V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH,
5.3 Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan Terhadap Penyediaan
Infrastruktur di Indonesia
Hasil eksplorasi model infrastruktur, dengan memperhatikan asumsi model, didapatkan model terbaik seperti pada Tabel 26. Berdasarkan hasil estimasi model infrastruktur jalan (kolom 2), diketahui bahwa tata kelola pemerintahan daerah mempunyai pengaruh terhadap penyediaan infrastruktur jalan melalui adanya diskusi kebijakan publik, lama perbaikan jalan dan ketegasan kepala daerah terhadap korupsi. Adapun faktor struktural yang memengaruhi infrastruktur jalan adalah interaksi belanja infrastruktur dengan ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi. Dari hasil estimasi model tersebut juga terlihat bahwa kesenjangan akses jalan lebih baik di daerah kota dan Jawa.
Diskusi kebijakan publik merupakan bentuk sarana partisipasi publik yang merupakan salah satu pokok dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan adanya diskusi kebijakan publik menjadikan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah sesuai dengan permasalahan dan harapan pelaku usaha, yaitu peningkatan kualitas infrastruktur yang menjadi fokus utama pelaku usaha. Hasil studi TKED 2010, infrastruktur masih merupakan kendala utama dalam menjalankan usaha.
Lamanya waktu perbaikan jalan yang rusak berpengaruh negatif terhadap akses infrastruktur jalan. Secara rata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki jalan yang rusak adalah sekitar 73 hari atau lebih dari 2 bulan. Lamanya waktu perbaikan jalan bisa disebabkan karena masih rendahnya respon pemerintah daerah terhadap permasalahan infrastruktur jalan, minimnya dana yang disediakan untuk pemeliharaan jalan, atau masalah administrasi pencairan dana APBD yang masih belum efisien.
Proyek pengadaan infrastruktur fisik cenderung rawan terhadap perilaku tindakan korupsi, sehingga hasilnya seringkali tidak sesuai dengan yang
diharapkan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ketegasan kepala daerah terhadap tindakan pemberantasan korupsi dapat mendorong efektifitas belanja infrastruktur. Hal ini terlihat dari perbedaan elastisitas belanja publik dengan elastisitas interaksi belanja infrastruktur dengan ketegasan kepala daerah terhadap tindakan pemberantasan korupsi. Artinya, semakin tegas kepala daerah terhadap tindakan pemberantasan korupsi belanja publik semakin efektif mendorong penyediaan infrastruktur jalan.
Tabel 26 Hasil estimasi model infrastruktur
Variable Dependent Variables: Infrastruktur
lnJALAN lnAIR lnLISTRIK
(1) (2) (3) (4)
Q61: Keberadaan forum komunikasi -0,00323 -0,00512 -0,00358
Q64R1: Pemda mengerti kebutuhan usaha -0,00278
Q64R3: Diskusi kebijakan publik 0,01195*
Q64R4: Tidak membentuk perusahaan 0,00246
Q64R5: Fasilitas pendukung usaha -0,00172 0,00781*
Q71: Interaksi Pemda keseluruhan 0,00026 -0,01516
Q79R1: Kepala daerah paham persoalan -0,00693 -0,01765
Q79R2: Pejabat daerah kompeten -0,00304 0,00617
Q79R4: Kepala daerah tidak korupsi 0,00240 0,00857
Q79R5: Kepala daerah figur yang kuat -0,01010 0,02001
Q82: Kapasitas dan integritas kepala daerah 0,01080
Q108: Lama pemadaman listrik -0,08111**
Q114bR1: Lama perbaikan jalan -0,00388***
Q114bR3: Lama perbaikan air bersih -0,01381***
Q114bR4: Lama perbaikan listrik 0,00077
lnPDRBKap(2009) 0,10997 1,03227*** 0,66217***
lnBIN -0,11122*** -0,12470 -0,01266
lnBIN*D79R3(Tegas terhadap korupsi) 0,00149* 0,00169 -0,00002
Dkota 2,31912*** 1,63410*** 0,98981***
DJawa 1,50216*** 0,73412 0,53095**
Constant 4,71895*** 6,34636*** 3,48969***
Keterangan: *, ** dan *** masing-masing menyatakan signifikansi pada 10%, 5% dan 1% Sumber: Hasil olahan
Pemilihan sosok kepala daerah yang tegas dan tidak terlibat tindakan korupsi tidak mudah karena dalam era desentralisasi politik kepala daerah dipilih secara langsung melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kementerian Dalam Negeri mencatat, selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah dijatuhi vonis berkekuatan
hukum tetap dan menjadi terpidana. Diduga salah satu penyebabnya adalah praktik politik uang dan mahalnya biaya pencalonan1. Tidak seimbangnya biaya
modal kampanye dan dukungan partai dengan gaji yang diterima setelah terpilih memicu praktek korupsi oleh kepala daerah. Hal ini dukung penelitian Kis-Katos dan Sjahrir (2011) yang menyimpulkan bahwa desentralisasi politik justru berdampak negatif terhadap besaran belanja infrastruktur di Indonesia.
Koefisien negatif belanja infrastruktur tidak berarti bahwa semakin besar belanja publik maka akan menurunkan akses infrastruktur. Hal tersebut lebih disebabkan karena alokasi dana untuk belanja publik sangat kecil, yaitu alokasi anggaran untuk jalan dan jembatan hanya sebesar Rp.52 juta per kilometer jalan, atau baru seperempat dari dana yang dibutuhkan untuk pemeliharaan berkala. Kurangnya dana pemeliharaan menjadi salah satu sebab bertambahnya panjang jalan tidak mantap, dari 100,7 juta km pada tahun 2001 menjadi 151,8 juta km pada tahun 2010 atau meningkat sekitar 50 persennya.
Tingkat pendapatan per kapita tahun sebelumnya tidak berpengaruh signifikan terhadap infrastruktur jalan. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan tingkat pendapatan belum diikuti dengan permintaan infrastruktur jalan.
Hasil estimasi model infrastruktur air bersih sebagaimana pada kolom 3, menunjukkan bahwa hanya satu variabel tata kelola pemerintahan daerah yang memengaruhi akses air bersih, yaitu lama perbaikan air bersih. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan saluran PDAM pada saat mengalami masalah menyebabkan akses air bersih oleh pelanggan terganggu, sehingga volume air yang dikonsumsi juga berkurang.
Lamanya waktu perbaikan air bersih perlu mendapat perhatian lebih oleh PDAM sebagai perusahaan yang bertanggung jawab terhadap penyediaan air bersih. Selain merugikan pelanggan dengan berkurangnya akses air bersih, sebenarnya hal ini juga akan merugikan perusahaan karenavolume air bersih yang dapat disalurkan berkurang sehingga pendapatan perusahaan juga berkurang.
Pendapatan per kapita tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap akses air bersih. Peningkatan pendapatan akan mendorong peningkatan standar hidup.
Salah satunya akan meningkatkan penggunaan air yang sehat dengan menggunakan air dari PDAM.
Belanja infrastruktur tidak memengaruhi akses air bersih. Hal ini dikarenakan pengelolaan air bersih dilakukan secara independen oleh PDAM sebagai BUMD yang diberi tugas menyediaan air bersih. Oleh karena itu, kinerja perusahaan (corporate governance) lebih memengaruhi akses air bersih. Hal ini juga ditunjukkan dengan pengaruh signifikan lama waktu perbaikan air bersih. Perbaikan saluran air bersih menjadi tanggung jawab mutlak PDAM, sehingga waktu yang dibutuhkan tergantung kepada kinerja PDAM.
Hasil estimasi model infrastruktur pada kolom 4 menunjukkan bahwa hanya variabel pendapatan per kapita tahun sebelumnya dan dummy kota dan kota Jawa yang memengaruhi akses listrik. Peningkatan pendapatan masyarakat akan meningkatkan standar hidup seperti meningkatkan penggunaan peralatan elektronik untuk keperluan sehari-hari. Hal ini akan meningkatkan konsumsi listrik, sehingga akses energi listrik akan meningkat. Tentunya hal ini harus diimbangi dengan penyediaan suplai listrik yang memadai oleh PLN.
Serupa dengan akses air bersih, akses listrik juga tidak dipengaruhi oleh belanja infrastruktur pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan pengelolaan listrik dilakukan PT.PLN, sehingga kemungkinan tata kelola perusahaan (corporate governance) yang lebih berpengaruh. Pemerintah daerah hanya dapat melakukan koordinasi, tidak dapat secara langsung memengaruhi kinerja perusahaan. Justru ada kemungkinan tata kelola pemerintah pusat lebih memengaruhi kinerja PLN karena kebijakan energi yang menentukan adalah pemerintah pusat, seperti adanya pemebrian subsidi listrik.