• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BAHAN DAN METODE

5.1 Hasil Penelitian

Selama periode penelitian (Juni s/d Agustus 2014) diperoleh 80 subyek penelitian dengan HIV/AIDS yang baru didiagnosa dan memiliki indikasi mendapatkan terapi antiretroviral di pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan disertakan dalam penelitian ini, terdiri dari 52 pria (65,0%) dan 28 wanita (35,0%) dengan rerata usia 34.4 ± 8.4 (rentang 21-74 tahun, kelompok umur yang paling banyak dijumpai adalah 30-39 tahun sebanyak 50 orang (62,5%).

Faktor risiko terbanyak penularan infeksi HIV adalah heterosexual 65 orang (81,3%) diikuti tato 2 orang (2,5%), melalui transfusi 1 orang (1,3%), 12 orang ( 14,9%) subyek dengan faktor risiko lebih dari satu. Dari keseluruhan pasien 50 orang (62,5%) berpendidikan SLTA dan sederajat. Rerata kadar CD4 115,8±113,4 sel/mm3, sebagian besar pasien memmiliki CD4 <200 sel/mm3, yaitu 60 orang (75,0%). Rerata Hemoglobin (Hb) dan fungsi ginjal dalam batas normal sesuai dengan kriteria penelitian yaitu kadar Hb 13,5±1,3, ureum 21,1±8,2, kreatinin 0,71±0,2.

Gejala klinis yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini, adalah penurunan berat badan 26/80 orang (32,5%), diare kronis 17/80 (21,3%), kandidiasis oral 12/80 orang (15,0%), demam 3/80 orang (3,8%), herpes zoster 1/8 (1,3%), dan 21/80 orang lebih dari satu gejala klinis ( 26,4%) (Tabel 5.1)

Tabel 5.1 Data karakteristik dasar subyek dengan HIV/AIDS secara Keseluruhan No Karakteristik Hasil 1. Jenis Kelamin, n (%) Pria Wanita 52 (65,0) 28 (35,0) 2. Umur, Tahun Mean (±SD) 34.4 ± 8,4 3. Klasifikasi umur, n (%)

30 – 39 Tahun 40 – 49 Tahun 50 – 59 Tahun >60 Tahun 50 (62,5) 9 (11,3) 3 (3,8) 1 (1,3) 4. Pendidikan, n (%) SD SLTP

SLTA dan sederajat Akademi Sarjana 1 (1,3%) 7 (8,8%) 50 (62,5%) 9 (11,3%) 13 (16,3%) 5. Faktor risiko, n (%) Heterosexual Sex per anal Tato Trasfusi ≥2 faktor resiko 65 (81,3) 1 (1,3) 2 (2,5) 1 (1,3) 11 (13,6) 6. Gejala Klinis, n (%)

Penurunan berat badan Kandidiasis oral Diare Kronis Demam Herper Zoster

Diare Kronis dan Kandidiasis oral Demam dan Kandidiasis oral

Penurunan berat badan dan kandidiasis oral

26 (32,5) 12 (15,0) 17 (21,3) 3 (3,8) 1 (1,3) 13 (16,3) 3 (3,8) 5 (6,3) 7. Klasifikasi CD4, n (%) <200 sel/mm3 >200 sel/mm3 47 (58,8) 33 (41,3) 8. ARV, n (%) Zidovudin Tenofovir 40 (50,0) 40 (50,0) 9. Laboratorium, mean (±SD) Hemoglobin gr/dl Ureum U/L Creatinin U/L 13,5 ± 1,3 21,1 ± 8,2 0,71 ± 0,2

5.1.1 Karakteristik Dasar Kelompok Penelitian

Keselururan penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok rejimen yang menggunakan kombinasi zidovudin, lamivudin, efavirenz serta kelompok rejimen yang menggunakan kombinasi tenofovir, lamivudin, efavirenz memiliki jumlah pasien yang sama yaitu 40 orang.

Selama periode penelitian masing-masing kelompok terdiri dari pria (26;26) orang (65.0%;65.0%), wanita (14;14) orang (35%;35%), usia rerata

(SD) (33,9±7,8 ; 34,9±8,9), dengan gejala klinis penurunan berat badan (12;14) orang (30.0%; 35.0%), kandidiasis oral (8;4) orang (20.0%; 10.0%), Diare kronis (10;7) orang (25.0%; 17,5%), demam (0;3) orang (0%, 7; 5%), herpes zoster (0;1) orang (0%; 2.5%), diare kronis dan kandidiasis oral (7;6) orang (17.5%; 15.0%), deman dan kandidiasis oral (0;3) orang (0%; 7,5%), dan penurunan berat badan dan kandidiasis oral (3;2) orang (7.5%;5.0%).

Kemudian pada 40 subyek penelitian masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan hemoglobin, kadar ureum, kadar kreatinin, dan kadar CD4. Rerata kadar hemoglobin (13,4±1,09; 13,6±1,4) gr/dl, rerata kadar ureum (22,5±0,7; 19,7±9,6)U/L, kadar kreatinin (0,7±0,1; 0,7±0,2)U/L, rerata kadar CD4 (111,5±113,3; 120,1±114,9) sel/mm3 (Tabel 5.2)

Tabel 5.2 Data karakteristik subyek HIV/AIDS masing-masing kelompok

Variabel Kombinasi AZT+ 3TC+ EFV (n=40) Kombinasi TDF+ 3TC+EFV (n=40) Umur, tahun Mean (SD) 33,9 ± 7,8 34,9 ± 8,9 Jenis Kelamin, n (%) Pria Wanita 26 (65,0) 14 (35,0) 26 (65,0) 14 (35,0) Gejala Klinis, n (%)

Penurunan berat badan Kandidiasis oral Diare Kronis Demam Herper Zoster

Diare Kronis dan Kandidiasis oral Demam dan Kandidiasis oral

Penurunan berat badan dan kandidiasis oral 12 (30,0) 8 ( 20,0) 10 (25,0) 0 0 7 (17,5) 0 3 (7,5) 14 (35,0) 4 (10,0) 7 (17,5) 3 (7,5) 1 (2,5) 6 (15,0) 3 (7,5) 2 (5,0) Laboratorium, Mean ±SD CD4 (sel/mm3) Hemoglobin (gr/dl) Ureum (U/L) Creatinin (U/L) 111,5 ± 113,3 13,4 ± 1,09 22,5 ± 0,7 0,7 ± 0,1 120,1 ± 114,9 13,6 ± 1,4 19,7 ± 9,6 0,7 ± 0,2

Tabel 5.3 Parameter Hematologi dan CD4 dari subyek penelitian sebelum dan sesudah pemberian rejimen kombinasi zidovudin, lamivudin, efavirenz selama tiga bulan

Parameter N Kombinasi AZT+3TC+EFV Nilai p Sebelum Sesudah X ± SD X ± SD Hb (gr/dl) 40 13,55 ±1,01 11,88 ± 2,37 0,0001# Ureum U/L 40 22,21 ± 6,38 24,21 ± 7,41 0,0001≠ Kreatinin U/L 40 0,68 ± 0,13 0,78 ± 0,12 0,284≠ CD4 (sel/mm3) 40 111,5 ± 113,3 191,4 ± 126,2 0,0001≠ Berat Badan (kg) 40 47,7 ± 5,7 52,1 ± 6,1 0,0001≠ #

Uji Wilcoxon, ≠Uji T berpasangan

Kelompok rejimen yang menggunakan rejimen kombinasi zidovudin, lamivudin, efavirenz dengan analisis uji wilcoxon diperoleh penurunan hemoglobin setelah terapi selama tiga bulan. Dari hasil uji tersebut terjadi penurunan yang bermakna secara statistik (13,55±1,01 menjadi 11,88±2,37; p=0,001 dengan selisih 1,67 ). Dengan menggunakan analisa uji t-berpasangan diperoleh nilai rerata kadar ureum, kadar CD4, dan berat badan yang mengalami peningkatan yang bermakna secar statistik (22,21±6,38 menjadi 24,21±7,41, selisih -1,74, p=0,001; 111,5±113,3 menjadi 191,4±126,2; selisih -79,9, p=0,001; 47,7±5,7 menjadi 52,1±6,1, selisih -4,43 , p=0,001). Nilai rerata kreatinin mengalami peningkatan, namun demikian nilai tersebut tidak bermakna secara statistik (0,68±0,13 menjadi 0,78±0,12, selisih -0,08, p=0,284) (Tabel 5.3).

Tabel 5.4 Parameter Hematologi dan CD4 dari subyek penelitian sebelum dan sesudah pemberian rejimen kombinasi tenofovir, lamivudin, efavirenz selama tiga bulan

Parameter N Kombinasi TDF+3TC+EFV Nilai p Sebelum Sesudah X ± SD X ± SD Hb (gr/dl) 40 13,72 ± 1,37 13,49 ± 1,26 0,134≠ Ureum 40 19,67 ± 9,55 20,28 ± 8,87 0,715≠ Kreatinin 40 0,74 ± 0,21 0,71 ± 0,19 0,715≠ CD4 (sel/mm3) 40 120,1 ± 114,8 203,9 ± 137,2 0,0001≠

Berat Badan (kg) 40 47,05 ±7,44 50,83 ± 7,16 0,0001≠

Uji T berpasang

Dengan menggunakan uji t-berpasangan yang digunakan pada kelompok yang menggunakan rejimen kombinasi tenofovir, lamivudin, efavirenz nilai rerata kadar ureum, kadar kreatinin mengalami peningkatan, nemun demikian nilai tersebut secara statistik tidak bermakna (19,67±9,55 menjadi 20,28±8,87, selisih - 0,61,p=0,715; 0,74±0,21 menjadi 0,71±0,19, selisih -0,61,p=0,715). Nilai rerata Hb mengalami penurunan, nemun demikian nilai tersebut secara statistik tidak bermakna (13,72±1,37 menjadi 13,49±1,26, selisih 0,41,p=0,134). Nilai rerata kadar CD4 dan berat badan mengalami peningkatan yang bermakna (120,1±114,8 menjadi 203,9±137,2, selisih -83,85,p=0,0001; 47,05±7,44 menjadi 50,83±7,16, selisih -3,78,p=0,0001) (Tabel 5.4)

5.2 Efektifitas

5.2.1 Parameter Imunologis

Penilaian utama untuk melihat efektifitas pemberian terapi pada penelitian ini adalah parameter imunologis yaitu kadar CD4, diperiksa sebelum dan sesudah terapi masing masing kelompok. Hasil perubahan pemeriksaan CD4 ditunjukkan dalam (Tabel 5.5)

Tabel 5.5 Perubahan kadar CD4 sebelum dan sesudah terapi

Kelompok Kombinasi AZT+3TC+EFV Kombinasi TDF+3TC+EFV Nilai p CD4, n(%) Meningkat Menurun 37 (92,5%) 3 (7,5%) 38 (95,0%) 2 (5,0%) 1.000* *Uji Chi-Square

Dari hasil analisa menggunakan uji chi-square dijumpai peningkatan kadar CD4 yang efektif pada kedua kelompok setelah pemberian terapi antiretroviral selama tiga bulan, sementara pada kelompok kombinasi terapi

CD4 dan pada kelompok kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz dijumpai 2 orang (5,0%) penurunan kadar CD4, tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0,05) (Tabel 5.5)

5.2.2 Parameter Klinis

Empat gejala klinis yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah penurunan berat badan, diare kronis, diare kronis dan kandidiasis oral serta kandidiasis oral (Tabel 5.1) Pada akhir penelitian gejala klinis secara umum mengalami perbaikan

Tabel 5.6 Perbandingan gejala klinis setelah intervensi terapi antiretroviral

Gejala klinis Kombinasi AZT+3TC+EFV Kombinasi TDF+3TC+EFV Nilai p Diare Kronis Menghilang Menetap 12/12 - 14/14 - Diare Kronis dan

Kandidiasis oral Menghilang Menetap 7/7 - 6/6 - Kandidiasis oral Menghilang Menetap 5/8 3/8 2/4 2/4 0,644* Demam Menghilang Menetap - 3/3 - Herpes Zoster Menghilang Menetap - 1/1 - *Uji Chi-Square

Setelah mendapat intervensi terapi antiretroviral selama tiga bulan dengan menggunakan analisis uji chi-square gejala klinis kandidiasis oral menetap sebanyak tiga orang dari kelompok yang menggunakan kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz dan dua orang dari kelompok yeng menggunakan kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz namun gejala klinis yang menetap tersebut tidak bermakna secara statistik ( 3/8; 2/4; p=0,644).

Semua pasien yang menderita diare kronis mengalami perbaikan setelah diberikan terapi antiretroviral selama tiga bulan, serta diare kronis dan kandidiasis oral, demam dan herpes zoster tidak dijumpai lagi pada subyek setelah mendapat intervensi pemberian antiretroviral selama tiga bulan. (Tabel 5.6)

5.2.3 Efek Samping

Dengan menggunakan analisis uji wilcoxon pada akhir penelitian dijumpai anemia yang bermakna secara statistik pada kelompok yang menggunakan kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz (22 orang yang anemia dan 18 orang yang normal, p=0,0001) (Tabel 5.7).

Tabel 5.7 Perubahan parameter hemoglobin dari subyek penelitian sebelum dan setelah pemberian kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz selama tiga bulan.

Kombinasi AZT+ 3TC+ EFV Efek

samping

Sebelum terapi Sesudah terapi Perubahan Nilai p

Anemia Normal 0 40 22 18 Normal ke Anemia = 22 Tetap = 18 0,0001¥ ¥ Uji Wilcoxon

Dengan menggunakan analisis uji wilcoxon pada akhir penelitian dijumpai anemia pada kelompok yang menggunakan kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz, namun nilai tersebut tidak bermakna secara statistik (anemia 2 orang, normal 38 orang, p=0,157) (Tabel 5.8).

Tabel 5.8 Perubahan parameter hemoglobin dari subyek penelitian sebelum dan sesudah terapi kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz selama tiga bulan

Kombinasi TDF+3TC+EFV Efek

samping

Sebelum terapi Sesudah terapi Perubahan Nilai p

Anemia Normal 0 40 2 38 Normal ke Anemia = 2 Tetap = 38 0,157¥ ¥ Uji Wilcoxon

Sebagian besar subyek yang ikut dalam penelitian tidak menimbulkan keluhan setelah pemakaian rejimen yang mengandung kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz (57,5%) atau kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz (70%) selama 3 bulan, namun gejala klinis yang dijumpai akibat penggunaan rejimen kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz yaitu mual dan muntah 9 orang (22,5%), lemas 3 orang (7,5%), mual dan pusing, oyong dan sakit kepala masing-masing 2 orang (5%), gatal dikulit 1 orang (2,5%). Pada subyek yang menggunakan rejimen kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz gejala klinis lain yang ditemukan setelah pengobatan selama 3 bulan yaitu oyong dan sakit kepala 5 orang (12,5%), mual dan muntah 3 orang (7,5%), mual dan pusing 2 orang (5%), pusing dan gatal kulit masing-masing 1 orang (2,5%).

5.2.4 Kepatuhan

Kepatuhan minum obat sangat diperlukan untuk mencapai supresi virology yang baik. Sebagian besar subyek dijumpai tingkat kepatuhan minum obat sangat baik namun dijumpai 6 subyek dari kedua kelompok yang tidak patuh minum obat sehingga tidak tercapai efektifitas yang baik.

5.3 Pembahasan

Penelitian ini melakukan intervensi berupa kombinasi terapi antiretroviral AZT + 3 TC + EFV dibandingkan dengan kombinasi terapi antiretroviral TDF + 3TC + EFV selama 3 bulan yang sudah memiliki indikasi mendapatkan antiretroviral.1,4 Efektifitas terapi dinilai dari peningkatan kadar sel CD4 pasien, sementara keamanan dinilai dari efek samping yang muncul, terutama anemia pada subyek yang menggunakan kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz dan gangguan fungsi ginjal pada subyek yang menggunakan kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz.

Dari data awal penelitian ini berdasarkan umur, peserta paling banyak terdapat pada kelompok umur 20-19 tahun, ini berarti sebagian besar pasien telah terinfeksi HIV pada usia yang masih muda, yakni 5-10 tahun lebih awal dari usia mereka saat ini. Dengan usia reproduktif seperti ini, risiko untuk penularan dapat semakin meningkat. Pada penelitian ini jumlah penderita pria lebih banyak, ini dapat berdampak pada peningkatan jumlah penularan HIV/AIDS kepada pasangannya, kemudian dari pasangan ini dapat menularkan kepada bayi, sehingga diperlukan pemeriksaan secara teratur terhadap setiap ibu hamil. Sebagian besar subyek memiliki kadar sel CD4 <200 sel/mm3, dan semua subyek yang disertakan dalam penelitian ini sudah memiliki indikasi untuk mendapatkan antiretroviral, hal ini dapat disebabkan oleh keterlambatan diagnosa, yang berdampak terhadap semakin sulitnya untuk merawat dan memulihkan kondisi pasien. Untuk menghindari hal ini diperlukan pemeriksaan sedini mungkin terhadap setiap pasien yang dicurigai tertular HIV, terutama pada pasien yang memiliki gejala klinis penurunan berat badan yang bermakna, atau memiliki riwayat prilaku seks bebas maupun memiliki prilaku beresiko lainnya.4

Gejala klinis yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah penurunan berat badan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh karena penderita terinfeksi HIV sering mengalami gangguan asupan nutrient yang menyebabkan menurunnya fungsi biologis tubuh sehingga mengakibatkan pasien akan kehilangan nafsu makan dan dapat diperberat dengan infeksi opurtinistik yang diderita, misalnya kandidiasis oral, diare kronis sehingga dapat mempercepat proses penurunan berat badan pasien.2

Pederita HIV/AIDS yang mendapatkan terapi ARV optimal diharapkan CD4 meningkat >100 sel/mm3 dalam 6-12 bulan pertama. Respon CD4 yang diharapkan dapat meningkat 50-60 sel/mm3 dalam 4 bulan pertama, dengan laju peningkatan 8-10 sel/mm3/bulan atau 100-150 sel/mm3/tahun.2 Berg et al, membuat suatu cut-off peningkatan kadar CD4 yang dinyatakan respon/tidak respon terhadap penggunaan ARV AZT/3TC/ABC/TDF yaitu dengan peningkatan 20 sel/mm3.29 Chakraborty et al, menyebutkan bahwa penilaian efektifitas pemberian ARV adalah dinilai dari parameter imunologis yaitu selisih kadar sel CD4 sebelum dan setelah pengobatan lebih dari 24 sel/mm3.30

Pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar sel CD4 sesudah intervensi antiretroviral selama tiga bulan bermakna secara statistik pada kedua kelompok (p<0.05). Pada kelompok yang mengandung rejimen kombinasi terapi zidovudine, lamivudin, efavirenz kadar sel CD4 sebelum pemberian terapi antiretroviral adalah 111,5±113,3 sel/mm3 meningkat menjadi 191,4±126,2 sel/mm3 setelah intervensi. Pada kelompok yang mengandung rejimen kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz kadar sel CD4 sebelum pemberian antiretroviral adalah 120,1±114,8 sel/mm3 meningkat menjadi 203,9±137,2 sel/mm3 setelah pemberian terapi. Perbedaan rerata peningkatan kadar sel CD4 yang terjadi pada kedua kelompok meningkat bermakna secara statistik (p<0,05).

Prediktor yang paling sesuai untuk menilai efektifitas adalah viral load. Akan tetapi pemeriksaan viral load sangat mahal dan tidak setiap sentra memiliki fasilitas untuk pemeriksaan viral load. Sehingga pada praktek klinis sehari-hari pemeriksaan viral load tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin untuk memprediksi keberhasilan terapi. Sebagai alternative untuk menilai keberhasilan terapi pada penderita HIV dipakai pemeriksaan parameter imunologis dan penilaian gejala klinis, kedua pemeriksaan ini telah menjadi standard untuk penilaian keberhasilan pengobatan antiretroviral di Indonesia.4

Parameter klinis yang baik untuk melihat keberhasilan terapi adalah peningkatan berat badan serta hilangnya infeksi opurtunistik. Pada penelitian ini, dijumpai peningkatan berat badan pada kedua kelompok setelah mendapatkan antiretroviral selama tiga bulan, Peningkatan rerata berat badan pada kedua kelompok meningkat secara bermakna (p<0,05). Seiring dengan peningkatan

kadar CD4, gejala klinis diare kronis, demam dan herpes zoster yang mengalami perbaikan pada keseluruhan subyek setelah di intervensi ARV.

Jumlah kadar sel CD4 <200 sel/mm3 berisiko terjadinya infeksi kandidiasis oral. Schort dkk dan Njunda dkk, melaporkan bahwa terdapat hubungan antara rendahnya kadar CD4 dengan kandidiasis oral.31 Penggunaan anti jamur sebagai terapi profilaksis dapat menyebabkan munculnya koloni kandidiasis non-albican salah satunya kandidiasis tropicalis (C.tropicalis). Pfaller dkk, menyatakan bahwa C.topicalis resistenterhadap flukonazol.32 Sangland dkk, malaporkan bahwa tingginya frekuensi resistensi terhadap golongan azole pada C.glabrata terutama yang mendapat terapi dengan flukonazole.33

Pada penelitian ini sebanyak 5 subyek masih dijumpai gejala klinis kandidiasis oral sampai akhir penelitian. Kelima subyek tersebut memiliki peningkatan kadar CD4 dan berat badan, namun gejala klinis tersebut sudah mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dengan menetapnya gejala klinis kandidiasis oral pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh kandidiasis non-albican yang tidak sensitif terhadap obat golongan azole sehingga perlu dilakukan kultur swab tenggorokan untuk memastikan jenis infeksi kandidiasis.

Gallant trial dengan mengikuti 500 pasien HIV/AIDS yang menggunakan kombinasi terapi antiretroviral AZT + 3TC + EFV dengan TDF + FTC + EFV menemukan bahwa efikasi , kenyamanan dan keamana serta respon virology pada kedua kombinasi tersebut adalah sama.10

Berdasarkan hasil penelitian ini dan juga kesimpulan dari penelitian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pemberian rejimen kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz dengan rejimen kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz sama efektifnya dalam respon imunologis dan respon klinis.

Selain efektifitas yang menguntungkan penggunaan kombinasi terapi anti retroviral dapat menimbulkan efek samping yang merugikan sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan terapi. Suatu analisis program lini pertama antiretroviral di Afrika Selatan menunjukkan bahwa efektoksisitas yang lebih sering pada penggunaan kombinasi terapi yang mengandung tenofovir adalah gangguan fungsi ginjal namun bersifat sementara.4,27

Studi 903 yang memberikan pengobatan tenofovir selama 0 sampai 144 minggu menjumpai gejala klinis yang ditimbulkan yaitu sakit kepala, nyeri, demam, nyeri perut, nyeri pinggang dan asthenia. Keluhan di saluran pencernaan berupa diare, mual, muntah dan dyspepsia. Gangguan metabolik berupa lipodistropi. Gangguan muskuloskeletal berupa atralgia dan mialgia. Gangguan pada system saraf yakni depresi, insomnia, dizziness, neuropati perifer dan cemas, pada kulit dapat dijumpai ruam. 34

Berdasarkan hasil penelitian ini dan juga kesimpulan dari beberapa penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pemberian kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz cukup aman untuk diaplikasikan secara klinis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dari kadar kreatinin pada akhir penelitian diantara kedua kelompok. Toksisitas pemberian kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz yang telah diuji pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa dijumpai adanya gangguan fungsi ginjal, namun pada penelitian ini dengan pemberian kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz selama tiga bulan belum dijumpai adanya gangguan fungsi ginjal. Namun dijumpai keluhan lain yaitu oyong dan sakit kepala 5 orang (12,5%), mual dan muntah sebanyak 3 orang (7,5%), mual dan pusing 2 orang (5%), pusing dan gatal pada kulit masing-masing 1 orang (2,5%). Dapat disimpulkan bahwa pemberian kombinasi terapi tenofovir, lamivudin, efavirenz aman sebagai kombinasi antiretroviral.

Penelitian yang dilakukan di India membuktikan bahwa prevalensi anemia yang disebabkan karena penggunaan rejimen kombinasi terapi zidovudin bervariasi antara 5,42% sampai 9,62%.24 Agarwal dkk, study retrospektif melaporkan bahwa insidensi anemia pada pasien HIV yang menggunakan kombinasi terapi zidovudin sangat tinggi.9 Efek samping lain yang bisa timbul akibat penggunaan zidovudin adalah sakit kepala, mual dan muntah, nyeri otot, kelelahan peningkatan fungsi hati dan asidosis laktat, neutropenia, dan miopati. Penggunaan dalam waktu yang lama dapat megakibatkan kulit dan kuku menghitam.4

Anemia terjadi bila awal pengobatan dengan kadar sel CD4 rendah (<200 sel/mm3) sehingga dapat memperberat supresi sumsum tulang dimana efek

tersebut berhubungan dengan durasi pengobatan dan kadar sel CD4. Pada pasien dengan kadar sel CD4 awal pengobatan >100 sel/mm3 kejadian anemia dpt mencapai 2-14%, namun jika kadar sel CD4 awal pengobatan <100sel/mm3 kejadian toksisitas hematologi akan lebih berat. Anemia dapat terjadi setelah 1 sampai 2 bulan setelah menggunakan zidovudin, anemia tersebut kemungkinan terjadi akibat defisiensi triposfat yang dapat menghambat kematangan sel induk.17

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dari hemoglobin pada akhir penelitian pada kelompok kombinasi terapi zidovudin, lamivudin, efavirenz dan toksisitas hematologi dijumpai pada 22 orang subyek yang mengalami anemia sesudah terapi selama tiga bulan. Dari 22 subyek yang mengalali anemia terdapat 18 orang dengan kadar sel CD4<200 sel/mm3, 4 orang dengan kadar sel CD4 >200 sel/mm3. , oyong dan sakit kepala masing-masing 2 orang (5%), gatal di kulit 1 orang (2,5%). Selain anemia gejala klinis yang dijumpai akibat penggunaan rejimen kombinasi terapi zidovudi, lamivudin, efavirenz pada penelitian adalah mual dan muntah 9 orang (22,5%), lemas 3 orang (7,5%), mual dan pusing.

Untuk mencapai supresi virology yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Risiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa minum obat.4

Berdasarkan keterang sebelumnya bahwa pada penelitian ini sebagian besar subyek patuh minum obat namun dijumpai 6 orang dari kedua kelompok sering lupa minum obat akibat kesibukan dan 2 orang menyatakan karena efek oyong akibat terapi sehingga memperpanjang waktu minum obat. Ketidak patuhan subyek terhadap pengobatan sehingga tidak tercapai efektifitas terapi.

Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: pertama dari metode penelitian quasi experimental dimana dapat dijumpai bias informasi sehingga hal ini berdampak terhadap hasil akhir penelitian ; kedua, jumlah sampel relative kecil; ketiga, penelitian ini tidak memeriksa HIV-RNA dan hanya menggunakan prediktor imunologis CD4 sebagai evaluasi terhadap keberhasilan pengobatan; keempat, penelitian ini tidak menganalisa faktor-faktor lain yang

dapat mempengaruhi peningkatan kadar CD4, seperti nutrisi dan infeksi opurtunistik.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait