HUBUNGAN
TATA
KELOLA
PEMERINTAHAN,
INFRASTRUKTUR
DAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI
DI
INDONESIA
SUTARSONO
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI
TESIS
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
ABSTRACT
SUTARSONO. A Nexus between Governance, Infrastructure and Economic Growth in Indonesia. Under supervision of BAMBANG JUANDA and NOER AZAM ACHSANI.
Good governance has an important role to promote economy growth. The study relationship between governance with economic growth using aggregate data in Indonesia did not find a significant relationship. Therefore, the purpose of this study was to explore the influence of governance on economic growth, both direct effects and indirect effects through infrastructure provision. By employing two stages least square method on the data 245 districts/cities in 2010, the results of this study indicate that governance affects economic growth through the provision of road infrastructure and the electricity infrastructure. A discussion of public policy and the firmness of the regional head on anti-corruption measures improving road infrastructure, while the duration of roadworks negatively affect the provision of road infrastructure. Facilitation efforts by the local government will increase the supply of electricity infrastructure. Governance affects economic growth directly through government policy that does not increase costs for businesses.
RINGKASAN
SUTARSONO. Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan NOER AZAM ACHSANI.
Pada tahun 2001, Indonesia melakukan desentralisasi secara luas meliputi desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi administrasi. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang lebih besar dalam proses pembangunan. Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi.
Untuk itu, tata kelola pemerintahan daerah menjadi penting dalam pengelolaan perekonomian daerah. Menurut Bardhan dan Mookherjee (2006), desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu.
Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola perekonomian daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks. De (2010) mengungkapkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung, yaitu melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan investasi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini mempunyai dua tujuan. Pertama, memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan daerah dan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Kedua, menganalisis hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah, penyediaan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Metode analisis deskriptif eksploratif dengan bantuan tabel, grafik, uji beda rata-rata, dan analisis spasial digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama. Sedangkan tujuan kedua dijawab secara deskriptif dengan korelasi pearson dan metode ekonometrika two stages least square (2SLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas institusi daerah dan penyediaan infrastruktur baik jalan, air bersih, maupun listrik di Indonesia belum merata, baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Kualitas institusi dan penyediaan infrastruktur di kota lebih baik dibandingkan kabupaten, dan kabupaten/kota di Jawa lebih baik dibandingkan kabupaten/kota di luar Jawa. Tata kelola pemerintahan daerah secara disagregat mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Tata kelola pemerintahan daerah diindikasikan berpengaruh tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Hal ini menjawab mengapa hubungan secara agregat dan langsung penelitian sebelumnya tidak diketemukan hubungan yang signifikan. Penyediaan infrastruktur jalan dipengaruhi oleh tata kelola pemerintahan daerah melalui adanya diskusi kebijakan publik, lama perbaikan jalan, dan ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi, ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi akan meningkatkan efektifitas belanja infrastruktur jalan. Penyediaan infrastruktur listrik dipengaruhi tata kelola pemerintahan melalui pemberian fasilitas pendukung bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Perpres No.56 Tahun 2011 yang merupakan pembaruan Perpres No.76 Tahun 2005. Adapun penyediaan infrastruktur air bersih lebih dipengaruhi oleh tata kelola perusahaan. Adapun tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pemerintah daerah yang tidak menyebabkan peningkatan biaya bagi pelaku usaha.
Untuk itu, Pemerintah pusat perlu mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan daerah terutama untuk pemerintah daerah kabupaten dan luar Jawa, sehingga kualitas pemerintah daerah tidak timpang. Penguatan kualitas institusi lokal di wilayah tertinggal diperlukan mengingat tata kelola merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pengelolaan ekonomi daerah, dimana banyak daerah di kabupaten dan luar Jawa yang sebenarnya mempunyai potensi sumber daya alam yang melimpah tetapi belum dikelola dengan baik karena kurangnya kapasitas pemda. Untuk pembangunan infrastruktur harus ada keberpihakan (political will). Pemerintah daerah harus menambah belanja publik guna meningkatkan penyediaan infrastruktur dan mendorong pertumbuhan. Pemerintah pusat dapat mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan alokasi belanja infrastruktur, misalnya dengan instrumen DAK atau pemberian insentif dalam hal alokasi dana perimbangan bagi daerah yang mengalokasikan belanja infrastruktur tertentu. Selain itu, pemerintah daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tidak membuat kebijakan yang menyebabkan peningkatan biaya bagi pelaku usaha, seperti penghapusan Perda-perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
©
Hak
Cipta
milik
IPB,
tahun
2012
Hak
Cipta
dilindungi
Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
HUBUNGAN
TATA
KELOLA
PEMERINTAHAN,
INFRASTRUKTUR
DAN
PERTUMBUHAN
EKONOMI
DI
INDONESIA
SUTARSONO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
Judul Tesis : Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Nama : Sutarsono NRP : H151104454
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr.
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Topik penelitian yang penulis pilih adalah ”Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang besar kepada kedua orangtua dan saudara penulis yang selalu mendorong penulis untuk terus maju dan tidak henti- hentinya mendo’akan penulis. Istri penulis, Mardiana, serta kedua buah hati penulis, Aisyah Halilah Nibras dan Muhammad Ihsan Albani, merupakan semangat terbesar bagi penulis untuk terus maju dan berkembang.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah SWT. Dia jualah yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Besar harapan penulis hasil penelitian ini dapat menjadi kontribusi penulis, baik untuk dunia pendidikan maupun pengambilan kebijakan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2012
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 7 September 1981 dari pasangan Subadi dan Sari. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menikah dengan Mardiana dan telah dikaruniai seorang putri dan seorang putra, Aisyah Halilah Nibras dan Muhammad Ihsan Albani.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Girikulon, Kabupaten Magelang pada tahun 1993. Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis tamatkan pada tahun 1996 di SMPN 2 Secang, Kabupaten Magelang. Kemudian pada tahun 1999, penulis lulus dari SMUN 1 Magelang. Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, dan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) pada tahun 2003.
Setelah tamat dari STIS, penulis menjalani ikatan dinas di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulaun Riau, Provinsi Riau. Kemudian seiring dengan pemekaran wilayah, sejak tahun 2005 menjadi bernama BPS Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pada akhir tahun 2008 penulis dipindah- tugaskan ke Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS Republik Indonesia.
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR ISI...xiii
DAFTAR TABEL...xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN...xix
I. PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah...5
1.3 Tujuan Penelitian...6
1.4 Manfaat Penelitian...6
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...7
II. TINJAUAN PUSTAKA ...9
2.1 Tinjauan Teoritis ...9
2.1.1 Tata Kelola Pemerintahan ...9
2.1.2 Infrastruktur ...10
2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi...13
2.1.4 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Penyediaan Infrastuktur, dan Pertumbuhan Ekonomi ...15
2.1.5 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Penyediaan Infrastruktur ...17
2.1.6 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ...18
2.2 Tinjauan Empiris ...19
2.3 Kerangka Pemikiran ...22
2.4 Hipotesis Penelitian ...23
III. METODE PENELITIAN... 25
3.1 Jenis dan Sumber Data ...25
3.2 Metode Analisis...26
3.3.1 Analisis Deskriptif ...26
3.3.2 Analisis Regresi Berganda ...28
3.3 Spesifikasi Model Penelitian ...32
3.4 Definisi Variabel Operasional ...34
3.5 Prosedur Analisis...35
IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA ...37
4.1 Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia ...37
4.1.1 Akses Lahan dan Kepastian Hukum ...37
4.1.2 Perizinan Usaha... 41
4.1.3 Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha ...45
4.1.4 Program Pengembangan Usaha Swasta ...47
4.1.5 Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah ...50
4.1.6 Keamanan dan Penyelesaian Konflik ...53
4.1.7 Biaya Transaksi...55
4.1.8 Kebijakan Infrastruktur ...58
4.1.9 Kualitas Peraturan Daerah ...60
4.1.10 Indeks Tata Kelola Pemerintahan Daerah... 61
4.2 Penyediaan Infrastruktur di Indonesia...62
4.2.1 Infrastruktur Jalan...62
4.2.2 Infrastruktur Air Bersih ...67
4.2.3 Infrastruktur Listrik ...71
V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH, PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA ...77
5.1 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Penyediaan Infrastruktur di Indonesia ...77
5.2 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ...81
5.3 Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan Terhadap Penyediaan Infrastruktur di Indonesia ...88
5.4 Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ...91
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...97
6.1 Kesimpulan ...97
6.2 Implikasi Kebijakan...97
6.3 Saran Penelitian Lanjutan ...98
DAFTAR PUSTAKA...99
DAFTAR
TABEL
Halaman
1 Data dasar dan sumber data yang digunakan ...25
2 Perbandingan variabel-variabel akses lahan menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...39
3 Perbandingan variabel-variabel perizinan usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...44
4 Perbandingan variabel-variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...46
5 Perbandingan variabel-variabel program pengembangan usaha swasta menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...49
6 Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...52
7 Perbandingan variabel-variabel keamanan dan penyelesaian konflik menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...54
8 Perbandingan variabel-variabel biaya transaksi menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...57
9 Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...59
10 Perbandingan akses jalan kabupaten/kota kualitas mantap menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010...66
11 Perbandingan akses air bersih kabupaten/kota menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...71
12 Perbandingan akses listrik kabupaten/kota menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010 ...75
13 Nilai korelasi infrastruktur jalan dengan variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha tahun 2010 ...78
14 Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel integritas dan kapasitas kepala daerah tahun 2010...80
15 Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel kebijakan infrastruktur tahun 2010 ...80
16 Korelasi infrastruktur dengan indikator tata kelola tahun 2010 ...81
17 Korelasi akses lahan dan kepastian hukum dengan pendapatan per kapita tahun 2010...81
18 Korelasi perizinan usaha dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...82
19 Korelasi interaksi pemerintah daerah-pelaku usaha dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...83
20 Korelasi program pengembangan usaha swasta dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...84
21 Korelasi kapasitas dan integritas kepala daerah dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...85
22 Korelasi keamanan dan penyelesaian konflik dengan pendapatan per kapita tahun 2010 ...85
23 Korelasi biaya transaksi dengan pendapatan per kapita tahun 2010...86
24 Korelasi kebijakan infrastruktur dengan pendapatan per kapita tahun 2010...87
25 Korelasi indeks tata kelola dengan pendapatan per kapita tahun 2010...87
26 Hasil estimasi model infrastruktur ...89
27 Hasil estimasi model pertumbuhan (gPDRBKap)... 92
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode 2007-2010 ...4
2 Determinan pendapatan ...15
3 Diagram alur kerangka pemikiran ...23
4 Perkembangan infrastruktur jalan menurut tingkat kewenangannya di Indonesia periode 2000-2010 ...62
5 Perkembangan panjang jalan dan jumlah kendaraan bermotor periode 2000-2010 ...63
6 Perkembangan tingkat mobilitas periode 2000-2010 ...64
7 Perkembangan panjang jalan kabupaten/kota menurut kualitasnya periode 2001-2010 ...65
8 Peta aksesibilitas jalan menurut kabupaten/kota tahun 2010 ...66
9 Persentase rumah tangga yang mempunyai akses air minum layak
1993-2010 ...67
10 Perkembangan rumah tangga yang mempunyai akses air minum layak 2000-2010 ...69
11 Perkembangan volume air bersih yang disalurkan PDAM periode 2000-2010 ...70
12 Peta aksesibilitas air bersih menurut kabupaten/kota tahun 2010 ...70
13 Perkembangan rasio elektrifikasi listrik PLN periode 2000-2010 ...72
14 Perkembangan jumlah pelanggan PLN dan jumlah rumah tangga periode 2000-2010 ...73
15 Perkembangan energi listrik terjual dan pelangga PT. PLN periode 2000-2010 ...73
16 Perkembangan energi listrik terjual menurut jenis pelanggan PT. PLN periode 2000-2009 ...74
17 Peta aksesibilitas listrik menurut kabupaten/kota tahun 2010 ...75
18 Perkembangan alokasi belanja APBD Kabupaten/Kota periode 2001- 2010 ...954
19 Hubungan tata kelola pemerintahan, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi ...95
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Estimasi Model Infrastruktur Jalan dengan Program STATA
SE 10... 103
2 Hasil Estimasi Model Infrastruktur Air Bersih dengan Program STATA SE 10...104
3 Hasil Estimasi Model Infrastruktur Listrik dengan Program STATA SE 10... 105
4 Nilai korelasi Pearson infrastruktur ...106
5 Hasil Estimasi Metode 2SLS dengan Program SPSS 16...107
6 Ringkasan penelitian terdahulu... 118
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan
suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk.
Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonomi
tetapi juga diukur dari tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran
yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan
meratanya pembagian hasil pembangunan ekonomi. Semakin tinggi rata-rata
pendapatan penduduk yang diimbangi dengan semakin meratanya distribusi
pendapatan antar berbagai kelompok penduduk menunjukkan semakin tingginya
kemajuan suatu bangsa.
Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan
istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam
proses pembangunan. Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem
desentralisasi sejak tahun 2001, yang meliputi desentralisasi politik, fiskal, dan
administrasi. Desentralisasi politik diwujudkan dengan dilaksanakannya
pemilihan kepala daerah secara langsung. Desentralisasi fiskal diwujudkan dalam
bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber
pendapatan dan menentukan alokasi pengeluarannya sendiri, walaupun dalam
pelaksanaanya masih menitikberatkan pada desentralisasi dari sisi pengeluaran.
Adapun desentralisasi administrasi diwujudkan dengan diberikannya wewenang
pemerintah daerah untuk mengatur urusan tata pemerintahannya sendiri.
Desentralisasi di Indonesia bergulir seiring dengan gerakan reformasi pada
tahun 1998 yang menuntut turunnya pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa
selama 33 tahun. Setelah krisis ekonomi 1997, muncul gerakan masa yang
menuntut demokratisasi sebagai bentuk ketidakpuasan sistem pemerintahan
sentralistik pada masa orde baru. Pada saat yang bersamaan timbul ancaman
disintegrasi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam menuntut
pembagian kekuasaan dan pembagian kekayaan yang lebih besar. Untuk
Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat. Hayek (1948), Tiebout (1956), dan Oates (1999) berpendapat
bahwa desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori
efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates (1999) berpendapat bahwa
pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan
rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan
rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Aspirasi rakyat
akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam
kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut.
Salah satu diantara urusan yang didesentralisasikan adalah penyediaan
pelayanan publik, termasuk didalamnya penyediaan infrastruktur, sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Menurut Undang-
Undang No.38 tahun 2007, penyediaan infrastruktur merupakan salah satu urusan
wajib yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Infrastruktur mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Berbagai
studi empiris telah membuktikan bahwa infrastruktur mempunyai pengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan
(Setboonsarng 2005, Kwon 2001), serta pengurangan ketimpangan antar wilayah
(D´emurger 2001, De dan Gosh 2005). Hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah
(TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) juga menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan faktor penting bagi
pengusaha untuk berinvestasi, dari sembilan sub-indeks tata kelola, kualitas
infrastruktur mempunyai bobot paling besar, yaitu 36 persen pada tahun 2007
dan 38 persen pada tahun 2010.
Percepatan penyediaan infrastruktur tidak hanya diperlukan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pada gilirannya akan
menekan tingkat kemiskinan, tetapi pada skala makro, penyediaan infrastruktur
juga diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Peningkatan peringkat
investasi pada akhir tahun 2011 akan mendorong arus modal masuk, sehingga
diperlukan suatu perangkat, salah satunya infrastruktur, untuk menstimulasi
terjadinya resiko bubble yang dapat memicu krisis finansial seperti yang terjadi
pada tahun 1997-1998.
Setelah 10 tahun pelaksanaan desentralisasi, penyediaan infrastruktur di
Indonesia ternyata belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini
tercermin dari laporan The Global Competitiveness Report tahun 2010-2011 (The
World Economic Forum 2010), dari 139 negara yang dikaji, Indonesia
menempati peringkat 90 untuk aspek infrastruktur secara keseluruhan, sementara
Malaysia dan Thailand masing-masing berada pada peringkat 27 dan 46. Dalam
hal kualitas jalan, peringkat Indonesia adalah 84, jauh lebih rendah daripada
Malaysia (21) dan Thailand (36). Demikian juga halnya dengan kualitas listrik,
Indonesia ditempatkan di peringkat 97, sementara Malaysia peringkat 40 dan
Thailand peringkat 42. Hasil studi TKED 2011 juga menunjukkan bahwa dari
lima jenis infrastruktur yang dikaji, hanya infrastruktur telepon dan listrik—
keduanya bukan merupakan kewenangan Pemda—yang dinilai relatif baik oleh
pelaku usaha, masing-masing hanya dinilai buruk oleh sekitar 22 persen dan 34
persen pelaku usaha. Sedangkan infastruktur jalan, air bersih dan lampu
penerangan jalan yang menjadi tanggung jawab Pemda masih dipandang buruk
oleh lebih dari 40 persen pelaku usaha.
Selain itu, selama empat tahun terakhir penyediaan infrastruktur di
kabupaten/kota yang meliputi jalan, air bersih, dan listrik justru menunjukkan
sebaran yang semakin lebar. Interquartile range (IQR) yang merupakan ukuran
penyebaran data selama periode 2007-2010 menunjukkan trend peningkatan
(Gambar 1). IQR jalan meningkat dari 0,4800 pada tahun 2008 menjadi 0,4927
pada tahun 2010. Sedangkan IQR air bersih dan listrik masing-masing meningkat
dari 29,7904 pada 2007 menjadi 39,4408 pada 2010 untuk air bersih dan dari
236,683 menjadi 367,347 untuk listrik. Hal ini mengindikasikan bahwa
desentralisasi telah meningkatkan ketimpangan penyediaan infrastruktur antar
kabupaten/kota di Indonesia.
Indikasi diatas didukung oleh pendapat Bardhan dan Mookherjee (2006)
yang menyatakan bahwa desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila
akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati
A k s e s J a la n ( K m / K m 2 ) A k s e s A ir B e rs ih ( m 3 / r u m a h ta n g g a ) A k s e s L is tr ik ( K w h /p e n d u d u k )
sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi tata kelola pemerintahan daerah
menjadi penting. North (1990) dan Bardhan (2002) menunjukkan bahwa tata
kelola pemerintahan mempunyai peran penting dalam perekonomian secara
umum. 12 10 8 6 4 2 0
IQR: 0,4920 IQR: 0,4800
IQR: 0,4831
IQR: 0,4927
2007 2008 2009 2010
(a) Jalan
2500 3500 3000 2000 2500 1500 1000 500 0 2000 1500 1000 500 0
IQR: 29,7904 IQR: 29,7818 IQR: 38,4874 IQR: 39,4408 IQR: 236,683 IQR: 237,070 IQR: 252,448 IQR: 367,347
2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010
(c) Air bersih (b) Listrik
Sumber: BPS, diolah
Gambar 1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode 2007-2010
Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak
tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia
tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola pemerintahan
daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan
antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks.
Selain itu, karena analisis dilakukan dengan data agregat sementara terdapat 61
variabel, sehingga arah hubungan tata kelola dengan pertumbuhan ekonomi bisa
berbeda antara data agregat dengan data disagregat. Hal ini dikarenakan arah
dengan pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda, sehingga pengagregatan
berupa indeks justru akan menghilangkan hubungan tersebut.
Kompleksitas hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan
ekonomi juga dikemukan oleh De (2010) yang menyatakan bahwa hubungan
antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung tata kelola
dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur infrastruktur,
perdagangan, dan atau investasi.
1.2 Perumusan Masalah
Ada beberapa alasan mengapa studi mengenai tata kelola pemerintahan di
Indonesia menarik untuk dikaji. Pertama, desentralisasi di Indonesia dilaksanakan
secara big bang tanpa ada penyiapan tata kelola pemerintahan daerah untuk
melaksanakan urusan-urusan yang didesentralisasikan. Padahal tata kelola
pemerintahan mempunyai peran penting sebagai supporting system bagi
pengelolaan perekonomian daerah.
Kedua, studi empiris mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia masih
sedikit. Studi tentang tata kelola di Indonesia kebanyakan bersifat teoritis dan
politis. Sehingga belum diketahui secara empiris bagaimana peran tata kelola
pemerintahan terhadap proses pembangunan di Indonesia. Hal ini karena
terkendala ketersediaan data. Sejak tahun 2007 KPPOD telah melaksanakan studi
TKED yang memotret tata kelola pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2007
KPPOD melakukan studi TKED di 15 provinsi, sedangkan tahun 2008 studi
hanya dilakukan di Provinsi Aceh. Pada tahun 2010 KKPOD melakukan studi
yang sama di 19 provinsi dengan tiga provinsi yang sama dengan studi tahun
2007, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur
(NTT). Sehingga data mengenai tata kelola pemerintahan secara nasional
sekarang ini sudah tersedia.
Ketiga, hasil kajian sebelumnya oleh McCulloch dan Malesky (2010)
dengan data agregat tidak ditemukan pengaruh langsung tata kelola terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal ini memberi kesan bahwa tata kelola pemerintahan
birokrasi tidak perlu dilakukan, sebagaimana menjadi salah satu implikasi
kebijakan penelitian tersebut untuk mengurangi fokus pada kapasitas pemerintah
daerah. Untuk itu, perlu dieksplorasi dan dikaji lebih mendalam berdasarkan data
disagregat, yaitu variabel-variabel tata kelola pemerintahannya, bagaimana
sebenarnya pengaruh tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, apakah tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi, atau berpengaruh tetapi secara tidak langsung, dalam hal
ini melalui jalur infrastruktur.
Dengan uraian di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran tata kelola pemerintahan daerah dan infrastruktur di
Indonesia?
2. Bagaimana hubungan tata kelola pemerintahan daerah dengan infrastruktur
dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan dan infrastruktur
di Indonesia.
2. Menganalisis hubungan tata kelola pemerintahan dengan infrastruktur dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran
mengenai hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi, baik
hubungan secara langsung maupun melalui penyediaan infrastruktur di Indonesia.
Pembahasan tata kelola pemerintahan secara disagregat, baik jenis infrastruktur
maupun variabel tata kelola pemerintahan daerah, diharapkan akan dapat lebih
memperjelas implikasi kebijakan yang dapat diambil peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
mendorong penyediaan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan
bagi penelitian selanjutnya, khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Cakupan penelitian ini adalah 245 kabupaten/kota tahun 2010 di 19
provinsi, sesuai dengan cakupan studi TKED yang dilaksanakan oleh KPPOD.
Daftar provinsi cakupan penelitian adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung,
Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara,
Papua, dan Papua Barat. Khusus untuk gambaran penyediaan infrastruktur,
analisis dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010,
yang mencakup 497 kabupaten/kota.
Tata kelola pemerintahan dalam penelitian ini hanya mencakup tata kelola
pemerintahan daerah kabupaten/kota, tidak mencakup tata kelola pemerintahan
pusat dan provinsi. Tata kelola pemerintahan daerah dinilai berdasarkan persepsi
pelaku usaha terhadap tata kelola pemerintah daerah hasil studi KPPOD yang
meliputi sembilan aspek dengan 61 variabel penyusun.
Infrastruktur dalam penelitian hanya mencakup infrastruktur ekonomi dasar
yang ada di semua kabupaten/kota, yaitu: jalan, air bersih, dan listrik. Hal ini
mengacu pada penggolongan infrastruktur menurut Bank Dunia. Infrastruktur
ekonomi dasar lain seperti telekomunikasi, dan sanitasi tidak dicakup karena
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Tata Kelola Pemerintahan
Dixit (2001) mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksi-
interaksi antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang
dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan beberapa peneliti lain memisahkan tata
kelola menjadi konsep yang berbeda dan lebih sederhana, seperti korupsi (Wei
2000), transparansi (Kaufmann et al. 2003), dan peraturan (Djankov et al. 2002).
Busse et al. (2007) menggunakan tata kelola pemerintahan (governance)
sebagai proxy kualitas institusi. North (1990) memasukkan birokrasi sebagai salah
satu unsur dari institusi, sehingga tata kelola pemerintahan merupakan gambaran
kualitas desentralisasi birokrasi.
Menurut Asian Development Bank (2009), terdapat empat prinsip pokok tata
kelola pemerintahan yang baik, antara lain:
1. Accountability, yaitu pejabat dapat mempertanggung-jawabkan
kebijakannya, kebijakan dilakukan berdasarkan hukum dan aturan yang
berlaku, dan setiap pekerjaan dilaporkan secara benar dan akurat.
2. Participation, yaitu pegawai diberikan peran dalam pembuatan keputusan,
adanya pemberdayaan masyarakat, khususnya penduduk miskin, melalui
pemenuhan hak akan akses untuk memperoleh kehidupan yang layak.
3. Predictability, yaitu: adanya kepastian hukum melalui penegakan hukum,
aturan, dan kebijakan secara adil dan konsisten.
4. Transparency, yaitu ketersediaan informasi yang murah dan mudah
dipahami masyarakat guna mendukung akuntabilitas yang efektif, dan dan
adanya kejelasan hukum, aturan, dan kebijakan.
World Bank Institute (2008) mengukur tata kelola pemerintahan
menggunakan enam indikator. Keenam indikator tersebut antara lain: (1)
keterbukaan dan akuntabilitas, (2) stabilitas politik dan ketiadaan
kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas peraturan, (5)
Sedangkan KPPOD mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia
dari aspek tata kelola ekonomi. KPPOD (2007) menggunakan sembilan indikator
untuk mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia melalui survei
terhadap pelaku usaha. Kesembilan aspek tersebut antara lain: (1) Akses lahan dan
kepastian hukum, (2) Infrastruktur, (3) Perizinan usaha, (4) Kualitas peraturan
daerah, (5) Biaya transaksi, (6) Kapasitas dan integritas bupati/walikota, (7)
Interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha, (8) Program pengembangan
usaha swasta, (9) Keamanan dan penyelesaian konflik.
2.1.2 Infrastruktur
Grigg (2000) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas atau
struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan
yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi
masyarakat. Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik
dalam mengembangkan atau membangun kegunaan publik melalui penyediaan
barang dan jasa untuk umum. Akatsuka dan Yoshida (1999) menambahkan bahwa
infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga
yang terjangkau dan terkontrol.
Ada enam kategori besar infrastruktur menurut Grigg (2000), yaitu:
kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan), kelompok pelayanan transportasi
(transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara), kelompok air (air bersih, air kotor,
semua sistem air, termasuk jalan air), kelompok manajemen limbah (sistem
manajemen limbah padat), kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar, dan
kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas).
World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi, meliputi: public utilities (listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal,
irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan
terbang dan sebagainya);
2. Infrastruktur sosial, meliputi: pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi;
3. Infrastruktur administrasi, meliputi: penegakan hukum, kontrol administrasi
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2005 tentang
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis
infrastruktur yang penyediaannya diatur oleh pemerintah, yaitu: infrastruktur
transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum
dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan
infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur
tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang
dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga penyediaannya perlu diatur oleh
pemerintah.
Infrastruktur Jalan
Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi mempunyai peranan penting
dalam usaha pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh pusat
kegiatan, baik kegiatan ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik maupun
pertahanan keamanan dihubungkan oleh jaringan jalan. Dalam kerangka tersebut
jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan saperti
pemerataan hasil-hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, jalan juga berperan
dalam pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa,
yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan.
Berdasarkan statusnya jalan dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu
jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa.
Berdasarkan kewenangannya, jalan nasional termasuk jalan tol yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Sementara jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan
kota, dan jalan desa merupakan kewenangan pemerintah daerah. Sejalan dengan
pelaksanaan desentralisasi, infrastruktur jalan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah didanai dari Anggaran Pendapatan Belanja daerah (APBD).
Infrastruktur Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Keterbatasan air bersih merupakan suatu
tantangan bagi manusia. Seiring dengan pertumbuhan pembangunan di segala
bidang, antara lain: permukiman, kegiatan industri, kegiatan perdagangan dan
oleh karena itu pengadaan sarana pemenuhan kebutuhan air seperti halnya
kebutuhan air bersih akan sangat diperlukan. Akses terhadap air bersih merupakan
salah satu fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai. Sistem air
bersih yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, dan vital bagi kesehatan
manusia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1987 tentang desentralisasi
tanggung jawab pemerintah pusat disebutkan bahwa tanggung jawab untuk
menyediakan suplai air bersih adalah pada pemerintah daerah. Sebagai
perwujudannya, penyediaan sebagian besar kebutuhan air bersih di Indonesia
dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang terdapat di setiap
provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. PDAM merupakan perusahaan
daerah sebagai sarana penyedia air bersih yang diawasi dan dimonitor oleh aparat
eksekutif maupun legislatif daerah. PDAM sebagai perusahaan daerah diberi
tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengelola sistem penyediaan air
bersih serta melayani semua kelompok konsumen dengan harga yang terjangkau.
PDAM bertanggung jawab pada operasional sehari-hari, perencanaan aktivitas,
persiapan dan implementasi proyek, serta bernegosiasi dengan pihak swasta untuk
mengembangkan layanan kepada masyarakat.
Infrastruktur Listrik
Energi listrik diketahui sebagai energi yang paling mudah dipergunakan,
efisien, untuk berbagai keperluan, industri, proses produksi, perkantoran,
pendidikan, perumahan dan kegiatan kegiatan lain yang berhubungan dengan
keperluan hajat hidup manusia. Listrik merupakan salah satu input yang
menunjang peningkatan output barang dan jasa, disamping input barang dan jasa
lainnya. Infrastruktur kelistrikan terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan
penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan
produktifitas sektor produksi.
Di Indonesia, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Perusahaan
Listrik Negara (PLN). Namun sejak tahun 2009, ada usaha memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi
dan swadaya masyarakat untuk membuka jenis usaha pembangkitan, transmisi,
kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam hal pemberian ijin usaha
dan penetapan tarif listrik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.
30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan pendapatan per kapita,
yang diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (Tambunan
2006).
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian
yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi penduduk bertambah. Pada
tingkat regional seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu daerah
kabupaten/kota diukur secara agregat dalam bentuk Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). Seluruh barang dan jasa yang diproduksi dikonversi dalam bentuk
mata uang negara yang bersangkutan agar dapat diagregasikan. Pertumbuhan
ekonomi dapat diukur dari perubahan peningkatan PDB riil pada periode tertentu.
Pada tingkat rumah tangga ataupun individu pertumbuhan ekonomi dapat diukur
dari peningkatan pendapatan rumah tangga atau pendapatan perkapita. Dengan
demikian pertumbuhan ekonomi dapat didekati dengan pengukuran peningkatan
PDB atau peningkatan pendapatan perkapita.
Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa.
Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan
Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan Harrod-Domar, model
perubahan struktural, model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan
endogen. Model pertumbuhan Harrod-Domar menekankan perlunya tabungan
untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang
direpresentasikan oleh peningkatan pendapatan nasional.
Teori perubahan struktural menekankan pada mekanisme transformasi
ekonomi negara terbelakang dengan kegiatan ekonomi yang bersifat pertanian
subsisten menuju negara modern yang berbasis industri manufaktur dan jasa.
Proses transformasi ini disebabkan adanya surplus tenaga kerja di sektor pertanian
Teori pertumbuhan neoklasik dikenal dengan model pertumbuhan Solow
karena pertama kali dikemukan oleh Robert Solow. Menurut teori ini
pertumbuhan ekonomi terjadi tidak saja dipengaruhi oleh peningkatan modal
(melalui tabungan dan investasi) tetapi juga dipengaruhi oleh peningkatan
kuantitas dan kualitas tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan
pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi diminishing return to scale bila input tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant
return to scale bila digunakan secara bersama-sama, serta perekonomian berada
pada keseimbangan jangka panjang (full employment).
Model pertumbuhan endogen memasukkan pengaruh teknologi, investasi
modal fisik dan sumber daya manusia sebagai variabel endogen. Model
pertumbuhan endogen mengeluarkan asumsi diminishing return to scale atas
investasi modal dari model, dan memberikan peluang terjadinya increasing return
to scale dalam produksi agregat dan peran eksternalitas dalam menentukan tingkat
pengembalian investasi modal. Investasi sektor publik dan swasta dalam sumber
daya manusia menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas
sehingga terjadi increasing return to scale dan pola pertumbuhan jangka panjang
yang berbeda-beda antar negara. Tingkat pertumbuhan tetap konstan dan berbeda
antar negara tergantung tingkat tabungan nasional dan tingkat teknologinya.
Tingkat pendapatan perkapita di negara-negara miskin akan modal cenderung
tidak dapat menyamai tingkat pendapatan perkapita di negara kaya, meskipun
tingkat pertumbuhan tabungan dan tingkat pertumbuhan penduduknya serupa.
Aspek yang menarik dari model pertumbuhan endogen adalah mampu
menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang memperparah ketimpangan
antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian atas
investasi yang tinggi yang ditawarkan negara berkembang (rasio modal-tenaga
kerja rendah) akan berkurang dengan cepat karena rendahnya tingkat investasi
sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan
(R&D). Model ini dikembangkan lagi oleh Romer dengan menambahkan asumsi
cadangan modal dalam keseluruhan perekonomian dan adanya eksternalitas
output pada tingkat industri, sehingga terdapat kemungkinan increasing return to scale pada tingkat perekonomian secara keseluruhan.
2.1.4 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Penyediaan Infrastuktur, dan Pendapatan Per Kapita
De (2010) mengembangkan kerangka teori hubungan tata kelola
pemerintahan dengan infrastruktur, yang merupakan modifikasi dari kerangka
determinan pendapatan Rodrik et al. (2002) dan Busse et al. (2007). Pola
hubungan ini dikembangkan dari pemikiran bahwa tata kelola pemerintahan dapat
memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, melalui perdagangan, investasi, infrastruktur,
dan geografis.
Gambar 2 memperlihatkan bahwa tata kelola pemerintahan mempunyai
pengaruh secara langsung terhadap tingkat pendapatan melalui pengurangan
terhadap biaya transaksi. De (2010) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara
bagaimana kualitas institusi memengaruhi pendapatan. Pertama, mengurangi
asimetris informasi melalui pemberian informasi oleh institusi mengenai keadaan,
barang, dan pelaku di pasar secara simetris. Kedua, mengurangi resiko, yaitu
institusi yang baik akan menjamin hak intelektual (property rights). Dan ketiga,
adanya pembatasan terhadap kepentingan kelompok tertentu melalui akuntabilitas.
Tingkat Pendapatan
Keunggulan
komparative, skala
ekonomi, teknologi
Informasi asimetris, risk
premium, kekuatan politik
dan kepentingan kelompok
Daya
tarik Infrastruktur
Produktivitas
pertanian
pasar
Jarak ke pasar
Pengetahuan,
sumber daya,
preferensi
Integrasi Institusi/Tata Kelola
Keterbukaan,
kompetisi, less rent
Geografis Endowments, resource curse
Sumber: De (2010)
Pengaruh tidak langsung tata kelola pemerintahan melalui jalur infrastruktur
adalah bahwa dengan tata kelola pemerintahan yang baik, maka akan ada
keberpihakan (political will) dalam pemanfaatan pengetahuan dan sumber daya
untuk mendorong peningkatan infrastruktur. Selain itu tata kelola pemerintahan
yang baik akan meningkatkan kualitas infrastruktur karena tidak banyak
kebocoran alokasi sumber daya yang disebabkan oleh para pencari rente.
Sehingga dengan infrastruktur yang baik maka akan meningkatkan keunggulan
komparative, meningkatkan efisiensi sehingga tercapai skala ekonomi, dan
infrastruktur sebagai representasi dari kemajuan teknologi.
Litvack et al. (1998) berpendapat bahwa pelayanan publik yang paling
efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang jarak geografis yang paling
minimum, karena:
1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;
2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat,
sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam
penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;
3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya
akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.
Namun, Vazques dan McNab (1997) mengingatkan bahwa terdapat
beberapa hal yang dapat menghambat pencapaian tujuan desentralisasi, seperti:
birokrasi yang dikuasai oleh elit lokal, meningkatnya praktek korupsi di
pemerintahan lokal, dan terbatasnya kapasitas birokrasi lokal. Ketiga hambatan
tersebut mencerminkan bahwa birokrasi atau tata kelola pemerintahan mempunyai
peranan penting dalam pencapaian desentralisasi secara umum. Hal ini juga
dikemukakan oleh Gerittsen (2009), bahwa booming infrastruktur antara tahun
2009-2015 akan menghasilkan pemenang dan pecundang. Pecundang akan
menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan mengorupsi belanja infrastruktur
dan kurangnya kapasitas. Sedangkan pemenang akan menciptakan mesin
pertumbuhan baru bagi generasi selanjutnya melalui energi terbarukan, dan daya
saing global dibidang kesehatan dan pendidikan.
Terdapat sejumlah kebijakan nasional dan daerah yang berkaitan erat
dan jasa (Perpres 8/2006 dan Kepres 80/2003). Peraturan ini dikeluarkan untuk
mengurangi tingkat resiko terjadinya korupsi dan kolusi pada proses tender
proyek pemerintah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas
barang dan jasa yang diadakan karena melalui proses yang lebih transparan dan
akuntabel. Tender proyek pemerintah disini berarti berbagai bentuk investasi
publik pemerintah seperti pembangunan jalan, pengadaan lampu penerangan
jalan, dan pengadaan material jembatan. Disini juga disebutkan pengaturan
mengenai tingkatan subkontrak agen yang disinyalir dapat menurunkan kualitas
barang dan jasa karena terdapat semakin banyaknya agen yang menerima kick-
back fee pada setiap tingkatan kontrak proyek.
Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan
kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha.
Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha
memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah.
Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan
kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi dari pemodalan swasta.
2.1.5 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Penyediaan Infrastruktur
1. Pendapatan Per Kapita
De (2010) menyatakan bahwa hubungan pendapatan per kapita dengan
infrastruktur bersifat daua arah. Peningkatan pendapatan per kapita akan
mendorong permintaan infrastruktur yang akan direspon oleh penyedian
infrastruktur dengan meningkatkan infrastruktur, dan sebaliknya infrastruktur
akan mendorong perekonomian sehingga akan meningkatkan pendapatan per
kapita. Dalam hal ini pendapatan perkapita menjadi demand driver penyediaan
infrastruktur.
2. Belanja Infrastruktur
Belanja publik pemerintah merupakan salah satu sumber pembiayaan
infrastruktur, bahkan untuk jenis infrastruktur yang mempunyai sifat barang
publik murni, maka belanja publik pemerintah menjadi satu-satunya sumber
pendanaan. Seiring dengan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mempunyai
Untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik
sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan
yang dikenal dengan prinsip money follows function. Transfer dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah secara garis besar dibedakan atas bagi hasil (revenue
sharing) dan bantuan (grant). Dana bantuan dibagi lagi menjadi bantuan blok
(block grant) dan bantuan spesifik (specific grant). Dalam Undang-Undang No.
33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa penerimaan daerah adalah Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
DBH merupakan instrumen pemerintah untuk mengurangi ketimpangan
vertikal, dengan pembagian alokasi bagi hasil sumber daya alam yang lebih
berimbang antara pusat dan daerah. Adapun DAU dimaksudkan untuk
mengurangi ketimpangan horizontal, dengan memberikan alokasi dana yang lebih
untuk daerah yang kurang, atau bersifat subsidi silang. Sedangkan DAK
dimaksudkan untuk mendorong penyediaan infrastruktur, yang alokasinya
mensyaratkan bagi daerah untuk menyediakan dana pendamping sebesar 10
persen dari DAK yang diminta.
2.1.6 Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
1. Rata-rata lama sekolah
Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan
ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja,
tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut.
Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu
tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi.
Tournemaine (1997) menyatakan bahwa penduduk dapat berpengaruh
positif maupun negatif terhadap pendapatan per kapita tergantung pada kualitas
penduduknya. Kualitas penduduk menggambarkan tingkat produktivitas.
Produktivitas dan standard of living suatu negara sebagian ditentukan oleh
pertumbuhan penduduknya. Pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap standard
of living digambarkan dalam pendapatan per kapita. Negara yang memiliki
pertumbuhan penduduk tinggi akan memiliki pendapatan per kapita yang rendah.
Alasannya adalah pertumbuhan jumlah tenaga kerja (dicerminkan dari
lebih ―tipis . Jumlah kapital per tenaga kerja yang kecil mengarah pada
produktivitas yang rendah dan GDP per tenaga kerja yang rendah pula.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menghambat pengembangan
human capital. Negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi
memiliki jumlah anak usia sekolah yang besar sehingga membebani sistem
pendidikan negara tersebut dan menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi anak
usia sekolah.
2. Belanja Publik
Menurut Barro (1996), pengeluaran pemerintah yang diarahkan pada
kegiatan yang relatif bersifat investasi, maka pemerintah telah menciptakan
semacam input baru dalam proses produksi secara eksternal yang selanjutnya akan
mendorong kegiatan usaha pada tingkat perusahaan dan pertumbuhan ekonomi
pada tingkat agregat.
Chao dan Grubel (1997) menerangkan bahwa hubungan antara peran
pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi berbentuk
kuadratik. Artinya, peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB
sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada
pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal)
maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat
mencapai nol.
2.2 Tinjauan Empiris
De (2010) mengkaji peran tata kelola terhadap penyediaan infrastruktur
untuk negara-negara di Asia dengan data tahun 1996 dan 2006. Penelitian
menggunakan indeks tata kelola pemerintahan dari World Bank Institute. Selain
menggunakan data agregat penelitian ini juga mengeksplorasi pengaruh dari
masing-masing indikator yang meliputi: kontrol terhadap korupsi, penegakan
hukum, kualitas peraturan, efektivitas pemerintah, stabilitas politik, keterbukaan
dan akuntabilitas. Terdapat enam jenis infrastruktur yang digunakan, yaitu: jalan,
rel kereta, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dan listrik. Keenam jenis
infrastruktur tersebut dijadikan indeks komposit dengan Principal