IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH
4.1 Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia 37
4.1.1 Akses Lahan dan Kepastian Hukum 37
Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu tidak membutuhkan kehadiran lahan, namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi, sedangkan ketersediaan lahan terbatas. Hal ini menimbulkan permasalahan akses lahan. Masalah lain terkait dengan lahan adalah masalah administrasi pertanahan seperti sengketa lahan karena adanya kepemilikan sertifikat ganda ataupun perubahan tanah ulayat.
Masalah pertanahan atau lahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Ketentuan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 2 UUPA ayat (2) dijabarkan mengenai hak negara yang merupakan penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD. Atas dasar tersebut, negara memiliki hak atas permukaan bumi (tanah) yang diantaranya adalah:
1. Hak milik (HM) adalah hak turun-temurun, kuat, dan penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, tetapi tidak berarti bahwa hak milik tersebut merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat. langsung dalam bidang sosial atau keagamaan.
2. Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, misalnya
digunakan untuk perusahaan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan.
3. Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dengan jangka waktu tertentu.
4. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang, dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik.
Dalam implementasinya, hak atas tanah dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat. Sertifikat tanah diperoleh melalui pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran tanah sendiri meliputi dua hal, yaitu pendaftaran untuk tanah yang belum bersertifikat dan pendaftaran untuk pengalihan atau peningkatan hak. Pendaftaran tanah dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Gambaran Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Berikut adalah penjabaran detil mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan pemerintah kabupaten dan kota:
1. Izin Lokasi 2. Pengadaan tanah
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian
5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah 6. Penetapan tanah ulayat
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong 8. Izin membuka tanah
Variabel Wilayah Statistik Deskriptif
Prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan pada indikator akses lahan dan kepastian usaha yaitu:
1. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah. 2. Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan.
3. Persepsi tentang tidak ada penggusuran lahan oleh Pemda. 4. Persepsi tentang tidak ada konflik lahan.
5. Persepsi tentang keseluruhan kemudahan akses lahan usaha.
Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan waktu pengurusan sertifikat tanah antar kabupaten dan kota. Waktu pengurusan sertifikat tanah di Jawa lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan tanah di luar Jawa, hal ini disebabkan sudah relatif terbatasnya tanah di Jawa sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk verifikasi.
Tabel 2 Perbandingan variabel-variabel akses lahan menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun 2010
Uji beda rata-rata
N Mean Std. Dev. t p-value
Q31: Lama urus sertifikat
(minggu) Q34: Kemudahan dapat lahan (%) Q38: Tidak ada penggusuran (%)
Q40: Tidak ada konflik
lahan (%) Q42: Keseluruhan kemudahan akses lahan (%) Kab. 201 9,06 5,30 0,39 0,70 Kota 43 8,72 4,67 Luar Jawa 199 8,48 5,19 -3,35 0,00 Jawa 45 11,29 4,60 Kab. 202 69,56 18,49 5,38 0,00 Kota 43 52,70 19,55 Luar Jawa 199 66,82 19,93 0,36 0,72 Jawa 46 65,66 18,96 Kab. 202 97,96 3,05 3,48 0,00 Kota 43 94,80 5,79 Luar Jawa 199 97,37 3,83 -0,36 0,72 Jawa 46 97,59 4,02 Kab. 202 94,67 10,34 1,98 0,05 Kota 43 90,94 11,45 Luar Jawa 199 92,95 11,46 -6,41 0,00 Jawa 46 98,62 2,36 Kab. 202 95,58 6,41 3,10 0,00 Kota 43 92,04 8,40 Luar Jawa 199 94,46 7,36 -3,42 0,00 Jawa 46 97,09 3,84
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh sertifikat tanah adalah delapan minggu. Waktu pengurusan terlama terjadi di dua kabupaten di Papua, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sarmi. Waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat tanah di kedua kabupaten tersebut masing-masing hampir tujuh bulan. Kabupaten Batanghari (Jambi) merupakan daerah lain yang waktu pengurusan sertifikatnya sangat lama, hampir enam bulan. Sebaliknya, pelaku usaha di Kabupaten Pulang Pisau (Kalteng), Kabupaten Lebong (Bengkulu), dan Kabupaten Lembata (NTT) rata-rata hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk mengurus sertifikat tanah.
Berdasarkan tingkat kemudahan memperoleh lahan, Kabupaten Melawi (Kalbar), Kabupaten Kolaka Utara (Sultra), dan Kabupaten Mamuju (Sulbar) merupakan kabupaten yang paling mudah dalam mendapatkan lahan. Sedangkan Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Maluku) dan Kota Surabaya (Jatim) adalah kabupaten/kota paling sulit untuk memperoleh lahan, masing-masing hanya dinilai mudah oleh sekitar 8 persen dan 12 persen pelaku usaha. Tingkat kesulitan untuk mendapatkan tanah di kabupaten lebih rendah daripada di kota. Hampir setengah (47 persen) pelaku usaha yang berusaha di wilayah kota mengaku kesulitan untuk memperoleh lahan, lebih tinggi jika dibandingkan dengan pelaku usaha di daerah kabupaten, hanya 31 persen yang mengaku kesulitan memperoleh lahan. Walaupun perbedaannya tidak terlalu jauh tetapi secara statistik signifikan (Tabel 6). Hal ini dikarenakan luas lahan di kota sudah sangat terbatas, sehingga menjadi sulit untuk mendapatkan lahan. Berdasarkan letak geografis tidak ada perbedaan signifikan mengenai kemudahan memperoleh lahan antara kabupaten/kota di Jawa dan luar Jawa.
Resiko penggusuran tempat usaha dirasakan sangat kecil. Secara keseluruhan, hanya 3 persen pengusaha menyatakan sering terjadi penggusuran tanah di daerahnya. Frekuensi penggusuran di kota lebih tinggi daripada di kabupaten. Penggusuran di kota lebih sering terjadi karena dengan kapasitas lahan yang sudah relatif terbatas sehingga untuk pembangunan seringkali dilakukan dengan penggusuran. Adapun frekuensi penggusuran di Jawa dan luar Jawa tidak ada perbedaan yang signifikan.
Frekuensi konflik lahan secara umum dinilai jarang terjadi, hanya sekitar 6 persen pelaku usaha yang menyatakan sering terjadi konflik lahan. Sejalan dengan resiko penggusuran, frekuensi konflik lahan juga lebih sering terjadi di kota daripada di kabupaten. Namun, frekuensi konflik lahan lebih sering dirasakan terjadi di luar Jawa, seperti konflik lahan perkebunan yang memang kebanyakan berlokasi di luar Jawa.