• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Selama kurun 1970 hingga 2012, pergerakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa dikatakan tidak memiliki pola yang jelas, beberapa periode menunjukkan hubungan searah, tetapi di periode lain bisa berkebalikan. Pada tahun 1970, inflasi tercatat sebesar 8.94% dengan pertumbuhan ekonomi 8.15%. Setahun kemudian inflasi mampu ditekan hingga level 2.62%, namun pertumbuhan ekonomi ternyata tidak lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 7% yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa inflasi rendah bukan jaminan tingginya kinerja ekonomi.

Dalam rentang 1972 sampai dengan 1977, inflasi di Indonesia berada pada kisaran dua digit. Pada tahun 1972, inflasi tercatat sebesar 25.81% yang diduga merupakan dampak ikutan terjadinya krisis pangan dunia dan meningkatnya jumlah uang beredar. Apabila dibandingkan dengan tahun 1971, angka ini jauh lebih tinggi. Menariknya, pertumbuhan ekonomi tahun 1972 tetap tumbuh impresif yaitu sebesar 7.88%.

Sumber: Bank Dunia dan BPS 2013, diolah

Gambar 6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%) Fenomena serupa juga terjadi pada tahun 1973 di mana kenaikan inflasi 27.17% justru diikuti semakin cepatnya laju perekonomian yang mencapai 9.78%. Begitu pula di tahun 1974, lonjakan inflasi sebesar 33.41% masih mampu mendorong laju perekonomian hingga level 8.26%. Selain belum pulihnya krisis pangan serta meningkatnya jumlah uang beredar, tingginya inflasi tahun 1973 dan 1974 dipicu oleh kenaikan tajam harga minyak dunia yang mencapai angka 21.07% pada tahun 1973 dan terus melonjak hingga 158.93% di tahun 1974

28

(Sadikin 2010). Sementara dari sisi pengeluaran, pemerintah cenderung melakukan kebijakan fiskal ekspansif di mana setiap tahunnya pengeluaran pemerintah rata-rata meningkat 36.5%, seperti di tahun 1973 yang meningkat tajam sebesar 72.9% dibandingkan tahun 1972. Karena saat itu Indonesia masih merupakan negara eksportir minyak neto, anggaran pemerintah sangat diuntungkan. Rezeki minyak sepertinya memberi ruang gerak bagi pemerintah untuk membiayai proyek-proyek ambisius yang padat modal maupun terlibat langsung dalam produksi (Pangestu 1996 dalam Sadikin 2010).

Tren penurunan inflasi Indonesia era 1970-an baru terjadi tahun 1975 hingga 1977 yang secara bersamaan diikuti oleh peningkatan kinerja ekonomi. Menurut Sadikin (2010), penyebab inflasi dalam interval tersebut adalah meningkatnya harga komoditas nonmigas dunia. Pada tahun 1975 inflasi tercatat 19.76% dengan pertumbuhan ekonomi 6.18%. Sedangkan di tahun 1977 inflasi mampu dikendalikan sampai ke angka 11.86%, yang akhirnya mampu mendorong perekonomian tumbuh sebesar 8.64%. Tren tersebut terus berlanjut pada tahun 1978 di mana inflasi sebesar 6.69% diiringi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu 9.21%. Berbeda dengan era 1970-an awal, fenomena antara 1975 sampai dengan 1978 ini secara empiris menunjukkan bahwa semakin rendah inflasi, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi.

Oil boom yang terjadi pada tahun 1979, kembali memicu inflasi hingga mencapai 21.77%, walaupun secara umum aktivitas ekonomi masih tumbuh meyakinkan yaitu 7.09%. Pada saat itu kenaikan harga minyak dunia mencapai 118.86% (Sadikin 2010).

Antara tahun 1981 dan 1985 inflasi Indonesia secara rata-rata 8.26% dengan pertumbuhan ekonomi 5.67%. Pada tahun 1981 inflasi sebesar 7.09% dan pertumbuhan ekonomi 8.15%. Sementara tahun 1982, inflasi berada di angka 9.69%. Di waktu yang sama perekonomian hanya tumbuh 1.10% yang secara kebetulan merupakan angka pertumbuhan ekonomi terendah dalam dekade 1970- an dan 1980-an. Fakta unik terjadi di tahun 1983, di mana peningkatan inflasi menjadi 11.46% justru diikuti semakin cepatnya laju perekonomian yang mencapai 8.45%. Apabila diperhatikan, angka inflasi Indonesia di awal 1980-an tersebut cukup terkendali. Hal ini diduga sebagai dampak menurunnya harga minyak dunia, yang menyebabkan pemerintah harus melakukan perubahan orientasi kebijakan untuk mencari pembiayaan alternatif bagi pembangunan dan banyak memangkas pengeluaran. Selama periode tersebut kenaikan pengeluaran pemerintah rata-rata hanya 14.5% per tahun, dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 36.5% per tahun (Sadikin 2010).

Periode 1986 hingga 1997 secara umum inflasi Indonesia terjaga pada kisaran satu digit (kecuali tahun 1997) dengan rata-rata 8.19%, sedangkan pertumbuhan ekonomi berada di angka 7.28%. Periode tersebut juga diiringi dengan semakin gencarnya penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi. Akibat yang ditimbulkan adalah aliran modal asing semakin banyak masuk ke Indonesia yang pada gilirannya membuat perekonomian menjadi rentan terhadap guncangan dunia.

Krisis mata uang Asia di tahun 1998 kembali menyebabkan inflasi Indonesia menyentuh level dua digit yaitu 77.63% yang sekaligus menjadi inflasi tertinggi sejak rezim Orde Baru memimpin. Pada waktu itu perekonomian terkonstraksi hingga –13%. Di saat yang sama pertumbuhan jumlah uang beredar

29 (M2) meningkat sebesar 62.28% sebagai konsekuensi upaya stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat Indonesia masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) (Subekti 2011).

Pasca krisis ekonomi 1998, Indonesia berusaha menekan inflasi di level rendah, misalnya dengan mengadopsi kebijakan inflation targeting framework. Sistem nilai tukar mata uang juga diubah menjadi nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate). Pengertian nilai tukar fleksibel bukan berarti nilai tukar sepenuhnya diserahkan ke pasar, tetapi otoritas moneter masih ikut campur tangan dalam rangka stabilisasi nilai tukar terhadap valuta asing yang pada akhirnya akan membantu stabilitas inflasi (Subekti 2011).

Dalam kurun 1999 sampai 2012 rata-rata inflasi Indonesia berada di angka 7.47% dengan pertumbuhan ekonomi 5.06%. Meskipun demikian, inflasi dua digit masih terjadi di tahun 2005 yang mencapai 17.11% serta tahun 2008 yaitu sebesar 11.06% sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Sama dengan periode oil boom era 1970-an, kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata juga tidak terlalu menekan aktivitas ekonomi yang masih tumbuh sebesar 5.69% (2005) dan 6.01% (2008).

Untuk lebih memahami pola hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia secara lebih detail, ada cara lain yang bisa digunakan yaitu melalui plot data sebagaimana dicontohkan Mubarik (2005). Langkah-langkah yang diambil adalah pertama, inflasi diurutkan mulai dari nilai terkecil hingga terbesar. Kedua, seluruh observasi inflasi dibagi menjadi beberapa kelompok dan dipilih angka p untuk mewakili nilai tersebut serta nilai di bawahnya. Misalnya, inflasi kurang dari 5% diwakili oleh angka 5%. Dengan kata lain apabila nilai inflasi 5% atau lebih, bisa diwakili oleh angka 7%, dan seterusnya. Langkah terakhir adalah merata-ratakan pertumbuhan ekonomi di setiap kelompok inflasi yang telah terbentuk.

Sumber: Bank Dunia dan BPS 2013, diolah

Gambar 7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia Tahun 1970-2012 (%)

30

Berdasarkan pendekatan Mubarik (2005) seperti yang divisualisasikan Gambar 7, terlihat bahwa hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada awalnya positif. Kenaikan inflasi diikuti oleh meningkatnya laju perekonomian. Akan tetapi ketika inflasi melewati sebuah titik tertentu, hubungan tersebut berubah menjadi negatif. Semakin tinggi inflasi, semakin rendah pertumbuhan ekonomi. Analisis sederhana ini memberikan sedikit gambaran bahwa kemungkinan hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah taklinear. Walaupun demikian, perlu sebuah uji ekonometrik untuk membuktikan kebenaran dugaan tersebut.

Statistik Deskriptif dan Pengujian Kestasioneran

Tabel 5 menunjukkan statistik deskriptif semua variabel yang digunakan dalam penelitian. Selama kurun 1970 hingga 2012, rata-rata inflasi di Indonesia adalah 11.86% dengan nilai minimum 2.01% dan nilai maksimum 77.63%. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6.05% dengan nilai minimum –13.13% dan nilai maksimum 9.78%. Rata-rata pertumbuhan investasi mencapai 9.22%, pertumbuhan angkatan kerja 2.56%, pertumbuhan terms of trade 1.69%, sedangkan rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) adalah 25.59%.

Tabel 5 Statistik deskriptif variabel penelitian (%) Variabel T Rata-rata Standar

Deviasi Nilai Minimum Nilai Maksimum (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pertumbuhan Ekonomi 43 6.053 3.609 –13.127 9.776 Inflasi 43 11.859 12.263 2.010 77.630 Pertumbuhan Investasi 43 9.224 12.037 –39.037 32.589 Pertumbuhan Angkatan Kerja 43 2.565 1.772 –0.459 9.976

Pertumbuhan Terms of Trade 43 1.694 12.955 –28.519 33.092 Pertumbuhan Jumlah Uang

Beredar (M2) 43 25.586 13.242 4.761 62.763 Sumber: BPS (2013), Bank Indonesia (2013) dan Bank Dunia (2013), diolah

Keterangan: T adalah jumlah observasi

Untuk memastikan hasil analisis regresi linear berganda tidak spurious, maka semua variabel yang dilibatkan dalam model harus diuji kestasionerannya. Dalam penelitian ini uji kestasioneran dilakukan dengan cara memeriksa apakah terdapat akar-akar unit (unit roots) dalam series data. Alat uji yang digunakan adalah Augmented Dickey Fuller (ADF) Test.

Hasil Augmented Dickey Fuller (ADF) Test pada data level menunjukkan, variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2)tidak mengandung akar-akarunit (unit roots), di mana hipotesis nol (series data mengadung akar-akar unit) ditolak pada taraf nyata 1%. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa keenam data tersebut stasioner (Tabel6).

31 Tabel 6 Pengujian kestasioneran variabel penelitian

Variabel Level Hasil

Tanpa Tren Dengan Tren

(1) (2) (3) (4)

Pertumbuhan Ekonomi –4.42996 –4.64643 Stasioner

Inflasi –5.99796 –6.19604 Stasioner

Pertumbuhan Investasi –4.38375 –4.60221 Stasioner Pertumbuhan Angkatan Kerja –5.15151 –5.66862 Stasioner Pertumbuhan Terms of Trade –5.53766 –5.78496 Stasioner Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar

(M2) –3.66615 –5.12467 Stasioner

Keterangan: Nilai kritis untuk α = 1% tanpa tren –3.5966, dengan tren –4.1923 Penentuan lag optimum menggunakan kriteria AIC.

Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diidentifikasi melalui analisis regresi linear berganda, yang dilakukan dengan menggunakan dua model utama, yaitu model linear (untuk menjawab pertanyaan pertama) dan model taklinear/threshold (untuk menjawab pertanyaan kedua).

Model Linear

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan multivariate. Oleh karena itu selain inflasi, juga dianalisis peran beberapa variabel kontrol yang diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2). Dengan Microsoft Excell 2007, diperoleh estimasi persamaan sebagai berikut:

Tabel 7 Hasil estimasi model linear pertumbuhan ekonomi

Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas

(1) (2) (3) (4) (5) C 4.83462*** 0.82202 5.88141 0.00000 INF –0.16598*** 0.04204 –3.94810 0.00034 INVGR 0.15612*** 0.03233 4.82931 0.00002 LFGR –0.03628*** 0.18548 –0.19561 0.84599 TOTGR –0.00896*** 0.02813 –0.31854 0.75187 M2GR 0.07202*** 0.03692 1.95057 0.05871 R-squared 0.71644 F-statistic 18.69709 Prob(F-statistic) 0.00000

Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10%

Uji normalitas melalui Jarque-Bera menunjukkan bahwa residual berdistribusi normal dengan nilai probabilitas sebesar 0.64 atau lebih besar dari

32

nilai 5%. Sementara korelasi antarvariabel independen tidak ada yang lebih besar dari 0.8, sehingga dapat disimpulkan bahwa model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinearitas. Pengujian heteroskedastisitas melalui Breusch- Pagan-Godfrey test menjamin model tidak ada masalah heteroskedastisitas, di mana angka probabilitas chi-square sebesar 0.43. Yang terakhir, nilai probabilitas chi-square pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test sebesar 0.37 menyatakan model bebas dari masalah autokorelasi.

Nilai F-stastistic sebesar 18.70, dengan nilai Prob(F-statistic) 0.00 (lebih kecil dari α = 0.05) mengindikasikan terdapat satu di antara variabel inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, dari tingkat signifikansi uji t pada masing- masing variabel independen (Tabel 7) dapat disimpulkan bahwa inflasi, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade tidak berpengaruh signifikan.

Pengujian goodness of fit atau uji kelayakan model ditunjukkan oleh nilai R- squared yang mencerminkan seberapa besar variabel independen mampu menjelaskan keragaman variabel dependen. Dalam model linear di atas diperoleh nilai R-squared sebesar 0.71644. Artinya sebesar 71.64% keragaman variabel pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2). Sementara sisanya yaitu 28.36% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model.

Estimasi Model Linear

Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien –0.17. Artinya setiap kenaikan inflasi sebesar 1%, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.17% ceteris paribus. Hasil tersebut sesuai dengan temuan beberapa ekonom seperti Fischer (1983), Barro (1995a) ataupun Li (2006).

Teori ekonomi yang menyatakan bahwa inflasi akan mengurangi efisiensi distribusi sumber daya yang pada akhirnya menurunkan output terbukti pada penelitian ini. Menurut Gokal dan Hanif (2004) inflasi dapat menimbulkan ketidakpastian hasil investasi, mengurangi daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional sehingga memperburuk neraca pembayaran, mengganggu kinerja pasar finansial dalam hal ini interaksi antara kreditur dan debitur, serta menghambat optimalisasi produksi barang dan jasa (karena tingginya biaya produksi). Li (2006) menambahkan, ketika terjadi inflasi nilai return riil dan suku bunga riil akan turun, sehingga menyebabkan banyak orang yang ingin menjadi borrowers dan sedikit yang bersedia menjadi lenders. Banyaknya borrowers memicu terjadinya adverse selection yang berujung diberlakukannya credit reatoning, pasar finansial tidak dapat memberikan pinjaman yang lebih banyak lagi, alokasi dana ke investasi tidak efisien, fungsi intermediasi terganggu dan investasi kapital berkurang. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan turun seiring dengan meningkatnya inflasi.

33 Pertumbuhan investasi yang didekati dengan pertumbuhan PMTB berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Temuan ini sejalan dengan penelitian Kannan dan Joshi (1998). Koefisien pertumbuhan investasi sebesar 0.16 yang berarti setiap kenaikan 1% investasi, akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0.16% ceteris paribus. Dalam beberapa literatur ekonomi seperti teori pertumbuhan ekonomi Klasik ataupun teori pertumbuhan Neo-Klasik disebutkan bahwa investasi atau kapital merupakan determinan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Tobin (1965) mengemukakan peningkatan investasi akan menumbuhkan level output secara permanen.

Jhingan (2010) mengungkapkan investasi berperan dalam menciptakan pendapatan dan mampu memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Jhingan mempertegas bahwa melalui investasi kegiatan ekonomi dapat berkembang sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Harrold-Domard dalam Todaro dan Smith (2006) yang mengemukakan bahwa negara-negara maju telah melampaui tahapan “tinggal landas menuju pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang berlangsung secara otomatis”. Sedangkan negara berkembang baru menyusun kerangka tahapan tinggal landas. Menurut Harrold-Domard, salah satu strategi pokok untuk mencapai tinggal landas adalah mobilisasi dana tabungan (dalam mata uang domestik ataupun asing) untuk menciptakan bekal investasi dalam jumlah yang memadai untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Pendapat Prof. Friedman sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004), yang menyatakan uang adalah komponen penting dalam perekonomian berhasil dibuktikan dalam penelitian ini. Dalam makalahnya The Quantity Theory of Money, Friedman berargumen bahwa uang adalah representasi suatu transaksi yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi. Semakin banyak uang beredar, semakin dinamis perekonomian bergerak. Hal inilah yang masih dijadikan landasan bank sentral untuk turut memengaruhi sektor riil, baik melalui kebijakan ekspansif ataupun kontraktif. Walaupun demikian, memang harus ditentukan porsi yang tepat agar perekonomian yang overheated bisa dihindari. Koefisien pertumbuhan uang beredar yang diproxy dengan pertumbuhan M2 sebesar 0.07. Artinya setiap peningkatan uang beredar 1% akan mendorong tumbuhnya ekonomi sebesar 0.07% ceteris paribus. Mansur dan Munir (2009) serta Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) juga menemukan pertumbuhan uang beredar berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan angkatan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Artinya walaupun jumlah angkatan kerja terus meningkat ataupun menurun dari waktu ke waktu, dinamika pertumbuhan ekonomi tidak terpengaruh sama sekali. Diduga, yang menjadi penyebab adalah masih rendahnya kualitas angkatan kerja, sehingga kontribusinya terhadap pembentukan outputpun tidak terlalu tampak. Yang menarik adalah pengaruh pertumbuhan angkatan kerja tersebut memiliki tanda negatif dengan koefisien –0.04. Setiap kenaikan angkatan kerja sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi 0.04%. Temuan ini secara implisit menggambarkan bahwa perkembangan angkatan kerja di Indonesia menjadi beban berat bagi perekonomian. Kualitas memang hal mutlak yang harus dipenuhi sehingga keberadaan angkatan kerja bisa diserap optimal dunia kerja.

34

Secara tradisional, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga kerja produktif, sedang pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti akan meningkatkan ukuran pasar domestiknya (Todaro dan Smith 2006). Pada beberapa kasus di negara-negara berkembang, hubungan ini dapat berdampak sebaliknya. Hubungan positif atau negatif pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem perekonomian yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif memanfaatkan tambahan tenaga kerja tersebut. Adapun kemampuan daya serap ini dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input atau faktor-faktor penunjang, seperti kecakapan manajerial dan kualitas SDMnya (Sulistyowati 2011).

Pertumbuhan terms of trade yang diproxy dengan pertumbuhan rasio nilai ekspor terhadap nilai impor tidak berpengaruh signifikan. Hal ini disebabkan kontribusi ekspor ataupun impor Indonesia terhadap PDB nasional tidak terlalu besar, yaitu hanya berkisar 11%. Sementara arah koefisien negatif menandakan bahwa postur impor Indonesia melebihi ekspor, sehingga perubahan terms of trade lebih didominasi oleh nilai impor yang secara otomatis berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Model Threshold

Estimasi model linear menunjukkan bahwa secara umum inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun berdasarkan plot data yang sebelumnya disajikan pada bagian gambaran umum, dinyatakan bahwa hubungan atau pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi ada kemungkinan taklinear. Salah satu metode untuk mengidentifikasi ketaklinearan model adalah melalui analisis regresi threshold.

Dalam penelitian ini nilai threshold inflasi dicari mulai dari angka 5% hingga 16% dengan increment 0.01. Terdapat dua alasan pengambilan interval tersebut, yang pertama untuk memenuhi ketentuan yang dikemukakan Enders (2004). Alasan kedua sesuai dengan target inflasi Bank Indonesia yang berkisar 3% sampai 5%, yang secara tidak langsung beranggapan bahwa ketika inflasi di atas 5%, akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain penelitian ini bermaksud mengkonfirmasi secara ekonometrik anggapan tersebut. Model Threshold Khan dan Senhadji (2001)

Dari berbagai kandidat yang telah ditentukan, diperoleh nilai threshold inflasi yang meminimalkan RSS terletak pada angka 7.11% dengan nilai RSS 119.10 (Gambar 8).

35

Gambar 8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model Khan dan Senhadji (2001)

Untuk memastikan bahwa keberadaan nilai threshold tersebut signifikan, harus diuji melalui skema bootstrapping sebanyak 1000 kali. Hasilnya adalah threshold inflasi 7.11% signifikan pada taraf nyata 1% dengan bootsrap p-value 0.004.

Tabel 8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji (2001) Hipotesis LR-test Bootstrap p-value Nilai

Threshold

(1) (2) (3) (4)

H0: β1 = β2 12.99196*** 0.004 7.11%

(tidak ada threshold)

Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10%

Karena nilai threshold 7.11% merupakan angka yang ideal (signifikan), maka estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) dilakukan pada nilai threshold tersebut. Hasilnya sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9 berikut:

36

Tabel 9 Hasil estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas

(1) (2) (3) (4) (5) C 4.490997*** 0.808691 5.553417 0.000003 INF > 7.11 –0.240609*** 0.043670 –5.509714 0.000003 INF ≤ 7.11 0.568529*** 0.225823 2.517587 0.016407 INVGR 0.111299*** 0.031773 3.502953 0.001249 LFGR –0.090165*** 0.165589 –0.544512 0.589446 TOTGR 0.007551*** 0.025486 0.296292 0.768710 M2GR 0.097920*** 0.033729 2.903099 0.006273 R-squared 0.782133 F-statistic 21.53971 Prob(F-statistic) 0.00000

Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10%

Uji Jarque-Bera untuk memeriksa asumsi kenormalan menyimpulkan residual model threshold Khan dan Senhadji (2001) berdistribusi normal dengan probabilitas Jarque-Bera 0.51. Nilai korelasi antarvariabel independen tidak ada yang melebihi 0.8, sehingga model tidak mengalami masalah multikolinearitas. Sementara probabilitas Breusch-Pagan-Godfrey test dan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test masing-masing sebesar 0.34 dan 0.44 yang menandakan model terbebas dari masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas.

Hasil uji F model threshold Khan dan Senhadji (2001) pada nilai threshold 7.11% menghasilkan angka statistik sebesar 21.54 dengan probabilitas 0.00. Dengan kata lain model layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Dari keseluruhan nilai signifikansi variabel independen (Tabel 9), dapat disimpulkan bahwa inflasi lebih besar dari threshold, inflasi kurang dan sama dengan threshold, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sedangkan variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade tidak berpengaruh signifikan, sama dengan hasil yang didapat pada model linear. Nilai R-squared sebesar 0.7821 menunjukkan bahwa 78.21% variasi pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh model.

Estimasi Model Threshold Khan dan Senhadji (2001)

Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya melebihi angka 7.11%, dengan koefisien –0.24. Sebaliknya ketika inflasi kurang dari 7.11%, pengaruhnya justru positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien yang lebih besar yaitu 0.57. Nilai threshold ini lebih rendah jika dibandingkan dengan temuan Chowdhury dan Siregar (2004) yang menemukan inflasi optimal di Indonesia 20.50% atau Chowdhury dan Ham (2009) yang menyimpulkan inflasi di Indonesia berbahaya ketika nilainya melebihi interval 8.50% dan 11%. Inflasi berpengaruh positif ketika nilainya kurang dan sama dengan 7.11% juga membuktikan bahwa asumsi Bank Indonesia yang menyatakan inflasi melebihi 5% berbahaya tidak sepenuhnya benar. Dengan kata

37 lain masih ada “ruang” yang cukup bagi Bank Indonesia untuk melakukan kebijakan diskresi dengan maksud merangsang perekonomian agar lebih dinamis. Koefisien yang cukup besar, bahkan paling besar jika dibandingkan dengan variabel independen lain mengindikasikan keberadaan inflasi di Indonesia sangat penting dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (ditinjau dari perspektif supply).

Sama dengan analisis linear, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar juga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien masing-masing sebesar 0.11 dan 0.09. Begitu pula pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan terms of trade yang masih tidak signifikan dengan koefisien masing-masing –0.09 dan 0.007.

Model Threshold Hansen (1997, 2000)

Berbeda dengan model threshold Khan dan Senhadji (2001), identifikasi nilai threshold melalui model threshold Hansen (1997, 2000) menemukan threshold inflasi di Indonesia sebesar 9.53% dengan nilai RSS 88.53 (Gambar 9).

Gambar 9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model Hansen (1997, 2000)

Skema bootstrapping mengkonfirmasi bahwa nilai threshold inflasi 9.53% signifikan pada taraf nyata 1%, dengan bootstrap p-value 0.006. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa keberadaan threshold memberikan pengaruh yang berbeda dalam model.

38

Tabel 10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000) Hipotesis LR-test Bootstrap p-value Nilai

Threshold

(1) (2) (3) (4)

H0: βi1 = βi2 32.32738*** 0.006 9.53%

(tidak ada threshold)

Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10%

Keunggulan model threshold Hansen (1997, 2000) adalah mampu menyajikan pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen, baik dalam kondisi di bawah nilai threshold maupun di atas nilai threshold (9.53%). Hasil estimasinya adalah sebagai berikut:

Tabel 11 Hasil estimasi model threshold Hansen (1997, 2000)

Dokumen terkait