• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Poligami

Kata poligami berasal dari istilah Yunani yaitu “Poly” (banyak) dan “Gamein” (kawin) yang jika digabungkan berarti kawin banyak atau jika diartikan lebih lanjut, poligami merupakan fenomena dimana seseorang menikah dengan lebih dari satu orang, sehingga memiliki beberapa pasangan (Zeitzen, 2008). Poligami biasanya banyak terjadi di negara-negara islam, masyarakat Afrika dan beberapa negara di Asia (Papalia, 2005). Zeitzen (2008) membagi poligami menjadi 3 bentuk, yaitu polyginy, poliandri dan group marriage (gabungan dari polyginy dan poliandri).

Polyginy diartikan sebagai seorang pria yang memiliki beberapa isri disaat yang bersamaan, namun istilah polyginy saat ini sudah tidak lagi digunakan dan menjadi istilah di kalangan antropolog saja, dan

masyarakat umum terlebih Indonesia menyebut fenomena ini dengan istilah poligami, sedangkan poliandri adalah seorang wanita yang memiliki beberapa suami dan group marriage merupakan beberapa suami yang menikah dengan beberapa istri.

Pengertian umum yang berkembang di masyarakat Indonesia, poligami dipahami sebagai fenomena ketika seorang laki-laki yang kawin dengan banyak wanita (Suprapto, 1990). Kertamuda (2009) mengartikan poligami atau polyginy sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan dua perempuan atau lebih. Pengertian/definisi poligami yang lain dikemukakan oleh Mulia (2007) yaitu suatu ikatan pernikahan dimana seorang suami menikahi lebih dari satu istri dalam waktu bersamaan.

Praktik poligami sendiri biasanya diawali dengan seorang laki-laki menikah dengan seorang istri kemudian setelah berumah tangga, beberapa waktu kemudian sang suami menikah lagi dengan istri-istri berikutnya, jarang terjadi seorang suami langsung menikahi beberapa istri dalam satu upacara pernikahan. Menurut syariat islam, seorang laki-laki dapat berpoligami hingga memiliki empat istri, tidak lebih (Suprapto, 1990).

Jika disimpulkan atau dirangkum, poligami merupakan hubungan pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan beberapa wanita tanpa menceraikan pasangan sebelumnya, sehingga

laki-laki tersebut merupakan seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu.

Pada praktiknya di Indonesia pernikahan poligami dapat ditempuh dengan dua cara yang berbeda yaitu secara sah menurut hukum Undang-Undang dan ada pula yang hanya sah secara agama atau disebut pernikahan siri (Kertamuda, 2009). Poligami yang hendak dilangsungkan secara resmi, pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang Pernikahan nomor 1 tahun 1974 (Pramita, Mufattanah, Zulkaida, 2012). Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari satu apabila;

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya.

2) Istri mengalami cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3) Istri tidak dapat memiliki keturunan.

Sedangkan pasal 5 juga menambahkan bahwa pengajuan permohonan harus memenuhi syarat bahwa;

1) Adanya persetujuan dari istri.

2) Adanya jaminan bahwa suami harus mampu memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil pada istri-istri dan anak-anaknya.

Namun undang-undang perkawinan tersebut tampaknya dapat disiasati dengan adanya praktik pernikahan siri. Pernikahan siri yaitu

sebuah pernikahan yang dinyatakan sah secara agama (agama Islam) namun tidak memiliki catatan administratif dan tidak memiliki legalitas secara hukum dan undang-undang, sehingga dapat dikatakan

illegal secara hukum (Kertamuda, 2009). Dalam Syari‟at Islam,

poligami dapat ditempuh dengan sebuah pernikahan siri dan

pernikahan tersebut dianggap sah menurut Syari‟at Islam (Suprapto,

1990), namun dalam praktiknya pernikahan siri justru terlihat digunakan sebagai celah bagi para pelaku poligami untuk menyiasati undang-undang perkawinan di Indonesia yang cukup ketat untuk para pria yang hendak berpoligami. Hal ini menunjukkan adanya upaya sang suami untuk menghindari ketidaksetujuan istri/istri-istri sebelumnya untuk mengijinkan mereka berpoligami.

Pernikahan siri sesungguhnya justru akan merugikan beberapa pihak, terutama wanita, karena ketidakjelasan statusnya dalam pernikahan ini, selain itu anak dari hasil pernikahan ini akan mendapat masalah yang sama mengenai status, legalitas dan pembagian ahli waris (Kertamuda, 2009). Hal ini dikarenakan pernikahan poligami secara siri tidak memiliki keabsahan hukum perundang-undangan atau dapat dikatakan ilegal dan tidak sah secara hukum (Suprapto, 1990).

Beberapa hal ini tentunya harus diperhatikan oleh pelaku poligami yang menikah siri, karena jika tidak, akan timbul berbagai permasalahan bagi istri dan anak dari pernikahannya tersebut. (Kertamuda, 2009).

Seorang suami yang melakukan poligami, baik itu secara siri maupun secara resmi tentunya memiliki motivasi yang bermacam-macam. Suprapto (1990) menjabarkan beberapa motivasi seorang suami untuk berpoligami, diantaranya adalah motivasi seksual motivasi regenerasi motivasi agama/kepercayaan, motivasi kebanggaan, motivasi ekonomi, motivasi politik, dan motivasi perjuangan.

Motivasi seksual adalah poligami yang semata-mata dilakukan untuk kepuasan seksual. Biasanya hal ini disebabkan karena rasa jenuh suami dalam berhubungan seksual dengan istri sebelumnya. Motivasi berikutnya terdengar cukup populer, yaitu motivasi regenerasi, yaitu poligami yang dilakukan karena istri pertama tidak mampu memberikan keturunan, maka suami memutuskan untuk mencari istri lagi yang mampu memberikan keturunan. Selanjutnya adalah motivasi agama/kepercayaan, poligami dilakukan karena menaati atau melaksanakan apa yang diperintahkan oleh agama, apa yang boleh dilakukakan oleh agama, apa yang diajarkan dalam agama atau mengikuti apa yang dilakukan oleh tokoh dalam kitab agamanya. Terdapat pula motivasi ekonomi yaitu poligami yang terjadi karena pelaku beranggapan bahwa dengan menambah istri maka pendapatannya akan bertambah pula. Istri barunya akan menambah penghasilannya dengan membantunya bekerja. Selanjutnya ada pula motivasi kebanggaan, dimana poligami dilakukan karena pelaku

memang merasa mampu dan memiliki modal untuk berpoligami. Pelaku merasa bahwa poligami merupakan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila bisa melakukannya. Kemudian beberapa motivasi yang cukup unik dan jarang ditemui adalah motivasi perjuangan dan motivasi politik. Motivasi politik adalah poligami yang terjadi karena kepentingan politik seperti kekuasaan dan perluasan wilayah politik dan pemerintahan (biasanya ditemui di wilayah negara yang bersifat kerajaan). Sedangkan motivasi perjuangan adalah poligami yang dilakukan karena seseorang berasumsi bahwa dengan berpoligami maka hal itu akan membantu tujuannya atau kepentingannya segera tercapai.

Beberapa motivasi tersebutlah yang kemudian membentuk bermacam-macam alasan seseorang untuk melakukan poligami. Mulia (2007) menjabarkan mengenai berbagai alasan-alasan seseorang melakukan poligami. Seringkali poligami dikaitkan dengan alasan teologis, yaitu menambah jumlah istri merupkan sesuatu yang mubbah (diperbolehkan oleh Allah) dan perbuatan yang sunnah atau berdasarkan keseluruhan perilaku dalam kehidupan Nabi. Poligami menjadi salah satunya. Sunnah Nabi seharusnya terlaksana dengan sebuah komitmen penuh dengan menjunjung keadilan dan kedamaian. Namun tampaknya saat ini dengan adanya praktik poligami secara siri justru mencerminkan kebalikannya. Alasan selanjutnya adalah alasan

keturunan, dimana sang istri dianggap tidak mampu memberikan keturunan bagi sang suami. Alasan ini seringkali dianggap sebagai alasan yang kuat bagi seorang sumai untuk melakukan poligami. Namun setidaknya dalam kasus seperti ini haruslah dilakukan pemeriksaan medis yang benar-benar akurat untuk melihat dari pihak manakah sesungguhnya yang tidak mampu memberikan keturunan. Selanjutnya poligami juga dilakukan dengan alasan untuk menghindari selingkuh, zinah atau pelacuran, Seperti yang dikatakan Walgito (2009) bahwa sebuah pernikah terjadi karena dilatarbelakangi oleh kebutuhan-kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi. Dalam hal ini kebutuhan seksual. Alasan poligami karena menghindari zinah menandakan bahwa seorang suami tidak merasa puas dalam hal seksualitas dengan istri sebelumnya maka mereka ingin memuaskan kebutuhan seksualnya dengan wanita lain. Namun karena hubungan diluar pernikahan merupakan hal yang tidak normatif dan bertentangan dengan nilai agama maka terjadilah sebuah pernikahan poligami dengan alasan menghindari zinah.

Dalam keberadaannya, terutama di Indonesia poligami selalu identik dengan Islam dan Islam selalu mengkaitkan poligami dengan keadilan. Namun keadilan tersebut adalah keadilan yang seperti apa ? Diponegoro (2014) menyebutkan bahwa keadilan dalam poligami berdasarkan fiqih (ilmu yang berfokus pada syariat Islam) meliputi dua hal, yaitu qashata dan adala. Qashata adalah keadilan secara material

sedangkan adala menekankan pada keadilan dalam hal cinta dan compassion. Meskipun seseorang mampu untuk bertindak adil, hal tersebut juga tidak akan menjadi jaminan bahwa dirinya akan terbebas dari dampak-dampak yang muncul setelah dirinya melakukan poligami (Kertamuda, 2009)

Sama seperti alasan-alasan mengapa seseorang melakukan poligami, dampak yang ditimbulkan dari keputusan untuk melakukan poligami juga berbeda-beda. Kertamuda (2009) memaparkan bermacam-macam dampak yang muncul dalam kehidupan keluarga poligami. Dampak-dampak tersebut antara lain adalah dampak psikologi yang biasanya berupa perasaan inferior pada istri yang menyalahkan diri sendiri karena ketidakmampuannya memberikan kepuasan pada suaminya. Penelitian sebelumnya juga menemukan terdapat dampak psikologis anak dalam pernikahan poligami, yaitu timbul rasa tidak percaya pada sosok ayah, perasaan bahwa sosok ayah tidak adil pada istri dan anak, serta merasa kurang perhatian (Alawiyah & Kumolohadi, 2007). Selain itu penelitian Haryadi (2009) juga menemukan bahwa si pelaku sendiri juga tidak luput dari dampak psikologis seperti, merasa kesulitan membagi waktu, dan muncul berbagai perasaan-perasaan negatif dalam dirinya.

Di samping dampak psikologis yang terpapar dalam penelitian-penelitian sebelumnya, Suprapto (1990) menjabarkan beberapa dampak yang timbul dalam sebuah pernikahan poligami, seperti

dampak ekonomi yaitu istri yang kesulitan memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena sang suami juga kesulitan membagi keuangan untuk istri-istrinya karena ada kecenderungan suami akan menelantarkan istri dan anaknya yang terdahulu. Poligami juga membawa dampak yang lebih memprihatinkan yaitu dampak kekerasan, bentuk kekerasan yang muncul dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, maupun seksual.

Selain itu terkait dengan praktiknya ternyata poligami juga membawa dampak dalam ranah hokum, hal ini di karenakan adanya persyaratan yang ketat tentang pernikahan poligami, menjadikan praktik menikah siri (sah secara syariat agama namun tidak resmi secara hukum) yang lebih mudah persyaratannya menjadi mengalami peningkatan. Terkait dengan kesehatan ternyata poligami juga dapat membawa dampak yang negatif dalam hal kesehatan yaitu anggota keluarga bias saja saling tertular penyakit kelamin bahkan HIV/AIDS karena suami yang berganti-ganti pasangan.

Poligami ternyata memang membawa berbagai dampak yang dinilai negatif. Penelitian Nevo dan Krenawi (2006) juga menemukan bahwa kehidupan kelarga poligami merupakan kehidupan yang menyakitkan terutama bagi istri dan anak. Bagi istri dan anak dalam sebuah pernikahan poligami, rata-rata memiliki keinginan untuk kembali menjadi keluarga monogami. Agar dalam prosesnya sebuah keluarga dalam pernikahan poligami tetap mampu berfungsi dengan baik (fully fungtioning) diperlukan penerimaan bahwa poligami

merupakan takdir yang digariskan oleh Tuhan, sebab poligami seringkali terkait dengan alasan-alasan teologis, kemudian diperlukan juga perlakuan adil dari suami untuk para istri dan anak-anaknya, selain itu tidak membuat istri tinggal serumah juga mampu mengurangi hadirnya konflik, ditambah dengan memelihara rasa saling menghormati dan menerapkan pola komunikasi yang terbuka antara para istri dan anak-anak.

Namun kenyataannya sebaik apapun keadaan sebuah keluarga poligami, tetap saja akan mengalami kondisi emosional yang sulit, rasa cemburu, rasa amarah, perasaan dikhianati dan sebuah pertengkaran tetap saja menjadi sesuatu yang lazim dan tidak terhindarkan (Nevo dan Krenawi, 2006).

Dokumen terkait