• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM KARTU LEBAK SEHAT DI KABUPATEN LEBAK - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM KARTU LEBAK SEHAT DI KABUPATEN LEBAK - FISIP Untirta Repository"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh :

TOMMY ADI PUTRA NIM. 6661112166

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

iii

Pembimbing I: Leo Agustini, PhD. Dosen Pembimbing II: Ipah Ema J, M.Si. Kata Kunci: kartu Lebak Sehat

(6)

iV

and Political Sciences, University of Sultan Ageng Tirtayasa. Supervising Lecturer I: Leo Agustini, PhD Supervising Lecturer II: Ipah Ema J, M.Si

`

Keywords: Healthy Lebak card

(7)

v

Muhammad SAW, sahabat beserta keluarganya, karena dengan ridho, rahmat, karunia dan kasih sayang-Nya yang berlimpah sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisi Implementasi Program Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak

Dengan selesainya Skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang senantiasa selalu mendukung penulis. Maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada .

1. Prof. Drs.H. Sholeh Hidayat., M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. DR. Agus Sjafari, S.Sos.,M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Mia Dwianna M., S.Sos, M.I.Kom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Ismanto, S.Sos.,MM., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Listyaningsih.S,Sos, M.Si., Ketua Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

7. Leo Agustino ,PhD., Pembimbing I yang membantu dan memberikan masukan yang berarti bagi peneliti dalam menyusun Skripsi ini dari awal hingga akhir dan juga memotivasi dalam kehidupan sehari-hari .

8. Ipah Ema Jumiati ,M.Si., pembimbing II yang membantu dan memberikan masukan bagi peneliti dalam menyusun skripsi dan juga memberikan pelajaran dalam bersikap di dalam pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari.

(8)

vi

maaf apabila selama ini belum bisa memberikan yang terbaik dan belum bisa membalas segala kebaikan kalian selama ini.

12. Bobby dan Dinno adik-adik saya yang menjadi motivasi tersendiri dalam penyusunan proposal skripsi.

13. Teman-teman senasib dan seperjuangan Ubay, Dodi, Nendi, Agit, Randi, Novega, Yenita, Erin, Ririn, Kikoy, Uca, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa ditulis satu persatu terima kasih untuk setiap kebaikan yang kalian berikan selama ini dan diskusi-diskusi yang bermanfaat tentunya.

14. Kawan-kawan Jurusan Administrasi Negara FISIP UNTIRTA Reguler dan non Reguler angkatan 2011

Akhirnya penulis mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga dengan selesainya Skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunannya sehingga penulis dengan rendah hati menerima masukan dari semua pihak agar dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Serang, Februari 2017 Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 13

1.3 Batasan Masalah ... 14

1.4 Rumusan Masalah ... 14

1.5 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 15

1.6 Manfaat Penelitian ... 15

1.7 Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN DAN KERANGKA BERFIKIR 2.1 Deskripsi Teori ... 19

2.1.1 Pengertian Teori ... 19

(10)

viii

2.1.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan45

2.1.3.4 Kerangka Kerja kebijakan Publik. ... 47

2.1.3.5 Ciri-ciri kebijakan Publik. ... 48

2.1.3.6 Jenis kebijakan Publik... 49

2.1.4 Konsep Pembangunan ... 54

2.1.5 Definisi Sosial Ekonomi ... 55

2.2 Penelitian Terdahulu ... 57

2.3 Kerangka Berfikir ... 60

2.4 Asumsi Dasar ... 69

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 73

3.2 Ruang Lingkup Fokus Penelitian ... 76

3.3 Lokasi Penelitan... 76

3.4 Fenomena yang Diamati ... 76

3.4.1 Definisi Konseptual ... 77

3.4.2 Definisi Operasional ... 75

3.5 Informan Penelitian ... 78

(11)

ix

3.8 Teknik Analisis Data ... 90

3.9 Pengujian Keabsahan Data ... 93

3.10 Jadwal Penelitian ... 95

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi objek penelitian ... 97

4.1.1 Gambaran umum dinas sosial kabupaten lebak ... 95

4.1.2. Struktur organisasi ... 105

4.2 Deskripsi data ... 107

4.2.1 Deskripsi data penelitian ... 104

4.2.2 Daftar nama informan ... 109

4.3 Deskripsi hasil penelitian ... 111

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan ... 111

2. Sumber Daya ... 116

3. Karakteristik Agen Pelaksana ... 124

4. Sikap dan Kecenderungan Para Pelaksana ... 128

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana... 133

6. Lingkungan eksternal ... 136

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ... 136

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan ... 137

(12)

x

6. Lingkungan eksternal ... 147 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 150 5.2 Saran ... 151 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(13)

x

3.1 Kategori Informan ... 79

3.2 Pedoman Wawancara ... 86

3.3 Jadwal Penelitian ... 96

4.1 Komposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan PNS ...106

4.2 Komposisi Berdasarkan Jenis Kelamin ...106

4.3 Kodefikasi Informan Penelitian ...110

4.4 Hasil Penilaian Atas Dimensi Ukuran dan Tujuan Kebijakan...138

4.5 Hasil Penilaian Atas Dimensi Sumber Daya ... 142

4.6 Hasil Penilaian Atas Dimensi Karakteristik Agen Pelaksana ... .144

4.7 Hasil Penilaian Atas Dimensi Sikap Para Pelaksana ... .145

4.8 Hasil Penilaian Atas Dimensi Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana ...147

(14)

ix

2.2 Tahap-Tahap Kebijakan ... 45

2.3 Kerangka Berfikir... 71

3.1 Proses Analisis data Menurut Irawan ... 92

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi dalam penyelengaraan kehidupan bernegara. Sistem demokrasi ini telah dianut oleh Indonesia sejak terbentuknya Republik ini, di mana nafas-nafas demokrasi telah tertuang dalam dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi tersebut, Indonesia menjalankan kehidupan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi di dalamnya.

Wujud dari demokrasi adalah otonomi daerah, di mana otonomi daerah menurut undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah wewenang, hak, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu pelaksanaan demokrasi dalam wujud otonomi daerah adalah pemilihan umum di daerah-daerah di Indonesia. Salah satunya Kabupaten Lebak sebagai lokus penelitian. (Sumber:www.miung.com.14 Agustus 2015).

(16)

2

dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Sejak dilantiknya Kepala daerah di Kabupaten Lebak, maka Bupati Lebak memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerahnya, keleluasaan atas kewenangan yang dimiliki oleh Bupati dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif, Kabupaten Lebak

mempunyai catatan tersendiri dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kabupaten Lebak, dengan luas wilayah 304.472 Ha merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Banten, memiliki berbagai potensi sumber daya yang cukup memadai untuk melaksanakan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sejak berdirinya pada tanggal 2 Desember 1828, Kabupaten Lebak telah dipimpin oleh 25 Kepala Daerah, dan hingga saat ini telah memasuki kepemimpinan Bupati Lebak yang ke-26 yaitu Hj.Iti Octavia Jayabaya.

(Sumber:http://www.biropemerintahan.bantenprov.go.id/read/page-detail/profil-kabupaten-leb/5/profil-kabupaten-lebak.html/ 14 Agustus 2015).

(17)

3

kondisi wilayah yang terdapat di perdesaan, senantiasa dihadapkan pada isu disparitas regional yang bersifat makro bahwa Kabupaten Lebak adalah salah satu

dari 183 Daerah Tertinggal di Indonesia, yang sekaligus merupakan daerah terluas dalam wilayah Propinsi Banten. Hal ini tentu berimplikasi terhadap kebutuhan mendasar atas ketersediaan infrastruktur dalam kesehatan, pendidikan dan juga peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lebak pada umumnya.

(Sumber:http://www.biropemerintahan.bantenprov.go.id/read/page-detail/profil-kabupaten-leb/5/profil-kabupaten-lebak.html/ 14 Agustus 2015).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2005–2025 dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

(Sumber: http://bappeda.lebakkab.go.id/web/?page_id=30/24 Maret 2015).

(18)

4

Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Lebak Tahun 2014-2019 serta amanat Pasal 5 ayat (20) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan dilaksanakan sebagai perwujudan pelaksanaan program dan kegiatan Bupati dan Wakil Bupati Lebak terpilih. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak melahirkan program-program guna mempercepat pembangunan di Kabupaten Lebak dengan melahirkan Kartu Lebak Sehat, Kartu Lebak Pintar dan Kartu Lebak Sejahtera.

(Sumber:https://otdalebak.files.wordpress.com/14 Agustus 2015).

Program Kartu Lebak Sehat, Kartu Lebak Pintar dan Kartu Lebak Sejahtera yang dicanangkan dalam visi misi Bupati dan Wakil Bupati terpilih saat berkampanye tertuang dalam RPJMD Kabupaten Lebak yang diharapkan dengan adanya program ini mampu untuk memajukan pembangunan di Kabupaten Lebak menjadi lebih baik. Dana yang digelontorkan untuk Kartu Lebak Sehat yaitu 4,4 Miliar dengan kuota 18.720 Orang.

(19)

5

Keluarga Sejahtera. Hal ini pun diperjelas menurut Bapak Andi sebagai Staf Kepegawaian Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, mengungkapkan kepada peneliti pada maret 2015 bahwa Kartu Lebak Sehat diperuntukan bagi yang belum menerima Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) ataupun Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA). Tetapi, di beberapa daerah ada masyarakat yang memiliki Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Kartu Lebak Sehat. Ini membuktikan bahwa data Penerima Kartu Lebak Sehat belum akurat, dengan demikian dapat menimbulkan tumpang tindih penerima program Kartu Lebak Sehat yang seharusnya dimiliki oeh masyarakat miskin yang belum memiliki JAMKESMAS, JAMKESDA ataupun BPJS.

Program Kartu Lebak Pintar dan Kartu Lebak Sejahtera tidak menjadi fokus dalam penelitian ini karena Kartu Lebak Pintar masih menjadi pembahasan di Dinas Pendidikan tentang data siapakah yang berhak menerima program bantuan Kartu Lebak Pintar. Pemerintah daerah mencatat 2.889 siswa SMA dan SMK, akan tetapi banyak yang mendesak siswa Aliyah pun berhak mendapatkan Kartu Lebak Pintar.

(20)

6

Dari hasil observasi peneliti di lapangan, peneliti menemukan permasalahan dalam tahap pengimplementasian program tersebut, di antaranya adalah masih banyak masyarakat Kabupaten Lebak yang belum mengetahui program ini. Salah satunya peneliti melakukan wawancara kepada ibu Sutiah warga Desa Parungsari, sebagai petani mengungkapkan kepada peneliti pada maret 2015 bahwa Sosialisasi langsung kepada masyarakat masih kurang, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap program kartu lebak sehat, kartu lebak pintar, dan kartu lebak sejahtera masih sangat minim.

Pernyataan ibu Sutiah tersebut menjelaskan bahwa proses sosialisasi sebagai tahap awal implementasi program ini belum merata, mengingat RPJMD ini baru ditetapkan pada tanggal 22 Agustus 2014.

Dari permasalahan pemerataan tahap sosialisasi, menyebabkan keterpaduan dan sinkronisasi program ini belum mampu dijalankan dengan baik oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), karena masih membutuhkan koordinasi dari stakeholder lain yang berkaitan dengan program Kartu Lebak Sehat, Kartu Lebak

Pintar dan Kartu Lebak Sejahtera.

(21)

7

juga Kabupaten Lebak terus meluas sejalan dengan pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang dilaksanakan Pemerintah Pusat dan Kartu Lebak Sehat yang menjadi salah satu program unggulan daerah. (Sumber: setkab.go.id. perpaduan JKN dan Kartu Lebak Sehat).

Kehadiran program JKN di Kabupaten Lebak mendapat sambutan positif dari masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mendaftarkan diri menjadi peserta JKN ke BPJS Kesehatan Kabupaten Lebak. Hingga Agustus 2014, sebanyak 17.405 orang telah mendaftar secara mandiri. Mereka bisa memilih tiga tipe kelas yakni kelas III dengan membayar iuran Rp 25.500 per bulan, kelas II membayar Rp 42.500 per bulan dan kelas I membayar Rp 59.500 per bulan.

Proses pendaftaran di BPJS Kesehatan juga relatif mudah dan cepat. Masyarakat cukup membawa KTP, KK dan foto. Prosedur pendaftarannya adalah mulai dengan mengisi formulir pendaftaran, kemudian mendaftar dan akan mendapat nomor virtual account dilanjutkan membayar iuran sesuai dengan kelas yang diinginkan dan bukti pembayaran dijadikan untuk mencetak kartu. Berdasarkan observasi di lapangan, proses pendafataran hingga cetak kartu sekitar 1 jam, dan begitu kartu sudah tercetak, maka pada saat itu juga kartu tersebut sudah bisa digunakan untuk berobat.

(22)

8

untuk kurang mamapu dan 2.284 untuk pimpinan pondok pesantren (1.853 jiwa), kepala desa (340 jiwa) dan sekretaris desa (94 jiwa) yang belum memiliki jaminan kesehatan. (Sumber: setkab.go.id. perpaduan JKN dan Kartu Lebak Sehat).

Adapun perinciannya masyarakat lebak yang telah memiliki jaminan kesehatan adalah sebanyak 675.221 jiwa merupakan peserta eks Jamkesmas, sebanyak 66.956 jiwa merupakan eks asuransi Askes PNS, TNI dan Polri serta eks Jamsostek, sebanyak 17.405 jiwa merupakan peserta mandiri dan 9.086 jiwa merupakan peserta Kartu Lebak Sehat yang terintegrasi dengan JKN. (Sumber:

http://bantenpos.co/ arsip/2014/07/ honorer-pemkab-lebak-didaftarkan-masuk-bpjs/ 09 Agustus 2015). Dapat dilihat rinciannya pada tabel 1.1 berikut:

1.1.Tabel Masyarakat Jaminan Pelayanan Kesehatan

No. Keterangan Jumlah Jiwa

1. Eks Jamkesmas 675.221 2. Eks Asuransi Askes PNS, TNI, Polri dan Eks

Jamsostek

66.956 3. Peserta Mandiri 17.405 4. Kartu Lebak Sehat 9.086

Total 768.668

(23)

9

Daerah Kabupaten Lebak memiliki wilayah tertinggal dari aspek kesehatan. Sebanyak 3.220 penyandang cacat permanen yang tersebar di 28 kecamatan di Kabupaten Lebak. Menerima asuransi pelayanan kesehatan gratis melalui Kartu Lebak Sehat yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Mereka berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis, baik Rumas Sakit Umum Daerah (RSUD) Adjidarmo Rangkasbitung maupun puskesmas.

Dari 28 Kecamatan yang ada di Kabupaten Lebak, yang memiliki permasalahan kesehatan adalah Kecamatan Sobang, Cibeber, Bayah, Cibadak dan Rangkasbitung. Permasalahan yang utama adalah gizi buruk. Maka sosialisasi di utamakan adalah di Kecamatan tersebut. Kecamatan tersebut memiliki permasalahan kesehatan yang signifikan diantara Kecamatan lain yang terdapat di Kabupaten Lebak. Selain permasalahan kesehatan, Kecamatan tersebut memerlukan sosialisasi dan bentuk penerapan dari sosialisasi tersebut seperti pelaksanaan Kartu Lebak Sehat. Selain Kartu Lebak Sehat, diperlukan juga Puskesmas, Tenaga Medis, obat-obatan kesehatan, dan Bantuan Pangan. (Sumber: Dinkes Kab.Lebak, 2015).

(24)

10

Berdasarkan observasi awal dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, bahwa dalam pelaksanaanya masih ditemukan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan implementasi progran Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak.

Pertama, Program Kartu Lebak Sehat yang dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Lebak dalam upaya mempermudah masyarakat dalam mendapat pelayanan kesehatan di Kabupaten Lebak ternyata masih dirasa kurang efektif oleh masyarakat Kabupaten Lebak karena masih banyaknya masyarakat Kabupaten Lebak yang membutuhkan pelayanan kesehatan akan tetapi belum menikmati Program Kartu Lebak Sehat.

(25)

11

dan sosialisasi dilingkungan kerja puskesmas tersebut yang biasanya dilakukan sebulan sekali, data yang didapat bukan hanya dilaporkan dan dipertanggung jawabkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, akan tetapi juga kepada Dinas Sosial Kabupaten Lebak.

Ketiga, Melaksanakan tugas dalam hal ini tentang Implementasi Program Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Lebak haruslah dengan penuh tanggung jawab, agar tujuan dan sasaran dari adanya program ini yang tentunya bertujuan memberikan pelayanan dalam bidang kesehatan benar-benar dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Lebak, akan tetapi hal-hal seperti ini belumlah dipahami betul oleh para pegawai Dinas Sosial Kabupaten Lebak, sehingga tujuan dari adanya program Kartu Lebak Sehat ini belumlah dirasakan optimal oleh masyarakat Kabupaten Lebak.

(26)

12

bagaimana cara menjadi anggota dari Kartu Lebak Sehat dan bagaimana manfaat yang didapatkan oleh masyarakat apabila terdaftar didalam program Kartu Lebak Sehat tersebut.

Kelima, Sebagaimana wewenang yang diberikan Kepada Dinas Sosial Kabupaten Lebak yang didalamnya terdapat Program Kartu Lebak Sehat maka sudah menjadi keharusan dari pegawai Dinas Sosial dituntut untuk paham dan menjalankan progrram ini dengan sebagaimana tujuannya, namun didalam berjalannya dari Program Kartu Lebak Sehat ini yang dijalankan oleh Dinas Sosial semula dijalankan oleh Dinas Kesehatan inilah yang membuat ketidaknyaman pegawai Dinas Sosial dalam menjalankan program ini dikarenakan adanya rasa tidak nyaman karerena ada rasa dianggap merebut program yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak.

(27)

13

sejahtera sehingga akan adanya kesesuai antara kewajiban yang diemban dan hak yang diterima sesuai dengan beban kinerja dan ini dapat meminimalisir penyimpangan anggaran dari program ini.

Dengan ini peneliti tertarik terhadap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan implementasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak dalam upayanya mewujudkan pembangunan di Kabupaten Lebak. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai IMPLEMENTASI PROGRAM KARTU LEBAK SEHAT DI KABUPATEN LEBAK. (Studi Kasus di Kecamatan Sobang, Cibeber, Bayah, Cibadak dan Rangkasbitung).

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah tersebut, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Masih banyaknya masyarakat Kabupaten Lebak yang membutuhkan pelayanan kesehatan akan tetapi belum menikmati Program Kartu Lebak Sehat.

2. Program Kartu Lebak Sehat belum diketahui dan dipahami oleh masyarakat Kabupaten Lebak, karena masih rendahnya sosialisasi program oleh pemerintah daerah Kabupaten Lebak.

(28)

14

4. Adanya perbedaan jumlah data masyarakat miskin yang dimiliki BPS Kabupaten Lebak dengan Dinsos Kabupaten Lebak yang menyebabkan penerimaan Kartu Lebak Sehat untuk masyarakat miskin di Kabupaten Lebak, tidak akurat

5. Adanya rasa tidak nyaman dari Dinas Sosial Kabupaten Lebak dalam menjalankan tugas karena ada rasa dianggap merebut program yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak.

6. Kurang kondusifnya lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang menghambat berjalannya Program Kartu Lebak Sehat.

1.2.Batasan Masalah

Dari uraian-uraian yang ada dalam latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka dengan itu peneliti membatasi masalah penelitiannya. Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu peneliti mencoba mencari tahu Implementasi Program Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Implementasi program kartu lebak sehat di Kabupaten Lebak ? 2. Faktor apa sajakah yang mendukung dan menghambat implementasi program

(29)

15 1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian

Setiap penelitian tentu akan memiliki suatu tujuan dari apa yang teliti tersebut. Hal ini sangat perlu untuk bisa jadi acuan bagi setiap kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Karena tujuan penelitian merupakan tolak ukur dan menjadi target dari kegiatan penelitian tersebut. Tanpa itu semua maka apa yang akan dilakukan akan menjadi sia-sia. Maksud dan tujuan dari peneliti antara lain yaitu untuk mencari tahu implementasi program Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak.

1.5. Manfaat Penelitian 1) Secara Teoritis

a. Menambah ilmu pengetahuan melalui penelitian yang dilaksanakan sehingga memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan Ilmu Administrasi Negara khusunya.

b. Sebagai bahan pemahaman dan pembelajaran bagi peneliti maupun mahasiswa lain untuk melakukan penelitian-penelitian secara lebih mendalam mengenai implementasi program dalam pembangunan.

2) Secara Praktis

a. Bagi pemerintah daerah atau instansi, diharapkan nantinya dapat dijadikan sebuah penilaian yang logis bagi pemerintahan daerah untuk lebih serius dalam perencanaan program yang baik terhadap pembangunan di kabupaten lebak.

b. Bagi masyarakat, diharapkan nantinya bisa mendapatkan dampak yang lebih baik dari program pemerintah dalam upaya mewujudkan pembangunan di Kabupaten Lebak yang optimal.

(30)

16 1.6.Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang yang menerangkan ruang lingkup dan kedudukan masalah yang akan diteliti dalam bentuk deduktif, dari lingkup yang paling umum yang selanjutnya mengarah kepada masalah yang paling spesifik. Kemudian yang selanjutnya yaitu Identifikasi Masalah, dalam hal ini indentifikasi masalah mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari tema/topik/judul penelitian atau dengan masalah. Pembatasan masalah dan perumusan masalah dari hasil identifikasi masalah tersebut ditetapkan masalah yang paling urgen yang berkaitan dengan judul penelitian. Maksud tujuan penelitian, dalam hal ini mengungkapkan tentang sasaran yang ingin dicapai dengan dilaksanakan penelitian. Kemudian terdapat juga kegunaan penelitian yang menjelaskan manfaat teoritis dan praktis dari penelitian yang akan diteliti dan yang terakhir yaitu Sistemiatika Penulisan yang menjelaskan isi dari BAB per BAB yang ada dalam penelitian.

BAB II DESKRIPSI TEORI

Terdapat deskripsi teori dan kerangka berfikir. Deskripsi teori mengkaji tentang berbagai teori yang relevan dengan permasalahan dan variabel berfikir sedangkan kerangka berfikir menceritakan alur pikiran peneliti dalam penelitian. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

(31)

17

yang berdasarkan data yang diperlukan menyangkut masalah yang di angkat. Teknik pengolahan dan analisa data menjelaskan tentang teknik analisa beserta rasionalisasinya. Terakhir tentang tempat dan waktu penelitian, menjelaskan tentang tempat dan waktu penelitian tersebut.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Terdiri dari deskripsi obyek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas. Struktur organisasi dari populasi dan sampel yang telah ditentukan. Kemudian terdapat deskripsi data yang menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan menggunakan teknik analisis data yang relevan. Kemudian melakukan pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan dan pada akhir pembahasan peneliti dapat mengemukakan berbagai keterbatasan yang mungkin tedapat dalam pelaksanaan penelitian. Terutama sekali untuk penelitian eksperimen dan keterbatasan ini dapat dijadikan rekomendasi terhadap penelitian lebih lanjut dalam bidang yang menjadi objek penelitian.

BAB V PENUTUP

(32)

18

2.1.1. Pengertian Teori

Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan. Tiga hal yang perlu diperhatikan jika kita ingin mengenal lebih lanjut tentang teori adalah:

1. Teori merupakan suatu proporsi yang terdiri dari kontrak yang sudah didefinisikan secara luas sesuai dengan hubungan unsur-unsur dalam proporsi tersebut secara jelas.

2. Teori menjelaskan hubungan antar variable sehingga pandangan yang sistematik dari fenomena yang diterangkan variabel-variabel tersebut dapat jelas.

3. Teori menerangkan fenomena dengan cara menspesifikasikan variable yang saling berhubungan.

Wiliam Wiersma (1986) dalam Sugiyono (2008:41) menyatakan bahwa: A theory is a generalization or series of generalization by which we attempt to

(33)

kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena.

Dalam bidang administrasi Hoy dan Miskey (2001) dalam Sugiyono (2009:54) mengemukakan teori sebagai berikut: “Theory in administration, however has the same role as theory in physics, chemistry, or biology; that is

providing general axplanations and guiding research”. Selanjutnya didefinisikan bahwa teori adalah seperangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. “theory is a set of interrelated concepts, assumptions, and generalizations that systematically describes and explaints regularities in

behavior in organizations”.

Berdasarkan yang dikemukakan Hoy dan Miskel (2001) dalam Sugiyono (2009:54) dapat dikemukakan bahwa teori itu berkenaan dengan konsep, asumsi dan generalisasi yang logis, yang berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku yang memiliki keteraturan, dan teori juga sebagai stimulan dan panduan untuk mengembangkan pengetahuan. Konsep merupakan istilah yang bersifat abstrak dan bermakna generalisasi. Contoh konsep dalam administrasi adalah leadership (kepemimpinan), satisfaction (kepuasan) dan informal organization (organisasi informal). Sedangkan asumsi merupakan pernyataan diterima kebenarannya tanpa pembuktian.

(34)

mengenai teori-teori yang berkaitan dengan masalah penelitian, yaitu sebagai berikut :

2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktek implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan (Leo Agustino, 2006:138) . implementasi kebijakan merupakan tahap diantara diputuskannya suatau kebijakan dengan munculnya konsekuensi-konsekuensi diantara orang-orang yang terkena kebijakan tersebut. Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan, dalam proses kebijakan ada beberapa tahapan yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini difokuskan pada tahap implementasi. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak tujuan yang diinginkan.

(35)

Gambar 2.1. Model dalam mengimplementasikan kebijakan publik

Sumber: Nugroho, Rian D (2003:159)

Definisi implementasi menurut Jenkins dalam Parsons menjelaskan mengenai studi implementasi yaitu:

“studi implementasi adalah studi perubahan bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain, apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang membuat mereka bertindak secara berbeda”

Implementasi kebijakan merupakan suatu studi kebijakan yang mencirikan proses pelaksanaan kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tidak sedikit kerumitan yang ditemukan dalam proses implementasi, di lapangan masih terdapat intervensi dari berbagai kepentingan. Bardach seorang ahli studi kebijakan dalam Agustino menggambarkan tentang kerumitan dalam proses implementasi tersebut, yaitu:

Kebijakan Publik

kebijakan Publik Penjelas Program Intevensi

Proyek Intevensi

Kebijakan Intervensi

(36)

“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai klien”.

Dalam derajat lain Metter dan Horn dalam Wahab mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut.

“Merumuskan proses implementasi ialah tindakan-tindakan yang

dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemeritah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”

Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino implementasi kebijakan adalah

“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”

(37)

“Pelaksana kebijakan adalah suatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan”

Pressman dan Wildavsky dalam Parson yaitu menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahap dalam sebuah sistem dan implementasi adalah soal pengembangan sebuah program kontrol yang meminimalkan konflik dan deviasi dari tujuan yang ditetapkan oleh hipotesis kebijakan.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Grindle dalam Agustino, yaitu:

“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.”

Dalam perkembangannya, studi implementasi kebijakan memiliki dua pendekatan dalam memahaminya (Ibid, 140-156) yaitu:

1. Pendekatan top down. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan mulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannyapun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti pendekatan top down adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

(38)

kontroproduktif, yang dapat menunjang keberhasilan kebijakan itu sendiri.

Dari kedua pendekatan tersebut diatas, masing-masing memiliki model-model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasil.

1. Model pendekatan top down

1) Implementasi kebijakan publik model Donald Van Metter dan Carl Van Horn (1975) disebut juga dengan A model of the policy. Model pendekatan ini menjelaskan bahwa proses implementasi merupakan abstraki suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik/kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, yaitu:

1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumberdaya

3. Karakteristik agen pelaksana

4. Komunikasi anatar organisasi dan aktivitas pelaksana 5. Sikap atau kecenderungan (disposition) para pelaksana 6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik

(39)

variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi, variabel-variabel tersebut adalah: 1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi:

kesukaran-kesukaran teknis, keberagaman perilaku yang diatur, presentase totalitas produk yang tercakup dalam kelompok sasaran, serta tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara cepat, meliputi: kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, kehandalan teori kausalitas yang diperlukan, ketetapan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan di antara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana, aturan-aturan pembuat keputusan dari badan- badan pelaksana, kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termasuk dalam undang-undang, serta akses formal pihak-pihak luar.

(40)

3) Implementasi kebijakan publik model Edward III dalam Agustino (2006: 156) disebut juga dengan Direct dan Impact on Implementation. Dalam pendekatan yang diterbitkan oleh Edward III, terdapat empat variabel yang menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu:

1. Komunikasi, terdapat tiga indikator yang dipakai yaitu tranmisi, kejelasan dan konsistensi.

2. Sumberdaya, terdapat empat indikator yang dipakai, yaitu: staf, informasi, wewenang dan fasilitas

3. Disposisi, terdapat dua indikator yang dipakai, yaitu: pengangkatan birokrat.

4. Struktur birokrasi, terdapat dua indikator yang dipakai, yaitu: standar operating prosedurs (SOP) dan fragmentasi.

4) Implementasi kebijakan model Merille S Grindle dalam Agustino (2006: 167). Pendekatan dikenal dengan Implementation as a politocal and administrative proces. Menurut Grindle, ada dua variable yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcome) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin dicapai dengan melihat pada proses serta pencapaian tujuan kebijakan yaitu pada dampak atau efek pada masyarakat secara individu dan kelompok serta tingkat perubahan yang terjadi dan penerima kelompok sasaran. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan juga di tentukan oleh tingkat implementabilty kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas isi kebijakan (Content of Policy) dan konteks implementasinya (Context of Policy).

(41)

letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumberdaya yang digunakan.

2. Konteks implementasi kebijakan (Context of Policy), terdiri dari: kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa, serta tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana.

5) Implementasi kebijakan publik model Hoogwood dan Gun (1978: 20). Menurut kedua pakar ini, untuk melakukan implementasi kebijakan diperlukan beberapa syarat:

1. Jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/ badan tidak akan menimbulkan masalah yang besar.

2. Apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu.

3. Apakah keterpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada.

4. Apakah kebijakan yang diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal.

5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi 6. Apakah hubungan saling ketergantungan kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Bahwa tugas-tugas telah dirinci dan diurutkan dalam urutan yang

benar.

6) Model pendekatan bottom up ini disusun oleh Elmore (1979), Lipsky (1971), Hjren dan O’Porter (1981). Model ini dimulai dari identifikasi

(42)

melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya tataran bawah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keiingian publik yang menjadi target atau kliennya dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini diprakarsai oleh masyarakat baik secara langsung ataupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyaratan (LSM) (Ibid, 140-156).

Berdasarkan beberapa teori dan model pendekatan implementasi kebijakan publik yang telah dipaparkan oleh beberapa tokoh di atas, maka peneliti menggunakan teori dan model pendekatan kebijakan publik yang diungkapkan oleh Van Metter dan Van Horn. Peneliti memilih model Van Metter dan Van Horn berdasarkan sub variable yang terdapat dalam model pendekatan ini yang mampu menjawab permasalahan yang terjadi dalam implementasi program Kartu Lebak Sehat di Kabupaten Lebak..

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

(43)

tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam

melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

2. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks

(44)

the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure

of the program”.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa: ”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi. Standart Operating Procedures (SOP). SOP

(45)

didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).

Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area

among several organizational units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak

aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

(46)

pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.

(47)

dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga

(48)

mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal

dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan.

Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

(49)

tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

2.1.3 Kebijakan Publik

Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik, kita perlu mengakaji terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan atau dalam bahasa inggris sering kita dengar dengan istilah policy. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb) pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

Carl J. Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008:7) mendefinisikan kebijakan sebagai:

“serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan dari pada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.”

Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2005: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai berikut:

1.Kebijakan harus dibedakan dari keputusan.

(50)

4. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan. 5. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai.

6. Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit.

7. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu. 8. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan

yang bersifat intra organisasi.

9. Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah.

10. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.

Menurut Budi Winarno (2007:15), istilah kebijakan (policy term) mungkin digunakan secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri Indonesia”, “kebijakan

ekonomi Jepang”, dan atau mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi. Namun baik Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan grand design (Suharno,2009:11).

Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010:12) kebijakan harus dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di dalamnya. James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009:17) mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “a purposive course of action followed by an actor or set of

(51)

Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi Winarno (2007:18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.

Richard Rose sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007:17) juga menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai keputusan yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah keliru, karena pada dasarnya kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.

(52)

peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota. Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.

Kebijakan publik merupakan keputusan atau pilihan tindakan secara langsung yang mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya baik alam, finansial, maupun sumberdaya manusia demi kepentingan publik. Beberapa definisi kebijakan publik.

Menurut Robert Eyestone (1971) dalam Suharto (2007:3) menyatakan kebijakan publik sebagai hubungan antar unit pemerintah dengan lingkungannya, sedangkan James Anderson (1984:3) dalam Agustino (2006:7) menjelaskan bahwa kebijakan publik ialah

“Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok faktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperlukan”

(53)

Sedangkan menurut William N Dunn (1994):

“Kebijakan publik ialah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan -pilihan kolektif yang saling tergantung termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang tidak dibuat oleh badan atau kantor pemerintah”

Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai

secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.

Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi Winarno (2002:17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bias diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah. Robert Eyestone sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008:6) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak

pihak beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami, karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.

(54)

sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:2) menyebutkan bahwa kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Thomas R. Dye sebagaimana dikutip Islamy (2009:19) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “is whatever government choose to do or not to do

(apapapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat

publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh atau dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu. Terdapat beberapa ahli yang mendefiniskan kebijakan publik sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam merespon suatu krisis atau masalah publik.

Begitupun dengan Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:1) yang menyatakan bahwa:

“Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.”

David Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino (2009:19) memberikan definisi kebijakan publik sebagai “the autorative allocation of values for the

(55)

sistem politik (pemerintah) yang secara syah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam “authorities in a political

system” yaitu para penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan

sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu dimana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuanketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.

2.1.3.1Urgensi Kebijakan Publik

Untuk melakukan studi kebijakan publik merupakan studi yang bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah.

Studi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye, sebagaimana dikutip Sholichin Abdul Wahab ( Suharno: 2010:14) sebagai berikut:

(56)

dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik, analisis mengenai akibat berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap kebijakan publik; penelitian mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan (direncanakan) maupun dampak yang tidak diharapkan.”

Sholichin Abdul Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 16-19) dengan mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978) menyebutkan beberapa alasan mengapa kebijakan publik penting atau urgen untuk dipelajari, yaitu:

1. Alasan Ilmiah

Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat (dependent variable) maupun sebagai variabel independen (independent variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu menentukan substansi kebijakan atau diduga mempengaruhi isi kebijakan piblik. Kebijakan dipandang sebagai variabel independen jika focus perhatian tertuju pada dampak kebijakan tertuju pada sistem politik dan lingkungan yang berpengaruh terhadapo kebijakan publik.

2. Alasan professional

(57)

3. Alasan Politik

Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula. 2.1.3.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 32-34) adalah sebagai berikut: 1. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kabijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

2. Tahap formulasi kebijakan

(58)

pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Tahap evaluasi kebijakan

(59)

diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum. Secara singkat, tahap – tahap kebijakan adalah seperti gambar dibawah ini;

Gambar 2.2. Tahap-Tahap Kebijakan: Penyusunan kebijakan

Formulasi kebijakan

Adopsi kebijakan

Implemantasi kebijakan

Evaluasi kebijakan

Sumber: William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007:32-34).

2.1.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan

(60)

sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak diharapkan (unintended risks). Pembuatan kebijakan

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal penting yang turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan adalah:

1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar

Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan dari luar.

2. Adanya pengaruh kebiasaan lama

Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigro disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini belum profesional dan terkadang amat birokratik, cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan yang telah ada tersebut dipandang memuaskan.

3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

(61)

4. Adanya pengaruh dari kelompok luar

Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan besar.

5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan/keputusan. Misalnya, orang mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan (Suharno: 2010: 52-53).

2.1.3.4 Kerangka Kerja Kebijakan Publik

Menurut Suharno (2010: 31) kerangka kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa variabel dibawah ini, yaitu:

1. Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka untuk mencapainya juga semakin mudah.

2. Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan. Suatu kebijakan yang mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai.

3. Sumber daya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh sumber daya finansial, material, dan infrastruktur lainnya. 4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas dari

(62)

terlibat dalam proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan oleh tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja dan integritas moralnya.

5. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, maupun politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.

6. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kinerja suatu kebijakan. Stretegi yang digunakan dapat bersifat top/down approach atau bottom approach, otoriter atau demokratis (Suharno:

2010:31).

2.1.3.5. Ciri-Ciri Kebijakan Publik

Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik antara lain:

1. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam system politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.

(63)

keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuan.

3. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang tertentu.

4. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur tangan pemerintah diperlukan.

2.1.3.6Jenis Kebijakan Publik

Banyak pakar yang mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandang masing-masing. James Anderson sebagaimana dikutip Suharno (2010:24-25) menyampaikan kategori kebijakan publik sebagai berikut:

1. Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural

Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan.

2. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif.

Gambar

Gambar 2.1. Model dalam mengimplementasikan kebijakan publik
Gambar 2.2. Tahap-Tahap Kebijakan:
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 Kategori Informan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki kesiapan komitmen utama untuk tugas dengan baik hendaknya menjunjung azas, visi dan misi pemakaian SAP berbasis akrual,

Sibolga) sedang melakukan razia Rutin dikamar Angrek 3 Blok B kemudian melakukan pemeriksaan dan penggeledahan badan atau pakaian pada penghuni kamar Angrek 3 blok

Gatsby was fell in love for the first time he met Daisy, but he knew that he could not be with Daisy because of his lower class and being poor and that

Dari hasil penelian ini menunjukan bahwa hasil persentase non karkas (darah) kambing lokal jantan yang diberi pakan kulit buah kakao fermentasi dapat dilihat pada Tabel 1

The book has a wealth of new material on four-stage amplifier architectures, current-mirrors, power transistors with internal sensing diodes, amplifier bridging, subtle

Contoh didekstruksi dengan HNO 3 dan HCl kemudian tambahkan KCl untuk mengurangi gangguan. e) larutan baku kerja Sn. pipet 10 ml HCl pekat dan 1,0 ml larutan KCl ke

Implementasi sistem pendukung keputusan perpanjangan karyawan kontrak menggunakan metode Simple Additive Weighting berhasil memberikan urutan nilai tertinggi dari

Salah satu bidang yang mendapatkan dampak yang cukup berarti dengan perkembangan teknologi ini adalah bidang pendidikan, dimana pada dasarnya pendidikan merupakan