BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Statistik deskriptif untuk setiap variabel bebas yang dianalisis disajikan pada Tabel 4.1. Variabel bebas yang digunakan dalam analisis ini sebanyak 2 (dua), yaitu
Return on Assets (X1) dan Economic Value Added (X2) secara simultan dan parsial
berpengaruh terhadap Tingkat keuntungan Saham (Rate of Stock Return/Y) LQ 45 dan sebagai berikut :
Tabel 5.1 Deskriptif Statistik
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
ROA_X1 240 1.00 40.10 6.6073 5.29794
EVA_X2 240 534 6.E7 9.16E5 4264466.919
RoR_Y 240 -1.63 201.96 .3342 .55118
Valid N (listwise) 240
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah)
Return on Assets (X1) sebagai rentabilitas ekonomis merupakan ukuran
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva yang dimiliki perusahaan. Dari sampel yang diperoleh diketahui bahwa secara umum rata-rata tingkat rasio ROA emiten tahun 2001-2006 adalah sebesar 6.61 %, dengan ROA tertinggi sebesar 40.10 % dan yang terendah 1 % dengan penyimpangan dari nilai rata – rata sebesar 5.30 %.
Economic Value Added (X2) mengukur nilai tambah ekonomis yang
permodalan. EVA sebagai alat penilaian kinerja berdasarkan volume base pada dasarnya berfungsi sebagai indikator adanya penciptaan nilai dari sebuah investasi dan sebagai indikator kinerja perusahaan dalam setiap kegiatan operasional ekonomis. yang ditunjukkan pada Tabel 5.1 terlihat bahwa rata – rata EVA sebesar – Rp. 91.6 juta dengan nilai tertinggi berkisar Rp. 600 juta dan terendah sebesar Rp. 534.
Rate of Return (Y) adalah hasil atau keuntungan yang diperoleh pemegang saham sebagai hasil dari investasinya. Komposisi perhitungan rate of return saham terdiri dari capital gain (loss) atau deviden. Capital gain (loss) merupakan selisih laba/rugi yang dialami oleh pemegang saham karena harga saham relatif lebih tinggi atau rendah dibandingkan harga saham periode sebelumnya. Sedangkan deviden merupakan bagian dari laba perusahaan yang dibagikan pada periode tertentu sesuai dengan keputusan manajemen. Berdasarkan Tabel 5.1. terlihat bahwa rata-rata Rate of Return adalah sebesar 201,96 % dengan rata-rata kisaran tertinggi dan terendah masing-masing 201.96 % dan -1.63 %.
5.1.2. Pengujian Asumsi Klasik 5.1.2.1. Pengujian Normalitas Data
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Untuk menguji apakah data penelitian ini terdistribusi normal atau tidak dapat dideteksi melalui Analisis Grafik sebagai berikut :
1) Pengujian Normalitas Data dengan Analisis Grafik Histogram
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah) Gambar 5.1 : Grafik Normalitas Data
Berdasarkan pada Gambar 5.1 tersebut Gozali (2005) menyatakan jika distribusi data adalah normal, maka tidak melewati kurva baik kiri maupun di kanan. Hasil output tersebut terlihat bahwa data berdistribusi normal.
2) Pengujian Normalitas Data dengan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Untuk menguji apakah data penelitian ini terdistribusi normal atau tidak dapat juga dideteksi dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov Test yaitu metode non parametrik untuk melihat apakah model regresi memiliki variabel pengganggu atau residual berdistribusi normal. Hasil pengujian terdapat pada Tabel 5.2. berikut :
Tabel 5.2 : Uji Kolmogorov-Smirnov Test One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Absut_1 N 12 Mean 4.8033 Normal Parametersa Std. Deviation .32587 Absolute .259 Positive .259
Most Extreme Differences
Negative -.143
Kolmogorov-Smirnov Z .898
Asymp. Sig. (2-tailed) .395
a. Test distribution is Normal.
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah)
Dari hasil pengujian terlihat pada Tabel 5.2 tersebut terlihat besarnya nilai Kolmogorov- Smirnov adalah 0.898 dan signifikan pada 0.395 Hal ini berarti H0
ditolak yang berarti data residual berdistribusi normal.
5.1.2.2. Pengujian Multikolinearitas
Pengujian multikolinearitas dilakukan untuk melihat apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi multikolinearitas. Cara mendeteksinya adalah dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Menurut Santoso (2002), pada umumnya jika VIF lebih besar dari 5, maka variabel tersebut mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya.
Tabel 5.3 : Pengujian Multikolinieritas
Model Collinearity Statistics
Constant Tolerance VIF ROA_X1 .998 1.002
Ln_EVA_X2 .998 1.002
Dependent Variabel : RoR_Y
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah)
Pada output SPSS pada Tabel 5.3 tersebut menunjukkan bagian Coefficient, semua angka VIF jauh di bawah 5, hal ini menunjukkan tidak terjadi multikolinearitas. Sedangkan hasil perhitungan nilai tolerance juga menunjukkan tidak ada varibel independen yang nilainya kurang dari 0,1, yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari 95%. Hal ini berarti tidak terjadi multikolinearitas.
5.1.2.3. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan cara melihat grafik Scatterplot
yang disajikan yang terdapat pada Gambar 5.2 dibawah, terlihat titik-titik menyebar secara acak tidak membentuk sebuah pola tertentu yang jelas serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka nol pada sumbu Y. Hal ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. Adapun bentuk grafik Scatterplot terdapat pada Gambar 5.2 berikut :
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah)
Gambar 5.2 : Grafik Scatterplot Uji Heteroskedastisitas
5.1.2.4. Uji Autokorelasi
Gejala Autokorelasi diditeksi dengan menggunakan uji Durbin - Watson (DW). Menurut Santoso (2005 : 241), untuk mendeteksi ada tidaknya auto korelasi maka dilakukan pengujian Durbin - Watson (DW). Dengan ketentuan pada Gambar 5.3 berikut :
Gambar 5.3 : Statistik d Durbin–Watson (DW)
Daerah Tidak ada autokorelasi Daerah Autokorelasi keraguan keraguan Autokorelasi
Positif (+) Negatif (-) 0 dL dU 2 4-dU 4-dL 4
Nilai d tersebut selanjutnya dibandingkan dengan nilai dtabel dengan tingkat
Dari hasil pengujian terlihat bahwa nilai DW sebesar 2,028, berarti data tidak terkena autokorelasi.
Tabel 5.4 : Nilai Durbin-Watson
Model R
Std. Error of
the Estimate Durbin-Watson
1 .163a
.54608 2.028
a Predictors: (Constant), Ln_EVA_X2, ROA_X1
b Dependent Variable: RoR_Y
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah)
Berdasarkan Tabel 5.4 diatas, untuk mengetahui adanya autokorelasi digunakan uji Durbin-Watson, dengan kriteria dari tabel Durbin-Watson terlihat Nilai DW sebesar 2,028 dimana dari tabel DW nilai DL = 1,748 dan DU=1,789 dan nilai 4- dL dan 4-dU (2,252 dan 2,211). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai du < DW < 4-du atau (1,789 <2,028< 2.211) yang artinya tidak terjadi autokorelasi karena nilainya berada di kisaran interval 1,789 dan 2,211.
Hasil uji autokorelasi di atas menunjukkan nilai statistik Durbin-Watson (D-W) sebesar 2.028, maka disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi baik positif maupun negatif.
5.2. Pembahasan Hasil Penelitian 5.2.1. Pengujian Hipotesis
Hasil pengujian hipotesis yang menyatakan ROA dan EVA secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap Tingkat keuntungan Saham LQ 45 dapat diterima. Pengujian goodness of fit dilakukan untuk menentukan kelayakan suatu model regresi, karena variabel penelitian lebih dari dua variabel maka kelayakan tersebut dapat dilihat dari nilai Adjusted R Square.
Nilai Adjusted R Square yang diperoleh dari hasil pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 5.5. di bawah ini :
Tabel 5.5. Pengujian Goodness of Fit
Model R R Square Adjusted R Square
1 .163a .027 .018
b. Dependent Variable: RoR_Y
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah)
Nilai Adjusted R Square pada Tabel 5.5 diatas sebesar 0,018. Hal ini menunjukkan bahwa 1,8% variabel Rate of Return dapat dijelaskan oleh ROA dan
EVA sedangkan sisanya sebesar 98,2% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini. Di antaranya kinerja perusahaan, kinerja industri, indikator makro ekonomi, sentimen pasar, psikologi investor, preferensi investor terhadap resiko dan lain-lain.
Untuk menguji apakah parameter koefesien Adjusted R2 signifikan atau tidak maka dilakukan pengujian dengan bantuan alat uji statistik metode Fisher (Uji F) dengan tingkat keyakinan (confident level) sebesar 95 %. Kriteria pengujian yang digunakan adalah apabila Fhitung > Ftabel maka Ho ditolak; dan apabila Fhitung ≤ Ftabel
maka Ha dapat diterima.
Atas hal tersebut berdasarkan pada ikhtisar pengujian terdapat dalam Tabel 5.6 berikut ini :
Tabel 5.6 : Uji F
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 1.936 2 .968 3.245 .041a
Residual 70.673 237 .298
1
Total 72.609 239
a. Predictors: (Constant), Ln_EVA_X2, ROA_X1 b. Dependent Variable: RoR_Y
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa nilai Fhitung adalah 3.245 dengan tingkat
signifikansi 0,041. Sedangkan Ftabel pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05) adalah
2.99. Oleh karena pada kedua perhitungan Fhitung > Ftabel (3.245 > 2.99). Hal ini
menunjukkan bahwa variabel independen ROA dan EVA berpengaruh signifikan secara simultan terhadap Rate of Return dapat diterima secara keseluruhan.
Secara parsial variabel yang berpengaruh signifikan adalah Return on Assets
(X1). Hal tersebut tergambar dalam Tabel 5.7 berikut :
Tabel 5.7 : Hasil Perhitungan Uji t
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients Model
B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) .261 .223 1.173 .242
ROA_X1 .017 .007 .163 2.547 .011
1
Ln_EVA_X2 -.003 .018 -.012 -.180 .857
a. Dependent Variable: RoR_Y
Sumber : Hasil Penelitian, 2008 (Data Diolah)
Dari tabel coefficient di atas maka model regresi yang dapat dibentuk :
Y = 0.261+ 0,017X1 - 0,003X2 +
Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa thitung variabel ROA sebesar 2.547
sedangkan ttabel pada tingkat keyakinan 95 % adalah 1.650 (2,547 > 1,650). Karena
thitung > ttabel maka H0 ditolak. Dengan demikian daerah penerimaan hipotesis berada
diluar daerah penerimaan H0.
Variabel ini berkaitan dengan rentabilitas ekonomis merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva yang dimiliki perusahaan.
Dalam hal ini laba yang dihasilkan adalah laba sebelum bunga dan pajak atau EBIT. Rumus yang bisa digunakan sebagai berikut: ROA = (NOPAT/Total Aktiva) x 100 %. Return On Assets (ROA) merupakan rasio antara saldo laba bersih setelah pajak dengan jumah asset perusahaan secara keseluruhan. ROA juga menggambarkan sejauhmana tingkat keuntungan dari seluruh asset yang dimiliki oleh perusahaan. Secara umum alat ukur yang digunakan untuk menilai kesuksesan atau prestasi perusahaan secara keseluruhan adalah Return On Investment (ROI), terminologi investasi ini digunakan dalam tiga arti berbeda dalam analisis keuangan, yaitu: return on assets (ROA), return on equity (ROE), dan return on capital assets (ROCA) atau
return on net assets (RONA).
Menurut Tandelilin (2003:240), “ROA menggambarkan sejauhmana kemampuan aset-aset yang dimiliki perusahaan untuk dapat menghasilkan laba. Rasio ROA diperoleh dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak dengan jumlah aset perusahaan”. Munawir (2002:269), “Return On Assets (ROA) merefleksikan seberapa banyak perusahaan telah memperoleh hasil atas sumber daya keuangan yang ditanamkan pada perusahaan”. Rasio ROA ini sering dipakai oleh menajemen untuk menilai kinerja operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki perusahaan, di samping perlu mempertimbangkan masalah pembiayaan terhadap aktiva tersebut.
Gibson (2001:288), “Return On Assets measures the firm’s ability to utilize its assets to create profits by comparing profits with the assets that generate the
kemampuan perusahaan untuk memanfaatkan aktiva yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dengan membandingkan pendapatan dengan aktiva yang dipakai perusahaan untuk menghasilkan pendapatan. Hasil perhitungan rasio ini menunjukkan efektivitas dari manajemen dalam menghasilkan profit yang berkaitan dengan ketersediaan aset perusahaan. Nilai ROA yang semakin mendekati 1 (100 %), berarti semakin baik profitabilitas perusahaan karena setiap aktiva yang ada dapat menghasilkan laba.
ROA merupakan alat ukur keuangan tradisional yang sering dipakai untuk menilai profitabilitas perusahaan secara keseluruhan, namun ROA memiliki beberapa kelemahan, antara lain a) ROA tidak memperhitungkan biaya modal, sehingga tidak dapat diketahui apakah perusahaan telah menciptakan nilai atau tidak dan b) Sulit untuk membandingkan hasil ROA antar perusahaan karena kemungkinan setiap perusahaan memiliki perbedaan dalam penerapan prinsip akuntansi. Nilai aktiva memiliki fluktuasi daya beli, khususnya dalam keadaan inflasi. Hal ini menyebabkan sulitnya melakukan analisis vertikal terhadap kinerja perusahaan.
Selain itu ditemukan variabel EVA tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham, hal ini ditandai dengan tingkat signifikansinya hanya sebesar 0,857 (lebih besar dari alpha 5 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa peningkatan EVA hanya akan tercermin dalam harga saham perusahaan emiten bukan terhadap tingkat keuntungan saham (rate of return). Artinya salah satu faktor yang mempengaruhi rate of return perusahaan emiten di pasar modal adalah kinerja manajemen perusahaan
emiten dalam mengelola biaya modal dari hasil investasi. Tolok ukur pengukuran kinerja dibandingkan pengukuran keuntungan dengan akuntansi konvensional adalah bukan hanya dengan metode EVA, banyak metode lain yang lebih efektif diantaranya balance scorecard atau teori pengukuran kinerja yang berkembang saat ini (Malcolm Baldridge). Hal ini dapat diartikan bahwa pusat perhatian para investor bukan pada salah satu indikator kinerja keuangan perusahaan emiten kinerja keuangan inilah (yang diukur oleh EVA) yang tercermin dalam rate of return investor. Hasil regresi ini menunjukkan konsistensi dengan hasil penelitian oleh Jogianto Hartono dan Chendrawati (1999), Rausana (1997) dan Purwatmo Hadi Waluja (2005) dimana EVA
belum banyak digunakan oleh para investor (asing maupun domestik) di BEJ pada periode 1990-1993 sebagai alat untuk menganalisa kinerja suatu perusahaan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Noer Sasongko dan Nila Wulandari (2006) yang mengindikasikan bahwa tidak ada pengaruh EVA terhadap return saham.
Hasil penelitian ini mendukung teori yang menyatakan bahwa perhatian utama para investor adalah kinerja manajemen dalam pengelolaan modal yang telah diinvestasikan oleh para investor melalui pembelian saham yang diterbitkan oleh perusahaan emiten. Konsep ROA merupakan inovasi baru dalam manajerial keuangan yang menjawab keinginan pasar yang teregulasi untuk menghasilkan keuntungan sehingga perusahaan-perusahaan harus mampu menerapkan tolok ukur kinerja keuangan untuk mencatat keberhasilan manajemen dalam menciptakan nilai
bagi pemegang saham dan mampu memotivasi karyawan perusahaan untuk memuaskan pemegang saham.
Hal ini dapat dipahami karena banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya return suatu harga saham, baik faktor-faktor yang bersifat kuantitatif seperti kinerja perusahaan, kinerja industri, indikator makroekonomi maupun faktor-faktor kualitatif seperti sentimen pasar, psikologis investor, preferensi investor terhadap risiko dan lain-lain.