• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inflation And Economic Growth: Estimation The Threshold Level In Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Inflation And Economic Growth: Estimation The Threshold Level In Indonesia"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI:

PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA

NANANG WIDARYOKO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)

RINGKASAN

NANANG WIDARYOKO. Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA dan TONI BAKHTIAR.

Inflasi yang tinggi dianggap sebagai masalah dalam perekonomian. Indonesia pernah mengalami keterpurukan ekonomi akibat gagal mengendalikan volatilitas inflasi. Hal ini digunakan sebagai landasan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan inflasi rendah. Para ekonom pernah menyatakan bahwa inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Faktanya, kebijakan inflasi rendah tidak menguntungkan karena bisa mengganggu iklim investasi. Di sisi lain pola data inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebenarnya juga tidak konsisten (menunjukkan hubungan positif, negatif, dan netral).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi serta mencari ambang batas (threshold) inflasi di Indonesia pada periode 1970-2012. Dengan menggunakan regresi linear berganda, penelitian ini menunjukkan bahwa inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Identifikasi threshold inflasi melalui model Khan dan Senhadji (2001) menyatakan bahwa threshold inflasi di Indonesia adalah 7.11%. Sedangkan menurut model Hansen (1997, 2000), threshold inflasi di Indonesia sebesar 9.53%. Berdasarkan beberapa kriteria pemilihan model, threshold inflasi menurut model Hansen (1997, 2000) dianggap lebih ideal. Inflasi memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya kurang dari threshold dan berpengaruh negatif ketika melebihi threshold. Hasil ini mendukung temuan Chowdhury dan Ham (2009) yang menyatakan bahwa threshold inflasi di Indonesia berkisar antara 8.5 persen dan 11 persen.

Dari hasil studi disimpulkan bahwa bank sentral harus aktif mengendalikan inflasi ketika nilainya berada di atas threshold. Dengan demikian, ITF tidak dapat digeneralisasi untuk semua tingkat inflasi.

(5)

SUMMARY

NANANG WIDARYOKO. Inflation and Economic Growth: Estimation the Threshold Level in Indonesia. Under direction of IMAN SUGEMA and TONI BAKHTIAR.

High inflation is regarded as a problems in the economy. Indonesia experienced economic collapse as a result of failing to control inflation volatility. This is used as a reason for the current authorities to implement low-inflation policy. The economist argues that low-inflation can promote economic growth faster. In fact, low-inflation policy is not favorable because it interferes the business investment climate. On the other hand the pattern of the inflation and economic growth data in Indonesia is also inconsistent (indicating a positive relationship, negative and neutral).

The purpose of this study is to determine the effect of inflation on economic growth, as well as to search inflation threshold in Indonesia in the period 1970-2012. Using multiple linear regression, this study shows that inflation negatively impacts on economic growth. Inflation threshold identification by Khan and Senhadji model (2001) stated that inflation threshold in Indonesia is 7.11%. While according to Hansen model (1997, 2000), inflation threshold in Indonesia is 9.53%. Based on some model selection criterias, the inflation threshold implied by Hansen model is more apropriate. Inflation has a positive effect on economic growth if the value is less than the thresholds and negative when it exceeds the thresholds. This result supports Chowdhury and Ham (2009) finding who stated that inflation threshold in Indonesia is between 8.5 per cent and 11 per cent.

The two studies imply that the central bank should only pursue active policy measures when inflation is above the threshold. Thus, ITF cannot be generalized to all levels of inflation.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI:

PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu

Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah inflasi, dengan judul Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Sugema, MEc, dan Bapak Dr Toni Bakhtiar, SSi, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS, dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah banyak memberikan saran. Kepada Prof Bruce E Hansen, Prof Anis Chowdhury dan Dr Kevin Greenidgeterimakasih atas masukan yang sangat berguna terkait isu ekonometrika. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap pimpinan dan pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) RI, BPS Provinsi Kalimantan Selatan, Bapak Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi dan jajarannya, serta staf-staf Perpustakaan Bank Indonesia yang telah membantu baik pada waktu pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri penulis, Ulfatul Umami, SST, MSc atas cinta, do’a, serta dorongan semangatnya, Ayah, Ibu, Abi, Umi beserta seluruh keluarga, atas segala restu dan kasih sayangnya. Untuk sahabat sekaligus mentor penulis, Miyan Andi Irawan, SST, MSE, dan seluruh rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi kelas BPS Batch 4, terimakasih atas diskusi dan ilmu yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Tinjauan Teori 5

Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi 5

Tinjauan Empiris 10

Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi 10 Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi 13

Kerangka Pemikiran 17

Hipotesis Penelitian 18

3 METODE PENELITIAN 19

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Analisis 19

Analisis Deskriptif 20

Analisis Regresi Linear Berganda 20

Analisis Regresi Threshold 21

Spesifikasi Model 24

Definisi Variabel Operasional 25

Prosedur Analisis 26

4 HASIL PENELITIAN 27

Gambaran Umum Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia 27 Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia 31

Seleksi Model Terbaik 40

5 SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41

Implikasi Kebijakan 41

Saran Penelitian Lanjutan 42

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 47

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi

Indonesia tahun 1958-1966 1

2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia

sebagai salah satu sampel 16

3 Variabel dan sumber data penelitian 19

4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian 25 5 Statistik deskriptif variabel penelitian (%) 30

6 Pengujian kestasioneran variabel penelitian 31

7 Hasil estimasi model linear pertumbuhan ekonomi 31 8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji

(2001) 35

9 Hasil estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) 36 10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000) 38 11 Hasil estimasi model threshold Hansen (1997, 2000) 38

12 Kriteria seleksi model 40

DAFTAR GAMBAR

1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun

1950-2012 (%) 3

2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output 6

3 Mekanisme portofolio model Tobin 8

4 Alur kerangka pemikiran 18

5 Ringkasan prosedur analisis 20

6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%) 27 7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia 29 8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS)

model Khan dan Senhadji (2001) 35

9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model

Hansen (1997,2000) 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data yang digunakan dalam penelitian 47

2 Hasil uji unit root 49

3 Output model linear pertumbuhan ekonomi 57

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Inflasi yang rendah selama ini dianggap sebagai prasyarat untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Munir dan Mansur 2009). Banyak fakta yang menunjukkan bahwa inflasi tinggi dan tidak terkendali dapat merusak aktivitas perekonomian.

Indonesia termasuk negara yang pernah mengalami keterpurukan ekonomi akibat tidak mampu menekan laju inflasi. Selama tahun 1958 hingga 1966, perekonomian Indonesia secara rata-rata hanya mampu tumbuh sebesar 0.18%. Pada waktu itu rata-rata inflasi mencapai 199%, bahkan sempat menyentuh level 636% di tahun 1966. Menurut Subekti (2011), penyebab utama tingginya inflasi Indonesia era 1960-an adalah anggaran belanja pemerintah yang tidak berimbang serta tertutupnya akses untuk memperoleh pinjaman dari luar negeri, sehingga segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah sebagian besar harus dibiayai dengan pencetakan uang. Jadi tidak mengherankan apabila pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) di era tersebut selalu mengiringi lonjakan inflasi dengan persentase kenaikan yang cukup pesat yaitu rata-rata sebesar 99.57% (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi

Sumber: Bank Indonesia-Sejarah Moneter Periode 1959-1966 dan Tambunan (2003), diolah

Perhatian Indonesia terhadap inflasi baru terlihat saat rezim Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1967. Seluruh perangkat birokrasi Orde Baru memiliki kesamaan visi bahwa inflasi merupakan masalah utama dalam perekonomian sehingga upaya pengendalian dipandang perlu. Untuk mengontrol pengeluaran, pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Program tersebut terbukti cukup efektif. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) dalam kurun 1967 hingga 1997 secara rata-rata dapat dikurangi hingga ke level 52.7%1. Sektor usaha

1

(16)

2

berhasil berproduksi dengan baik dan daya beli masyarakat juga terjaga. Hampir dua dekade, ekonomi tumbuh sekitar 7% dengan inflasi rata-rata sebesar 12%.

Upaya-upaya pengendalian inflasi terus berlanjut hingga masa reformasi, bahkan semakin diintensifkan pascakrisis moneter tahun 1998. Pada tahun 2005 Indonesia secara resmi mulai menerapkan Inflation Targeting Framework yaitu suatu kebijakan yang bertujuan mencapai kestabilan inflasi di level-level tertentu yang berkisar 4% hingga 10% untuk jangka pendek dan 3% sampai dengan 5% untuk jangka panjang (Chowdhury dan Ham 2009).

Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan anti inflasi yang diterapkan Indonesia ternyata tidak sepenuhnya berjalan lancar. Praktisi bank sentral tak jarang masih menghadapi sebuah dilema2, yaitu konsisten menjaga inflasi tetap rendah dengan konsekuensi tertekannya sektor produksi, atau membiarkan inflasi sedikit terdeviasi namun mendukung produsen untuk terus beraktivitas.

Sebagaimana diketahui instrumen yang digunakan untuk mengendalikan inflasi adalah suku bunga. Inflasi rendah dapat tercapai melalui penetapan tingkat suku bunga tinggi yang pada umumnya tidak terlalu disukai oleh dunia usaha. Sebagai bukti, pada bulan Agustus 2006 suku bunga pinjaman di Indonesia mencapai 15.75%. Dengan tingkat inflasi berkisar 9%, suku bunga tersebut bisa dikategorikan sangat tinggi yang seharusnya mampu menarik aliran modal asing. Anehnya, justru di periode yang sama pertumbuhan portofolio turun sekitar 0.60% hingga 0.10%. Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga terkoreksi sebesar 40% yang tentu saja tidak baik bagi kinerja ekspor manufaktur di mana hampir 70% produksinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (Chowdhury dan Ham 2009).

Perumusan Masalah

Diskusi tentang pengendalian inflasi tidak bisa terlepas dari studi hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun telah terjadi konsensus bahwa inflasi tinggi berdampak buruk bagi perekonomian, hubungan dari kedua variabel tersebut pada dasarnya masih menjadi perdebatan yang cukup panjang (Mansur dan Munir 2009). Pada era 1950-an, suatu kelompok ilmuwan yang disebut dengan kaum structuralist berpendapat bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap perekonomian, sedangkan kelompok monetarist menyimpulkan inflasi berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Mallik dan Chowdhury 2001). Studi terkini pun memberikan hasil identik, seperti Lucas (1973) serta Mallik dan Chowdhury (2001) yang membuktikan adanya hubungan positif dan signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara Fisher (1993), Barro (1995a), termasuk Ghosh dan Philips (1998a) mendapatkan hasil sebaliknya yaitu inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Perdebatan mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sangat relevan untuk kasus Indonesia (Chowdhury 2002). Data yang ditunjukkan oleh Gambar 1 mengindikasikan adanya anomali hubungan di antara kedua indikator tersebut. Pada tahun 1950 hingga 1959, inflasi tercatat sebesar 22.67% dengan pertumbuhan ekonomi 4.98%. Satu dekade berikutnya yaitu 1960 sampai 1969

2

(17)

3 perekonomian hanya tumbuh sebesar 3.91% sebagai dampak meningkatnya inflasi yang mencapai 196.02%. Sampai periode ini terbukti bahwa inflasi tinggi berdampak buruk bagi perekonomian. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1979, inflasi di Indonesia berada pada level 17.21% dengan pertumbuhan ekonomi 7.82%. Sementara di tahun 1980 hingga 20123, secara rata-rata inflasi tergolong cukup moderat yaitu sebesar 8.13%. Ironisnya, perekonomian Indonesia di periode ini justru bergerak lebih lambat jika dibandingkan dengan dekade 1970-an yaitu h1970-anya sebesar 6.10%.

Keterangan: data diambil dari Woo et al. (1994) dan BPS, diolah

Gambar 1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1950- 2012 (%)

Dalam kaitannya dengan Inflation Targeting Framework, secara mengejutkan ditemukan bahwa capaian pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah skema tersebut diterapkan tidak mengalami perubahan yang terlalu signifikan, bahkan cenderung melemah (masing-masing sebesar 6.63% dan 5.92%4). Inflasi memang bukan satu-satunya determinan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi fenomena tersebut setidaknya kontradiktif dengan gagasan yang sering dikemukakan para ekonom (sebagaimana juga telah disebutkan di awal) bahwa inflasi rendah akan mendorong tingginya kinerja ekonomi. Beberapa peneliti menduga target inflasi yang ditetapkan terlalu rendah atau dengan kata lain target tersebut belum optimal.

McNelis et al. (2001) dalam Chowdhury dan Siregar (2004) pernah menyatakan, program “moderate inflation” yang diadopsi Indonesia selama proses pemulihan ekonomi lebih tepat disebut sebagai kebijakan “very low inflation

3

tanpa memasukkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun 1998

4

(18)

4

yang akhirnya menghambat proses pemulihan ekonomi itu sendiri. Chowdhury dan Ham (2009) menambahkan, sasaran inflasi jangka panjang sebesar 3% hingga 5% sebenarnya tidak berdasar karena bertentangan dengan sejarah inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengundang pertanyaan, seberapa rendah inflasi seharusnya dijaga?

Melalui analisis data panel, para ekonom seperti Fischer (1993), Sarel (1996) serta Khan dan Senhadji (2001) sebelumnya telah menjawab pertanyaan tersebut dengan cara mencari titik optimal inflasi atau sering disebut dengan istilah ambang batas (threshold) inflasi. Akan tetapi, hasil yang didapat cukup bervariasi sehingga belum bisa dijadikan rujukan bagi negara-negara di dunia. Selain itu studi data panel juga mengandung kelemahan yaitu nilai threshold dari setiap negara diasumsikan sama. Sepehri dan Moshiri (2004) serta Kremer et al. (2012) mengungkapkan, setiap negara memiliki struktur ekonomi dan mekanisme transmisi kebijakan moneter yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan nilai threshold inflasi sebaiknya didasarkan pada sejarah inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara itu sendiri.

Identifikasi nilai threshold inflasi di Indonesia pernah dilakukan oleh Chowdhury dan Siregar (2004) serta Chowdhury dan Ham (2009). Kedua kajian tersebut sangat informatif namun baru menggunakan analisis bivariate. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 2. Berapa nilai threshold inflasi di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ingin mengulas hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Adapun tujuan khususnya adalah:

1. Mengidentifikasi pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia

2. Mengetahui besaran nilai threshold inflasi di Indonesia. Manfaat Penelitian

(19)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Berbagai teori ekonomi telah banyak membahas hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, namun kesimpulan yang dihasilkan cenderung beragam, yaitu berhubungan positif, berhubungan negatif serta netral atau tidak ada hubungan sama sekali. Teori-teori tersebut di antaranya adalah:

Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik

Teori pertumbuhan ekonomi klasik dikemukakan oleh Adam Smith dan sering disebut sebagai dasar teori pertumbuhan. Dalam makalahnya, Smith mengemukakan bahwa output merupakan fungsi dari kapital (K) atau investasi, tenaga kerja (L) serta tanah (T), sehingga kalau dimodelkan menjadi:

Y = f (K,L,T) (1)

Dalam kaitannya dengan inflasi, Smith hanya mengulas secara implisit yaitu tingginya inflasi akan berdampak pada tingginya upah sehingga akan menghambat aktivitas produksi. Oleh karena itu inflasi diindikasikan memiliki hubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Teori Keynesian

Para ilmuwan aliran Keynesian mencoba memaparkan hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi (output) melalui skema Agregat Demand (AD) dan Agregat Supply (AS). Kelompok Keynesian mengemukakan bahwa dalam jangka pendek kurva AS memiliki gradien positif, artinya perubahan yang terjadi pada permintaan agregat atau kurva AD seperti perubahan ekspektasi, jumlah tenaga kerja, harga faktor produksi termasuk perubahan kebijakan fiskal dan moneter akan berdampak tidak hanya pada harga tetapi juga pada output. Dalam jangka panjang, yaitu ketika kurva AS berbentuk vertikal, terjadi penyesuaian atau “dynamic adjustment”, di mana hubungan inflasi dan output yang awalnya positif berubah menjadi negatif.

Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2, hubungan jangka pendek antara inflasi dan output terdeskripsikan pada pergerakan anak panah dari titik E menuju titik E1, di mana peningkatan harga diikuti oleh bertambahnya output. Ide yang mendasari adalah dimisalkan ada seorang produsen menaikkan harga komoditas, dan produsen tersebut beranggapan bahwa harganyalah yang paling tinggi. Pada kenyataannya produsen-produsen lain melakukan hal yang sama, menyebabkan harga meningkat secara agregat, yang pada akhirnya mendorong produsen untuk menambah output.

(20)

6

Sumber: Gokal dan Hanif (2004)

Gambar 2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output Dalam proses transisi jangka panjang, peningkatan harga menjadi insentif bagi para pekerja untuk menuntut kenaikan upah, yang sekaligus merupakan shock supply bagi perusahaan. Untuk mengimbangi hal tersebut produsen kembali meningkatkan harga disertai rasionalisasi output, yang tergambar pada perpindahan titik E2 menuju E3 yaitu peningkatan harga menyebabkan turunnya jumlah output. Kesimpulan teori Keynesian adalah tidak ada trade off permanen antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yang artinya inflasi bisa berpengaruh positif ataupun negatif terhadap output/pertumbuhan ekonomi.

Teori Monetaris

Tokoh utama aliran Monetaris adalah Milton Friedman, yang menghasilkan dua gagasan penting yaitu The Quantity Theory of Money dan The Neutrality of Money. Menurut Friedman, The Quantity Theory of Money menghubungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi melalui konsep jumlah uang yang dikeluarkan sama dengan jumlah uang yang beredar atau:

MV = PY (2)

di mana:

M : jumlah uang beredar

V : kecepatan perputaran uang (velositas) P : harga output

Y : output.

Ide yang mendasari adalah jumlah uang beredar atau velositas merupakan representasi suatu transaksi yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi. Inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar atau velositas tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi.

(21)

7 seperti output (dalam bentuk level) dan tingkat pengangguran tidak mengalami perubahan.

Friedman kemudian mengungkapkan bahwa uang bisa bersifat netral, namun belum tentu uang tersebut supernetral, dalam arti meskipun secara level jumlah uang beredar tidak memengaruhi variabel riil, tingkat pertumbuhan uang bisa saja memengaruhi variabel tersebut. Untuk itu dia menambahkan konsep The Superneutrality of Money. Sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004), The Superneutrality of Money terjadi tatkala variabel riil seperti pertumbuhan ekonomi tidak terpengaruh oleh dinamika pertumbuhan uang beredar. Bila kondisi ini terjadi, bisa dikatakan inflasi tidak berdampak apapun terhadap perekonomian.

Secara ringkas, aliran Monetaris menyatakan bahwa dalam jangka panjang inflasi dipengaruhi oleh pertumbuhan uang, yang tidak berdampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, hal tersebut tidak terjadi dalam kenyataan, di mana pergerakan inflasi justru memiliki konsekuensi negatif terhadap akumulasi modal, investasi dan ekspor, yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Teori Pertumbuhan Neo-Klasik

Teori pertumbuhan Neo-Klasik menyatakan, tenaga kerja, kapital dan teknologi adalah faktor utama yang memengaruhi output. Terkait dengan hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kelompok Neo-Klasik menemukan kesimpulan yang beragam. Pada tahun 1963, Mundell menyatakan bahwa inflasi akan menurunkan daya beli uang, yang selanjutnya mengurangi kekayaan individu. Kondisi ini kemudian direspon masyarakat dengan cara merelokasi uang tunai yang dipegang ke dalam bentuk tabungan, akumulasi modal meningkat dan pada akhirnya menstimulus pembentukan output.

(22)

8

Sumber: Gokal dan Hanif (2004)

Gambar 3 Mekanisme portofolio model Tobin

Penjelasannya adalah, diasumsikan terjadi kenaikan tingkat inflasi dari π0 menjadi π1, yang menyebabkan nilai uang turun. Dalam kondisi demikian, masyarakat akan mengalihkan kekayaannya ke dalam bentuk kapital, sebagaimana tergambar dengan pergeseran kurva Skmenuju Sk’, yang selanjutnya menghasilkan steady state kapital yang lebih tinggi (dari K0 menjadi K1). Model Tobin berkesimpulan, kenaikan tingkat inflasi akan mendorong bertambahnya level output secara permanen di mana dalam transisinya, terjadi pertumbuhan ekonomi secara temporer. Secara ringkas, Tobin menyatakan inflasi berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi.

Pada tahun 1967, Miguel Sidrauski menambahkan peran uang dalam model perekonomian. Melalui disertasi yang berjudul “Rational Choice and Patterns of Growth in a Monetary Economy”, Sidrauski beranggapan bahwa uang bersifat supernetral sehingga berapapun pertumbuhan uang hanya akan menyebabkan inflasi dan tidak akan mengubah steady state kapital. Oleh karena itu, level output termasuk pertumbuhan ekonomi juga tidak akan berubah.

Stockman (1981) mengemukakan bahwa inflasi berhubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Stockman, kenaikan inflasi akan menurunkan level steady state output. Selain itu inflasi juga membuat nilai kekayaan masyarakat berkurang. Dia menambahkan uang tergolong unsur komplemen dalam pembentukan modal. Logika yang dikemukakan oleh Stockman adalah belanja barang dan proses akumulasi modal diawali oleh ketersediaan kas/tabungan yang memadai. Ketika terjadi inflasi, daya beli uang turun, masyarakat dan perusahaan akan mengurangi konsumsinya baik dalam bentuk barang ataupun aset. Akibatnya akumulasi modal juga berkurang sehingga berdampak pada turunnya aktivitas perekonomian. Kesimpulan akhir teori Neo-Klasik adalah inflasi bisa berdampak positif, berdampak negatif atau netral terhadap pertumbuhan ekonomi.

Teori Neo-Keynesian

(23)

9 digunakan. Konsep output potensial juga berhubungan erat dengan pengangguran natural atau sering disebut dengan istilah Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU). NAIRU merupakan tingkat pengangguran di saat inflasi sudah tidak mengalami perubahan (konstan).

Menurut ekonom Neo-Keynesian, seperti yang dipaparkan oleh Gokal dan Hanif (2004), inflasi dalam model ini ditentukan secara endogen yang besarannya tergantung pada output aktual dan tingkat pengangguran natural (NAIRU). Ketika output aktual lebih besar dari nilai potensialnya sementara pengangguran lebih rendah dari NAIRU (ceteris paribus), maka inflasi akan direspon produsen dengan cara meningkatkan harga komoditasnya. Selain itu rasionalisasi jumlah tenaga kerja juga dilakukan, yang hasil akhirnya kurva Philips bergeser menuju kondisi stagflasi, yaitu inflasi semakin tinggi dan tingkat pengangguran semakin besar. Sebaliknya saat output aktual berada di bawah nilai potensial dan tingkat pengangguran melebihi NAIRU (ceteris paribus), produsen berupaya mengurangi excess supply dengan jalan menurunkan harga komoditas yang diproduksinya. Kesediaan para pekerja untuk dibayar lebih murah asal mendapat pekerjaan, semakin memperlancar langkah produsen untuk mengambil kebijakan disinflasi. Akibatnya kurva Philips bergeser menuju kondisi yang diharapkan, inflasi rendah dan tingkat pengangguran kecil. Kelompok Neo-Keynesian melanjutkan, tatkala output aktual sama dengan nilai potensialnya dan tingkat pengangguran berada pada NAIRU (ceteris paribus), inflasi tidak akan berubah, kecuali ada supply shock. Dalam jangka panjang, kurva Philips berbentuk vertikal.

Dari ketiga kemungkinan di atas, terdapat satu masalah yang kemudian muncul, yaitu nilai output potensial dan NAIRU tidak diketahui secara pasti. Identik dengan ekonom Neo-Klasik, kelompok Neo-Keynesian juga menyimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif, berpengaruh negatif atau netral terhadap pertumbuhan ekonomi.

Teori Pertumbuhan Endogen

Menurut teori pertumbuhan Endogen, skala ekonomi, increasing return of scale serta perkembangan teknologi memegang peranan penting dalam pertumbuhan output. Dalam teori ini, pertumbuhan output sangat tergantung pada satu variabel, yaitu tingkat pengembalian modal (the rate of return in capital). Variabel-variabel seperti inflasi yang dapat menurunkan nilai pengembalian tersebut pada gilirannya juga akan mengurangi akumulasi modal, sehingga mengkonstraksi output (Gokal dan Hanif 2004).

Berbeda dengan Neo-Klasik, teori Pertumbuhan Endogen menyatakan bahwa perkembangan teknologi bersifat endogen. Selain itu produk marginal dari kapital adalah konstan, bukan diminishing return. Secara sederhana teori ini bisa dijabarkan melalui model berikut:

Y = f (A,K) (3)

di mana: Y : output

A : teknologi dan semua faktor yang memengaruhinya

K : modal, yang terdiri atas modal fisik dan sumber daya manusia.

(24)

10

akan mengurangi nilai return dari kedua modal tersebut yang pada akhirnya juga menurunkan output. Kesimpulan teori pertumbuhan Endogen adalah inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi.

Tinjauan Empiris

Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Pada tataran empiris, studi untuk menguji hubungan linear inflasi dan pertumbuhan ekonomi umumnya menggunakan pendekatan ordinary least squares (OLS), baik dalam bentuk analisis data panel ataupun regresi deret waktu. Lingkup variabel yang digunakan pun dibagi dua, bivariate yaitu hanya inflasi dan pertumbuhan ekonomi, serta multivariate, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditambah beberapa variabel kontrol. Sama halnya dengan kajian teoritis, hasil yang didapat dalam uji empiris juga cenderung divergen, yaitu inflasi berhubungan positif, berhubungan negatif dan netral terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ulasan mengenai inflasi dan pertumbuhan ekonomi pertama kali dirintis oleh seorang ekonom IMF yang bernama U Tun Wai di tahun 1959. Dengan unit observasi 31 negara dalam kurun 1938 hingga 1954 (periode setiap negara berbeda-beda), Wai mengkorelasikan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi5 dan memplotkan koefisien yang signifikan ke dalam sebuah grafik. Sebelumnya, periode pengamatan dikelompokkan menjadi 4 hingga 9 tahunan. Hasil plotting tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat suatu garis sehingga bisa dilihat bagaimana keterkaitan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan yang diperoleh adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Pada tahun 1963, Dorrance mencoba membandingkan rata-rata tingkat inflasi dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di 31 negara dari tahun 1948 sampai dengan 1961. Dalam penelitian ini, unit observasi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu negara dengan inflasi rendah, negara berinflasi moderat serta negara dengan inflasi tinggi. Sama dengan Wai (1959), Dorrance tidak mendapatkan bukti yang cukup bahwa inflasi memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tahun 1973, Robert E. Lucas melakukan penelitian dengan judul “Some International Evidence on Output-Inflation Tradeoff”. Unit observasi yang diambil adalah gabungan 18 negara maju dan berkembang dari tahun 1951 hingga 1967. Hasil OLS bivariate menyatakan terdapat hubungan positif dan signifkan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Fischer (1983) membangun sebuah model bivariate dengan menggunakan data gabungan cross-sections dan time-series dari 53 negara (31 negara berkembang dan 22 negara maju). Melalui artikel yang berjudul “Inflation and Growth”, Fischer membagi periode penelitian menjadi dua yaitu 1961-1973 dan 1973-1981. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan negatif dan signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

5

(25)

11 Jung dan Marshall (1986) mengidentifikasi hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 57 negara (38 negara berkembang dan 19 negara maju) dari tahun 1950 sampai dengan 19806. Berdasarkan uji kausalitas Granger, disimpulkan bahwa inflasi di 16 negara berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Di dua negara yang lain yaitu Mesir dan Urugay, inflasi berhubungan positif. Sedangkan sisanya, yaitu 38 negara, Jung dan Marshall tidak menemukan adanya hubungan dari kedua variabel tersebut. Karena hasil yang diperoleh cukup beragam, akhirnya penelitian ini tidak berhasil memberikan kesimpulan yang pasti mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Barro (1995a) merupakan ekonom berikutnya yang membuktikan adanya hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Melalui makalah yang berjudul “Inflation and Growth”, Barro mengulas pengaruh inflasi dan beberapa variabel kontrol7 terhadap pertumbuhan ekonomi di 78-89 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 sampai dengan 19908. Alat analisis yang digunakan berupa regresi instrumental variable.

Sepehri dan Moshiri (2004) melalui regresi data panel menyimpulkan, inflasi berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisis dilakukan pada data 92 negara dari tahun 1960 hingga 1996, dengan variabel berupa inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi sekolah, pertumbuhan penduduk, ekspor dan defisit anggaran.

Pada tahun 2006, Min Li meneliti fenomena inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 117 negara. Dalam penelitiannya, Li mengadopsi dua model, pertama growth equation dengan sampel 27 negara maju dan 90 negara berkembang mulai tahun 1961 hingga 2004. Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan PDB, inflasi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB), PDB perkapita awal tahun, pengeluaran pemerintah serta terms of trade. Model kedua growth accounting equation, yang meliputi 27 negara maju (1961-2004) dan 63 negara berkembang (1961-1990), dengan variabel pertumbuhan PDB, inflasi, total faktor produktivitas (TFP) dan pertumbuhan angkatan kerja. Hasil regresi data panel menyimpulkan inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Liwan dan Lau (2007) melakukan penelitian dengan judul “Managing Growth: The Role of Export, Inflation and Investment in three ASEAN Neighboring Countries”. Lingkup observasi adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand dari tahun 1976 sampai 2005. Hasil uji vector error correction model menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara Malaysia dan Thailand, sedangkan di Indonesia, inflasi justru berkontribusi positif. Variabel yang digunakan meliputi PDB, ekspor, investasi dan inflasi.

Analisis grafik tiga dimensi dan regresi fixed effect oleh Rousseau dan Yilmazkuday (2009) menyimpulkan inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Unit observasi terdiri dari 84 negara maju dan berkembang dengan periode penelitian 1960 hingga 2004. Variabel yang digunakan adalah pertumbuhan PDB perkapita, inflasi, PDB awal tahun, derajat

6

panjang tahun berbeda-beda di setiap negara

7

rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, pengeluaran pemerintah, indeks demokrasi, indeks kepastian hukum, investasi dan angka kelahiran

8

(26)

12

keterbukaan ekonomi, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar serta tingkat partisipasi sekolah.

Yeh (2012) mengeksplorasi kemungkinan hubungan dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 140 negara dari 1970 sampai 2005. Alat analisis yang digunakan berupa panel OLS dan model persamaan simultan dengan variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, rasio pendapatan perkapita negara sampel terhadap pendapatan perkapita Amerika Serikat, investasi, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, keterbukaan ekonomi serta pertumbuhan penduduk. Di akhir makalahnya, Yeh menyimpulkan bahwa inflasi berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan terjadinya inflasi.

Smyth (1992) merupakan ekonom pertama yang fokus meneliti perilaku inflasi dan pertumbuhan ekonomi di satu negara. Unit observasi yang diambil adalah Amerika Serikat dengan rentang penelitian 1955 hingga 1990. Dari estimasi OLS bivariate disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Nell (2000), dengan vector autoregressions mengidentifikasi hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan dari tahun 1960 sampai dengan 1999. Di akhir tulisan, Nell mengemukakan bahwa inflasi tinggi berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya inflasi rendah (satu digit) justru mendorong pertumbuhan ekonomi.

Black et al. (2001), dengan pendekatan regresi data panel dan regresi cross-section menyatakan, pada era 1980-an inflasi di Amerika Serikat berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan era 1960-an ataupun 1970-an, inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi.

Gokal dan Hanif (2004) menyatakan, ada hubungan negatif antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi di Fiji, namun hubungan tersebut lemah. Metode yang digunakan berupa matriks korelasi dan uji kausalitas Granger dengan jangka waktu observasi 1970 hingga 2003.

Nasir dan Saima (2010) menyatakan, dalam kurun 1961 sampai 2008, kenaikan inflasi di Pakistan sebesar 10% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sekitar 19%. Dengan kata lain penelitian yang menggunakan OLS multivariate dengan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi dan jumlah penduduk tersebut mendukung argumen bahwa inflasi berdampak negatif terhadap perekonomian. Hasil berbeda ditunjukkan Hussain dan Malik di tahun 2011. Berdasarkan uji error correction model, disimpulkan bahwa ada hubungan positif dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Pakistan selama 1960 hingga 2006.

Dalam studi yang menggunakan observasi beberapa negara, Indonesia telah dilibatkan sebagai salah satu sampel, misalnya Fischer (1993), Barro (1995a), Sepehri dan Moshiri (2004), Li (2006), Rousseau dan Yilmazkuday (2009) serta Yeh (2012) yang seluruhnya menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Liwan dan Lau (2007) menyimpulkan inflasi akan mendorong tumbuhnya ekonomi. Sementara Dorrance (1963) atau Jung dan Marshall (1986), justru tidak menemukan bukti yang kuat adanya hubungan dari kedua variabel tersebut.

(27)

13 kajian yang cukup populer yaitu “Indonesia's Monetary Policy Dilemma: Constraints of Inflation Targeting” oleh Chowdhury dan Siregar di tahun 2004. Melalui uji kausalitas Granger, ditemukan bahwa ada hubungan timbal balik antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis lebih lanjut dengan bivariate vector autoregressions menunjukkan shock satu standar deviasi terhadap inflasi tidak memberikan efek yang besar pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak terlalu signifikan (beberapa periode berpengaruh negatif, positif dan netral).

Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan beberapa uji hubungan linear seperti yang telah diuraikan sebelumnya, disimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif ataupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangannya, para ekonom menyatakan dampak buruk inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi hanya terjadi ketika angka inflasi tersebut tinggi. Sementara bila inflasi masih tergolong rendah justru bisa mendorong tumbuhnya ekonomi. Meskipun demikian, belum ada kesepakatan pada level berapa inflasi dikatakan rendah dan pada level berapa inflasi disebut tinggi. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencari titik optimal/ambang batas (threshold)inflasi melalui uji hubungan taklinear.

Deteksi kemungkinan munculnya hubungan taklinear antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi telah diawali oleh Stanley Fischer pada tahun 1993. Dengan pendekatan spline regressions pada data 93 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 hingga 1990, dibuktikan bahwa inflasi tinggi (di atas 40%) memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan inflasi rendah. Dalam penelitian tersebut nilai threshold ditentukan secara arbitrase yaitu 15% dan 40%. Tiga variabel dependen yang digunakan meliputi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi dan total produktivitas. Sedangkan enam indikator yang berfungsi sebagai variabel independen terdiri dari inflasi rendah (kurang dari 15%), inflasi moderat (antara 15% dan 40%), inflasi tinggi (di atas 40%), defisit fiskal, terms of trade, dan the black market premium.

Barro (1995b) dalam makalah yang berjudul “Inflation and Economic Growth” menyimpulkan inflasi akan berpengaruh negatif dan signifikan ketika nilainya melebihi 40% (sama seperti Fischer, nilai threshold ditetapkan 15% dan 40%). Data 78-89 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 sampai dengan 19909 digunakan sebagai obyek penelitian. Dengan metode 3SLS instrumental variable, Barro meregresikan pertumbuhan ekonomi, inflasi, variabilitas inflasi, partisipasi sekolah menurut jenis kelamin, angka harapan hidup, modal manusia, angka kelahiran, rasio investasi terhadap PDB, rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB, rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB, the black market premium, indeks kepastian hukum, pertumbuhan terms of trade, indeks demokrasi dan indeks demokrasi dikuadatkan.

Bruno dan Easterly (1995) juga mendapatkan nilai threshold di 127 negara maju dan berkembang sebesar 40%. Alat analisis yang digunakan berupa pooled panel regressions, dengan variabel pertumbuhan PDB perkapita, inflasi dan deviasi pertumbuhan PDB perkapita dari rata-rata PDB perkapita dunia.

9

(28)

14

Judson dan Orphanides (1996) menggunakan panel spline regressions untuk menemukan titik optimal inflasi di 142 negara maju dan berkembang. Dengan beberapa variabel seperti pertumbuhan PDB perkapita, inflasi rendah (kurang dari 10%), inflasi sedang (antara 10% dan 40%,) inflasi tinggi (lebih dari 40%), logaritma rasio investasi terhadap PDB, logaritma standar deviasi inflasi rendah (kurang dari 0.05), logaritma standar deviasi inflasi sedang (antara 0.05 dan 0.10), serta logaritma standar deviasi inflasi tinggi (lebih dari 0.10), dua ekonom ini menyatakan inflasi masih relatif aman bila nilainya kurang dari 10%. Sebagai informasi, periode penelitian dimulai dari tahun 1959 hingga 1992.

Sarel (1996), melalui OLS mengidentifikasi nilai structural break inflasi di 87 negara maju dan berkembang mulai tahun 1970 sampai 1990 (20 series data dibagi menjadi 4 periode). Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, ekstra inflasi, terms of trade, nilai tukar riil, pengeluaran pemerintah, serta investasi. Prosedur pemilihan nilai structural break didasarkan pada dummy ekstra inflasi yang memaksimumkan besaran R2 atau meminimumkan RSS. Dari uji coba beberapa kandidat, akhirnya diperoleh angka structural break 8%.

Pada tahun 2001, Khan dan Senhadji menerapkan uji panel conditional least square untuk mencari nilai threshold inflasi di 140 negara maju dan berkembang selama 1960 sampai dengan 1998. Variabel yang diambil terdiri dari pertumbuhan ekonomi, inflasi (untuk menjaga normalitas, Khan dan Senhadji menggunakan logaritma inflasi), rasio investasi terhadap PDB, pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita awal tahun (karena seluruh data observasi dirata-rata menjadi lima tahunan) dan pertumbuhan terms of trade. Uji coba threshold inflasi dimulai dari angka 1% hingga 100% (kecuali negara maju, maksimal 30%), yang kemudian dipilih berdasarkan nilai RSS paling minimum. Kesimpulan yang diperoleh adalah, untuk seluruh sampel nilai threshold inflasi sebesar 11%. Di negara maju, titik inflasi optimal berada di angka 1-3%. Sementara bagi negara berkembang nilai threshold inflasi berkisar 11% sampai 12 %.

Sepehri dan Moshiri (2004) mencari threshold inflasi di 92 maju dan berkembang dari tahun 1960 sampai dengan 1996. Dalam penelitian ini, Sepehri dan Moshiri mengelompokkan sampel menjadi empat, yaitu OECD, negara berpendapatan menengah atas, negara berpendapatan menengah bawah dan negara berpendapatan rendah. Variabel yang digunakan terdiri dari inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi sekolah, pertumbuhan penduduk, ekspor dan defisit anggaran. Melalui analisis panel spline regressions ditemukan bahwa threshold inflasi di negara berpendapatan menengah atas sebesar 4%, di negara berpendapatan menengah bawah 15% dan di negara berpendapatan rendah sebesar 21%. Sementara di negara yang tergabung dalam OECD tidak ditemukan nilai threshold.

(29)

15 angkatan kerja. Kesimpulan Li adalah titik optimal inflasi (pistar) di seluruh negara sampel dan di negara berkembang berada pada angka yang sama yaitu 14% dan 38%. Sedangkan titik optimal inflasi (pistar) di negara maju sebesar 24%.

Rousseau dan Yilmazkuday (2009) menemukan nilai threshold inflasi di 84 negara maju dan berkembang berada di antara 4% dan 19%. Alat analisis yang digunakan berupa TSLS instrumental variable dan pendekatan grafik trilateral dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan ekonomi, angka partisipasi sekolah sekunder, pengeluaran pemerintah, derajat keterbukaan ekonomi serta jumlah uang beredar (M1 dan M3). Periode penelitian mulai dari 1960 hingga 2004.

Kremer et al. (2012) mengidentifikasi nilai threshold inflasi di 124 negara maju dan berkembang mulai tahun 1950 sampai 2004. Metode yang digunakan berupa regresi panel dinamis, dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, term of trade, pertumbuhan penduduk, PDB perkapita awal tahun serta derajat keterbukaan ekonomi. Hasil yang didapat adalah nilai threshold inflasi di negara maju sebesar 2%, sementara untuk negara berkembang sebesar 17%.

Studi threshold inflasi untuk kasus satu negara bisa dikatakan sangat terbatas. Pada umumnya studi-studi tersebut mengambil sampel negara berkembang (Morrar 2011).

Kannan dan Joshi (1998) mengawali studi threshold inflasi di India (1981/1982-1995/1996). Variabel yang digunakan terdiri dari IHPB, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sektor pertanian, terms of trade serta investasi. Prosedur pencarian nilai threshold dan alat analisis mengacu pada Sarel (1996). Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya berada di atas 6%. Apabila inflasi berada dibawah 6%, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Gokal dan Hanif (2004) menggunakan distribusi frekuensi (analisis bivariate) untuk mencari nilai threshold inflasi di Fiji pada periode 1970 hingga 2003. Kesimpulan yang didapat adalah inflasi akan menghambat perekonomian apabila nilainya melebihi 5%.

Lee dan Wong (2005) mendapatkan nilai threshold inflasi di Jepang sebesar 9.66% dan di Taiwan 7.25%. Metode yang digunakan berupa threshold autoregressions (TAR), dengan variabel meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, pertumbuhan penduduk, pertumbuhan PMTB, perkembangan keuangan, serta pertumbuhan ekspor. Periode penelitian adalah 1970Q1 sampai 2001Q4 untuk Jepang dan 1965Q1 hingga 2002Q4 untuk Taiwan.

Munir dan Mansur (2009) menemukan nilai threshold inflasi di Malaysia selama 1970 hingga 2005 sebesar 3.89%. Metode yang digunakan adalah conditional least square dengan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan uang beredar (M2), pertumbuhan PMTB, FDI dan pertumbuhan ekspor.

(30)

16

pertumbuhan investasi, pertumbuhan jumlah uang beredar, pertumbuhan angkatan kerja, dan pertumbuhan terms of trade.

Doguwa (2013) membandingkan metode Sarel (1996), Khan dan Senhadji (2001) serta Drukker et al. (2005) untuk mendeteksi threshold inflasi di Nigeria selama 2005Q1 hingga 2012Q1. Variabel yang digunakan terdiri atas inflasi, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dunia. Dari ketiga metode tersebut, hanya metode Khan dan Senhadji (2001) dan Drukker et al. (2005) yang berhasil menemukan threshold inflasi di Nigeria, yaitu masing-masing sebesar 10.50% dan 12%.

Indonesia pada dasarnya telah dilibatkan sebagai salah satu sampel dalam studi threshold inflasi di beberapa negara. Hasil yang didapat sebagaimana terlihat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia sebagai salah satu sampel

(31)

17 Studi threshold inflasi yang secara spesifik meneliti Indonesia, sepanjang pengetahuan penulis baru ada dua, yaitu Chowdhury dan Siregar (2004) dan Chowdhury dan Ham (2009). Chowdhury dan Siregar (2004) menggunakan persamaan kuadratik dan menemukan nilai threshold inflasi di Indonesia sebesar 20.50%. Interpretasinya adalah inflasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya di bawah 20% dan akan berdampak negatif apabila nilainya melebihi 20%. Sementara hasil estimasi threshold vector autoregressions (TVAR) yang dilakukan oleh Chowdhury dan Ham (2009) menyimpulkan threshold inflasi di Indonesia berada di antara 8.50% hingga 11%.

Kerangka Pemikiran

(32)

18

Gambar 4 Alur kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian

(33)

19

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder tahunan mulai dari 1970 hingga 2012 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia dan Bank Dunia. Data-data tersebut selanjutnya dijadikan dasar untuk membangun variabel-variabel dalam regresi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade, dan pertumbuhan jumlah uang beredar.

Pertumbuhan ekonomi dihitung dari pertumbuhan PDB riil. Inflasi diperoleh dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan dengan tahun dasar 2007. Pertumbuhan investasi diproksi dengan perubahan nilai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Sementara pertumbuhan angkatan kerja dihitung dari perubahan jumlah angkatan kerja. Karena data jumlah angkatan kerja series tahunan di Indonesia secara resmi (dari Sakernas) baru rilis mulai tahun 1984, sedangkan di periode sebelumnya hanya ada pada tahun-tahun tertentu (1961 (Sensus Penduduk), 1971 (Sensus Penduduk) serta 1976 (Sakernas)), maka untuk melengkapi data yang kosong dilakukan metode interpolasi. Pertumbuhan terms of trade diproksi dengan perubahan rasio jumlah ekspor terhadap impor, sedangkan pertumbuhan jumlah uang beredar diperoleh dari perubahan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2). Variabel dan sumber data penelitian secara ringkas bisa dilihat pada Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3 Variabel dan sumber data penelitian

Variabel Keterangan Satuan Sumber

(1) (2) (3) (4)

Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan PDB Riil Persen BPS Pertumbuhan investasi Pertumbuhan PMTB

nominal

Persen Bank Dunia

Inflasi Perubahan IHK Persen BPS

Pertumbuhan angkatan

(34)

20

Gambar 5 Ringkasan prosedur analisis Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami, dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis deskripsi yang disajikan dalam penelitian ini berupa gambaran umum perkembangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mulai tahun 1970 hingga 2012.

Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis regresi linear berganda adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel yang disebut variabel independen (variabel bebas) terhadap variabel dependen (variabel takbebas). Untuk memastikan tidak terjadi spurious regressions, maka semua data yang digunakan harus diuji kestasionerannya, baik data pada variabel dependen maupun variabel independen.

Uji Unit Root

Data deret waktu dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria yaitu nilai tengah (rata-rata) dan ragamnya konstan dari waktu ke waktu serta peragam (covariance) antara dua deret waktu hanya bergantung pada lag di antara dua periode waktu tersebut.

Metode yang banyak digunakan untuk menguji kestasioneran data adalah uji unit root (uji akar-akar unit). Ada beberapa cara untuk melakukan uji unit root, namun yang paling banyak diadopsi adalah Augmented Dicky Fuller (ADF) test dengan rumus:

(4)

Prosedur Analisis

Gambaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Estimasi nilai threshold inflasi di Indonesia

Analisis Deskriptif

Analisis Regresi Linear Berganda Analisis Trend

Implikasi dan Kebijakan Analisis Ekonometrika

Analisis Regresi

(35)

21 di mana adalah white noise, , T merupakan tren, dan

. Pada ADF, yang akan diuji adalah apakah δ = 0, dengan hipotesis alternatif δ < 0. Jika t-hitung untuk δ lebih kecil dari nilai ADF, maka hipotesis nol yang mengatakan bahwa data tidak stasioner ditolak.

Persamaan Regresi Linear Berganda

Persamaan yang digunakan dalam regresi linear berganda adalah:

Analisis regresi threshold merupakan pengembangan dari analisis regresi linear berganda, yang pada intinya membagi unit estimasi menjadi dua rezim atau lebih. Secara umum, model yang digunakan dalam analisis regresi threshold adalah sebagai berikut:

(6) di mana adalah variabel dependen, Xt merupakan matriks variabel independen, I fungsi indikator, adalah variabel threshold, k merupakan nilai threshold dan adalah residual.

Untuk mengestimasi model, ada dua cara yang bisa dilakukan, yang pertama melalui OLS apabila nilai threshold sudah diketahui dan yang kedua dengan conditional least squares apabila nilai threshold belum diketahui. Prinsip dari conditional least squares adalah mencari nilai threshold dan nilai parameter slope secara bersama-sama. Hansen (1997) merekomendasikan model yang dipilih adalah model dengan nilai residual sum of squares (RSS) minimal. Enders (2004) menyarankan 15% nilai minimum dan 15% nilai maksimum pada variabel threshold tidak dimasukkan sebagai kandidat nilai threshold untuk menjamin kecukupan derajat bebas pada masing-masing rezim.

Dalam penelitian ini nilai threshold belum diketahui sehingga estimasi model menggunakan cara yang kedua yaitu conditional least squares dengan prosedur sebagai berikut: untuk setiap nilai threshold k model diestimasi melalui OLS yang kemudian diperoleh residual sum of squares (RSS) sebagai fungsi dari k. Secara statistik prosedur conditional least squares bisa dinotasikan:

(7)

di mana Y adalah variabel dependen, X merupakan matriks variabel independen dan adalah vektor parameter. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa vektor koefisien diindekskan dengan k yang menunjukkan adanya ketergantungan pada nilai threshold yang berkisar dari hingga . Apabila RSS

dinotasikan sebagai S1(k), maka nilai threshold k yang dipilih (k*) adalah nilai k

yang meminimumkan RSS, atau:

k* = argmin [ S1(k), ] (8)

(36)

22

Setelah nilai threshold didapatkan, perlu diuji apakah keberadaan threshold tersebut signifikan. Menurut Hansen (1999), cara melakukan uji signifikansi nilai threshold adalah melalui penghitungan nilai Likelihood Ratio pada H0, yaitu:

di mana n merupakan jumlah sampel, S0 adalah RSS untuk H0: dan S1 adalah RSS untuk H1: . Dengan kata lain, S0 merupakan RSS pada model tanpa efek threshold (linear/persamaan 5) dan S1 adalah RSS pada model dengan efek threshold (persamaan 6).

Hansen (1999) mengemukakan, dalam model tanpa threshold, nilai k tidak didefinisikan, sehingga tes statistik konvensional seperti uji t memiliki distribusi yang tidak standar. Begitu pula dengan distribusi asymptotic dari yang juga tidak standar dan cenderung mendominasi distribusi χ2. Secara umum distribusi uji-uji statistik tersebut bergantung pada moments of sample, sehingga nilai-nilai kritis tidak dapat ditabulasikan. Hansen (1997, 1999, 2000) menyarankan penggunaan metode bootstrap untuk mensimulasikan distribusi asymptotic dari Likelihood Ratio test pada H0 dengan tahapan sebagai berikut:

1. Cari nilai RSS pada model tanpa threshold atau model linear (S0) (persamaan 5)

2. Cari nilai RSS pada model dengan threshold (S1) (persamaan 6) berdasarkan nilai threshold (k)yang meminimumkan RSS

3. Hitung (persamaan 9)

4. Bangun sebuah variabel dependen Y, yaitu berupa nilai ditambah error

yang diambilkan secara acak dari distribusi , di mana adalah

residual OLS pada model linear. Sebagai catatan, nilai Y berdistribusi

normal dengan rata-rata nol dan varian satu, yaitu N(0,1)

5. Gunakan nilai Y hasil bootstrap untuk mengestimasi model tanpa

threshold atau model linear dan model dengan threshold, kemudian dapatkan nilai RSS masing-masing (S0(bootstrap), S1(bootstrap))

6. Hitung yang rumusnya sama dengan (persamaan 9) tetapi nilai

RSSnya berasal dari hasil bootstrap

7. Bandingkan nilai dengan , jika nilai lebih besar dari beri

angka 1

8. Ulangi langkah 4 sampai 7 sebanyak 1000 kali. Nilai p-value Likelihood

Ratio test adalah peluang nilai yang melebihi .

Untuk memastikan estimasi bersifat BLUE, maka seluruh model regresi baik yang linear (persamaan 5) maupun model threshold (persamaan 6), harus diuji asumsi dan model regresinya.

Uji Asumsi

1. Uji Kenormalan

Uji asumsi kenormalan bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari error menyebar normal dengan rata-rata nol dan varian . Salah satu metode yang banyak digunakan adalah Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data yang dibandingkan dengan data dalam kondisi normal. Jarque-Bera test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat bebas dua. Jika hasil Jarque-Bera test lebih kecil dari nilai pada α = 5%, maka terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal. Cara lain adalah

(37)

23 dengan melihat nilai p-value, apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal dan sebaliknya.

2. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan hubungan linear antarvariabel independen dalam model. Ada tidaknya multikolinearitas dapat dideteksi misalnya dengan melihat korelasi antara dua variabel independen. Bila nilainya lebih besar dari 0.8, maka diindikasikan terjadi masalah multikolinearitas. Cara mengatasi multikolinearitas di antaranya dengan mengeluarkan variabel dengan kolinearitas tinggi atau melakukan transformasi variabel (Juanda 2009).

3. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan ( sama atau homogen atau untuk setiap pengamatan ke-t dari variabel-variabel independen dalam regresi. Apabila kondisi tersebut tidak terpenuhi berarti ada masalah heteroskedastisitas.

Metode untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas salah satunya dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey test yang dapat dihitung melalui hasil kali jumlah observasi (Obs) dan R-squared (R2). Secara matematika dirumuskan sebagai berikut:

ε = Obs*R-squared (10)

Breusch-Pagan test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat bebas satu. Apabila hitung lebih besar dari tabel pada α = 5%, maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Apabila hitung lebih kecil dari tabel pada α = 5%, maka terima hipotesis nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas. Cara lain yaitu dengan melihat nilai p-value, apabila nilainya lebih kecil dari 5% maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas dan apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima hipotesis nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas bisa diatasi melalui estimasi weighted least squares (WLS) atau metode Newey-West.

4. Uji Autokorelasi

Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antarerror. Adanya autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi menjadi tidak efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis ujinya adalah :

H0 : tidak ada masalah autokorelasi. H1 : ada masalah autokorelasi.

Jika nilai Obs*R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi atau p-value < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. Untuk mengatasi autokorelasi bisa melalui metode Newey-West.

Uji Model Regresi 1. Uji F

Uji F digunakan untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen secara bersamaan, dengan hipotesis:

H0: β1 = β2= …. = βi = 0; H1:sedikitnya ada satu βi ≠ 0; Statistik uji:

(38)

24

dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of squares, k jumlah variabel independen dan n adalah jumlah sampel. Jika nilai F hitung > Fα;(k-1,n-k) tabel, maka H0 ditolak yang artinya variabel independen dalam persamaan secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen.

2. Uji t

Uji t bertujuan untuk menguji signifikansi masing-masing penduga parameter. Hipotesis yang digunakan adalah: tolak H0 yang berarti variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Cara lain dengan melihat nilai p-value, jika lebih besar dari taraf uji (α) maka H0 diterima.

3. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar proporsi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu, juga untuk mengukur seberapa baik garis regresi yang terbentuk. Koefiesien determinasi merupakan besaran tak negatif dan bernilai antara 0 dan 1 serta dilambangkan dengan nilai R-squared (R2). Semakin dekat R2 dengan nilai satu maka model dapat dikatakan tepat untuk menaksir nilai populasi, dan sebaliknya.

Formula untuk menghitung koefisien determinasi adalah:

(13)

dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of squares dan TSS adalah total sum of squares.

Spesifikasi Model

Spesifikasi model dalam penelitian ini mengacu pada model yang digunakan Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) dengan variabel utama pertumbuhan ekonomi ( ) dan inflasi ( ), ditambah empat variabel kontrol yaitu pertumbuhan investasi (INVGR), pertumbuhan angkatan kerja (LFGR), pertumbuhan terms of trade (TOTGR),serta pertumbuhan jumlah uang beredar (M2GR) (Tabel 4). Model Linear

Model linear pada dasarnya digunakan untuk identifikasi awal apakah terdapat hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada model ini, hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi diasumsikan linear.

GDPGRt = β0+ β1INFt + β2INVGRt + β3LFGRt + β4TOTGRt + β5M2GRt + (14)

Model Threshold

(39)

25 Metode Khan dan Senhadji (2001) dan Metode Hansen (1997, 2000) dengan pertimbangan kedua model tersebut cukup sering digunakan.

1. Metode Khan dan Senhadji (2001)

Ide Metode Khan dan Senhadji adalah mencari selisih antara inflasi dengan nilai thresholdnya.

GDPGRt = β0+ β1 (1–I) (INFt– k) + β2 I (INFt– k)+ β3INVGRt

4LFGRt + β5TOTGRt + β6M2GRt + (15) 2. Metode Hansen (1997, 2000)

Ide dari Metode Hansen adalah menggunakan nilai threshold untuk membagi pengamatan menjadi dua rezim, yaitu di bawah nilai threshold atau di atas nilai threshold.

GDPGRt = (β10+ β11INFt + β12INVGRt + β13LFGRt + β14TOTGRt + β15M2GRt) I(INFt k)

+ (β20 + β21INFt + β22INVGRt + β23LFGRt + β24TOTGRt

+ β25M2GRt) I(INFt > k) + (16) Tabel 4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian

Notasi Variabel Keterangan

(1) (2) (3)

GDPGR Pertumbuhan PDRB riil Kontinu dalam persen

INF Tingkat inflasi Kontinu dalam persen

INVGR Pertumbuhan investasi (pertumbuhan PMTB nominal tahun berjalan)

Kontinu dalam persen

LFGR Pertumbuhan angkatan kerja Kontinu dalam persen

TOTGR Pertumbuhan terms of trade (pertumbuhan rasio jumlah ekspor terhadap jumlah impor)

Kontinu dalam tahun M2GR Pertumbuhan jumlah uang beredar M2 Kontinu dalam persen

I Variabel dummy 1, jika INFt > k

0, jika INFt k

k Nilai threshold Diskret dalam persen

ε Error term

t periode

Definisi Variabel Operasional

Definisi variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan perubahan nilai output (Real GDP) dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut:

2. Inflasi adalah proses meningkatnya harga-harga secara umum dan kontinu berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor

(40)

26

pengadaan, pembuatan dan pembelian barang-barang modal baru ataupun bekas dari luar negeri.

4. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia produktif yang sedang bekerja dan mencari pekerjaan. Indikator ini menggambarkan secara kasar bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian.

5. Pertumbuhan angkatan kerja adalah pertumbuhan angkatan kerja selama selama tahun berjalan dengan tahun sebelumnya.

6. Terms of trade adalah perbandingan kuantitatif (jumlah atau nilai) antara ekspor dan impor yang mencerminkan posisi perdagangan suatu negara untuk periode watu tertentu

7. Uang beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat/BPR) terhadap sektor swasta domestik (tidak termasuk pemerintah pusat dan bukan penduduk). Kewajiban tersebut terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan BPR), uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik, dan surat berharga selain saham yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun 8. Uang beredar dalam arti sempit (M1) merupakan uang kartal yang dipegang

masyarakat dan uang giral

9. Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) meliputi M1, uang kuasi, dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.

Prosedur Analisis

Gambar

Tabel 1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi
Gambar 1 Rata-rata pertumbuhan  ekonomi  dan  inflasi  di Indonesia tahun 1950-
Gambar 3 Mekanisme portofolio model Tobin
Tabel 2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam jual beli modern atau online shop, Khiya&gt;r al˗Majlis (hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli) antara penjual dan pembeli dapat dilakukan bila salah satu

ONLINE PIPPA menawarkan satu pengalaman pembelajaran yang unik dan sistematik di mana peserta boleh mengikuti pembelajaran secara atas talian sepenuhnya termasuk mengikuti

Subyek dan sumber data seharusnya tidak hanya alumni peserta diklat tetapi juga atasan langsung yang bersangkutan sebagai pengguna alumni (stakeholder). Atasan alumni perlu

templates; 3) Menyediakan pelatihan untuk para mahasiswa pasca melalui pusat pelatihan doktoral; 4) Menenggarai akses umum untuk data penelitian lembaga, pusat data dan

Yang disukai terutama buah dan daun muda pidada, sonneratia lanceolata yang tumbuh di hutan bakau sepanjang tepian sungai dekat pantai (Suara Alam, 1989). Selain itu juga,

Ini bisa memicu start pompa kebakaran secara manual lewat tombol tekan start setempat atau secara otomatis lewat deteksi penurunan tekanan dalam sistem penyiram.. Kontroler

Model TVAR 1 threshold menggambarkan hubungan depresiasi kurs rupiah dan inflasi terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia pada 2 rezim yang berbeda.. Rezim pertama

Profil bawah permukaan daerah penelitian terdiri dari struktur geologi batuan sedimen gamping formasi Salo Kaluppang (Teos) yang di intrusi oleh batuan beku