• Tidak ada hasil yang ditemukan

Is there Any Anomali between Economic Growth and Employment Rate?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Is there Any Anomali between Economic Growth and Employment Rate?"

Copied!
319
0
0

Teks penuh

(1)

0

ADAKAH ANOMALI HUBUNGAN ANTARA

PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN

PENYERAPAN TENAGA KERJA?

SYAFI’I NUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Adakah Anomali Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja?” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Syafi’i Nur

(4)
(5)

iv needs. The extent to which these needs are met depends on the allocation of resources among people and uses and the distribution of opportunities, particularly employment. This research examines whether there is anomaly links between economic growth and employment rate for provinces in Indonesia with various economic performance over 2002-2009 periods. Using panel data models, economic growth, and employment rate as expressed in the econometric function of regional GDP, macroeconomic indicators, educational level and regional minimum wage.

The main result is the long run coefficient of regional GDP has positive impact to the strong and week links provinces categories (quadrants I and III) and the unbalanced links (quadrants II and IV). It explains that economic growth has links to employment rate and indicating that there is a key link back. The link between them is not automatic. The link can be strengthened through sensible policy actions that can make them mutually reinforcing. When the links are strong, they contribute to each other,but when the links are weak or broken, they can become mutually stifling as the absence of one undermines the other. Unbalanced links are the results of rapid employment rate with little growth or of fast growth with slow employment rate.

In the long run, economic growth and employment rate generally move together and tend to be mutually reinforcing. This research also analyzes the response of contribution of sectors to the regional GDP and educational level affected to employment rate, and indicating a change in trend of employment rate. Hence, when the economic growth is positive and inelastic, it means the response of economic growth to change employment rate is relatively low. However, the estimation results are also show that the labor elasticity is positive and tends to decrease over time. Here, the estimation value of economic growth varies across provinces where the strong and weak links have higher elasticity then the unbalanced links.

(6)
(7)

vi

RINGKASAN

SYAFI’I NUR. Adakah Anomali Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja? Dibimbing oleh Hermanto Siregar dan Djoni Hartono.

Pertumbuhan ekonomi memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara atau pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Sejauh mana kebutuhan ini dipenuhi tergantung pada kemampuan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi di antara masyarakat dan distribusi pendapatan serta kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan anomali antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pada provinsi-provinsi di Indonesia dengan menggunakan data panel PDRB, indikator makroekonomi, pendidikan dan UMR periode 2002-2009.

Untuk mencapai tujuan penelitian, digunakan model analisis yaitu: (1) Pooled Least Square (PLS), (2) Fixed Effect Model (FEM) dan (3) Random Effect Model (REM). Selanjutnya, dari hasil estimasi ketiga model tersebut, akan dilakukan beberapa uji statistik untuk melihat model yang lebih valid diantara ketiganya. Uji-uji tersebut antara lain: (i) Uji Chow (uji F), untuk menentukan model yang lebih valid antara model PLS dengan FEM; (ii) Uji Breusch Pagan LM, untuk menentukan model yang lebih valid antara model PLS dengan REM; dan (iii) Uji Hausman, untuk menentukan model yang lebih valid antara model FEM dengan REM. Dari hasil Uji Hausman menunjukkan bahwa Model REM lebih “appropriate” daripada FEM. Langkah selanjutnya dilakukan identifikasi kondisi matrik varians covarians residualuntuk menghindari bias dari model terpilih apabila terdapat heteros-kedastisitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, PDRB dan pendidikan mempunyai dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Hasil estimasi ini konsisten sesuai dengan teori pertumbuhan ekonomi yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu wilayah akan diikuti oleh tingkat penyerapan tenaga kerja, tidak secara langsung tapi ada “lag”. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi sektor mempunyai dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja di semua wilayah. Hanya saja kontribusi sektor di wilayah Kuadran I dan II lebih banyak dibandingkan dengan di wilayah Kuadran II dan IV. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terjadi anomali antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja pada beberapa provinsi di wilayah Kuadran IV. Terjadinya anomali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pertumbuhan sektoral semakin melebar, sektor riil (manufaktur, pertanian dan pertambangan) tumbuh lambat. Sementara sektor perdagangan, komunikasi dan jasa tumbuh cepat. Dari sisi konsumsi, PDB Indonesia maupun PDRB provinsi masih di drive oleh konsumsi rumah tangga (sekitar 61-67 persen), sementara komponen investasi masih minim.

(8)

vii

kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang antara lain share PDRB dan pendidikan. Kedua indikator ini sangat penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja dimasa mendatang.

Masalah-masalah ketenagakerjaan bersifat multi-dimenasional, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan pola hubungan yang kompleks sehingga penyelesaiannya menuntut arah kebijaksanaan serta pendekatan yang multi-dimensional pula. Masalah-masalah ketenagakerjaan tidak dapat diatasi oleh suatu kebijakan tunggal atau merupakan tanggung jawab satu kementrian tertentu. Masalah ketenagakerjaan merupakan masalah yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang lentur (labour market flexibility) (Bappenas,2003).

Pemerintah pusat maupun daerah perlu merumuskan strategi kebijakan yang

serasi agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai lebih “ramah” terhadap tenaga kerja. Pertumbuhan sektor riil perlu dipacu dengan memberikan kemudahan dalam iklim investasi dan perijinan berusaha. Berbagai macam peraturan daerah yang semata-mata hanya mengejar target pendapatan daerah (PAD) perlu ditinjau ulang kalau perlu dihapus bila peraturan itu malah jadi faktor penghambat dalam berinvestasi. Pemerintah harus memposisikan sektor pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas utama dalam pembangunan karena merupakan pilar utama dalam meningkatkan kualitas SDM.

(9)

viii

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(10)
(11)

x

ADAKAH ANOMALI HUBUNGAN ANTARA

PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN

PENYERAPAN TENAGA KERJA?

SYAFI’I NUR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

xii Judul Penelitian :Adakah Anomali Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja?

Nama Mahasiswa : Syafi’i Nur Nomor Pokok : H151064104 Program studi : Ilmu Ekonomi

Menyetujui, 1.Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Dr. Djoni Hartono, S.Si, .MSi

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi Dr. Ir. Darul Syah, M.Sc. Agr

(14)

xiii

(15)

xiv

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan anugerah dan hidayah-Nya sehingga penyusunan penelitian ini dapat menyelesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah Adakah Anomali Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja?”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Djoni Hartono, SSi, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam menyusun penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Program Studi dan Ibu Dr. Ir. Lukitawaty A., M.Si selaku Sekretaris Program Studi. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pimpinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan data, modeling sampai dengan selesainya penelitian ini.

Akhirnya, harapan besar penulis adalah penelitian ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan.

Jakarta, Juni 2011 Penulis,

(16)
(17)

xvi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 6 Pebruari 1965 dari ayah Ahmad Nurhasyim dan ibu Rahayu. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Suratmi dan dikaruniai tiga anak yaitu Irvan Makarimi Ramadhan, Salsabilla Dwiyani Regita Cahyani dan Naufal Ahmad Siammy.

Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri Serangan, Bonang, Demak, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1976, dilanjutkan di SMP Pemda Bonang, Demak, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1980 serta dilanjutkan di SMAN Demak, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 1983. Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka (UT) sambil bekerja di Badan Pusat dan menyelesaikan gelar sarjana statistika pada tahun 1992.

(18)
(19)

i

1.4 Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian……….. 14

II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 15

2.1 Peranan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapaan Tenaga Kerja……….………….. 15

2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi………... 16

2.3 Ketenagakerjaan………... 19

2.4 Pertumbuhan Berpihak kepada Penduduk Miskin (Pro-Poor Growth). 19 2.5 Faktor-faktor Peneybab Penyerapan Tenaga Kerja……… 21

2.5.1 Perubahan Demografi………... 21

III. METODOLOGI PENELITIAN………. 31

3.1 Kerangka Konseptual……… 31

3.2 Hipotesis Penelitian……….. 34

(20)

ii Halaman

IV. POTENSI WILAYAH………. 45

4.1 Penduduk dan Masalah Ketenagakerjan……….. 45

4.2 Kondisi Makro Ekonomi……….. 56

4.3. Peranan Pendidikan……….. 59

4.4. Upah Minimum Regional ………..……….. 61

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 65

5.1 Analisis Deskriptif…..……… 65

5.1.1 Pertumbuhan Ekonomi, Penyerapan Tenaga Kerja dan Anomali..………..…… 65

5.1.2 Elastisitas…..…….………... 67

5.1.3 Plotting Kuadran………. 69

5.2 Analisis Ekonometrika……….………. 79

5.2.1 Hasil Estimasi Koefisien Model Kelompok Kuadran………… 79

5.2.1.1 Wilayah Kuadran I dan III (Hubungan Kuat/Lemah).. 79

5.2.1.2 Wilayah Kuadran II dan IV (Hubungan Tidak Seimbang)………. 81

5.2.3.4 Respons Variabel Pendidikan..……… 84

5.2.3.5 Respons UMR ……….…. 85

5.2.3.6 Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja ... 85

5.2.4 Analisis Lintas Sektor menurut Wilayah Kuadran………. 85

5.2.4.1 Wilayah Kuadran I…….………….……….. 86

5.2.4.2 Wilayah Kuadran II….………….……….. 88

5.2.4.3 Wilayah Kuadran III….………….……….. 89

5.2.4.4 Wilayah Kuadran IV….………….……….. 91

5.2.5 Pengujian Statistik………..…………. 93

5.2.6 Penyebab Anomali………..……… 98

5.2.7 Respon Tenaga Kerja Terhadap PDRB………..…………. 99

(21)

iii

Halaman

VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 105

6.1 Kesimpulan ………..……… 105

6.2 Implikasi Kebijakan……….. 105

6.3. Saran……….. 107

(22)
(23)

v

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Pertumbuhan PDRB menurut provinsi, 2002-2009………. 4 2 Tingkat penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002…………... 7 3 Tingkat penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2009…………... 8 4 Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja menurut provinsi,

2002-2009……… 9

5 Variabel yang digunakan dalam analisis………. 36

6 Jumlah penduduk dan jumlah penduduk yang bekerja

menurut provinsi, 2002-2009……... 47

7 Jumlah dan persentase pekerja menurut sektor…………..…………. 48

8 Persentase kontribusi sektor terhadap PDRB menurut

provinsi, 2002……….. 49

9 Persentase kontribusi sektor terhadap PDRB menurut

Provinsi, 2009……….. 50

10 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Pertanian

menurut provinsi, 2002-2009………... 51 11 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Industri

menurut provinsi, 2002-2009………... 53 12 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Perdagangan

menurut, 2002-2009………. 55

13 Pertumbuhan penyerapan pekerja Sektor Jasa

menurut, 2002-2009………. 56

14 Inflasi menurut provinsi, 2002-2009……… 58 15 Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan tingkat

suku bunga, 2002-2009……… 59

16 Persentase tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan

SD dan SMP menurut provinsi, 2002-2009………. 60 17 Persentase tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan

SMA dan Perguruan Tinggi/Universitas menurut provinsi,

(24)

vi

Tabel Halaman

18 Upah Minimum Regional (UMR) menurut provinsi,

2002-2009……… 63

19 Rata-rata pertumbuhan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan

elastisitas tenaga kerja menurut provinsi, 2002-2009………. 66 20 Rata-rata pertumbuhan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan

elastisitas tenaga kerja Indonesia, 2002-2009………. 68 21 Hasil plotting antara rata-rata pertumbuhan PDRB dan

pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, 2002-2009………. 71 22 Rata-rata pertumbuhan PDRB menurut sektor dan wilayah,

2002-2009……… 73

23 Penyerapan tenaga kerja menurut sektor dan wilayah,

2002-2009 ... 75 24 Pertumbuhan penduduk menurut tingkat pendidikan yang

ditamatkan dan wilayah, 2002-2009... 76 25 Pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan elastisitas

(25)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Pertumbuhan PDB Indonesia selama 26 tahun terakhir,

1983-2009………. 3

2 Tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia 1983-2009………... 5 3 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan

penyerapan tenaga kerja, 2002-2009…... 12 4 Pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan

ketenagakerjan ………... 16 5 Grafik keseimbangan pasar tenaga kerja…..……….. 25

6 Kerangka operasional penelitian.……….. 34

7 Wilayah plotting kuadran.………... 38

8 Distribusi PDB menurut sektor, 2009………... 52

9 Wilayah plotting kuadran………... 67 10 Plotting pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja,

2002-2009 ... 70 11 Peta tematik pertumbuhan PDRB dan penyerapan tenaga kerja,

2002-2009 ... 72 12 Rata-rata pertumbuhan PDRB menurut sektor dan wilayah,

2002-2009 ... 74 13 Penyerapan tenaga kerja menurut sektor dan wilayah,

2002-2009 ... 75 14 Pertumbuhan penduduk menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan

dan wilayah, 2002-2009 ... 77 15 Pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan elastisitas

(26)
(27)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesejahteraan penduduk berkaitan erat dengan pendapatan yang diperoleh rumah tangga. Dalam welfare economics, pendapatan rumah tangga tidak terlepas dari masalah ketenagakerjaan dalam arti pendapatan ataupun penghasilan yang diperoleh rumah tangga berkaitan dengan usaha atau pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga. Dengan pendapatan yang diperoleh maka rumah tangga akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyekolahkan anggotanya. Melalui salah satu jalur pendidikan inilah maka sumber daya manusia dapat ditingkatkan sehingga mempunyai kesempatan lebih besar untuk memperoleh pekerjaan.

Pertumbuhan ekonomi memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara atau pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Tetapi sejauh mana kebutuhan ini dipenuhi tergantung pada kemampuan negara atau pemerintah dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi di antara masyarakat dan distribusi pendapatan serta kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan sarana utama untuk mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan manusia yang secara empirik terbukti merupakan syarat perlu (necessary condition) tetapi tidak cukup (sufficient condition) bagi pembangunan manusia. Dalam hal ini ketenagakerjaan merupakan jembatan utama yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kapabilitas manusia (UNDP, 19961). Dengan perkataan lain, yang diperlukan bukan semata-mata pertumbuhan tetapi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dalam arti berpihak kepada tenaga kerja.

Selama bertahun-tahun pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan utama bagi para pemimpin politik dan pengambil keputusan berdasarkan suatu pandangan bahwa semakin banyak distribusi barang-barang dan jasa akan meningkatkan derajat hidup masyarakat. Pertumbuhan ekonomi sering kali dipandang sebagai solusi untuk memecahkan permasalahan lain seperti meningkatnya jumlah pencari

1

(28)

2 kerja maupun untuk mengurangi defisit anggaran. Perkembangan selanjutnya muncul pertanyaan apakah pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan yang sangat berarti? ataukah pembangunan manusia melalui suatu ―jembatan‖ yang disebut dengan penyerapan tenaga kerja merupakan tujuan riil yang ingin dicapai? Jika tujuan dari pembangunan adalah pembangunan manusia, maka pertumbuhan ekonomi seharusnya tidak semata-mata diukur sebagai semakin melimpahnya barang produksi, tetapi bagaimana pembangunan itu sendiri dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat khususnya dalam menyerap tenaga kerja.

Perkembangan selanjutnya ditandai munculnya suatu keraguan terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi bukan merupakan jawaban untuk menyelesaikan semua masalah. Hal ini bukan tanpa alasan tetapi didasari fakta bahwa sebagian masyarakat tetap miskin meskipun hidup ditengah-tengah lingkungan kemewahan. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga terjadi pada negara-negara yang sudah maju. Berdasarkan bukti empirik menunjukkan bahwa suatu wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun mempunyai tingkat pengangguran yang juga tinggi. Dalam kasus ini, pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah kurang menciptakan lapangan kerja. Hal inilah kemudian menimbulkan perdebatan antara kelompok yang

mendukung pertumbuhan ekonomi yang disebut ―pro-growth‖ dan kelompok

yang menentang atau yang ―anti-growth‘. Pertumbuhan ekonomi selayaknya dipandang tidak hanya dari sisi kuantitas tetapi yang lebih penting adalah kualitas dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Apakah pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan pertumbuhan yang berkualitas? Lalu bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi dilihat dalam perpektif wilayah yang lebih kecil misalnya pada tingkat provinsi? Apakah semua provinsi mempunyai pola pertumbuhan ekonomi sama dengan pola nasional? Apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh provinsi dapat menyerap tenaga kerja? Atau pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran?

(29)

3 penyerapan tenaga kerja pada provinsi-provinsi di Indonesia selama kurun waktu tertentu. Penelitian ini mencoba untuk menjawab pertanyaan diatas berdasarkan tren data tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja.

Sejarah perkembangan perekonomian Indonesia mengalami pasang surut dan sangat dipengaruhi oleh kondisi internal maupun ekternal. Kondisi politik dan keamanan dalam negeri sangat berpengaruh terhadap pembangunan dibidang ekonomi. Demikian pula faktor eksternal, bila terjadi goncangan ekonomi utamanya di negara maju maka dampaknya akan terasa terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Setelah mengalami pertumbuhan yang luar biasa selama 1970-1996, ekonomi Indonesia mengalami krisis mulai pertengahan tahun 1997. Kondisi ini membuat tekanan terhadap sektor ekonomi semakin berat. Pada tahun 1998, Produk Domestik Bruto (PDB) atau Growth Domestic Product (GDP) turun menjadi 13 persen (minus) setelah mengalami pertumbuhan 4,7 persen pada tahun 1997. Pada waktu yang bersamaan inflasi turun dari 6,6 persen menjadi 77,7 persen (lihat Grafik 1.1).

(30)

4 Tabel 1.1: Pertumbuhan PDRB menurut provinsi, 2002-2009

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Catatan: Provinsi-provinsi baru yang belum terbentuk pada tahun 2002 seperti Sulawesi

Barat digabung dengan provinsi induknya Sulawesi Selatan, Provinsi Kepulauan Riau

digabung dengan Riau dan Provinsi Papua Barat digabung dengan Papua

Provinsi 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Rata-Rata

Aceh 20,07 5,52 -9,63 -10,12 1,56 -2,36 -5,27 -5,58 -0,73

Sumatera Utara 4,56 4,81 5,74 5,48 6,20 6,90 6,39 5,07 5,65

Sumatera Barat 4,69 5,26 5,47 5,73 6,14 6,34 6,37 4,16 5,52

Riau 2,62 3,64 4,70 5,99 5,96 5,21 6,15 3,21 4,68

Jambi 5,86 5,00 5,38 5,57 5,89 6,82 7,16 6,37 6,01

Sumatera Selatan 3,08 3,68 4,63 4,84 5,20 5,84 5,07 4,10 4,55

Bengkulu 4,73 5,37 5,38 5,82 5,95 6,46 4,93 4,04 5,33

Lampung 5,62 5,76 5,07 4,02 4,98 5,94 5,26 5,07 5,22

Bangka Belitung 6,75 11,93 3,28 3,47 3,98 4,54 4,49 3,53 5,25

DKI Jakarta 4,89 5,31 5,65 6,01 5,95 6,44 6,22 5,01 5,68

Jawa Barat 3,76 4,67 4,77 5,60 6,02 6,48 5,84 4,29 5,18

Jawa Tengah 3,55 4,98 5,13 5,35 5,33 5,59 5,46 4,71 5,01

DI. Yogyakarta 4,50 4,58 5,12 4,73 3,70 4,31 5,02 4,39 4,54

Jawa Timur 3,80 4,78 5,83 5,84 5,80 6,11 5,94 5,01 5,39

Banten 4,11 5,07 5,63 5,88 5,57 6,04 5,77 4,69 5,35

Bali 3,04 5,57 4,62 5,56 5,28 5,92 5,97 5,33 5,16

Nusa Tenggara Barat 3,51 3,90 6,07 1,71 2,77 4,91 2,63 8,99 4,31

Nusa Tenggara Timur 4,88 4,57 4,77 3,46 5,08 5,15 4,81 4,24 4,62

Kalimantan Barat 4,55 3,12 4,79 4,69 5,23 6,02 5,42 4,76 4,82

Kalimantan Tengah 5,30 4,91 5,56 5,90 5,84 6,06 6,16 5,48 5,65

Kalimantan Selatan 3,80 4,37 5,12 5,06 4,98 6,01 6,23 5,01 5,07

Kalimantan Timur 1,74 1,86 1,75 3,17 2,85 1,84 4,79 2,32 2,54

Sulawesi Utara 3,32 3,20 4,26 5,35 5,72 6,47 7,56 7,85 5,46

Sulawesi Tengah 5,62 6,21 7,15 7,57 7,82 7,99 7,76 7,66 7,22

Sulawesi Selatan 4,14 4,32 5,56 3,02 6,81 6,88 8,16 6,12 5,63

Sulawesi Tenggara 6,66 7,57 7,51 7,31 7,68 7,96 7,27 7,57 7,44

Gorontalo 6,45 6,88 6,93 7,19 7,30 7,51 7,76 7,54 7,19

Maluku 2,87 4,31 4,43 5,07 5,55 5,62 4,23 5,43 4,69

Maluku Utara 2,44 3,82 4,71 5,10 5,48 6,01 5,98 6,02 4,94

Papua 5,11 3,70 -7,57 21,60 -6,29 5,64 3,28 13,30 4,85

(31)

5 Mulai 1999, kondisi ekonomi mulai menunjukkan pemulihan secara perlahan. Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 3,5 persen pada tahun 2001 naik menjadi 4,1 persen pada tahun 2003 dan pada tahun 2009 diperkirakan PDB tumbuh sekitar 4,5 persen (lihat Tabel 1.1). Bila dilihat pada tataran provinsi maka pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2009 sangat bervariasi, yang terendah adalah Provinsi Aceh sebesar -5,58 persen (tanda minus mengalami penurunan) dan yang tertinggi Provinsi Nusa Tengara Barat sebesar 8,99 persen2. Tumbuhnya ekonomi secara moderat lebih banyak didorong karena faktor konsumsi, berupa belanja oleh pemerintah maupun swasta. Kondisi ini tidak didiiringi dengan penciptaan lapangan kerja baru dengan kata lain pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum optimal untuk menyerap tenaga kerja seperti yang diharapkan. Grafik 1.2 mengilutrasikan kondisi tersebut.

Grafik 1.2: Tingkat penyerapan tenaga kerja Indonesia, 1983-2009 Sumber: BPS

Pertumbuhan ekonomi yang lambat pulih tersebut diiringi dengan tingkat penduduk yang bekerja yang cenderung menurun merupakan permasalahan utama di sektor ketenagakerjaan. Walaupun laju pertumbuhan ekonomi tahun 2009 sekitar 4,5 persen, namun hal tersebut belum secara nyata dapat meningkatkan

2

(32)

6 daya serap tenaga kerja. Teori ekonomi menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi, yang menunjukkan semakin banyaknya output nasional mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja, sehingga seharusnya mengurangi pengangguran. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi disisi lain tingkat penyerapan tenaga kerja relatif rendah?

Periode setelah krisis terdapat karakteristik seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi dan masih tingginya tingkat pengangguran sebagai dampak dari rendahnya dan turunnya investasi. Tantangan pemerintah saat ini adalah bagaimana meningkatkan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tetapi berpihak kepada tenaga kerja sehingga secara terus-menerus akan dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014 dengan target mengurangi tingkat pengangguran dari 8 persen tahun 2009 menjadi 5-6 persen pada tahun 2014 serta pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5 persen tahun 2009 naik menjadi sekitar 6,3-6,8 persen per tahun dan kemiskinan akan berkurang dari 17 persen pada tahun 2009 menjadi 8-10 persen pada tahun 2014. Semua sasaran kuantitatif itu tampaknya harus dicapai dengan kerja keras. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 berkisar 4,5 persen, sementara angka pengangguran menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2009 masih sekitar 7,9 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah sekitar 113,8 juta jiwa.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat pertumbuhan penduduk yang bekerja juga mengalami keanikan selama kurun waktu tersebut. Tabel 1.2 dan Tabel 1.3 menunjukkan persentase penduduk yang bekerja untuk tingkat nasional sebesar 90,9 persen tahun 2002 naik menjadi 92,1 persen tahun 2009. Selama kurun waktu 2002-20093 tersebut jumlah penduduk yang bekerja mengalami kenaikan sebesar 1,94 persen per tahun. Bila dilihat pada tataran provinsi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sangat bervariasi mulai dari yang

3

(33)

7

Nusa Tenggara Barat 1.868.188 139.354 2.007.542 93,1

Nusa Tenggara Timur 1.852.866 84.181 1.937.047 95,7

Kalimantan Barat 1.883.117 176.485 2.059.602 91,4

terendah sekitar 0,25 persen untuk Provinsi Sumatera Selatan sampai dengan yang tertinggi sebesar 5,68 persen per tahun untuk Gorontalo.

Tabel 1.2:. Tingkat Penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002

(34)

8 Tabel 1.3:. Tingkat Penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2009

Sumber: Sakernas 2009. BPS

Nusa Tenggara Barat 1.967.380 131.258 2.098.638 93,7

Nusa Tenggara Timur 2.160.733 89.395 2.250.128 96,0

(35)

9

Tabel 1.4:. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002-2009

(36)

10 Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Provinsi Aceh mempunyai tingkat pertumbuhan paling kecil yaitu -0,73 persen4 per tahun dan Sulawesi Tenggara mempunyai tingkat pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 7,44 persen per tahun. Tabel 1.1 tersebut juga mengilustrasikan bahwa provinsi-provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak selalu diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi, sebagian mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah. Sebaliknya, provinsi-provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah tidak selalu diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah tetapi sebagian mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah ada yang salah dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu wilayah dalam hal ini provinsi? Apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dicapai menjadi jaminan bahwa akan menciptakan penyerapan tenaga yang tinggi pula? Sebenarnya masalah pertumbuhan ekonomi yang hanya mengejar dari aspek kuantitas mendapat kritikan dari United Nations Development Programme (UNDP) sekitar 15 tahun yang lalu. UNDP mengkritik para pembuat kebijakan yang terlalu terpikat oleh aspek kuantitas pertumbuhan ekonomi dan mengadvokasi mereka agar memberi perhatian yang memadai terhadap aspek struktur dan kualitasnya. UNDP mengingatkan konsekuensi yang akan dihadapi jika aspek kualitatif ini diabaikan sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini (UNDP, 1996:2):

Unless governments take timely corrective action, economic growth can become lopsided and flawed. Determined efforts are needed to avoid growth that is jobless, ruthless, voiceless and futureless”

(Kecuali jika pemerintah mengambil suatu tindakan koreksi yang tepat, pertumbuhan ekonomi dapat menjadi pincang dan cacat. Upaya yang menentukan dibutuhkan untuk menghindari pertumbuhan yang tidak menyerap tenaga kerja, kesenjangan, tanpa partisipasi masyarakat/demokrasi, dan tanpa-masa-depan). (terjemahan bebas peneliti).

4

(37)

11 Istilah pertumbuhan berkualitas memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam bahasa lugas supaya mudah dipahami. Sederhananya, tidak terlalu keliru jika kita memandangnya dari sisi negatif atau komplemennya yaitu pertumbuhan tak berkualitas. Menurut UNDP pertumbuhan ekonomi timpang atau cacat (anomali) jika ekonomi secara keseluruhan tumbuh tetapi tidak memperluas kesempatan kerja. Ini bukan istilah yang bersifat teoritis-hipotesis semata melainkan merujuk pada situasi konkrit di lapangan berdasarkan bukti yang sangat menyakinkan. Adapun ciri-ciri pertumbuhan tak berkualitas menurut UNDP:

 Sebagian besar manfaat pertumbuhan ekonomi menguntungkan kelompok kaya, mengabaikan jutaan penduduk berjuang dalam kemiskinan yang semakin mendalam (ruthless growth)

 Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan perluasan demokrasi dan pemberdayaan (voiceless growth)

 Pertumbuhan ekonomi menyebabkan budaya melemah (rootless growth)

 Generasi sekarang menghamburkan sumber daya yang dibutuhkan oleh generasi mendaang (futureless growth)

1.2 Permasalahan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 2002-2009 relatif cukup tinggi yaitu sekitar 5-6 persen per tahun. Tiga provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi ditempati secara berurutan oleh Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Dari ketiga provinsi tersebut hanya Gorontalo yang mempunyai tingkat pertumbuhan penyerapan temaga kerja yang relatif tinggi. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah tidak diikuti oleh perluasan kesempatan kerja dengan kecepatan yang setara. Dua propinsi yang disebutkan terakhir adalah contoh kasus jobless growth, contoh propinsi yang memiliki pertumbuhan tak-berkualitas. Propinsi semacam ini akan analisis lebih lanjut untuk melihat struktur PDRB sehingga dapat diidentifikasi sumber masalah dan hasilnya dapat dijadikan dasar untuk merumuskan strategi pertumbuhan yang lebih

(38)

12 Grafik 1.3: Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja 2002-2009 (diurutkan menurut Pertumbuhan Ekonomi)

Sumber: BPS

(39)

13 Meskipun pertumbuhan ekonomi sudah menunjukkan geliatnya kembali, namun kondisinya belum sama seperti sebelum kejadian tsunami. Dari ketiga provinsi tersebut hanya Kalimantan Timur yang mempunyai tingka pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Aceh dan Nusa Tenggara Barat tidak diikuti oleh perluasan kesempatan kerja dengan kecepatan yang setara. Dua propinsi yang disebutkan terakhir adalah contoh kasus jobless growth. Seperti halnya tiga povinsi yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, propinsi semacam ini juga akan analisis lebih lanjut untuk melihat struktur PDRB sehingga dapat diidentifikasi sumber masalah dan hasilnya dapat dijadikan dasar untuk merumuskan strategi pertumbuhan yang lebih ‗ramah‘ terhadap tenaga kerja.

Gambaran mengenai besarnya variasi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan tenaga kerja disajikan pada Grafik 1.3 di atas menunjukan bahwa antara kedua indikator tidak terdapat pola umum dan konsisten (dengan koefisien korelasi antara keduanya sebesar 0,081 yang secara statistik tidak signifikan).

Dari pemaparan di atas, beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini antara lain:

1) Bagaimanakah gambaran pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi di Indonesia merupakan pertumbuhan berkualitas jika dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja?

2) Apakah bentuk hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja pada provinsi-provinsi di Indonesia sesuai dengan hipotesis teori ekonomi?

(40)

14

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut diatas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1) mengalisis terjadinya anomali tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja,

2) mengetahui apakah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja sesuai dengan teori ekonomi, dan

3) mengetahui respon pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada provinsi-provinsi di Indonesia yang tercermin melalui elastisitas tenaga kerja.

1.4 Manfaat dan Ruang Lingkup penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya bidang ekonomi dan sosial yang terkait dengan isu ketenagakerjan dan sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan di bidang ketenagakerjaan khususnya dalam upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran baik tingkat nasional maupun antar wilayah.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1) Tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan acuan bagi provinsi untuk mengelolanya secara efektif dan efisien serta dapat dijadikan sebagai faktor pendorong (push factor) untuk membuat kebijakan yang berpihak pada penciptaan lapangan kerja.

2) Apabila faktor penyebab terjadinya anomali antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dapat diidentifikasi, maka pemerintah daerah di provinsi-provinsi dalam kategori tersebut dapat mereposisi kebijakan pada sektor-sektor padat karya

(41)

15 II. TINJUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja

Pembangunan berbasis ketenagakerjaan tidak dapat disederhanakan menjadi sekedar pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat saja dilakukan dengan, misalnya memfokuskan pada sektor-sektor padat modal, tanpa harus diikuti penciptaan tenaga kerja yang memadai. Pengalaman pembangunan selama Orde Baru memberikan ilustrasi sepintas bagaimana

―mudahnya‖ memicu pertumbuhan melalui pendekatan itu.

Pernyataan di atas sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak penting. Bahkan dalam perpektif pembangunan manusia (human development) pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada negara pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang cukup bagi pembangunan manusia. Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui berbagai jalur antara lain yang penting ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kapabilitas manusia jika pertumbuhan itu berdampak secara positif terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha.

(42)

16 Grafik 2.1: Pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan ketenagakerjan Sumber: UNDP, 1996

2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah. Ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu. Pertumbuhan

Pembangunan

(43)

17

ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan, maka itu menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut berkembang dengan baik.

Terjadinya pertumbuhan ekonomi akan menggerakan sektor-sektor lainnya sehingga dari sisi produksi akan memerlukan tenaga kerja produksi. Suatu pandangan umum menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (growth) berkorelasi positif dengan tingkat penyerapan tenaga kerja (employment rate). Tetapi ada juga dugaan bahwa dengan produktivitas yang tinggi bisa berarti akan lebih sedikit tenaga kerja yang dapat diserap. Berpijak dari teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Solow tentang fungsi produksi agregat (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2004) menyatakan bahwa ouput nasional (sebagai representasi dari pertumbuhan ekonomi disimbolkan dengan Y) merupakan fungsi dari modal (kapital=K) fisik, tenaga kerja (L) dan kemajuan teknologi yang dicapai (A). Faktor penting yang mempengaruhi pengadaan modal fisik adalah investasi), dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi diduga akan membawa dampak positif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja seperti ditunjukkan oleh model berikut:

Y = A.F(K,L)

di mana Y adalah output nasional (kawasan), K adalah modal (kapital) fisik, L adalah tenaga kerja, dan A merupakan teknologi. Y akan meningkat ketika input (K atau L, atau keduanya) meningkat. Faktor penting yang mempengaruhi pengadaan modal fisik adalah investasi. Y juga akan meningkat jika terjadi perkembangan dalam kemajuan teknologi yang terindikasi dari kenaikan A. Oleh karena itu, pertumbuhan perekonomian nasional dapat berasal dari pertumbuhan input dan perkembangan kemajuan teknologi—yang disebut juga sebagai pertumbuhan total faktor produktivitas.

Share dari setiap input terhadap output mencerminkan seberapa besar pengaruh dari setiap input tersebut terhadap pertumbuhan output. Hubungan ini dapat diperlihatkan oleh persamaan berikut:

(44)

18 dimana:

Y = Pertumbuhan output (Output growth) LS = Kontribusi tenaga kerja (Labor share)

RL = Pertumbuhan tenaga kerja (Labor growth)

KS = Kontribusi modal/kapital (Capital share)

RK = Pertumbuhan modal/kapital (Capital growth)

A = Teknologi (Technological progress)

Persamaan diatas menunjukkan bahwa perbedaan dalam besarnya sumbangan input-input tertentu terhadap pertumbuhan output di masing-masing negara atau provinsi menyebabkan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara atau provinsi.

Model Solow dapat diperluas sehingga mencakup sumberdaya alam sebagai salah satu inputnya. Dasar pemikirannya yaitu output nasional tidak hanya dipengaruhi oleh K dan L saja tetapi juga dipengaruhi oleh lahan pertanian atau sumberdaya alam lainnya seperti cadangan minyak. Perluasan model Solow lainnya adalah dengan memasukkan sumberdaya manusia sebagai modal (human capital). Dalam literatur, teori pertumbuhan seperti ini terkategori sebagai teori pertumbuhan endogen dengan pionirnya Lucas dan Romer. Lucas menyatakan bahwa akumulasi modal manusia, sebagaimana akumulasi modal fisik, menentukan pertumbuhan ekonomi; sedangkan Romer berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tingkat modal manusia melalui pertumbuhan teknologi.

Secara sederhana, dengan demikian, fungsi produksi agregat dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

Y = A.F(K, H, L)

(45)

19 pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari pada yang tidak melakukannya. Dengan kata lain, investasi terhadap sumberdaya manusia melalui kemajuan pendidikan akan menghasilkan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Apabila investasi tersebut dilaksanakan secara relatif merata, maka tingkat penyerapan tenaga kerja akan semakin meningkat.

2.3 Ketenagakerjaan

Tenaga kerja adalah modal bagi bergeraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Dalam kegiatan proses produksi, tenaga kerja merupakan faktor yang terpenting, karena manusia yang menggerakan semua sarana produksi seperti bahan mentah, tanah , air dan sebagainya.

Meningkatnya jumlah penduduk tidak hanya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pangan, sandang, perumahan tapi juga perlunya perluasan kesempatan kerja. Penduduk sebagai sumber dari persediaan tenaga kerja akan menimbulkan suatu dilema bila jumlahnya tidak seimbang dengan kemampuan sektor ekonomi. Dilema yang terjadi adalah banyaknya pengangguran maupun setengah pengangguran dan paling tidak akan banyak terjadi ketidaksesuaian antara pendidikan dengan pekerjaan yang ditangani.

2.4 Pertumbuhan Berpihak kepada Penduduk Miskin (Pro-Poor Growth)

(46)

20

“...ADB‟s Fighting Poverty in Asia and The Pacific: The Poverty

Reduction Strategy indicates that growth is pro-poor when it is labour absorbing and accompanied by policies and programs that mitigate inequalities and facilitate income and employment generation for the poor, particularly women and other traditionally excluded groups”.

(―...ADB (Asian development Bank/Bank Pembangunan Asia) sedang bertarung melawan kemiskinan di Asia-Pasifik: Strategi pengentasan kemiskinan mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih berpihak kepada penduduk miskin melalui penyerapan tenaga kerja diiringi program dan kebijakan mengurangi ketidakmerataan serta memfasilitasi pendapatan dan generasi pekerja berikutnya diperuntukan bagi penduduk miskin,

khususnya wanita dan kelompok tradisional lainnya‖.) (terjemahan bebas peneliti).

Menurut pandangan growth pro-poor, penduduk miskin seharusnya memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan ikut berperan serta dalam proses kegiatan ekonomi. Kraay (2006) menemukan tingginya laju pertumbuhan rata-rata pendapatan dan pola pertumbuhan dari pengentasan kemiskinan melalui pendapatan sangat relevan khususnya pada penjelasan tentang perubahan kemiskinan berdasarkan analisis berbagai negara. Dia juga menyarankan agar pertumbuhan rata-rata pendapatan merupakan titik awal (starting point) dalam mengembangkan pro-poor growth.

(47)

21 (―…ada tiga sumber potensi dari pro-poor growth: (a) tingginya

laju pertumbuhan rata-rata pendapatan; (b) tinginya tingkat sensitivitas kemiskinan dari rata-rata pendapatan; dan (c) pola pertumbuhan pengentasan kemiskinan dalam pendapatn relatif. [..] Perbedaan pertumbuhan dalam rata-rata pendapatan merupakan faktor dominan dalam menjelaskan perubahan dalam kemiskinan [..] pencarian pro-poor growth seharusnya dimulai dengan memfokuskan pada determinan pertumbuhan dari rata-rata pendapatan‖.) (terjemahan bebas peneliti)

Sejalan dengan pemikiran Kraay, (Ravallion and Chen, 2003) menyatakan bahwa rata-rata laju pertumbuhan kemiskinan merupakan alat ukur yang lebih baik untuk pro-poor growth dengan menggunakan quintil dari distribusi pendapatan. Dengan mennggunkan kurva pertumbuhan, distribusi pertumbuhan dapat ditelusuri berdasarkan kurun waktu yang sesuai. Mereka menggunakan Negara China sebagai sampel dan menemukan bahwa laju pro poor growth sekitar 4 persen sehingga China merupakan negara yang paling berhasil dalam menngurangi penduduk miskin.

2.5 Faktor-faktor Penyebab Penyerapan Tenaga Kerja

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya penyerapan tenaga kerja pada tingkat provinsi dilihat lain perubahan demografi, hambatan sosial-ekonomi, komposisi industri, tingkat upah dan lapangan kerja.

2.5.1 Perubahan Demografi

Ditinjau dari sisi demografi, penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perubahan struktur umur, fertilitas, gender, pendidikan, angkatan kerja, migrasi dan beban ketergantungan (dependency ratio).

(48)

22 kerja disebabkan karena perubahan struktur umur penduduk yang masuk dalam kategori bekerja usia 15 tahun keatas relatif tinggi dan didominasi umur 15-24 tahun. Akibatnya tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan pengangguran usia dewasa. Salah satu faktor penyebabnya adalah tingginya frekuensi dalam pergantian/pencarian kerja pada kelompok umur tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian mereka.

 Fertilitas: Pertumbuhan jumlah penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: fertilitas (tingkat kelahiran), mortalitas (tingkat kematian) dan migrasi (perpindahan). Angka fertiltas yang tinggi di suatu wilayah menunjukkan banyaknya kelahiran (penduduk baru) yang pada akhirnya menambah jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk akan mempengaruhi jumlah angkatan kerja yang pada gilirannya akan manambah jumlah pencari kerja.

 Gender: Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja terbagi menjadi angkatan kerja pria dan wanita. Pria pada umumnya dituntut memikul tanggung jawab untuk menghidupi keluarga. Menurut Chuang dan Lai (2007) pria lebih termotivasi dan aktif dalam mencari pekerjaan dan lebih enggan untuk berhenti bekerja daripada perempuan. Oleh karena itu pekerja pria jauh lebih besar dari pekerja wanita karena wanita umumnya lebih dituntut dalam mengurus rumah tangga.

 Pendidikan: Elhorst (2003) menyatakan dalam beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan berikut: Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang.

(49)

23 Dengan demikian semakin tinggi dependency ratio di suatu wilayah tersebut semakin rendah tingkat pengangguran (Chuang dan Lai 2007).

 Migrasi: Filiztekin (2007) menyatakan bahwa migrasi bisa mempengaruhi sisi supply maupun demand tenaga kerja. Migrasi keluar bisa mengurangi labor supply, sementara migrasi masuk bisa menyebabkan peningkatan supply tenaga kerja (pengaruh langsung) dan demand tenaga kerja (tidak langsung). Efek terhadap demand tenaga kerja yaitu jika migran berketerampilan dan berpendidikan tinggi, migran memiliki kontribusi human capital dalam bentuk akumulasi keahlian, bakat kewirausahaan keterampilan dan inovasi yang akan berkontribusi terhadap produktivitas lokal sehingga produksi dapat meningkat. Selanjutnya hal ini dapat berimplikasi terhadap demand tenaga kerja.

2.5.2 Hambatan Sosial dan Ekonomi

Adanya pengangguran di suatu wilayah menggambarkan adanya slow operation of equilibrating mechanisms yang disebabkan adanya hambatan ekonomi dan sosial. Perilaku migrasi tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan konsep ekonomi. Hambatan sosial dan ekonomi bisa memisahkan pasar tenaga kerja regional (friction) yang terdiri dari:

1) Hambatan sosial yang muncul akibat adanya kebijakan „social security‟. Banyak studi telah mengkaji dampak asuransi pengangguran terhadap pencarian pekerjaan. Keberadaan sistem „social security‟ atau asuransi pengangguran pada khususnya berhubungan positif dengan tingkat

pengangguran regional karena sistem ini mengurangi biaya dari ‗menganggur‘

(50)

24 2) Hambatan ekonomi yang disebabkan adanya tingkat kepemilikan rumah.

Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat kepemilikan rumah dengan tingkat pengangguran yaitu “a house ownership variabel to stand for the workers community identity and social networks affect the cost of migration and thus workers mobility. Strong community identification and cohesive social networks increase the cost of

migration”.

2.5.3 Komposisi Industri

Salah satu penyebab pengangguran regional adalah struktur perekonomian dalam suatu wilayah. Chuang dan Lai (2007) menyatakan pergeseran dalam komposisi industri berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja pada level regional sehingga akan mempengaruhi tingkat pengangguran regional. Hal ini juga diperkuat oleh Wu (2003) bahwa persistensi pengangguran regional tergantung pada struktur ekonomi wilayah tersebut. Tiap sektor akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian kerja, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja.

2.5.4 Kekakuan Upah (Wage Rigidity)

(51)

25 Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran.

Grafik 2.2: Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Sumber: Mankiw (2003)

Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Grafik 2.2, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003).

(52)

26 keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang ini menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah.

Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi. Ketika terjadi inflasi, pekerja akan menuntut kenaikan upah yang

―memaksa‖ perusahaan untuk meningkatkan upah, karena adanya biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah tidak dikabulkan perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi).

2.5.5. Waktu Mencari Pekerjaan

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh pekerjaan merupakan permasalahan bagi mereka yang ingin bekerja. Memperoleh suatu pekerjaan bisa menjadi lebih lama atau lebih cepat karena dipengaruhi oleh komposisi industri, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, dan migrasi. Para pencari kerja membutuhkan waktu untuk mencocokkan antara kualifikasi, keahlian yang dimiliki dengan lowongan kerja yang tersedia. Perbedaan keahlian dan upah dari setiap pekerjaan memungkinkan para pencari kerja tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan. Kondisi ini akan menyebabkan pengangguran semakin sulit untuk berkurang. Menurut Mankiw (2003), pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran friksional. Sumber utama pengangguran ini adalah angkatan kerja muda.

2.6 Kajian Studi Terdahulu

(53)

27 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif dan nyata (significant) terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja. Namun dampaknya tidak secara langsung, perlu beberapa kuartal (lag) agar secara penuh bisa mempengaruhinya. Kombinasi hubungan keduanya akan menghasilkan hubungan yang substansial dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja.

Siregar, dkk (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa paradoks pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak terjadi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan pengangguran melalui perluasan kesempatan kerja dalam jangka panjang. Sumber munculnya paradoks pada tenaga kerja agregat maupun sektor secara umum dipengaruhi oleh guncangan harga maupun indikator makroekonomi seperti guncangan sukubunga, kurs rupiah maupun karena ketidakefisienan yang ditunjukkan oleh tingginya biaya overhead

terhadap total (biaya ―siluman‖) pada Sektor Industri.

Sementara itu, Boltho dan Glyn (1995) di dalam penelitiannya di negara-negara maju yang tergabung dalam Organization of Economic Community Development (OECD) menemukan bahwa elastisitas tenaga kerja terhadap PDB berkisar antara 0,50 sampai dengan 0,63. Angka intensitas tenaga kerja berkisar 0,5 tahun 1973-1979 naik menjadi 0,63 tahun 1982-1993, padahal nilai indikator ini sekitar 0,49 pada kurun waktu 1975-1982. Adanya variasi elastisitas tenaga kerja menunjukkan bahwa interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi dan kondisi ekonomi suatu negara. Naik turunnya penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan misalnya suatu perusahaan akan mengurangi karyawannya ketika mengalami kemunduran dan akan meningkatkan karyawannya ketika mengalami kemajuan.

(54)

28 dicapai disatu sisi banyak menyerap tenaga kerja, namun disi lain menimbulkan permasalahan sosial yang perlu ditangani secara serius.

Walterskirchen (1999) melakukan analisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Hasil penelitiananya menujukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja di wilayah ini sekitar 0,65 dan dari hasil analisis runtun waktu menghasilkan sekitar 0,8 pada kurun waktu yang sama dan sangat signifikan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi seharusnya lebih tinggi dibandingkan tingkat produktifitas yang dicapai dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Islam dan Nazara (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa untuk menyerap tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 2 juta orang tiap tahunnya di Indonesia dibutuhkan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,47 sampai dengan 4,68 persen. Elastisitas tenaga kerja tertinggi di Sektor Pertanian sekitar 1,22 diikuti oleh Sektor Perdagangan sekitar 1,11, Sektor Jasa sekitar 1,09 dan Sektor Industri sekitar 0,77. Hal ini disebabkan adanya realokasi tenaga kerja dari sektor Jasa ke Sektor Pertanian.

Islam (2004) menyatakan perlunya mengidentifikasi elemen pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak kepada penduduk miskin sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja diiringi dengan peningkatan tingkat produktifitas. Hubungan antara pengentasan kemiskinan, elastisitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa ada dampak dari tenaga kerja dan pasar tenaga kerja terhadap pengurangan penduduk miskin. Pembangunan mempunyai kontribusi positif terhadap pengurangan kemiskinan melalui transformasi struktural tenaga kerja ke Sektor Industri dan sektor lain selain pertanian, pendidikan dan meningkatnya partisipasi angkatan kerja.

(55)

29 penawaran tenaga kerja terhadap upah menjadi faktor yang menentukan penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.

Suryadarma dkk (2007) menemukan bahwa Sektor Pertanian di Indonesia pada tingkat provinsi mempunyai koefisien tertinggi di daerah perkotaan dan jumlah tenaga kerja meningkat seiring dengan meingkatnya industry dikawasan daerah perkotaan sehingga mengurangi jumlah orang bekerja di daerah perdesaan. Jumlah tenaga kerja naik 0,7 persen karena meningkatnya Sektor Jasa sebesar 10 persen di daerah perkotaan, sementara kenaikan 10 persen Sektor Pertanian di derah perdesaan akan meingkatkan sekitar 5 persen tenaga kerja.

International Labor Organization (ILO) pada tahun 1996 dalam laporannya menyimpulkan bahwa respons ketenagakerjan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terjadi penurunan di negara-negara maju secara keseluruhan. Meskipun hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja lemah/kecil namun masih mempunyai dampak terhadap penciptaan lapangan kerja (jobless recovery).

(56)
(57)

31 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan. Dalam hal ini ketenagakerjaan yang merupakan jembatan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia menjadi pilar penting dalam pembangunan. Untuk mewujudkannya maka pemerintah perlu membuka peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat akses terhadap sumber-sumber ekonomi berdasarkan potensi wilayah yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Selanjutnya disusun strategi pembangunan dan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah yang saling bersinergi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi ―ramah‖ terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan kata lain, secara teoritis, pertumbuhan ekonomi memainkan peranan penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja

Isu ketenagakerjaan merupakan salah satu isu yang sangat penting dalam perkembangan sosial ekonomi di Indonesia disamping isu kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Salah satu isu penting dalam ketenagakerjan disamping keadaan angkatan kerja (economically active) dan struktur ketenagakerjaan adalah isu tentang pengangguran sebagai residu dari tingkat penduduk yang bekerja (employment rate). Dari sisi ekonomi pengangguran merupakan produk dari ketidakmampuan pasar dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Masih rendahnya tingkat penduduk yang bekerja tidak hanya menimbulkan masalah-masalah di bidang ekonomi, melainkan juga menimbulkan berbagai masalah di bidang sosial seperti kemiskinan dan kerawanan sosial. Data tentang situasi ketenagakerjaan merupakan salah satu data pokok yang dapat menggambarkan kondisi perekonomian, sosial, bahkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah (misal provinsi) dan dalam suatu kurun waktu tertentu.

(58)

32 yang lebih baik diwaktu sekarang maupun diwaktu mendatang. Pembangunan perlu dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial, ekonomi, politik, serta kebudayaan. Tujuannya adalah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kemakmuran berkaitan dengan aspek ekonomi, dapat diukur dengan tingkat produksi, pengeluaran, dan pendapatan. Sedangkan kesejahteraan ditentukan oleh aspek non-ekonomi, misalnya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Sebagai sebuah proses, pembangunan menunjukkan adanya hubungan saling pengaruh antara berbagai faktor yang dihasilkannya. Dalam kaitan ini data statistik diperlukan untuk dapat melihat proses itu secara obyektif (berdasarkan fakta yang

sebenarnya), memonitor dan mengevaluasi perkembangannya, serta ‖merancang‖

proses selanjutnya berdasarkan pemahaman obyektif atau berbasis empiris. Sudah lebih dari 30 tahun para pakar pembangunan diilhami ide paradigma modernisasi. Paradigma tersebut mengandalkan tetesan strategi pertumbuhan (growth) ekonomi untuk mengatasi masalah sebagai akibat pembangunan seperti kemiskinan. Salah satu asumsi paradigma pertumbuhan adalah perlunya investasi kapital besar-besaran pada perusahaan industri modern dan aplikasi teknologi modern pada produksi. Terciptanya sektor industri yang dinamis melalui investasi tidak hanya membawa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja besar-besaran serta menyerap surplus tenaga kerja pedesaan yang subsisten ke sektor modern. Secara tidak langsung, akan terjadi peningkatan penghasilan dari banyak orang. Dengan

peningkatan penghasilan, banyak keluarga akan mendapat ―sarana‖ untuk dapat

memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka.

(59)

33 bahwa paradigma growth tadi yang memakai PDRB sebagai tolok ukurnya dianggap kurang sensitif terhadap upaya perbaikan kualitas hidup manusia.

Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Pengertian pengurangan kemiskinan dalam hal ini bisa diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan penciptaan lapangan kerja baru atau dengan kata lain meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor di mana orang miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi didapatkan dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal.

Dari sisi kacamata makroekonomi, pemerintah dituntut untuk mampu untuk mengendalikan indikator perekonomian seperti inflasi, nilai tukar (kurs) dan tingkat suku bunga. Seperti inflasi, meskipun pergerakannya ditentukan oleh pasar namun peran pemerintah masih diperlukan untuk memperbaiki distribusi barang dan jasa maupun melakukan operasi pasar agar inflasi tidak lepas kontrol. Inflasi yang tinggi akan mempengaruhi produksi barang dan jasa sehingga akan mengurangi penyerapan tenaga kerja.

Dari sisi supply, berlimpahnya tenaga kerja yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan yang kurang memadai serta kemampuan sumber daya manusia yang kurang handal akan memperlemah sisi bargaining dengan sisi demand-nya. Sementara dari sisi lain tuntutan kenaikan UMR tiap tahun akan memberatkan pihak yang memerlukan tenaga kerja sehingga perusahaan akan

―bertahan‖ untuk merekrut tenaga baru atau tetap akan melakukan rekutmen dengan sistem off-sourcing.

(60)

34 penyerapan tenaga kerja. Selain itu model ini juga diharapkan mampu untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja dan respon penyerapan tenaga terhadap perubahan faktor-faktor tersebut serta elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap variabel-variabel utama ekonomi. Melalui identifikasi pola perkembangan PDRB, kontribusi sektor dan kondisi makroekonomi, diharapkan hasil analisis identifikasi tersebut dapat dijadikan sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan yang dapat menselaraskan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja atau kebijakan yang dapat menghilangkan anomali tersebut.

Gambar 3.1: Kerangka operasional penelitian

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan, tujuan dan alur kerangka berfikir penelitian di atas maka hipotesis yang dapat disusun dalam penelitian ini adalah:

(61)

35 ekonomi suatu wilayah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi akan diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi pula 2) Pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan dua arah dengan tingkat

penyerapan tenaga kerja, meskipun antara keduanya memiliki hubungan yang tidak secara otomatis.

3) Pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang akan mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja. Respon yang tercermin melalui elastisitas penyerapan tenaga kerja mempunyai sifat yang berbeda dimana peubah makro ekonomi dapat berdampak positif maupun negatif terhadap penyerapan tenaga baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

3.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Bank Indonesia (BI). Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel (pooled data) yaitu data dari 30 provinsi di Indonesia dari tahun 2002-2009.

Dalam penelitian ini, untuk mengukur pertumbuhan ekonomi digunakan indikator rata-rata pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama kurun 2002-2009. Untuk ketenagakerjaan, indikator yang digunakan adalah pertumbuhan penduduk yang bekerja dalam kurun waktu sama menurut sektor. Berdasarkan dua indikator ini dapat diturunkan indikator elastisitas tenaga kerja sebagai salah satu alat ukur kualitas pertumbuhan ekonomi.

Gambar

Tabel 1.1:  Pertumbuhan PDRB menurut provinsi, 2002-2009
Tabel 1.2:. Tingkat Penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002
Tabel 1.3:. Tingkat Penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2009
Tabel 1.4:. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja menurut provinsi, 2002-2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

lain berdasarkan: (i) jumlah pesertanya, (ii) strukturnya, (iii) obyeknya, (iv) cara berlakunya, (v) instrumen pembentuk perjanjiannya. a) Menurut jumlah pesertanya,

No Urut 1 2 3 4 5 6 Tahun 1994 Tanaman semusim Lahan terbuka Vegetasi tinggi Tubuh air Pemukiman Industri Tahun 1996 Tanaman semusim Vegetasi tinggi Pemukiman

Peneliti menggunakan wawancara tak berstruktur (bebas), wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun. Wawancara

(1) 74 penciutan (peristiwa, tokoh, latar) (2) 70 penambahan (peristiwa, tokoh, latar) (3) 14 perubahan variasi (peristiwa, tokoh, latar) Penciutan peristiwa pada saat tokoh

Media ajar yang dipilih untuk mengajarkan anak tentang nilai uang disampaikan juga melalui bermain peran.. Siswa Taman Kanak-kanak diberikan uang tiruan yang mirip

Telah berhasil dikumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat bahwa dalam peristiwa Abepura 7 Desember 2000 telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat

Seperti yang telah dijelaskan di dalam bagian pendahuluan, yang akan dibahas dalam bab ini adalah analisis peran tata penunjang pementasan, yaitu tata gerak, tata suara,