• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Perkembangan Bursa Efek Indonesia

Bursa Efek Indonesia (disingkat BEI, atau Indonesia Stock Exchange (IDX)) merupakan bursa hasil penggabungan dari memutuskan untuk menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai Bursa Efek Surabaya sebagai ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007 (www.id.wikipedia.org)

BEI menggunakan sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System (JATS) sejak 22 Mei 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan sebelumnya. Dengan otomasi, likuiditas perdagangan akan meningkat karena pelayanan dalam setiap order semakin cepat. Penyediaan informasi bertambah akurat dan cepat serta meluas dan akan meningkatkan kepercayaan para pemodal.

Bursa Efek Indonesia merupakan salah satu bursa saham yang dapat memberikan peluang investasi dan sumber pembiayaan dalam upaya mendukung pembangunan ekonomi nasional. Bursa Efek Indonesia (BEI) juga berperan dalam upaya mengembangkan pemodal lokal yang besar dan solid untuk menciptakan pasar modal Indonesia yang stabil. Dalam rangka memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai perkembangan bursa terhadap publik, Bursa Efek Indonesia (BEI)

telah menyebarkan data pergerakan harga saham melalui media cetak dan elektronik. Satu indikator pergerakan harga saham tersebut adalah indeks harga saham.

Visi BEI adalah menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Sedangkan misinya adalah menjadi pilar ekonomi Indonesia, berorientasi pasar, mentransformasi perusahaan, membangun institusi, dan memberikan jasa dan produk dengan kualitas terbaik.

PT. Efek Jakarta (BEJ) pertama kali berdiri pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian dibentuk ulang melalui Undang-Undang Darurat No. 13 tahun 1951, dan selanjutnya dipertegas oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 tahun 1952. Selama dua dasawarsa kemudian, BEJ mengalami pasang surut yang ditandai pula oleh pemberhentian kegiatan sepanjang dekade 60-an dan awal 70-an. Pada tahun 1977, Pemerintah Indonesia menghidupkan kembali BEJ dengan mencatatkan saham 13 perusahaan PMA. Namun demikian, baru sekitar akhir dekade 80-an dan awal 90-an, BEJ benar-benar berkembang menjadi bursa efek seperti yang kita kenal sekarang.

Dengan diberlakukannya Undang-UndangNo. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, peran BEJ sebagai salah satu Self Regulatory Organisation (SRO) Pasar Modal Indonesia semakin dikukuhkan. Sejak itu BEJ tumbuh pesat, berkat sejumlah pencapaian di bidang teknologi perdagangan, diantaranya mulai dipakainya Jakarta Automated Trading System (JATS) pada tahun 1995, perdagangan tanpa warkat tahun 2001 dan remote trading tahun 2004, serta pemberlakuan peraturan baru tentang pencatatan, perdagangan dan keanggotaan bursa.

Iklim investasi yang kondusif akibat rendahnya suku bunga deposito membawa peningkatan berarti untuk likuiditas perdagangan efek di tahun 2003, sebagaimana tercermin pada peningkatan rata-rata volume perdagangan saham sebesar 38,4% menjadi 967 juta lembar saham dan rata-rata nilai perdagangan saham menjadi Rp. 518 milyar atau meningkat 5,2% disbanding tahun 2002. Sementara dari segi kapitalisasi pasar juga mengalami peningkatan 71,5 % menjadi Rp. 460,4 triliun.

Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang cukup baik dan didukung oleh situasi politik dan keamanan yang stabil, kinerja BEJ sepanjang tahun 2004 sangat memuaskan. Tingkat kepercayaan pemodal terus meningkat dan semua indikator perdagangan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan rata-rata nilai transaksi perdagangan dari Rp. 518 milyar untuk tahun 2003 menjadi Rp. 1,024 triliun untuk tahun 2004 dan IHSG naik dari 691,895 pada akhir 2003 menjadi 1.000,233 pada akhir 2004. Selain itu, kinerja keuangan juga mengalami pertumbuhan yang menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari peningkatan laba bersih perusahaan dari Rp. 15,13 milyar untuk tahun 2003 menjadi Rp. 37,81 milyar untuk tahun 2004 atau meningkat sebesar 150%.

Pada tahun 2005, Bursa Efek Jakarta berhasil mencapai pertumbuhan nilai kapitalisasi pasar serta indeks harga saham gabungan yang menggembirakan sekalipun dihadapkan kepada kondisi makro-ekonomi yang kurang menguntungkan. Kapitalisasi pasar mencapai Rp 801,253 triliun, naik sebesar 17,84% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indeks Harga Saham Gabungan mencapai 1.162,635 pada

hari perdagangan terakhir tahun 2005 atau naik 16,24% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Walaupun dihadapkan dengan peningkatan suku bunga, inflasi serta penurunan pertumbuhan PDB terutama pada semester kedua tahun 2005, BEJ berhasil mempertahankan tingkat perdagangan yang menggembirakan sepanjang tahun.

IHSG mencapai pertumbuhan sebesar 16,24% dari 1.000,233 di akhir tahun 2004 menjadi 1.162,635 di akhir tahun 2005. Nilai kapitalisasi pasar pada 31 Desember 2005, mencapai Rp 801,253 triliun dibandingkan dengan Rp 679,949 triliun tahun sebelumnya.

Tahun 2005 merupakan tahun kelima dimana BEJ secara berturut-turut berhasil mencatat pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa indikator pasar utama. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, volume transaksi tumbuh sebesar 198,72%, IHSG naik sebesar 179,26%, kapitalisasi pasar meningkat sebesar 208,62% dan nilai transaksi bertambah sebesar 230,69%.

Jika dibandingkan dengan penurunan kondisi ekonomi pada semester kedua tahun 2005, pertumbuhan IHSG dan nilai transaksi saham yang pesat ini mencerminkan peningkatan kualitas pasar secara keseluruhan, penguatan sendi-sendi fundamental, serta peningkatan kemampuan pasar untuk bertahan dalam kondisi makro ekonomi yang penuh tantangan.

Dari setiap sudut pandang, pertumbuhan tersebut sungguh menggembirakan. Suatu indikasi yang menggambarkan tingkat kemapaman maupun kesinambungan pasar modal yang semakin baik.

Tahun 2006 merupakan tahun yang penuh dengan tantangan untuk industri pasar aham di Indonesia, terutama karena awal tahun 2006 dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan adanya dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam negeri pada awal Oktober 2005.

Meski demikian, berkat kerja keras semua pihak, pada tahun 2006 IHSG berhasil mencatatkan pertumbuhan sebesar 55,30% dari 1.162,63 di akhir tahun 2005 menjadi 1.805,52 pada akhir tahun 2006. Kenaikan IHSG ini antara lain berasal dari kenaikan frekuensi transaksi saham yang menggembirakan pada tahun 2006, yaitu naik 19,92% dari 4,01 juta transaksi pada tahun 2005 menjadi 4,81 juta transaksi pada tahun 2006. Sebagai dampaknya, nilai perdagangan saham di BEJ juga mengalami pertumbuhan yang baik sebesar 9,78% dari Rp 406 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 445,71 triliun pada tahun 2006. Peningkatan indikator-indikator penting ini menjadikan BEJ lebih aktif dan likuid selama tahun yang dilaporkan.

Tahun 2006 juga merupakan tahun kerberhasilan BEJ dalam penyediaan fasilitas perdagangan, dengan diperolehnya sertifikasi ISO 9001-2000 untuk pengoperasian sistem perdagangan. Dengan sertifikasi ini, kiranya para pelaku pasar dapat meningkatkan kepercayaannya terhadap pelayanan BEJ sebagai fasilitator perdagangan saham. Per akhir tahun 2006, seluruh AB aktif telah menggunakan fasilitas Remote Trading. Dengan menggunakan fasilitas Remote Trading, AB dapat

memasukkan pesanan nasabah langsung dari kantor pusat atau bahkan dari kantor cabang di daerah sehingga dapat melakukan perluasan akses pasar kepada nasabahnya. Sampai dengan akhir 2006, 88% dari seluruh transaksi saham di BEJ telah dilakukan melalui sistem ini. Untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya

human errors, pada tahun 2006 BEJ mengeluarkan peraturan perdagangan baru untuk

mendukung efektivitas system Remote Trading. Peraturan ini membatasi jumlah maksimum lembar saham yang dapat diinput pada setiap order entry.

Terkait dengan pengembangan produk baru, pada bulan Desember 2006, BEJ telah menyelesaikan peraturan perdagangan Exchange Traded Funds (ETF), peraturan ini telah disetujui oleh Bapepam-LK. Ditargetkan ETF sudah mulai diperdagangkan di BEJ pada tahun 2007. Mengantisipasi kebutuhan di masa yang akan datang, salah satu prioritas BEJ adalah persiapan pelaksanaan Jakarta Automated Trading System (JATS) enhancements.

Stabilisasi perekonomian nasional yang mampu dipertahankan oleh pemerintah selama tahun 2007 dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,30% di tahun 2007 mendorong terciptanya stabilisasi di Pasar Modal.

Selama tahun 2007, perekonomian Indonesia tidak mengalami gejolak yang berarti dan hal ini ditunjukkan dengan tingkat inflasi yang stabil yaitu 6,59% dan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang ditutup pada Rp9.419, per satu Dolar AS (kurs tengah Bank Indonesia), serta tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berada pada tingkat 8%. Upaya-upaya yang dilakukan oleh

pemerintah tersebut mendorong para pelaku Pasar Modal baik itu Investor, Emiten maupun Anggota Bursa untuk melakukan kegiatan Pasar Modal secara produktif.

Stabilitas yang terjadi pada Pasar Modal ditunjukkan dengan IHSG pada tahun 2007 yang ditutup pada level 2.745,826 atau meningkat 52,08% dibandingkan penutupan tahun 2006 pada level 1.805,523. Apabila dilihat dalam 2 (dua) tahun terakhir maka IHSG setiap tahunnya telah memberikan return melebihi 50%. Pada akhir tahun 2007, nilai Kapitalisasi Pasar untuk saham sebesar Rp1.988,33 triliun, obligasi korporasi sebesar Rp79,06 triliun dan USD105 juta, serta Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp477,75 triliun. Pada akhir tahun 2006, nilai Kapitalisasi Pasar saham sebesar Rp1.249,11 triliun, obligasi korporasi sebesar Rp61,51 triliun dan USD105 juta, serta SUN sebesar Rp418,75 triliun.

Kinerja pasar yang mengalami peningkatan secara signifikan tersebut mendorong pencapaian kinerja keuangan ke tingkat yang tertinggi dalam 5 (lima) tahun terakhir. Walaupun kinerja keuangan meningkat secara signifikan, namun pengelolaan keuangan tetap selalu dilakukan secara efektif dan efisien serta berlandaskan pada Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) yang telah disetujui oleh RUPSLB serta Bapepam-LK. Dengan penggabungan BES ke dalam BEJ menjadi BEI pada tanggal 30 November 2007 yang menggunakan metode penyatuan kepemilikan, maka penyajian laporan keuangan pada tahun 2007 merupakan laporan keuangan konsolidasi BEJ dan BES.

Tahun 2008 diawali dengan optimisme oleh para pelaku pasar bahwa perekonomian akan mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

tahun 2007. Hal ini didasarkan data indikator ekonomi utama yang menunjukkan bahwa selama tahun 2007 perekonomian Indonesia tumbuh cukup besar. Di sisi moneter, nilai tukar Rupiah stabil pada kisaran Rp9.000 hingga Rp9.400 dan tingkat suku bunga Bank Indonesia sebesar 8% pada akhir tahun 2007. Sementara di sisi pasar modal, IHSG BEI ditutup pada level 2.745,826, meningkat 52,08% dibandingkan akhir tahun sebelumnya.

Pada triwulan I tahun 2008, optimisme pelaku pasar semakin meningkat didukung rata-rata nilai transaksi saham harian yang mencapai Rp5,57 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 119,27% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007. Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat menguat di akhir triwulan I tahun 2008 hingga mencapai Rp9.217, sedangkan tingkat suku bunga Bank Indonesia stabil di tingkat 8%.

Pada triwulan II tahun 2008, kondisi di atas masih dapat dipertahankan dengan rata-rata nilai transaksi saham harian yang mencapai Rp5,72 triliun atau mengalami peningkatan 33,03% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007 dan kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat di akhir triwulan II tahun 2008 mencapai Rp9.225. Namun, di sisi lain IHSG mengalami penurunan sebesar 14,45% dibandingkan dengan awal tahun 2008 ke level 2.349,105 dan tingkat suku bunga Bank Indonesia mulai merangkak naik ke tingkat 8,50%.

Memasuki akhir triwulan III tahun 2008, krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat yang dimulai sejak akhir tahun 2007 telah memperburuk perekonomian Amerika Serikat secara keseluruhan dan berakibat pada timbulnya

krisis keuangan dunia termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari bangkrutnya salah satu bank investasi terkemuka di Amerika Serikat, jatuhnya indeks Dow Jones, meningkatnya harga minyak dunia yang berdampak pada tingginya inflasi, yang pada akhirnya menyebabkan perekonomian dunia mengalami perlambatan pertumbuhan.

Di Indonesia, hal ini tercermin dari melemahnya kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang menembus level Rp9.416, peningkatan tingkat suku bunga Bank Indonesia hingga 9,25%, penurunan rata-rata nilai transaksi saham harian sebesar 9,46% dari Rp4,22 triliun di kuartal III tahun 2007 menjadi Rp3,82 triliun pada periode yang sama tahun 2008. IHSG turun hingga level 1.832,507 atau mengalami penurunan sebesar 33,26% dari IHSG pada akhir tahun 2007.

Tahun 2008 ditutup dengan menurunnya berbagai indicator perekonomian dunia maupun Indonesia dibandingkan dengan tahun 2007. Pada akhir tahun 2008, IHSG ditutup dengan penurunan sebesar 50,64% ke posisi 1.355,408; kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat ditutup di level Rp10.950 dan tingkat suku bunga Bank Indonesia tetap di level 9,25%.

Walaupun demikian, rata-rata nilai transaksi harian di bursa pada tahun 2008 mencapai Rp4,44 triliun atau naik 3,90% dari Rp4,27 triliun pada tahun 2007. Secara umum kinerja keuangan konsolidasi PT Bursa Efek Indonesia dan Anak Perusahaan (selanjutnya disebut ‘Perusahaan’) yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Osman Bing Satrio & Rekan (member of Deloitte Touche Tohmatsu) pada tahun 2008 dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2007.

Penurunan kinerja keuangan ini tercermin dari penurunan Pendapatan Usaha, Peningkatan Beban Usaha dan penurunan Penghasilan Lain-lain Perusahaan selama tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2007. Khusus pada bagian Penghasilan Lain-lain, Perusahaan mengalami kerugian yang belum terealisasi atas investasi di reksa dana yang signifikan sebagai akibat penurunan IHSG yang sangat tajam di tahun 2008 yang mencapai 50,64%.

Namun demikian dengan menggunakan prinsip kehati-hatian di dalam melakukan pengelolaan keuangan, Perusahaan di tahun 2008 dapat menghindari penurunan kinerja keuangan yang lebih tajam sehingga pada tahun 2008 Perusahaan berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp232,44 miliar atau mengalami penurunan sebesar 24,46% dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar Rp307,70 miliar.

4.1.2 Deskripsi Data Variabel Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh tingkat bunga SBI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan tingkat inflasi terhadap IHSG baik secara simultan maupun parsial. Dimana variabel dependennya adalah IHSG (Y) dan variabel independen yang digunakan dalam analisis ini sebanyak 3 (tiga) variabel, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (X1), Nilai tukar/kurs (X2) dan inflasi (X3). Hal tersebut terdapat pada Tabel 4.1 sebagai berikut:

Tabel 4.1 Deskriptif Statistik

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

IHSG_Y 84 388.44 2745.83 1452.6036 695.33814 SBI_X1 84 6.46 12.75 9.0685 1.85653 Kurs_X2 84 8279.00 12151.00 9384.5833 763.31550 Inflasi_X3 84 2.41 18.38 8.3127 3.88918 Valid N (listwise) 84

Sumber : Hasil Output SPSS (Lampiran 2)

Indeks Harga Saham Gabungan/IHSG (Y) merupakan indikator pergerakan harga saham di BEI. Indeks ini mencakup pergerakan harga seluruh saham biasa dan saham preferen. Dari sampel yang diperoleh diketahui bahwa secara umum rata-rata tingkat IHSG tahun 2003-2009 adalah sebesar 1452,60 poin, dengan tingkat IHSG tertinggi sebesar 2745.83 poin dan yang terendah 388.44 poin. Tingkat penyimpangan standar (standard deviation) dari rata-rata sebesar 695.34 poin.

Sertifikat Bank Indonesia/SBI (X1) adalah salah satu instrumen pasar uang yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengendalikan likuiditas perekonomian adalah Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. SBI adalah instrumen keuangan jangka pendek yang dijadikan tolak ukur oleh bank-bank pemerintah, swasta nasional dan swasta asing dalam menentukan tingkat suku bunga tabungan, deposito dan pinjaman kepada masing-masing nasabahnya.dalam kurun waktu 2003–2009 besarnya tingkat

bunga SBI rata-rata sebesar 9.07%. Tingkat bunga SBI tertinggi sebesar 12.75% dan terendah sebesar 6.46%, dengan standar deviasi dari rata-rata sebesar 1.86%.

Nilai tukar/kurs mata uang rupiah terhadap dolar (X2

Inflasi (X

), berdasarkan Tabel 4.1, rata-rata kurs dalam kurun waktu 2003-2009 adalah sebesar Rp.9.384,58,- dengan kurs tertinggi sebesar Rp.12.151,- dan kurs terendah sebesar Rp. 8.279,- dengan standard deviasi dari rata- rata sebesar Rp.763, 32,-.

3

4.1.3 Uji Asumsi Klasik

) adalah adanya kecenderungan harga barang dibanding nilai uang. Selama tahun 2003–2009 besarnya tingkat inflasi rata-rata sebesar 8,31%. Tingkat inflasi tertinggi sebesar 18.38 % dan terendah sebesar 2.41 %, dengan standar deviasi dari rata-rata sebesar 3,89%.

Menurut Ghozali (2005) untuk menghasilkan suatu analisis data yang akurat, suatu persamaan regresi sebaiknya terbebas dari asumsi-asumsi klasik yang harus dipenuhi antara lain uji autokorelasi, normalitas, multikolinearitas dan heteroskedastisitas.

4.1.3.1 Uji normalitas data

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel independen keduanya memiliki distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Uji Normalitas bertujuan untuk melihat apakah model regresi, variabel

pengganggu atau residual berdistribusi normal. Untuk itu dilakukan uji one sample Kolmogorov Smirnov Test. Adapun hasil pengujian terdapat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 : Hasil Pengujian One Sample Kolmogorov Smirnov Test

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 84

Normal Parametersa,,b Mean .0000000

Std. Deviation .48935845

Most Extreme Differences Absolute .155

Positive .149

Negative -.155

Kolmogorov-Smirnov Z 1.416

Asymp. Sig. (2-tailed) .086

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Sumber : Output SPSS (Lampiran 2)

Dari hasil pengujian terlihat pada Tabel 4.2 tersebut terlihat besarnya nilai

Kolmogorov- Smirnov adalah 1,416 dan signifikan pada 0,086. Hal ini berarti H0

ditolak yang berarti data residual berdistribusi normal.

4.1.3.2 Uji multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan fenomena adanya korelasi yang sempurna antara satu variabel independen dengan variable independen lain. Jika terjadi multikolinearitas, akan mengakibatkan timbulnya kesalahan standar penaksir dan

probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah semakin besar. Menurut Ghozali (2005) salah satu cara untuk mengetahui adanya multikolinearitas adalah dengan melakukan uji VIF (Variance Inflation Factor) yaitu jika VIF tidak lebih dari 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1 maka model dapat dikatakan terbebas dari multikolinearitas. Berdasarkan hasil pengolahan SPSS atas data yang diperoleh, dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Uji Multikolinearitas

Model Collinearity Statistics

Constant Tolerance VIF

SBI (X1) .364 2.744

Kurs (X2) .947 1.056

Inflasi (X3) .357 2.801

Dependent Variabel : ln_ IHSG_Y

Sumber : Hasil Output SPSS (Lampiran 2)

Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai VIF untuk masing-masing variabel adalah <10 dan Tolerance tidak kurang dari 0,1. Hal ini membuktikan bahwa model regresi yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat gejala multikolinearitas (homoskedastisitas).

4.2.3.3 Uji autokorelasi

Gejala Autokorelasi diditeksi dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Menurut Santoso (2005), untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi maka dilakukan pengujian Durbin-Watson (DW).

Nilai d tersebut selanjutnya dibandingkan dengan nilai dtabel

Tabel 4.4: Nilai Durbin-Watson

dengan tingkat signifikansi 5% dengan df = n-k-1. Dari hasil pengujian terlihat bahwa nilai DW sebesar 0,713, berarti data tidak terkena autokorelasi.

Model R

Std. Error of

the Estimate Durbin-Watson

1 .416a .49845 1.767

a. Predictors: (Constant), ln_Inflasi_X3, ln_Kurs_X2, ln_SBI_X1

b. Dependent Variable: ln_ IHSG_Y

Sumber : Hasil Output SPSS (Lampiran 2)

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, untuk mengetahui adanya autokorelasi digunakan uji Durbin-Watson, dengan kriteria dari tabel Durbin-Watson terlihat Nilai DW sebesar 0,713 Untuk mengetahui adanya autokorelasi digunakan uji Durbin-Watson, dengan kriteria menurut Santoso (2000) dengan cara melihat besaran Durbin-Watson sebagai berikut :

1. Angka D-W di bawah -2, berarti ada autokorelasi positif.

2. Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi. 3. Angka D-W di atas +2, berarti ada autokorelasi negatif.

Hasil uji autokorelasi di atas menunjukkan nilai statistik Durbin-Watson (D-W) sebesar 1,767. Oleh karena itu, nilai DW dalam rentang nilai -2 dan lebih kecil dari 2 (-2 < 1,767 < 2) maka disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi baik positif maupun negatif.

4.1.4 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dari model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadinya heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat dengan residualnya. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Berdasarkan hasil pengolahan data, uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4.1:

Sumber : Hasil Output SPSS (Lampiran 2)

Gambar 4.1: Uji Heteroskedastisitas

Berdasarkan gambar di atas tidak terlihat ada pola tertentu, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Dokumen terkait