• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdiri dari deskripsi obyek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas. Struktur organisasi dari populasi dan sampel yang telah ditentukan. Kemudian terdapat deskripsi data yang menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan menggunakan teknik analisis data yang relevan. Kemudian melakukan pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan dan pada akhir pembahasan peneliti dapat mengemukakan berbagai keterbatasan yang mungkin tedapat dalam pelaksanaan penelitian. Terutama sekali untuk penelitian eksperimen dan keterbatasan ini dapat dijadikan rekomendasi terhadap penelitian lebih lanjut dalam bidang yang menjadi objek penelitian.

BAB V PENUTUP

Dalam bagian penutup ini memuat penjelasan mengenai simpulan yaitu menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas, dan muah dipahami dan Saran yaitu berisi tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara teoritis maupun secara praktis.

18

2.1.1. Pengertian Teori

Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan. Tiga hal yang perlu diperhatikan jika kita ingin mengenal lebih lanjut tentang teori adalah:

1. Teori merupakan suatu proporsi yang terdiri dari kontrak yang sudah didefinisikan secara luas sesuai dengan hubungan unsur-unsur dalam proporsi tersebut secara jelas.

2. Teori menjelaskan hubungan antar variable sehingga pandangan yang sistematik dari fenomena yang diterangkan variabel-variabel tersebut dapat jelas.

3. Teori menerangkan fenomena dengan cara menspesifikasikan variable yang saling berhubungan.

Wiliam Wiersma (1986) dalam Sugiyono (2008:41) menyatakan bahwa: A theory is a generalization or series of generalization by which we attempt to explain some phenomena in a systematic manner. Teori adalah generalisasi atau

kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena.

Dalam bidang administrasi Hoy dan Miskey (2001) dalam Sugiyono (2009:54) mengemukakan teori sebagai berikut: “Theory in administration, however has the same role as theory in physics, chemistry, or biology; that is providing general axplanations and guiding research”. Selanjutnya didefinisikan bahwa teori adalah seperangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. “theory is a set of interrelated concepts, assumptions, and generalizations that systematically describes and explaints regularities in behavior in organizations”.

Berdasarkan yang dikemukakan Hoy dan Miskel (2001) dalam Sugiyono (2009:54) dapat dikemukakan bahwa teori itu berkenaan dengan konsep, asumsi dan generalisasi yang logis, yang berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku yang memiliki keteraturan, dan teori juga sebagai stimulan dan panduan untuk mengembangkan pengetahuan. Konsep merupakan istilah yang bersifat abstrak dan bermakna generalisasi. Contoh konsep dalam administrasi adalah leadership (kepemimpinan), satisfaction (kepuasan) dan informal organization (organisasi informal). Sedangkan asumsi merupakan pernyataan diterima kebenarannya tanpa pembuktian.

Dalam penelitian mengenai implementasi program kartu lebak sehat di Kabupaten lebak, peneliti menggunakan beberapa istilah yang berkaitan dengan masalah penelitian dengan mengklasifikasikan kedalam teori. Adapun penjelasan

mengenai teori-teori yang berkaitan dengan masalah penelitian, yaitu sebagai berikut :

2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktek implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan (Leo Agustino, 2006:138) . implementasi kebijakan merupakan tahap diantara diputuskannya suatau kebijakan dengan munculnya konsekuensi-konsekuensi diantara orang-orang yang terkena kebijakan tersebut. Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan, dalam proses kebijakan ada beberapa tahapan yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini difokuskan pada tahap implementasi. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak tujuan yang diinginkan.

Implementasi kebijakan publik merupakan suatu kajian mengenai pelaksanaan dari suatu kebijakan pemerintah setelah sebuah kebijakan dirumuskan dan disetujui, langkah berikutnya adalah bagaimana agar kebijakan tersebut dapat mencapai tujuannya tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik maka ada dua plihan langkah yang ada yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat di gambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Model dalam mengimplementasikan kebijakan publik

Sumber: Nugroho, Rian D (2003:159)

Definisi implementasi menurut Jenkins dalam Parsons menjelaskan mengenai studi implementasi yaitu:

“studi implementasi adalah studi perubahan bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain, apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang membuat mereka bertindak secara berbeda”

Implementasi kebijakan merupakan suatu studi kebijakan yang mencirikan proses pelaksanaan kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tidak sedikit kerumitan yang ditemukan dalam proses implementasi, di lapangan masih terdapat intervensi dari berbagai kepentingan. Bardach seorang ahli studi kebijakan dalam Agustino menggambarkan tentang kerumitan dalam proses implementasi tersebut, yaitu:

Kebijakan Publik

kebijakan Publik Penjelas Program Intevensi

Proyek Intevensi Kebijakan Intervensi Publik/ Masyarakat/ beneficiares

“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien”.

Dalam derajat lain Metter dan Horn dalam Wahab mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut.

“Merumuskan proses implementasi ialah tindakan-tindakan yang

dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemeritah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”

Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino implementasi kebijakan adalah

“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”

Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut (minimal) tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil kegiatan. Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis dimana pelaksana kegiatan melakukan suatu kegiatan. Sehingga pada akhirnya akan mendaptkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Udoji dalam Widodo dalam mendefinisikan implementasi kebijakan, yaitu:

“Pelaksana kebijakan adalah suatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan”

Pressman dan Wildavsky dalam Parson yaitu menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahap dalam sebuah sistem dan implementasi adalah soal pengembangan sebuah program kontrol yang meminimalkan konflik dan deviasi dari tujuan yang ditetapkan oleh hipotesis kebijakan.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Grindle dalam Agustino, yaitu:

“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.”

Dalam perkembangannya, studi implementasi kebijakan memiliki dua pendekatan dalam memahaminya (Ibid, 140-156) yaitu:

1. Pendekatan top down. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan mulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannyapun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti pendekatan top down adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

2. Pendekatan bottom up. Dalam pendekatan buttom up, memandang bahwa implementasi kebijakan tidak dirumuskan oleh lembaga yang tersentralisir dari pusat, akan tetapi berpangkal dari keputusan-keputusan yang ditetapkan pada level warga atau masyarakat tersebut. Jadi intinya pendekatan bottom up adalah implementasi kebijakan dimana formulasi kebijakan berada ditingkat warga, sehingga mereka dapat lebih memahami dan mampu menganalisis kebijakan-kebjakan apa yang cocok dengan sumber daya yang tersedia di daerahnya, sistem sosio-kultur yang mengada agar kebijakan tersebut tidak

kontroproduktif, yang dapat menunjang keberhasilan kebijakan itu sendiri.

Dari kedua pendekatan tersebut diatas, masing-masing memiliki model-model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasil.

1. Model pendekatan top down

1) Implementasi kebijakan publik model Donald Van Metter dan Carl Van Horn (1975) disebut juga dengan A model of the policy. Model pendekatan ini menjelaskan bahwa proses implementasi merupakan abstraki suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik/kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumberdaya

3. Karakteristik agen pelaksana

4. Komunikasi anatar organisasi dan aktivitas pelaksana 5. Sikap atau kecenderungan (disposition) para pelaksana 6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik

2) Implementasi kebijakan publik model Mazmanian dan Sabatier (1983: 5-8) disebut juga dengan A frame for policy implementation. Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuan dalam mengidentifikasikan

variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi, variabel-variabel tersebut adalah: 1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi:

kesukaran-kesukaran teknis, keberagaman perilaku yang diatur, presentase totalitas produk yang tercakup dalam kelompok sasaran, serta tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara cepat, meliputi: kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, kehandalan teori kausalitas yang diperlukan, ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan di antara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana, aturan-aturan pembuat keputusan dari badan- badan pelaksana, kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termasuk dalam undang-undang, serta akses formal pihak-pihak luar.

3. Variabel-variabel diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi, meliputi: kondisi sosial-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat serta kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

3) Implementasi kebijakan publik model Edward III dalam Agustino (2006: 156) disebut juga dengan Direct dan Impact on Implementation. Dalam pendekatan yang diterbitkan oleh Edward III, terdapat empat variabel yang menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu:

1. Komunikasi, terdapat tiga indikator yang dipakai yaitu tranmisi, kejelasan dan konsistensi.

2. Sumberdaya, terdapat empat indikator yang dipakai, yaitu: staf, informasi, wewenang dan fasilitas

3. Disposisi, terdapat dua indikator yang dipakai, yaitu: pengangkatan birokrat.

4. Struktur birokrasi, terdapat dua indikator yang dipakai, yaitu: standar operating prosedurs (SOP) dan fragmentasi.

4) Implementasi kebijakan model Merille S Grindle dalam Agustino (2006: 167). Pendekatan dikenal dengan Implementation as a politocal and administrative proces. Menurut Grindle, ada dua variable yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcome) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin dicapai dengan melihat pada proses serta pencapaian tujuan kebijakan yaitu pada dampak atau efek pada masyarakat secara individu dan kelompok serta tingkat perubahan yang terjadi dan penerima kelompok sasaran. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan juga di tentukan oleh tingkat implementabilty kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas isi kebijakan (Content of Policy) dan konteks implementasinya (Context of Policy).

1. Isi kebijakan (Content of Policy) terdiri dari: kepentingan yang mempengaruhi, tipe manfaat, derajat perubahan yang ingin dicapai,

letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumberdaya yang digunakan.

2. Konteks implementasi kebijakan (Context of Policy), terdiri dari: kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa, serta tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana.

5) Implementasi kebijakan publik model Hoogwood dan Gun (1978: 20). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat:

1. Jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/ badan tidak akan menimbulkan masalah yang besar.

2. Apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu.

3. Apakah keterpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada.

4. Apakah kebijakan yang diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal.

5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi 6. Apakah hubungan saling ketergantungan kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Bahwa tugas-tugas telah dirinci dan diurutkan dalam urutan yang

benar.

6) Model pendekatan bottom up ini disusun oleh Elmore (1979), Lipsky (1971), Hjren dan O’Porter (1981). Model ini dimulai dari identifikasi jaringan aktor yang terlibat di dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi kebijakan ini di dasarkan kepada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih

melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya tataran bawah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keiingian publik yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini diprakarsai oleh masyarakat baik secara langsung ataupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyaratan (LSM) (Ibid, 140-156).

Berdasarkan beberapa teori dan model pendekatan implementasi kebijakan publik yang telah dipaparkan oleh beberapa tokoh di atas, maka peneliti menggunakan teori dan model pendekatan kebijakan publik yang diungkapkan oleh Van Metter dan Van Horn. Peneliti memilih model Van Metter dan Van Horn berdasarkan sub variable yang terdapat dalam model pendekatan ini yang mampu menjawab permasalahan yang terjadi dalam implementasi program Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak..

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran

tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

2. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks

the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa: ”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi. Standart Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin

didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).

Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas

pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.

Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh

dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui

Dokumen terkait