• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Impact of Oil Price Shock on Inflation and Economic Growth in ASEAN+3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Impact of Oil Price Shock on Inflation and Economic Growth in ASEAN+3"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

DEWI PURWANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(4)
(5)

Growth in ASEAN+3. Under the Supervision of NOER AZAM ACHSANI and YETI LIS PURNAMADEWI.

The oil price increases in the 1970s have led to very different impact than the 2000s. In the 1970s, Increases in oil prices have been held responsible for excessive inflation, recession, reduced productivity, and lower economic growth. Recently, despite rising oil prices, inflation is not too high and economic growth is still strong. The aim of this paper was to empirically determine the effect of oil price shock on inflation and economic growth in ASEAN+3. The applicable method for linear dynamic panel data in order to achived this aim is the system of First Difference-Generalized Method of Moments (FD-GMM) estimator. This study used panel data covering around 8 ASEAN+3 countries and annual data from 1999-2008. The result of this study indicated that during period 1999-2008, higher oil price are associated with higher inflation and higher economic growth in ASEAN+3. The other findings are that higher inflation are associated with lower economic growth and higher economic growth are associated with lower inflation. High inflation causes high cost in economic growth and prosperity of society so that policy makers are expected to make policy that is not only good for short term but also for the long term to create long-term prosperity and long-term price stability.

(6)
(7)

dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan YETI LIS PURNAMADEWI.

Energi mempunyai peranan penting dan strategis karena energi merupakan input penting bagi bergeraknya perekonomian suatu negara. Minyak bumi sebagai salah satu sumber energi di dunia telah menjadi energi dengan tingkat konsumsi tertinggi untuk proses produksi dibandingkan sumber energi lainnya. Dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 1970-an berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2000-an. Pada tahun 1970-an, kenaikan harga minyak menyebabkan inflasi tinggi, resesi, produktivitas rendah, dan tingkat pertumbuhan rendah atau negatif. Kenaikan harga minyak pada awal tahun 2000-an menyebabkan peningkatan infasi namun relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1970-an dan pertumbuhan ekonomi dunia tetap kuat. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Unalmis et al. (2009). Hasil penelitian Limin et al. (2010) dan Apriani (2007) menyimpulkan bahwa kenaikan harga minyak berhubungan positif dengan output dan inflasi di China dan Indonesia.

Pada tahun 2008, kontribusi konsumsi minyak ASEAN+3 terhadap konsumsi dunia cukup besar yaitu sebesar 21,9 persen sedangkan kontribusi produksinya terhadap produksi dunia cukup rendah yaitu sebesar 7,4 persen. Selama tahun 1999 sampai 2008, rata-rata pertumbuhan konsumsi minyak di negara-negara ASEAN+3 mencapai 2,5 persen per tahun sedangkan rata-rata pertumbuhan produksi (supply) minyak hanya mencapai 0,5 persen per tahun. Hal ini berarti terjadi gap antara konsumsi dan produksi minyak sebesar 2 persen per tahun. Makin tingginya konsumsi minyak tanpa diikuti dengan persediaan minyak yang cukup akan membuat ketergantungan minyak negara-negara ASEAN+3 menjadi tinggi. Ketergantungan negara-negara ASEAN+3 yang masih tinggi pada produk minyak ini akan merugikan negara-negara di kawasan ini khususnya bila terjadi kenaikan harga minyak yang cukup tinggi. Hal ini juga terkait dengan kondisi perekonomian kawasan ASEAN+3 yang masih akan terus berkembang yang tentunya memerlukan banyak energi. Selain itu, adanya ASEAN Free Trade Area (AFTA), China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), dan wacana adanya integrasi ekonomi ASEAN+3 seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) mengakibatkan guncangan pada perekonomian di suatu negara dapat berdampak pada negara-negara lainnya di kawasan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji gambaran umum inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan harga minyak dunia di negara-negara ASEAN+3; (2) menganalisis dampak guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3; (3) menganalisis dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak

pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi di negara-negara ASEAN+3; (4) menganalisis dampak inflasi tahun sebelumnya terhadap inflasi negara-negara

(8)

ini antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, China, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini menggunakan metode analisis panel dinamis yaitu First Differences-Generalized Method of Moments (FD-GMM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 17,98 US$ per barel pada tahun 1999 menjadi 97,04 US$ per barel pada tahun 2008 atau naik sekitar 23,86 persen per tahun. Selama periode yang sama, rata-rata inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 menunjukkan peningkatan yaitu masing-masing sebesar 3,31 persen dan 5,3 persen per tahun.

Selama tahun 1999-2008, peningkatan harga minyak dunia umumnya diikuti oleh peningkatan inflasi di masing-masing negara ASEAN+3 kecuali di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penerapan subsidi harga bahan bakar minyak yang sangat tinggi di Indonesia. Beberapa negara lainnya menerapkan pajak terhadap bahan bakar dalam rangka menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Penerapan subsidi bertujuan untuk mengurangi dampak kenaikan inflasi sedangkan penerapan pajak bahan bakar akan berdampak pada inflasi. Hubungan antara harga minyak dunia dengan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara-negara ASEAN+3 umumnya menunjukkan hubungan yang positif kecuali di Jepang, Filipina, dan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia sekarang tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Hubungan positif antara harga minyak dunia dengan pertumbuhan ekonomi antara lain terjadi di Indonesia dan Malaysia karena kedua negara tersebut merupakan pengekspor minyak mentah dan produk-produk olahannya.

(9)

negatif dan signifikan terhadap inflasi dan inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang tinggi sering ditandai dengan kontraksi tingkat PDB dimana inflasi tinggi terkait dengan kinerja makroekonomi yang buruk. Inflasi yang tinggi berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang tinggi menyebabkan biaya sosial tinggi yang harus ditanggung oleh pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Kenaikan tingkat harga akan menurunkan stok uang riil yang pada akhirnya menyebabkan penurunan permintaan dan output. Secara umum, inflasi meningkatkan biaya produksi dan transportasi serta menurunkan daya beli masyarakat sehingga berpengaruh negatif bagi perekonomian. Selain itu, inflasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing dipengaruhi secara positif oleh Inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya namun tidak signifikan di negara-negara ASEAN+3.

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan adanya revisi harga secara regular untuk menetapkan harga bahan bakar minyak pada tingkat harga keekonomian serta upaya penurunan konsumsi minyak untuk mengurangi ketergantungan minyak negara-negara ASEAN+3 dalam rangka menjamin stabilitas ekonomi. Konsumsi minyak yang tinggi di negara-negara ASEAN+3 tidak diiringi dengan produksi (supply) yang cukup sehingga perlu dilakukan upaya untuk mendidik dan menyadarkan konsumen tentang pentingnya penghematan konsumsi bahan bakar minyak. Selain itu, dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi maka negara-negara penghasil minyak perlu menyiapkan dana cadangan yang berasal dari kelebihan penerimaan ekspor minyak untuk memenuhi permintaan minyak dalam negeri serta meningkatkan nilai tambah produk-produk ekspor yang harganya terkait dengan harga minyak dunia seperti batubara, karet, dan kelapa sawit. Peningkatan nilai tambah ini bisa dilakukan dengan meningkatkan ekspor barang setengah jadi dan mengurangi ekspor barang mentah. Pemerintah dalam hal ini otoritas moneter (bank sentral) di negara-negara ASEAN+3 hendaknya lebih mengutamakan dampak harga minyak dunia terhadap inflasi antara lain melalui jalur suku bunga. Kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan inflasi negara-negara ASEAN+3 dan inflasi yang tinggi menyebabkan biaya tinggi dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga pembuat kebijakan diharapkan dapat membuat kebijakan yang tidak hanya baik untuk jangka pendek namun juga untuk jangka panjang. Selain itu, perlu dilakukan upaya penurunan intensitas minyak melalui penurunan konsumsi minyak dengan penghematan terutama di sektor transportasi, industri, listrik, maupun di tingkat rumah tangga sehingga diharapkan akan mengurangi dampak tingginya harga minyak dunia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata dapat menurunkan tingkat inflasi sehingga perlu dilakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui peningkatan investasi dan ekspor.

(10)
(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(12)
(13)

DEWI PURWANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

Nama : Dewi Purwanti

NRP : H151090244

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(16)
(17)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Dedi Walujadi, M.A. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada papa, mama, adik, keluarga besar, serta teman-teman kos atas segala dukungan dan doanya.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB dan kepada Kepala Pusdiklat beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis mengikuti program Tugas Belajar.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis juga mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini. Akhirnya, penulis berharap bahwa tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang baik untuk semua pihak.

Bogor, Juli 2011

(18)
(19)

Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 27 Nopember 1981 dari pasangan Bapak Idris dan Ibu Wanipi. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 1 Krandon pada tahun 1994 kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Tegal dan lulus pada tahun 1997. Setelah itu penulis melanjutkan ke SMAN 1 Tegal dan lulus pada tahun 2000 kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan lulus pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Pada tahun 2009, penulis diterima menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi beasiswa tugas belajar kerja sama BPS dan IPB.

(20)
(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 15

1.4 Manfaat Penelitian ... 16

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

2.1 Tinjauan Teori ... 17

2.1.1 Hubungan Harga Minyak dan Inflasi ... 17

2.1.2 Hubungan Harga Minyak dan Pertumbuhan Ekonomi ... 22

2.1.3 Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi ... 24

2.2 Penelitian-penelitian Terdahulu ... 27

2.3 Kerangka Pemikiran ... 34

2.4 Hipotesis Penelitian ... 36

III. METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 37

3.2 Metode Analisis ... 40

3.2.1 Analisis Deskriptif ... 40

3.2.2 Metode Data Panel Dinamis FD-GMM (First-Difference Generalized Method of Moments) ... 40

3.3 Spesifikasi Model ... 44

(22)

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI

PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 ... 47 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia ... 47 4.2 Hubungan Harga Minyak Dunia, Inflasi dan Pertumbuhan

Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 ... 52 4.3 Kondisi Perekonomian Negara-negara ASEAN+3 ... 60

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 67 5.1 Uji Stasioneritas Data ... 67 5.2 Hasil Analisis ... 69

5.2.1 Dampak Harga Minyak dan Inflasi Tahun Sebelumnya terhadap Inflasi ... 69 5.2.2 Dampak Harga Minyak dan Pertumbuhan Ekonomi tahun

Sebelumnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 73

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 81 6.1 Simpulan ... 81 6.2 Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Perbandingan Harga Bensin Eceran Negara-negara ASEAN+3

November 2004 dan 2008 (US Sen per Liter) ... 10

2. Ketergantungan Minyak Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008 ... 14

3. Rekapitulasi Penelitian-penelitian Terdahulu Lainnya ... 31

4. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian ... 38

5. Perkembangan Harga Bensin di Negara-negara ASEAN+3, Tahun 1998-2010 (US Sen per Liter) ... 48

6. Perubahan Harga Minyak Dunia, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 (Persentase) ... 52

7. Hubungan Kausalitas antara Harga Minyak Mentah Dunia dan Inflasi

di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008... 54

8. Hubungan Kausalitas antara Harga Minyak Mentah Dunia dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 56

9. Hubungan Kausalitas antara Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008... 58

10. Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 PPP (Constant 2005 International $) ... 61

11. Struktur Perekonomian dari Sisi Penggunaan Negara-negara

ASEAN+3 Tahun 2008 (% PDB) ... 62

12. Kondisi Umum Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008 ... 63

13. Kondisi Neraca Pembayaran (Balance of Payment) Negara-negara

ASEAN+3 Tahun 1999-2008 (Miliar US $) ... 64

14. Keseimbangan Fiskal Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2000, 2005,

dan 2008 (% PDB) ... 65

15. Hasil Uji Panel Unit Root untuk Masing-Masing Variabel ... 68

(24)

17. Hasil Estimasi Koefisien Model Pertumbuhan Ekonomi ... 73

18. Ekspor Minyak Mentah dan Produk-Produk Olahan Minyak Bumi Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2007 ... 75

(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Konsumsi Energi Dunia Tahun 2000-2008 ... 2

2. Konsumsi Petroleum menurut Wilayah Tahun 2008 ... 2

3. Konsumsi dan Produksi Minyak Dunia menurut Wilayah Tahun 2008 3

4. Kontribusi Konsumsi dan Produksi Minyak Negara-negara

ASEAN+3 terhadap Dunia Tahun 2008 ... 4

5. Ekspor Minyak Mentah Neto Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999

dan 2008 (Ribu Barel per Hari) ... 5

6. Ketergantungan Minyak Mentah Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2008 ... 5

7. Ekspor Produk-Produk Olahan Minyak Bumi Neto Negara-negara

ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2007 (Ribu Barel per Hari) ... 6

8. Ketergantungan Produk-Produk Olahan Minyak Bumi Negara-negara

ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2007 ... 6

9. Kontribusi Konsumsi Akhir Minyak menurut Sektor di Negara-negara

ASEAN+3 Tahun 2002 (Persentase) ... 7

10. Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah Dunia Tahun 1999-2008 ... 8

11. Intensitas Minyak Mentah Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008 (Oil Intensity) ... 12

12. Komposisi Energi Primer di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008 .. 12

13. Mengakomodasi Guncangan Penawaran yang Memperburuk ... 22

14. Efek Dinamis Peningkatan Harga Minyak ... 23

15. Kerangka Pemikiran ... 35

16. Konsumsi Perkapita Bahan Bakar Bensin untuk Sektor Transportasi

di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008... 50

17. Proporsi Penggunaan Sumber Energi Minyak Bumi dalam Produksi

(26)

18. Emisi CO2 dari Konsumsi Minyak Bumi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008 (Million Metric Tons) ... 52

19. Hubungan antara Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia dan Inflasi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 53

20. Plot Regresi antara Harga Minyak Mentah Dunia dan Inflasi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 55

21. Hubungan antara Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 56

22. Plot Regresi antara Harga Minyak Mentah Dunia dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 57

23. Hubungan antara Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di

Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 58

24. Plot Regresi antara Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di

Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 59

25. Perkembangan Inflasi di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 60

26. Struktur Perekonomian Negara-negara ASEAN+3 menurut Sektor Tahun 2008 (% PDB) ... 62

27. Perkembangan Harga Komoditas Dunia Tahun 1999-2008 ... 71

28. Perkembangan Intensitas Minyak Mentah Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 ... 77

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Perbandingan Hasil Estimasi Koefisien ‘Model Inflasi’ dengan

Metode Data Panel Statis, Dinamis, dan OLS ... 92

2. Perbandingan Hasil Estimasi Koefisien ‘Model Pertumbuhan

Ekonomi’ dengan Metode Data Panel Statis, Dinamis, dan OLS ... 93

3. Syntax dan Hasil Output Model Data Panel Statis dan Dinamis

(28)
(29)

DAFTAR SINGKATAN

ADB : Asian Development Bank

ASEAN : Assosiation South East Asian Nation

BPS : Badan Pusat Statistik

EIA : Energy Information Administration

FD-GMM : First Difference-Generalized Method of Moments

FEM : Fixed Effect Model

GLS : Generalized Least Squares

IFS : International Financial Statistics

IHK : Indeks Harga Konsumen

OECD : Organization for Economic Cooperation and Development

OLS : Ordinary Least Square

OPEC : Organization of the Petroleum Exporting Countries

PDB : Produk Domestik Bruto

PPP : Purchasing Power Parity

REM : Random Effect Model

(30)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Energi mempunyai peranan penting dan strategis di hampir setiap aktivitas perekonomian setiap negara di dunia. Hal ini karena energi merupakan input penting bagi bergeraknya perekonomian suatu negara. Selain itu, peningkatan konsumsi energi dunia mengindikasikan bahwa energi merupakan komoditas penting dan strategis bagi setiap negara di masa yang akan datang. Peningkatan konsumsi energi ini merupakan konsekuensi dari bertambahnya populasi penduduk, kemajuan teknologi, serta aktivitas pembangunan yang memerlukan banyak energi.

Menurut sektor, penggunaan bahan bakar minyak pada sektor bangunan tidak banyak mengalami perubahan, sedangkan pada sektor industri mengalami sedikit peningkatan. Di sektor tenaga listrik, penggunaan bahan bakar minyak menurun sebagai pembangkit listrik sebagai reaksi terhadap harga minyak dunia yang terus meningkat dengan beralih ke bahan bakar alternatif. Sebaliknya, penggunaan bahan bakar minyak di sektor transportasi terus meningkat meskipun harga minyak dunia terus meningkat. Konsumsi bahan bakar minyak dunia untuk transportasi meningkat 1,3 persen per tahun. Tidak adanya kemajuan teknologi yang signifikan menyebabkan bahan bakar minyak akan terus mendominasi permintaan pasar transportasi dunia sampai tahun 2035. Sektor transportasi menyumbang 27 persen dari total konsumsi energi dunia pada tahun 2007 (EIA 2010).

(31)
[image:31.612.87.482.60.716.2]

Sumber: EIA, 2011

Gambar 1. Konsumsi Energi Dunia Tahun 2000-2008

Pada tahun 2008, tingginya konsumsi minyak dunia disumbangkan oleh tingginya konsumsi minyak di Asia dan Oceania yang didominasi negara-negara ASEAN+3 seperti terlihat pada Gambar 2. Tingginya konsumsi minyak Asia dan Oceania ini telah melampaui konsumsi minyak Amerika Utara yang sebelumnya merupakan konsumen tertinggi selama beberapa waktu. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi minyak di Asia dan Oceania terutama ASEAN+3 mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Jika diamati dari tiap negara maka negara dengan konsumsi minyak paling tinggi pada tahun 2008 adalah Amerika Serikat yaitu sebesar 19.498 ribu barrel per hari atau sekitar 22,9 persen dari total konsumsi dunia. Disusul negara Asia seperti China dan Jepang yaitu masing-masing sebesar 9,2 persen dan 5,6 persen. Sedangkan Korea Selatan menempati urutan kesepuluh dalam konsumsi minyak dunia yaitu sebesar 2,6 persen.

Sumber: EIA, 2011

Gambar 2. Konsumsi Petroleum menurut Wilayah Tahun 2008

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

K on su m si E n er g i D u n ia (Q u ad ri ll io n B T U ) Tahun Petroleum Batubara Gas Alam Energi Terbarukan 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 1 98 0 1 98 2 1 98 4 1 98 6 1 98 8 1 99 0 1 99 2 1 99 4 1 99 6 1 99 8 2 00 0 2 00 2 2 00 4 2 00 6 2 00 8 R ib u b ar el p er h a ri ASEAN+3

Asia dan Oceania

Eropa

Eurasia

Timur Tengah

Afrika

Amerika Utara

[image:31.612.105.474.521.682.2]
(32)

Pada tahun 2008, konsumsi minyak di Asia dan Oceania termasuk yang tertinggi di dunia. Tingginya konsumsi minyak ini didorong oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia khususnya ASEAN+3 seperti pertumbuhan ekonomi China pada tahun tersebut yaitu sebesar 9,60 persen, Indonesia sebesar 6,01 persen, dan Malaysia sebesar 4,71 persen. Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri di ASEAN+3 tersebut menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya permintaan energi minyak bumi di kawasan tersebut. Pada tahun 2035 diproyeksikan konsumsi minyak dunia negara-negara Asia Non-OECD mencapai 32 juta barel per hari melebihi konsumsi minyak Amerika Utara yang hanya sebesar 27 juta barel per hari. ASEAN+3 sebagai pusat pertumbuhan baru menjadikan perekonomian di kawasan ini mampu memproduksi lebih banyak barang yang akan menimbulkan peningkatan pada kebutuhan energi yang salah satunya adalah minyak bumi.

Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) memasok minyak paling banyak ke Asia dibandingkan kawasan lainnya di dunia. Asia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan kebutuhan energi paling tinggi di dunia. Dari proyeksi kebutuhan minyak dunia yang dilakukan OPEC, kebutuhan meningkat dari 84,6 juta barel per hari tahun 2006 menjadi 118 juta barel per hari tahun 2030 yang sebagian besar terjadi di negara berkembang di mana dua per tiganya merupakan negara Asia. Konsumsi minyak Asia yang cukup tinggi akhir-akhir ini tidak diiringi dengan produksinya yang cukup seperti terlihat di Gambar 3. Produksi minyak tertinggi masih didominasi negara-negara Timur Tengah.

Sumber: EIA, 2011

Gambar 3. Konsumsi dan Produksi Minyak Dunia menurut Wilayah Tahun 2008

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

Asia & Oceania

Amerika Utara

Eropa Timur

Tengah

Amerika Selatan &

Tengah

Eurasia Afrika

R

ib

u

B

a

re

l

p

e

r

H

a

ri

(33)

Kontribusi konsumsi dan produksi minyak di masing-masing negara-negara ASEAN+3 terhadap dunia pada tahun 2008 ditunjukkan pada Gambar 4. Konsumsi minyak tertinggi adalah China disusul Jepang, Korea Selatan dan Indonesia, sedangkan produksi minyak tertinggi juga China disusul Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Sumber: EIA, 2011

Gambar 4. Kontribusi Konsumsi dan Produksi Minyak Negara-negara ASEAN+3 terhadap Dunia Tahun 2008

Untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya maka sebagian besar negara-negara ASEAN+3 melakukan impor minyak. Impor minyak dianggap sebagai input penting bagi perekonomian negara-negara ASEAN+3 yang merupakan negara industri. Kenaikan harga minyak dunia yang cukup tinggi membuat khawatir negara-negara yang mengandalkan impor minyak mentah karena menyebabkan kenaikan anggaran negara. Kenaikan harga minyak mentah berpengaruh pada ketahanan energi terutama minyak bumi. Ketahanan energi selalu menjadi isu politik dan menjadi salah satu perhatian negara. Kenaikan harga minyak juga memiliki efek yang besar terhadap perekonomian negara pengimpor minyak yang mengkonsumsinya dengan proporsi yang relatif tinggi dari pendapatan. Bagi negara yang bergantung pada minyak bumi akan sangat sulit menurunkan konsumsi minyak jika terjadi kenaikan harga minyak.

Pada tahun 1999, masih ada dua negara yang tergolong eksportir bersih minyak mentah yaitu Indonesia dan Malaysia. Namun di tahun 2008, hanya Malaysia yang masih bertahan menjadi eksportir bersih minyak mentah

0 2 4 6 8 10

Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand China Jepang Korea

Selatan

P

er

se

n

tas

e

(34)

sedangkan Indonesia sejak tahun 2004 telah menjadi negara pengimpor bersih minyak (Gambar 5).

Sumber: EIA, 2011

Gambar 5. Ekspor Minyak Mentah Neto Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2008 (Ribu Barel per Hari)

Makin besar ekspor minyak mentah neto maka ketergantungan minyak suatu negara akan semakin kecil. Ketergantungan minyak merupakan rasio net impor terhadap PDB. Dengan cukup besarnya ekspor minyak mentah menyebabkan ketergantungan minyak mentah Malaysia paling kecil pada tahun 2008 dibanding negara-negara ASEAN+3 lainnya. Indonesia juga merupakan negara dengan ketergantungan minyak mentah yang rendah namun dari tahun ke tahun menunjukkan ketergantungan yang makin tinggi. Sementara itu, Singapura, Korea Selatan, Thailand, dan Jepang merupakan negara dengan ketergantungan yang cukup tinggi.

Sumber: EIA, 2011

Gambar 6. Ketergantungan Minyak Mentah Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2008

-4000 -3000 -2000 -1000 0 1000

R

ib

u

b

a

re

l

p

e

r

h

a

ri

1999 2008

-1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

R

ib

u

b

ar

el

p

er

h

ar

i

/

P

D

B

(35)

Sementara itu, untuk produk-produk minyak bumi, pada tahun 1999, masih cukup banyak negara yang tergolong eksportir bersih produk minyak bumi yaitu Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Pada tahun 2007, selain negara-negara tersebut, ternyata Malaysia berhasil menjadi eksportir bersih produk-produk minyak bumi. Sementara Indonesia dan Filipina makin tinggi ketergantungannya terhadap impor produk-produk minyak bumi (Gambar 7).

Sumber: EIA, 2011

Gambar 7. Ekspor Produk-Produk Olahan Minyak Bumi Neto Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2007 (Ribu Barel per Hari)

Pada tahun 2007, negara dengan ketergantungan produk-produk olahan minyak bumi yang paling tinggi adalah Indonesia disusul Filipina, Jepang, dan China. Sementara itu, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Singapura merupakan negara dengan ketergantungan yang rendah (Gambar 8).

Sumber: EIA, 2011

Gambar 8. Ketergantungan Produk-Produk Olahan Minyak Bumi Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2007

-1200 -1000 -800 -600 -400 -200 0 200 400

R

ib

u

b

ar

el

p

er

h

ar

i

1999 2007

-1.5 -1 -0.5 0 0.5

R

ib

u

b

ar

el

p

er

h

ar

i

/

P

D

B

(36)

Kontribusi konsumsi akhir minyak menurut sektor di negara-negara ASEAN+3 pada tahun 2002 umumnya didominasi oleh sektor transportasi kecuali Korea Selatan, disusul sektor industri dan rumah tangga. Konsumsi akhir minyak di sektor transportasi berkisar antara 41,6 persen sampai 66,8 persen. Konsumsi akhir minyak Korea Selatan didominasi oleh sektor industri sebesar 42 persen sementara konsumsi akhir minyak di Korea Selatan di sektor transportasi menempati posisi kedua yaitu 39,1 persen. Konsumsi akhir minyak di Indonesia juga didominasi oleh sektor transportasi yaitu sebesar 50,8 persen serta sektor industri dan rumah tangga masing-masing sebesar 21,6 persen dan 22,6 persen (Gambar 9).

Sumber: ADB, 2005

Gambar 9. Kontribusi Konsumsi Akhir Minyak menurut Sektor di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2002 (Persentase)

Pentingnya minyak bumi sebagai input produksi menyebabkan fluktuasi harga minyak bumi sangat sensitif terhadap kondisi perekonomian di setiap negara. Guncangan harga minyak dunia tidak bisa dianggap sepele karena guncangan ini memberi kontribusi terhadap resesi global dalam tiga puluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu 1970-2009 lonjakan harga minyak terjadi beberapa kali yang memicu terjadinya resesi Amerika dan global. Pada tahun 1972, harga minyak mentah dunia sekitar US$ 3 per barel dan pada akhir 1974 harga minyak telah empat kali lipat menjadi lebih dari US$ 12 per barel. Dari tahun 1974 hingga 1978, harga minyak mentah dunia relatif datar berkisar dari US$ 12,21 per barel sampai US$ 13,55 per barel. Harga minyak mentah juga mengalami peningkatan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P

e

r

se

n

(37)

lebih dari dua kali lipat dari US$ 14 per barel pada tahun 1978 menjadi US$ 35 per barel pada tahun 1981. Pada tahun 1990, harga minyak dunia naik dari US$ 16 menjadi 26 US$ (IFS 2010).

Berdasarkan data IFS, pada dekade 2000-an, harga minyak cenderung mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 10. Selama tahun 1999, harga minyak naik dari US$ 11,32 per barel menjadi dari US$ 25,01 per barel. Pada pertengahan 2000, harga minyak menyentuh angka US$ 27,23 per barel. Pada akhir tahun 2004, harga minyak kembali menembus harga tertinggi di level US$ 46,87 per barel dan di awal tahun 2005 menyentuh US$ 46,37 per barel. Pada pertengahan 2008, harga minyak sudah menyentuh angka US$ 132,55 per barel.

Sumber: IFS, 2009

Gambar 10. Perkembangan Harga Rata-Rata Minyak Mentah Dunia Tahun 1999-2008

Penyebab guncangan harga minyak antara lain perang Yom Kippur yaitu serangan Suriah dan Mesir terhadap Israel yang diikuti embargo minyak oleh negara Arab terhadap negara yang mendukung Israel (tahun 1974-1975), revolusi Iran pada tahun 1979 (tahun 1980-1981), Invasi Irak terhadap Kuwait pada tahun 1990 (tahun 1990-1991), krisis keuangan Asia (1998), krisis energi California dan ketegangan di Timur Tengah, penurunan investasi riil dan kebijakan moneter ketat yang dilakukan Fed pada tahun 1999 dan 2000 (tahun 2001), dan perang Amerika Serikat terhadap Irak (tahun 2003). Setelah tahun 1970, harga minyak dunia lebih dipengaruhi oleh produsen minyak OPEC. Selain itu, kekuatan untuk mengendalikan harga minyak mentah bergeser dari Amerika Serikat (Texas,

(38)

Oklahoma dan Louisiana) ke OPEC. Secara umum, faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi harga minyak dunia antara lain kondisi geopolitik, faktor alam (bencana), ketersediaan pasokan, dan pertumbuhan PDB dunia (Roubini & Setser 2004).

Ancaman resesi ekonomi global salah satunya didorong oleh tingginya harga minyak yang pada akhirnya mekanisme ”lingkaran setan” bekerja. Krisis finansial telah mendorong krisis energi yang diikuti krisis pangan. Harga pangan dunia melonjak karena jagung tak lagi dikonsumsi manusia, tapi juga oleh industri dalam bentuk biofuel. Hal ini mengakibatkan kenaikan harga minyak mendongkrak harga komoditas energi alternatif. Sementara itu, tingginya harga minyak dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong berkembangnya produksi

biofuel sebagai energi alternatif. Hal ini menyebabkan beralihnya penggunaan sejumlah besar komoditas yang semula hanya sebagai bahan pangan menjadi bahan baku industri biofuel (seperti minyak sawit, jagung, gandum, kedelai) yang pada akhirnya memicu kenaikan harga. Kondisi ini terjadi seiring dengan dikeluarkannya kebijakan dan target konversi energi ke biofuel secara agresif oleh berbagai negara.

(39)

harga minyak yang akan mendorong produsen untuk mengganti modal (capital) yang menggunakan banyak energi menjadi modal dengan lebih sedikit energi (Olomola & Adejumo 2006).

Inflasi yang tinggi dengan produktivitas yang rendah di negara-negara maju akibat guncangan harga minyak dunia akan berpengaruh terhadap tingkat output negara-negara tersebut dan pada akhirnya akan memengaruhi output negara lain terutama negara mitra dagangnya termasuk negara ASEAN+3. Kenaikan harga minyak bumi akan sangat memengaruhi biaya produksi dan daya saing negara ASEAN+3 sebagai negara tujuan investasi.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada November 2008, di antara negara-negara ASEAN+3, harga bensin eceran di Korea Selatan berada pada posisi termahal yaitu US 151 sen per liter dan termasuk negara yang menerapkan pajak dengan harga bahan bakar yang sangat tinggi. Harga bensin eceran di Indonesia berada pada urutan termurah yaitu US 50 sen per liter dan termasuk negara di bawah kebijakan subsidi ekstrim. Subsidi tersebut tentunya akan mengurangi anggaran negara untuk bidang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Pada tahun 2008, harga minyak mentah di pasaran dunia adalah US 30 sen per liter dan harga eceran bensin di Amerika Serikat adalah US 56 sen per liter sedangkan di Spanyol adalah US 123 sen per liter.

Tabel 1. Perbandingan Harga Bensin Eceran Negara-negara ASEAN+3 November 2004 dan 2008 (US Sen per Liter)

Negara November 2004 November 2008 Indonesia 27 **** 50 ***

Malaysia 37 *** 53 ***

Filipina 52 *** 91 **

Singapura 89 ** 107 **

Thailand 54 *** 87 **

China 48 ** 99 **

Jepang 126 * 142 *

Korea Selatan 135 * 151 * Sumber: GTZ, 2005 dan 2009

Catatan: **** Subsidi bahan bakar sangat tinggi *** Subsidi bahan bakar

** Pajak bahan bakar

(40)

Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak di beberapa negara berbeda-beda. Di beberapa negara, Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah (administered goods). Meskipun pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam memengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan. Apabila terjadi kenaikan BBM maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut mengalami kenaikan. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi jika kenaikan harga BBM ini meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya seperti harga bahan makanan dan papan. Kenaikan harga minyak dapat mengakibatkan harga-harga barang lain menjadi naik. Untuk itu kenaikan harga minyak dapat disebut sebagai pemicu inflasi.

Respon menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk menjaga kesinambungan fiskal ini dapat memberikan tekanan kuat pada inflasi. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada mata uang domestik (BI 2010).

(41)

Singapura yaitu hampir mencapai 9000 btu per unit PDB disusul Thailand, Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, Jepang, China, dan Filipina. negara-negara lainnya memiliki intensitas minyak antara 2000 sampai 4000 btu per unit PDB.

Sumber: EIA, 2011

Gambar 11. Intensitas Minyak Mentah Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008 (Oil Intensity)

Komposisi konsumsi energi primer di negara-negara ASEAN+3 pada tahun 2008 disajikan pada Gambar 12. Komposisi minyak bumi tertinggi terhadap total konsumsi energi primer di ASEAN+3 dimiliki Singapura yaitu 18,7 persen sedangkan terendah dimiliki China yaitu 85,7 persen. Komposisi minyak bumi negara-negara lainnya berkisar antara 44,03 persen sampai 48,13 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa minyak bumi masih menjadi konsumsi tertinggi di beberapa negara ASEAN+3 kecuali China dan Malaysia. China mempunyai komposisi konsumsi batubara terbesar sedangkan Malaysia mempunyai komposisi konsumsi gas alam terbesar.

Sumber: EIA 2011

Gambar 12. Komposisi Energi Primer di Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

B

tu

p

er

u

n

it

P

D

B

0% 20% 40% 60% 80% 100%

China Indonesia Jepang Korea

Selatan

Malaysia Filipina Singapura Thailand

(42)

1.2 Perumusan Masalah

Dampak kenaikan harga minyak terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 2000-an berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1970-an. Pada tahun 1970-an, kenaikan harga minyak menyebabkan inflasi tinggi, resesi, produktivitas rendah, dan tingkat pertumbuhan rendah atau negatif. Kenaikan harga minyak pada awal tahun 2000-an menyebabkan peningkatan infasi namun relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1970-an dan pertumbuhan ekonomi dunia tetap kuat. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Limin et al. (2010) dan Apriani (2007) yang menyimpulkan bahwa kenaikan harga minyak berhubungan positif dengan output dan inflasi di China dan Indonesia. Tekanan inflasi yang berasal dari kenaikan harga minyak dunia berbeda-beda antar negara. Dampak tingginya harga minyak dunia terhadap inflasi tergantung dari seberapa pentingnya peranan minyak dalam perekonomian suatu negara. Pentingnya peranan minyak dalam perekonomian suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar ketergantungan suatu negara terhadap minyak.

Ketergantungan negara-negara ASEAN+3 yang masih tinggi pada produk minyak akan merugikan negara-negara di kawasan ini khususnya bila terjadi kenaikan harga minyak yang cukup tinggi. Ketergantungan minyak dapat diukur dengan beberapa indikator antara lain kemandirian minyak (oil self-sufficiency) yang merupakan produksi minyak dikurangi konsumsi minyak dibagi konsumsi minyak, intensitas penggunaan minyak dalam konsumsi energi yang merupakan rasio kontribusi konsumsi minyak terhadap konsumsi energi primer, intensitas minyak terhadap PDB, dan konsumsi minyak per kapita.

(43)

Tabel 2. Ketergantungan Minyak Negara-negara ASEAN+3 Tahun 2008

Negara

Kemandirian minyak (oil self-sufficiency)1

Intensitas penggunaan minyak dalam konsumsi energi2

Intensitas minyak terhadap PDB (btu per unit

PDB PPP)

Konsumsi minyak per kapita (btu per kapita) Indonesia -0,17 0,44 3.069 11.321.072 Malaysia 0,36 0,44 3.036 39.968.406 Filipina -0,92 0,47 2.062 6.682.019 Singapura -0,99 0,86 8.768 420.868.289 Thailand -0,65 0,48 3.786 28.274.110 China -0,49 0,19 2.098 11.983.973 Jepang -0,97 0,44 2.431 76.082.347 Korea Selatan -0,98 0,45 3.548 90.529.142 Sumber: EIA dan WDI 2011 (diolah)

Keterangan:

1

Nilai positif = pengekspor bersih minyak

2

Jika suatu negara hanya bergantung pada minyak untuk menghasilkan energi=1; Jika minyak tidak digunakan dalam memproduksi energi=0

Konsumsi minyak bumi dunia diperkirakan masih menjadi sumber konsumsi energi terbesar di dunia sampai tahun 2035 walaupun kontribusinya terhadap konsumsi energi dunia diperkirakan turun. Tingginya konsumsi minyak dunia ini disumbangkan oleh tingginya konsumsi minyak di Asia khususnya ASEAN+3. Pada tahun 2008, kontribusi konsumsi minyak Asia dan Oceania merupakan yang tertinggi di dunia yaitu sebesar 29,5 persen sedangkan kontribusi konsumsi minyak ASEAN+3 cukup besar yaitu sebesar 74,4 persen dari total konsumsi minyak Asia dan Oceania (EIA 2010).

(44)

Kenaikan harga minyak dunia berhubungan erat dengan kondisi perekonomian terutama inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu kajian lebih mendalam tentang dampak dari kenaikan harga minyak ini terhadap perekonomian ASEAN+3 yang merupakan kawasan dengan konsumsi minyak yang cukup tinggi. Hal ini juga terkait dengan kondisi perekonomian kawasan ASEAN+3 yang masih akan terus berkembang yang tentunya memerlukan banyak energi. Selain itu, adanya ASEAN Free Trade Area (AFTA), China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), dan wacana adanya integritas ekonomi ASEAN+3 seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) mengakibatkan guncangan pada perekonomian di suatu negara dapat berdampak pada negara-negara lainnya di kawasan tersebut. Untuk itu, dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan harga minyak dunia di negara-negara ASEAN+3

2. Bagaimana dampak guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3

3. Bagaimana dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi di negara-negara ASEAN+3

4. Bagaimana dampak inflasi tahun sebelumnya terhadap inflasi negara-negara ASEAN+3 dan dampak pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Mengkaji gambaran umum inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan harga minyak dunia di negara-negara ASEAN+3

2. Menganalisis dampak guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3

(45)

4. Menganalisis dampak inflasi tahun sebelumnya terhadap inflasi negara-negara ASEAN+3 dan dampak pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Memperoleh gambaran yang lebih jelas dan informasi mengenai dampak

guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3.

2. Menjadi masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk menanggulangi dampak dari guncangan harga minyak bagi perekonomian di masa yang akan datang.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(46)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Hubungan Harga Minyak dan Inflasi

Mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard (2006). Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding lurus (persamaan 2.1). Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga.

P = ( 1 + µ) W ……… (2.1)

W = Pe F(u, z) ……… (2.2)

Keterangan : P = tingkat harga µ = markup W = upah nominal

Pe = ekspektasi harga

u = tingkat pengangguran

z = variabel lainnya

Kerangka kerja kurva permintaan dan penawaran agregat sangat penting dalam memengaruhi keseimbangan tingkat output dan inflasi. Secara khusus, penggunaan kurva permintaan dan penawaran agregat dapat juga untuk menjelaskan pengaruh kebijakan ekonomi dan guncangan eksternal terhadap keseimbangan tingkat output dan harga. Kurva permintaan agregat adalah kurva yang mewakili sisi permintaan yang menggambarkan bagaimana pengaruh dari harga terhadap output. Sementara, kurva penawaran agregat adalah kurva yang menggambarkan pengaruh dari output terhadap tingkat harga (Blanchard, 2006). Persamaan untuk penawaran agregat adalah:

(

)

  

 

− +

= z

L Y F P

P e 1 µ 1 , ………..… (2.3)

Keterangan : P = tingkat harga

Pe = ekspektasi harga

W = upah nominal µ = markup

u = tingkat pengangguran

(47)

Dari persamaan (2.3) secara eksplisit dapat dilihat bahwa variabel-variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, markup dan output. Perubahan ekspektasi harga dan pertumbuhan output akan memengaruhi harga melalui peningkatan upah nominal sehingga tentu saja adanya kenaikan upah nominal akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Disamping upah nominal, markup juga merupakan variabel yang memengaruhi harga secara langsung, dengan demikian, jika perusahaan menaikkan markup, maka harga akan ikut naik.

Kurva permintaan agregat menunjukkan kombinasi dari tingkat harga dan tingkat output dimana pasar barang dan pasar uang secara simultan dalam keseimbangan. Dalam perekonomian terbuka, kurva permintaan ditentukan oleh posisi keseimbangan di pasar barang (IS), keseimbangan di pasar uang (LM), dan pasar internasional melalui balance of payment (BoP). Dengan adanya variabel kebijakan moneter dan fiskal maka jika terjadi kenaikan tingkat harga akan menyebabkan penurunan real money stock yang dapat menurunkan output.

Tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya akan menyebabkan inflasi. Oleh karena itu, konsumsi minyak yang tinggi diperkirakan akan menyebabkan inflasi. Inflasi ini termasuk demand pull inflation

yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi

excess demand, yang merupakan inflationary gap. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP riil) dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment.

(48)

moneter yaitu perubahan uang beredar adalah berdasarkan model klasik. Dengan kata lain, golongan moneterist menganggap permintaan agregat mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian, kenaikkan permintaan agregat dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, atau ekspor bersih, walaupun tidak terjadi ekspansi jumlah uang beredar.

Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

(49)

pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Sebagai contoh, imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestik inflation diikuti dengan demand pull inflation, dsb.

Cost push inflation yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya kurva penawaran agregat ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan kurva penawaran agregat bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga seringkali diikuti oleh kelesuan usaha. Selain itu, faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Selain itu, hubungan harga minyak dan inflasi dapat dijelaskan dengan kurva Phillips. Mankiw (2007) menyatakan bahwa kurva Phillips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan yaitu inflasi yang diharapkan, pengangguran siklis, dan guncangan penawaran. Koefisien β menggambarkan efek pengangguran terhadap inflasi dengan asumsi inflasi yang diharapkan konstan. Ketika pengangguran di atas tingkat alamiahnya maka inflasi lebih rendah daripada inflasi yang diharapkan. Sebaliknya, ketika pengangguran di bawah tingkat alamiahnya maka inflasi lebih tinggi daripada inflasi yang diharapkan.

…………..……….….… (2.4) Dimana:

π = Inflasi

πe = Inflasi yang diharapkan

= Pengangguran siklis (penyimpangan pengangguran dari tingkat alamiah)

(50)

Guncangan penawaran yang memperburuk seperti kenaikan harga minyak dunia menunjukkan nilai positif pada v dan menyebabkan kenaikan inflasi. Ini juga disebut inflasi dorongan biaya (cosh push inflation) karena guncangan penawaran yang memperburuk adalah peristiwa-peritiwa tipikal yang mendorong ke atas biaya produksi. Sebaliknya, guncangan penawaran yang bermanfaat, seperti persediaan minyak yang melimpah yang menyebabkan turunnya harga minyak, membuat v negatif dan menyebabkan turunnya inflasi.

Menurut Mankiw (2007), guncangan pada penawaran agregat dapat menyebabkan fluktuasi ekonomi. Guncangan penawaran adalah guncangan pada perekonomian yang bisa mengubah biaya produksi barang serta jasa yang memengaruhi harga yang dibebankan perusahaan kepada konsumen. Guncangan penawaran kadang-kadang disebut guncangan harga karena memiliki dampak yang langsung terhadap tingkat harga. Contoh dari guncangan harga antara lain organisasi kartel minyak internasional. Dalam membatasi persaingan, produsen minyak utama bisa meningkatkan harga minyak dunia. Peristiwa tersebut merupakan guncangan penawaran yang memperburuk (adverse supply shock) yang berarti meningkatkan biaya dan harga. Sebaliknya, guncangan penawaran yang menguntungkan antara lain bubarnya kartel minyak internasional yang berarti mengurangi biaya dan harga. Peningkatan harga minyak pada jangka pendek menyebabkan penurunan output dan peningkatan tingkat harga. Sepanjang waktu, output turun makin jauh dan tingkat harga meningkat lebih tinggi.

(51)

untuk menyesuaikan permin

employment maupun mempert

Sumber: Mankiw, 2007

Gambar 13. Mengakomodasi Gun

2.1.2 Hubungan Harga Min Ketika terjadi kenaik merespon dengan menaikkan m

tingkat harga menyebabkan k turun makin jauh dan tingkat h kenaikan harga minyak me menurunkan stok uang riil yan Dalam jangka menengah, ken riil yang dibayar oleh perusah alamiah dan selanjutnya menu

Peningkatan harga mi pada harga barang-barang dome negeri masih menggunakan Peningkatan harga barang d domestik terhadap dolar Ame uang domestik yang terdep domestik karena harga barang harga barang luar negeri. H domestik akan mengalami pen akan menyebabkan surplus p

mintaan agregat baik untuk mempertahankan ertahankan tingkat harga yang stabil (Gambar 13).

uncangan Penawaran yang Memperburuk

inyak dan Pertumbuhan Ekonomi

ikan harga minyak dunia maka perusahaan

markup sehingga harga akan naik. Peningkatan kurva AS bergeser ke atas. Sepanjang waktu, ou

t harga meningkat lebih tinggi. Dalam jangka pen menyebabkan kenaikan tingkat harga, sehi ang mengarah pada penurunan permintaan dan ou enaikan harga minyak menyebabkan penurunan sahaan sehingga meningkatkan tingkat pengangg nurunkan tngkat output alamiahnya.

minyak dunia juga akan menyebabkan peningk omestik karena sebagian besar perusahaan di da an minyak sebagai bahan baku untuk prod domestik ini akan menyebabkan nilai tukar merika mengalami depresiasi (melemah). Nilai

epresiasi dapat meningkatkan daya saing ba ng domestik menjadi lebih murah dibanding de Hal ini menyebabkan permintaan terhadap ba peningkatan. Selain itu, nilai tukar yang terdepre s pada neraca perdagangan (trade balance) ka

n full

.

akan n pada output endek, hingga output. n upah gguran

(52)

peningkatan ekspor bersih. Pada akhirnya, peningkatan ekspor akan menyebabkan peningkatan pada output (PDB).

Harga minyak yang tinggi dapat menyebabkan perusahaan mengubah rencana investasi, membatalkan beberapa proyek investasi, atau mengganti peralatan dengan penggunaan energi yang lebih sedikit. Peningkatan harga minyak juga membagi pendapatan dari konsumen minyak ke produsen minyak. Produsen minyak mungkin membelanjakan lebih sedikit daripada konsumen minyak yang kemudian menyebabkan penurunan dalam permintaan konsumsi. Sebaliknya, konsumen minyak mungkin membelanjakan lebih banyak daripada produsen minyak yang kemudian menyebabkan peningkatan dalam permintaan konsumsi. Karena beberapa efek menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dan lainnya menggeser kurva permintaan agregat ke kiri maka efeknya saling meniadakan dan permintaan agregat tidak bergeser (tetap). Dengan permintaan agregat konstan, dalam jangka pendek, hanya kurva penawaran agregat yang bergeser seperti terlihat pada Gambar 14.

Sumber: Blanchard, 2006

Gambar 14. Efek Dinamis Peningkatan Harga Minyak

Perekonomian bergerak sepanjang kurva AD dari A ke A’ dan output turun dari Y ke Y’. Kenaikan harga minyak menyebabkan perusahaan meningkatkan harganya. Peningkatan tingkat harga ini selanjutnya menyebabkan penurunan permintaan dan output. Meskipun output jatuh, tingkat output alamiah juga makin jatuh. Di titik A’, output Y’ masih di atas tingkat output alamiah baru Y’n sehingga kurva penawaran agregat terus bergeser ke atas. Perekonomian bergerak terus sepanjang kurva AD dari A’ ke A”. Pada titik A”, output sama

Output (Y)

Y’n Y’ Yn

T

in

g

k

a

H

ar

g

a

(P

) AS”

AS’ AS

P P’

AD

A A’’

(53)

dengan tingkat output alamiah baru yang lebih rendah Y’n dan tingkat harga lebih tinggi daripada sebelum terjadi guncangan harga minyak. Pergeseran penawaran agregat memengaruhi output tidak hanya pada jangka pendek tapi juga pada jangka menengah.

Jika permintaan agregat tidak konstan, maka seberapa besar penurunan atau peningkatan output tergantung dari seberapa besar guncangan harga minyak yang menggeser kurva penawaran agregat dan seberapa jauh kebijakan fiskal dan moneter menggeser kurva permintaan agregat. Mekanisme transmisi yang diperlihatkan oleh Gambar 13 juga merupakan salah satu jenis inflasi karena dorongan biaya (cost push inflation).

2.1.3 Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Mankiw (2007) menjelaskan hubungan transaksi dan uang atau pertumbuhan ekonomi dan inflasi dalam persamaan kuantitas (quantity equation). Teori kuantitas uang adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :

1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.

2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.

Teori kuantitas uang (quantity theory of money) menunjukkan hubungan antara transaksi dan uang melalui persamaan kuantitas (quantity equation):

MV = PT ……….……….…. (2.5) Keterangan:

M = Jumlah Uang Beredar (money supply)

V = Perputaran uang transaksi (transaction velocity of money) P = Tingkat harga dari suatu transaksi

(54)

Persamaan ini berguna karena menunjukkan bahwa jika satu dari variabel-variabel itu berubah maka satu atau lebih variabel-variabel lainnya juga harus berubah untuk menjaga kesamaan. Misalnya jika jumlah uang beredar (M) meningkat dan perputaran uang (V) tidak berubah maka baik harga atau jumlah transaksi harus meningkat.

Dalam kenyataannya, persamaan di atas mengandung masalah yaitu karena jumlah transaksi sulit diukur. Untuk memecahkan masalah ini maka jumlah transaksi (T) diganti dengan output total dalam perekonomian (Y). transaksi dan output sangat berkaitan karena semakin banyak perekonomian berproduksi maka semakin banyak barang dibeli dan dijual. Namun demikian kedua variabel tersebut tidak sama. Tetapi nilai uang dari transaksi proporsional terhadap nilai uang dari output. Jika Y menyatakan jumlah output dan P menyatakan harga satu unit output maka nilai uang dari output adalah PY. Sehingga persamaan kuantitas menjadi:

MV = PY ………...……….………..……… (2.6)

Karena Y juga merupakan pendapatan total maka V dalam persamaan kuantitas ini disebut perputaran pendapatan uang (income velocity of money). Perputaran pendapatan uang menyatakan berapa kali uang masuk ke dalam pendapatan seseorang dalam periode waktu tertentu.

Teori uang, harga dan inflasi menjelaskan apa yang menentukan seluruh tingkat harga perekonomian. Teori tersebut memiliki tiga unsur yaitu:

1. Faktor-faktor produksi dan fungsi produksi menentukan tingkat output Y 2. Jumlah Uang beredar (M) menentukan nilai output nominal (PY). Hal ini

berdasarkan persamaan kuantitas dengan asumsi perputaran uang adalah tetap. 3. Tingkat harga P adalah rasio dari nilai output nominal (PY) terhadap tingkat

output (Y).

Karena tingkat inflasi adalah perubahan persentase dalam tingkat harga, teori tingkat harga ini juga merupakan teori tingkat inflasi. Sehingga persamaan kuantitas ditulis dalam bentuk perubahan persentase, yaitu:

(55)

Perubahan persentase dalam kuantitas uang M berada di bawah pengawasan bank sentral. Perubahan persentase dalam perputaran V mencerminkan pergeseran dalam permintaan uang dan jika perputaran diasumsikan konstan maka perubahan persentase dalam perputaran adalah nol. Perubahan persentase dalam tingkat harga P adalah tingkat inflasi. Perubahan persentase dalam output Y bergantung pada pertumbuhan faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi (given). Pada akhirnya analisis ini menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar menentukan tingkat inflasi. Jadi, teori kuantitas uang menyatakan bahwa bank sentral (yang mengawasi jumlah uang beredar) memiliki kendali tertinggi atas inflasi. Jika bank sentral mempertahankan jumlah uang beredar tetap stabil, tingkat harga akan stabil. Jika bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar dengan cepat, tingkat harga akan meningkat dengan cepat (Mankiw, 2007).

M juga bisa disebut agregat moneter, V adalah kecepatan dari agregat moneter, P adalah tingkat harga agregat, dan Y adalah PDB riil. Kecepatan agregat moneter biasanya direpresentasikan sebagai fungsi dari suku bunga karena permintaan uang sensitif terhadap opportunity cost terhadap biaya memegang uang. Harga energi merupakan salah satu komponen dalam perhitungan tingkat harga agregat sehingga perubahan harga energi dapat memengaruhi tingkat harga agregat secara langsung. Namun demikian, cara langsung ini tidak dapat menghasilkan perubahan yang permanen pada tingkat harga agregat. Dalam persamaan kuantitas uang, perubahan harga energi tidak bisa berdampak secara permanen terhadap tingkat harga kecuali PDB, monetery agregat atau kecepatannya diubah.

(56)

Dalam kasus kenaikan harga minyak, maka dalam jangka pendek, kenaikan harga minyak akan mendorong kenaikan pada tingkat harga. Selanjutnya

kenaikan tingkat harga akan menurunkan stok uang riil yang menyebabkan

penurunan permintaan dan output. Hubungan antara stok uang riil dan output dapat dijelaskan melalui persamaan permintaan agregat, dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Permintaan barang dalam hal ini output proporsional terhadap stok uang riil. Mekanisme dalam model IS-LM yaitu penurunan stok uang riil menyebabkan peningkatan suku bunga, peningkatan suku bunga menyebabkan penurunan pada permintaan barang dan selanjutnya menurunkan output.

………..……….……… (2.8)

2.2 Penelitian-penelitian Terdahulu

Dampak kenaikan harga minyak terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 2000-an berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1970-an. Pada tahun 1970-an, kenaikan harga minyak menyebabkan inflasi tinggi, resesi, produktivitas rendah, dan tingkat pertumbuhan rendah atau negatif. Kenaikan harga minyak pada awal tahun 2000-an menyebabkan peningkatan infasi namun relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1970-an dan pertumbuhan ekonomi dunia tetap kuat. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Unalmis et al. (2009).

(57)

dampak kenaikan harga minyak menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian Limin et al. (2010) dan Apriani (2007) menyimpulkan bahwa kenaikan harga minyak berhubungan positif dengan output dan inflasi di China dan Indonesia.

2.2.1 Harga Minyak dan Inflasi

Penelitian yang dilakukan Aisen dan Veiga(2003 dan 2005) menunjukkan bahwa perubahan tahunan harga minyak mempunyai tanda yang positif seperti yang diharapkan dan secara statistik signifikan memengaruhi inflasi. Selain itu, perdagangan luar negeri yang merupakan persentase PDB mempunyai koefisien yang positif yang menunjukkan bahwa semakin besar derajat keterbukaan terhadap perdagangan menyebabkan inflasi yang lebih tinggi. Sehubungan dengan kinerja ekonomi, hasilnya seperti yang diharapkan: pertumbuhan PDB riil, nilai tukar efektif riil mempunyai tanda yang negatif. Hal ini sesuai dengan intuisi bahwa inflasi berhubungan dengan pertumbuhan yang rendah dan undervalued

nilai mata uang. Overvaluation riil dari mata uang menurunkan inflasi. Efek marjinal dari pertumbuhan PDB riil per kapita dan tingkat U.S. Treasury Bill lebih tinggi: bila tingkat U.S. Treasury Bill naik satu persen, tingkat inflasi meningkat sekitar tiga persen, dan ketika tingkat pertumbuhan PDB per kapita riil naik satu titik lebih tinggi, inflasi turun minimal dua persen.

Apriani (2007) melakukan penelitian mengenai dampak guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi dan output di Indonesia. Hasil analisis de

Gambar

Gambar 1. Konsumsi Energi Dunia Tahun 2000-2008
Tabel 3.  Rekapitulasi Penelitian-penelitian Terdahulu Lainnya
Gambar 15. Kerangka Pemikiran
Gambar 20. Plot Regresi antara Harga Minyak Mentah Dunia dan Inflasi di Negara-
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, definisi generik berikut bisa dipakai: penelitian kualitatif itu multi-metode dalam fokus, meliputi pendekatan naturalistik interpretif terhadap pokok

Dengan VB.NET gambar, teks, dan suara dapat dipadukan ke dalam perangkat komputer untuk kemudian diproses dan diolah sehingga menjadi suatu bentuk informasi yang ditampilkan

Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pembangunan aplikasi EKG yang dapat digunakan menggunakan media mobile sebagai alat untuk menampilkan data hasil test yang

lain berdasarkan: (i) jumlah pesertanya, (ii) strukturnya, (iii) obyeknya, (iv) cara berlakunya, (v) instrumen pembentuk perjanjiannya. a) Menurut jumlah pesertanya,

1) Wawancara Terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan

Melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui pengaruh pengaruh latar belakang pendidikan, pendidikan berkelanjutan, komitmen organisasi dan pengalaman kerja

is a graduate of the Graduate School, Widya Mandala Catholic University, majoring in TEFL, Teaching English as Foreign Language.. He is currently a lecturer of

Hal ini dikarenakan prosedur bermain peran sejak awal hinga akhir seperti; motivasi kelompok, memilih pemeran, me- nyiapkan tahap-tahap peran, peme- ranan, diskusi dan evaluasi,