua” (144-150)

Maka hal ini membuat responden WR sempat memiliki pertimbangan untuk menceraikan istri pertamanyanya terlebih dahulu. Namun dirinya beranggapan bahwa pernikahan keduanya dengan SC juga belum tentu menghasilkan keturunan, maka dirinya tidak mau mempertaruhkan pernikahannya yang pertama. Maka jika dirinya nanti poligami responden WR akan merahasiakannya dari istri pertamnya.

“Sebenernya saya ingin menceraikan dia dulu, cuma

kan satu tujuan saya sama dia dulu nikah apa sih, kan pengen punya keturunan juga makanya saya

pertahanin” (224-230)

“toh saya saya kan juga coba-coba mas, kalo punya anak kan saya nggak salah sama dia, siapa tau bisa

punya anak” (401-406)

Berbeda dengan kedua responden sebelumnya, dapat dikatakan responden TT memiliki pertimbangan yang lebih mantap, dirinya terlihat sudah yakin untuk berpoligami, mengingat bahwa responden TT adalah satu-satunya responden yang meminta ijin pada istrinya untuk melakukan poligami. Sehingga dapat dikatakan responden TT tidak perlu untuk menyembunyikan keinginannya untuk poligami seperti kedua responden yang lain. Responden TT merasa, jika sudah

mendapatkan ijin dari istrinya dan wanita yang akan dinikahi sudah bersedia, maka responden merasa pertimbangannya sudah cukup.

“kalo saya sih yang penting istri udah ngijinin, dan

yang penting si wanitanya ini mau menerima saya”

(301-303)

d. Mempertimbangkan Komitmen

Setelah melakukan berbagai pertimbangan. Ketiga responden akhirnya memilih untuk poligami. Berbagai hal membuat mereka pada akhirnya memilih untuk poligami. Kedua responden YD dan WR memiliki kesamaan bahwa keduanya merasa yakin untuk poligami karena ada dukungan dari orang lain.

Meski awalnya merasa takut, responden WR akhirnya berani untuk berpoligami dengan adanya banyak dukungan dari orang sekitar. Mengingat responden WR juga memiliki tujuan untuk mendapat keturunan dengan poligami, maka dirinya akhirnya memutuskan untuk poligami.

Perasaan saya takut saya kan cuma makin disaring makin disaring cerita sama orang, mereka mendukung semua, jadi mau sampai kapan begini kan tujuan menikah itu punya keturunan makanya saya makin kuat

main berani” (152-158)

Responden YD yang juga menerima banyak dukungan. Dukungan-dukungan itu muncul dari orang di sekitar responden yang juga menjadi pelaku poligami. Hal inilah yang membuat tekadnya untuk poligami menjadi semakin kuat. Meski di sisi lain poligami

diyakininya akan membawa dampak yang negatif berupa konflik, namun responden YD bertekad akan menghadapi apapun yang akan diterimanya nanti.

“[Y]a namanya ada keinginan membeludak dan ada orang sekitar yang mendukung maka terjadilah

pernikahan poligami itu” (218-221)

“intinya yang penting kan saya punya keinginan saya

mau menikah dulu dengan si perempuan itu, setelah menikah nanti kan apa kejadiannya kan nanti saya akan

pikul sendiri seperti itu” (163-167)

Sedangkan responden TT yang juga menerima dukungan dari orang sekitar, termasuk istrinya sendiri, hal ini membuatnya menjadi merasa gila perempuan dan senang menikah. Tidak adanya larangan untuk menikah lagi membuat responden menjadi merasa senang menikah lagi, selagi dirinya masih mampu menafkahi.

“mau dikata apa lakinya emang begini tapi lama-lama

namanya kita gila perempuan ya susah” (289-291)

“lu nggak bisa nentang gua, gua wataknya udah kaya

gini kalo emang gua gak sanggup nafkain lu lu boleh

nentang nah ini gua sanggup ngapain lu tentang”, (283 -287)

Setiap kali responden TT merasa tertarik dengan wanita, dirinya langsung mendekati wanita tersebut dan mengajaknya untuk menikah. Setelah mendapatkan ijin dari istri pertama responden mendekati IA (istri kedua) dan setelah menjalin hubungan dan merasa sama-sama suka mereka melangsungkan pernikahan.

“lama-lama dia ngomong saya juga ngomong saya

ngomong suka sama” (144-146)

“dia juga udah lama nggak sama laki yaudah saya

Ketika hendak menikah ketiga kali dengan BD (istri ketiga) responden sempat menerima penolakan dari istri keduanya, namun hal ini tidak membuat responden mengurungkan niat. Dirinya menganggap istri-istrinya harus mampu menerima karena hal ini sudah menjadi konsekuensi ketika menikah dengan orang sepertinya, yang senang menikah.

“dia pertamanya nentang kan, saya jawab aja, lu kan

tau sendiri gua kaya gimana, sebelum nikah sama lu gua gimana, kalo lu nggak yaudah lu jangan sama gua

dulu elu bilang oke yaudah itu bukan salah gua” (268 -275)

e. Menerima feedback/respon negatif

Responden YD dan WR, keduanya sama-sama menerima respon/feedback negatif dari istri pertama mereka. Bagi responden YD respon negatif dari istri pertamanya ini seringkali menimbulkan konflik dalam rumahtangganya sehingga memunculkan rasa penyesalan pada diri responden karena telah melakukan poligami. Bahkan karena ada rasa penyesalan dalam dirinya responden YD terkadang ingin menceraikan istri keduanya agar hidupnya kembali normal.

“jadi kalo yang saya bilang tadi intinya kita nafsu

sesaat setelah kita menjalani atau mengalami setap

hari yang ada cuma terasanya itu penyesalan” (500 -503)

Sedangkan responden WR, meskipun dirinya juga mendapat respon negatif dari istri pertamanya namun responden WR mampu bertahan dengan keputusannya. Responden WR mampu bertahan karena

adanya bantuan dari istri kedua ketika menghadapi konflik yang menimpa dirinya.

“cuma untungnya saya punya istri kedua ini dia bener-bener sayang sama saya, jadi dia mengerti yaudah dia nyuruh saya kesana dulu baru nanti diatur-atur” (162 -167)

Sementara itu, TT merasa orang disekitarnya sering membicarakan hal negatif tentang dirinya pada istri ketiganya. Sehingga istri ketiganya menjadi terpengaruh dan muncul konflik dalam hubungannya dengan istri ketiga. Responden TT juga menganggap bahwa rumah tangganya akan aman-aman saja jika tidak ada omongan-omongan yang mempengaruhi istri ketiganya. Responden TT menilai istri ketiganya memang orang yag bersifat cemburuan dan mudah terpengaruh.

“sebenernya rumah tangga saya kalo nggak

dilingkungan itu aman-aman aja, emang lingkungan saya itu mulutnya ember, dan istri saya yang ketiga ini gampang kepengaruh” (446-451)

Meskipun sering terlibat masalah dengan istri ketiganya dan hal tersebuat membuatnya merasa susah, namun responden TT tidak menyesali keputusannya dan bertahan untuk poligami.

3. Keadaan Setelah Proses Pengambilan Keputusan

Dokumen terkait