• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

B. Hasil Penelitian

a. Latar belakang dan cara pandang korban terhadap kekerasan.

Subjek adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Kedua adik

subjek berjenis kelamin laki-laki. Didalam keluarga, subjek

memiliki relasi yang baik dengan ibu dan adik keduanya (adik

bungsunya). Ibu subjek adalah orang yang terdekat dengan subjek

karena subjek sering menceritakan permasalahan yang

dihadapinya. Selain itu, ibu subjek juga cenderung menuruti

kemauan subjek dan memberikan kebebasan pada subjek untuk

melakukan berbagai hal. Adik bungsu subjek bersikap lembut

walaupun subjek bersikap keras sehingga subjek merasa cocok

dengannya.

“Baik, sama mama baik, sama Cy juga baik....”. (CT, no.2).

“Baik.. lebih dekat.. ya sering cerita.. gitu, kalau ada masalah apa.. cerita.. gitu. Maksudnya.. sebagai tempat sampahnya gitu lho. (CT, no. 11-12).

“...mama itu, bebas, ya terserah kamu berekspresi, terserah, tapi ya…kamu tau batasan dan bisa bertanggung jawab gitu.” (CT, no. 22-23).

“...kalo Cy itu, sama Cy.. dia itu kan, aku keras, dia bisa lembut, jadi aku cocok sama dia.” (CT, no. 15-16).

Hubungan subjek dengan ayah dan adik pertamanya

cenderung tidak baik. Subjek merasa tidak cocok dengan ayahnya

yang sering berperilaku kasar, sering memukul dan memarahi jika

otoriter, memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Subjek merasa

asing dalam berhubungan dengan ayahnya. Sejak ayah subjek

terkena penyakit stroke, subjek berusaha menjauh dari ayahnya.

Dengan adik pertamanya, subjek merasa tidak cocok karena adik

subjek bersifat keras. Jika subjek bersikap keras, adik subjek akan

melawan lebih keras.

“...Papa kan kasar.. gitu kan.. kasar banget.. terus Ch apa ya.. Aku bener-bener ngerasa nggak cocok dengan sikap-sikapnya itu. Ya apa ya.. aku ngerasa nggak cocok sama Ch aja.” (CT, no. 6-8).

“Ya itulah, mukul, ya itu lah… mukul, terus, bentuk fisik.. kalau mental juga kadang ketekan kan. Misalnya kayak nggak dapat kasih sayang gitu. Aku jadi merasa sendiri.. merasa asing lah kalau dekat dia, apalagi kalau misalnya aku salah dikit dipukul, dan segala macam.” (CT, no. 349-352).

“Apa ya, kalo papa itu.. Jadi dia itu keras dan anak-anaknya itu harus seperti yang diinginkan gitu lho. Intinya sepertinya kok aku ngerasanya seperti jadi bonekanya ciptaannya papa. Gitu, jadi kan..anak-anak nggak diberi kebebasan.” (CT, no. 19-21).

Subjek tidak setuju terhadap hukuman secara fisik yang

diberikan oleh orang tua pada anaknya. Menurut subjek, hukuman

fisik akan membuat anak menjadi lebih keras lagi terhadap orang

lain. Selain itu, bekas dari hukuman fisik dapat terlihat oleh orang

lain sehingga akan memalukan bagi anak. Hukuman pada anak

sebaiknya secara verbal dalam bentuk nasehat, atau dalam bentuk

yang lain selain secara fisik.

“Nggak senang. Soalnya itu bukan mendidik, tapi malah apa ya.. ngajarin anak untuk lebih keras lagi, jadi lebih kasar lagi. Jadi kan aku berpikir, “Aduh gua ni dirumah udah dikasarin, gini..gini..gini jadi wajar dong diluar bisa dikasarin, gua bisa

ngasarin orang.” Seperti itu, jadi ya.. nggak suka aja. Nggak baik banget. Itu kan udah kekerasan kan.. Nggak suka.” (CT, no. 28-32).

“Ya setuju sih, tapi bentuknya itu bukan bentuk fisik gitu lho..” (CT, no. 362).

“Ya kayak misalnya lebih ke mental lah, lebih ditekankan. Misalnya ya, kalau misalnya dengan omongan nggak cukup, diapain lah, pokoknya jangan sampai ke fisik, soalnya itu kan sudah menyeramkan, dan itu jadi beban mental juga. Apalagi kalau dilihat teman-temannya, hasil pukulannya itu kan memalukan banget.” (CT, no. 364-367).

Subjek tidak setuju terhadap kekerasan dalam masyarakat

walaupun dilakukan pada seorang penjahat karena hal itu berarti

aksi main hakin sendiri, yang seharusnya bisa diselesaikan di

pengadilan.

“Nggak setuju.. kan. Main hakim sendiri kan. Pengadilan sudah ada gitu lho, kenapa mereka ngehakimin orang itu, apa mereka juga nggak pernah buat salah, kayak gitu.” (CT, no. 35-36).

Subjek tidak setuju terhadap perploncoan di

sekolah-sekolah karena merupakan ajang balas dendam yang menimbulkan

sakit hati, sehingga berlanjut pada angkatan-angkatan selanjutnya.

Perploncoan melanggar hak siswa untuk mendapatkan

perlindungan dalam sekolah. Seharusnya siswa datang ke sekolah

untuk menuntut ilmu, tapi di sekolah mereka justru mendapat

kekerasan dari para seniornya.

“Itu tu kaya ajang balas dendam gitu lho, soalnya, disekolahku juga gitu. Pas aku kelas satu juga, kelas dua kan sudah dihapus. Sampe kelas satu kita. Kaya IPDN gitu, jadi ajang perploncoan. Jadi angkatan atas ngebales dendam kebawahnya, itu kan sama aja.. kan harus.. kan mereka mendidik gitu.. Ya mereka jadi bukan mendidik, jadinya menimbulkan sakit hati....” (CT, no. 39-45).

“Ya kan secara fisik kan, mereka mempunyai hak untuk perlindungan di dalam sekolah, dengan segala macem. Kenapa mereka jadi ya digebukkin.. ya dipukulin secara macam. Itu kan istilahnya sudah melanggar hak mereka. Melanggar apa yang seharusnya mereka terima.” (CT, no. 376-379).

“Kayaknya aku ga bisa menerima segala bentuk intimidasi, istilahnya menyakitkan kan jadinya. Intimidasi bagaimana pun menyakitkan, aku nggak bisa menerima. Ngeliatin sedikit aja misalnya digebuk secara nggak jelas saja aku sudah kesal.. nggak bisa bullying seperti apapun.” (CT, no. 193-196 ).

Subjek memiliki hubungan yang baik dengan ibu dan adik

keduanya. Ibu subjek menjadi tempat bercerita bagi subjek dan

memberikan kebebasan bagi subjek dalam berekspresi, sementara

adik kedua subjek bersikap lembut pada subjek yang terkadang

bersikap keras. Hubungan subjek dengan ayah dan adik

pertamanya kurang baik. Hal ini dikarenakan ayah subjek yang

keras dan otoriter sehingga subjek merasa terkekang kebebasannya.

Adik pertama subjek bersifat melawan dengan lebih keras jika

subjek bersikap keras terhadapnya, dengan demikian subjek merasa

tidak cocok dengan adiknya.

Subjek tidak setuju terhadap berbagai bentuk kekerasan.

Kekerasan yang tejadi di masyarakat seharusnya tidak perlu

walaupun dilakukan terhadap penjahat, karena sudah ada lembaga

peradilan. Selain itu, subjek mempersepsi bullying sebagai suatu

hal yang menyakitkan dan tidak dapat diterima karena melanggar

hak siswa dalam mendapatkan lingkungan yang aman untuk belajar

b. Bentuk-bentuk bullying.

1). Bullying Fisik

Dalam asrama di sekolah subjek, kekerasan fisik sering

terjadi dalam bentuk pemukulan-pemukulan terutama saat

subjek di kelas 1 dan di kelas 2. Sedikit kesalahan yang

dilakukan korban dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk

memukuli korban di kamar mandi. Subjek tidak menyaksikan

langsung pemukulan tersebut, namun korban-korban

pemukulan yang merupakan teman subjek sering menceritakan

apa yang dialaminya disertai bukti-bukti luka pada tubuhnya.

“Kalau sekolahku, waktu jaman masih kelas satu, asramanya yang aku tahu itu tu sampai ngegebukin.. terus kalau misalnya rapat, rapat bareng, gebukin gitu… terus kalau misalnya ada salah dikit, ditarik ke WC, itu di gebukkin. Gebuk-gebukkan seperti itu, pemukulan-pemukulan seperti itu yang terjadi.” (CT, no. 62-65).

“Ngelihat langsung nggak pernah kejadiannya, cuma hasilnya lihat, lebam-lebam dimata, bengkak dibibir, sampai aku lihat bibirnya temanku pecah. Badannya biru-biru, mantanku juga aku lihat biru-biru semua badannya....” (CT, no. 292-294. ).

“Tanya: Bagaimana anda mengetahui bahwa biru dan lebam-lebam itu sebagai ulah dari teman-temannya?” “Bukan teman, tapi angkatan atasnya. Ya mereka cerita.” (CT, no. 297-299).

Subjek tidak pernah mengalami langsung bullying

secara fisik, namun subjek mengetahui bahwa teman-temannya

pelaku tidak bisa menyakitinya secara fisik, namun lebih

menekan secara psikologis.

“Enggak sih, dia nggak bisa nyakitin cewek, cuma lebih ke mentalnya itu.” (CT, no. 440).

2). Bullying Verbal Langsung

Pelaku melakukan bullying verbal dengan mencela dan

merendahkan subjek di depan teman-teman subjek yang lain

dengan menyebut subjek perempuan yang genit seperti

perempuan murahan.

“...cuma nyindir, kadang-kadang.. ya ngatain “ih ganjen sih, gatel....” (CT, no. 131).

“...yaitu yang dikatain, eh, ya sama dua-duanya itu menyakitkan banget.selama dua tahun berturut-turut. Ya sama sih sakitnya, yang kelas satu aku dijauhin itu selama setahun sampai gimana ya benar-benar mereka itu.. oh iya... waktu kelas satu mereka juga pernah ngatain aku apa ya, istilahnya kaya cewek murahan, kayak gitu...” (CT, no. 204-207).

Selain subjek, pelaku juga melakukan bullying verbal

langsung pada korban yang lain sehingga beberapa korban ada

yang memilih untuk keluar dari sekolah.

“Mm.. dihina-hina. Sampai gimana ya.. bener-bener, sampai ada yang keluar sekolah gara-gara nggak tahan gitu, ya banyak....” (CT, no. 68-69).

“Mungkin itu di ceng-ceng, kaya apa itu dihina-hina, jadi sering di pacok-pacokan, dijodoh-jodohkan sampai dia nangis.. gitu pernah “(CT, no. 288-289).

Pelaku membuat gosip yang buruk tentang subjek

“Mungkin karena mereka kesal, kesal dari situ numpuk, akhinya ngebuat satu kelas akhirnya marah sama aku. Pokoknya memprovokatori, memfitnah aku apa gitu aku lupa. Pokoknya mereka memfitnah aku.” (CT, no. 423-425).

Pelaku juga mempengaruhi guru olahraga subjek

sehingga guru olahraga ini ikut memojokkan subjek saat subjek

membicarakan masalahnya dengan guru BP.

“...ternyata mereka itu ngebawa guru olahragaku. Dibawa, guru olahragaku ke BP. Terus guru olahragaku istilahnya juga gimana ya.. Ya istilahnya memang ini, memojokkan aku..” (CT, no. 276-277).

“Pernah waktu itu di BP, guru olahragaku, cewek, mendukung temen-temenku yang menjauhi aku, seperti itu.” (CT, no. 265-266).

Pelaku melakukan bullying verbal baik yang

dikemukakan langsung pada subjek maupun dengan kata-kata

yang dikemukakan langsung pada siswa-siswa yang lain untuk

mempengaruhi mereka agar ikut mengucilkan subjek.

3). Bullying Non Verbal Langsung

Pelaku mempengaruhi teman-teman subjek sehingga

teman-teman sekelas subjek ikut menampilkan ekspresi muka

yang memusuhi subjek (ekspresi sinis).

“...mereka mempengaruhi sekelasku supaya nggak deket-deket sama aku jadi mereka bertampang musuh ke aku....” (CT, no. 168-169).

4). Bullying Non Verbal Tidak Langsung

Pelaku dengan sengaja mempermalukan subjek dengan

disertai kata-kata yang mengisyaratkan subjek adalah wanita

pekerja seks komersial.

“Waktu itu kan pagi-pagi, aku masuk sekolah. Terus disekolah kan ada papan data. Papan data itu ditulisin, ini cewek umur 17 tahun, masih virgin, nomer HP sekian,, terus apa sih… bayar berapa aja silahkan. Siap pakai gitu.. terus aku tadinya mikirnya, ah mungkin siapa gitu, bukan aku. Tapi aku lihat lagi nomernya, kok aku ingat, kok kayaknya kenal ya..baru aku sadar itu tu nomerku. Tadinya aku.. anak-anak satu kelas semuanya ketawa, terus nggak tahu siapa (yang menulis) terus aku langsung lapor ke BP. Akhirnya ada satu orang temenku, dia ngaku kalau sebenarnya itu dia yang nulis.” (CT, no. 105-111).

Pelaku mengucilkan subjek dan juga mempengaruhi

siswa-siswa yang lain agar menjauhi subjek saat subjek berada

di kelas satu dan di kelas dua. Pelaku dan teman-teman sekelas

subjek mendiamkan subjek sehingga subjek tidak dapat

berinteraksi dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan di kelas.

“Waktu jaman kelas satu, tempatku sampai benar-benar dijauhin, sama anak-anak. Aku nggak tahu salahku apa pokoknya benar-benar dijauhin banget, disana ada yang memprovokatori semua, satu kelas gitu, dijauhin banget. Terus.. ya sudah, aku terima terima aja. Terus, waktu masuk kelas dua awal, aku juga merasa dijauhin, tapi mereka nggak ekstrim ngejauhinnya kayak waktu kelas satu dulu, dijauhin.Aku sampe duduk sendirian, satu kelas kemana sendiri aku sampai nggak tahu. Jadi misalnya aku duduk di pojokan sendiri, mereka kumpul sendiri. Aku sampai nggak tahu ada acara apa di kelas.” (CT, no. 117-122).

5). Bullying Seksual

Subjek merasa dilecehkan oleh pelaku saat pelaku

memegang dan menarik-narik Bra korban dari belakang. Selain

perempuan yang lain. Pelaku juga kadang-kadang meraba-raba

payudara siswa perempuan yang lain.

“Tangan dia ngerangkul atau gimana, tiba-tiba gimana, meluk-meluk nggak jelas. Ternyata setelah aku tahu sekarang, bukan cuma sama aku, sama teman-teman yang laen juga yang cewek-cewek terutama, sering banget megangin BH (Bra) orang.. diginiin (memeragakan menarik BH dari belakang), terus sering banget grepe-grepein (meraba-raba) temen-temenku. Aku juga nggak tahu kenapa, susu (payudara)nya itu dipegang.” (CT, no. 148-152).

Subjek pernah mendengar bahwa teman laki-lakinya

mendapat pelecehan seksual oleh teman-temannya yang lain.

Para pelaku membekap korban, memegang alat kelamin korban

dan menstimulasinya.

“...cowok gitu, diiniin lho.. ininya tu gimana ya.. dimasturbasi sama temen-temennya. Dia sendiri dimasturbasi sampai keluar spermanya sama teman-temannya. Dan itu dengan cara kekerasan, jadi dia dibekap terus diitu....” (CT, no. 74-76).

c. Penyebab terjadinya bullying di sekolah.

Penyebab perilaku bullying hanya dibuat-buat oleh pelaku

sehingga pelaku mempunyai alasan untuk mem-“bully” korbannya.

“Sengaja dicari kayaknya, dicari-cari kayak gimana caranya supaya orang itu bisa dijadiin korban.” (CT, no. 89-90).

Subjek tidak tahu pasti mengenai penyebab pelaku

mengganggu dirinya. Subjek merasa tidak pernah melakukan

kesalahan pada pelaku (laki-lak). Subjek pernah marah pada pelaku

pelaku terus menerus mengganggu subjek, bahkan dengan

mempermalukannya di depan siswa-siswa yang lain.

“Apa ya.. bukan kesalahan sih, gimana ya, sama dia itu, jadi dia tu pernah berusaha, jadi aku sama cowokku yang dulu itu waktu kelas satu, yaitu dia berusaha ngehancurin hubunganku sama cowokku yang dulu. Nggak tahu kenapa, aku juga nggak tahu kenapa, mungkin temenku juga bilang dia emang sirik, atau segala macem aku juga nggak tahu... Berusaha ngehancurin hubungan itu, aku juga marah-marah ke dia, nggak tau itu apa itu kesalahanku atau gimana. Kebawa-bawa sampai kelas dua, sampai dia yang nulisin itu. Kalau bisa mempermalukan aku didepan umum lah.” (CT, no. 134-140).

Subjek juga tidak mengetahui penyebab yang pasti

mengapa pelaku (teman-teman perempuan) yang dulu merupakan

teman dekatnya menjauhi dan mempengaruhi teman-teman

sekelasnya agar mengucilkan subjek. Menurut subjek perasaan

perempuan lebih peka, sehingga jika merasa tidak cocok pada

seseorang, akan langsung menjauhinya.

“Nggak tahu sih, mungkin mereka merasa gimana gitu kan “cewek” kan soalnya, aku ngerasa sih nggak pernah membuat mereka apa ya. Cuma aku nggak tahu kenapa mereka membuang aku. Kadang kalau cewek itu merasa “aduh, ga sreg, musuhin aja” ya kayak gitu, sampai sekarang sih.” (CT, no. 174-177).

Selain itu, subjek menduga adanya kecemburuan dari para

pelaku (perempuan) karena sejak awal masuk sekolah, subjek

didekati oleh banyak siswa laki-laki. Hal ini menyebabkan para

pelaku iri dan mengucilkan subjek.

“...dulu gengku, itu empat orang itu kan, dulu yang pertama kali masuk SMA M kan, aku yang dideketin cowok yang banyak itu. Mungkin karena mereka kesal, kesal dari situ

numpuk, akhinya ngebuat satu kelas akhirnya marah sama aku.” (CT, no. 421-424).

d. Durasi waktu terjadinya bullying.

Subjek mengalami perlakuan bullying dari siswa-siswa lain

di sekolahnya selama 1 tahun lebih, sejak awal kelas 1 sampai awal

kelas 2.

“Setahun lebih. Kurang lebih sampai kelas dua awal-awal. Udah mulai masuk bulan September-an.” (CT, no. 184-185).

e. Reaksi orang lain.

1). Reaksi orang tua

Ayah subjek tidak mengetahui pemasalahan subjek.

Namun subjek menberitahukan masalah di sekolah pada

ibunya. Ibu subjek mendukung dan menguatkan subjek.

Selain itu, ibu subjek datang ke sekolah untuk membicarakan

masalah subjek dengan guru Bimbingan Konseling di

sekolah.

“Sebenarnya hampir satu sekolah tahu semua masalah itu, cuma yang tahu rinciannya mama sama guru BP ku itu” (CT, no. 224-225).

“Mama juga sampai rela datang ke sekolah. Pas waktu kelas dua juga seperti itu....” (CT, no. 229-230).

2). Reaksi teman

Teman-teman subjek terpengaruh oleh pelaku sehingga

mereka menertawakan korban saat subjek diolok-olok oleh

duduk sendirian dan tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan

di kelas.

“Ya mereka dukung.. dukung (pelaku) istilahnya kan. Maksudnya kan ikut ketawa, ikut gimana.” (CT, no. 142-143).

“Aku sampe duduk sendirian, satu kelas kemana sendiri aku sampai nggak tahu. Jadi misalnya aku duduk di pojokan sendiri, mereka kumpul sendiri. Aku sampai nggak tahu ada acara apa di kelas.” (CT, no. 120-122).

Meskipun subjek dikucilkan oleh teman-temannya,

masih ada teman subjek dari kelas lain dan juga pacar subjek

pada saat itu yang mendukung subjek dalam menceritakan

masalahnya pada guru BP.

“Jadi pas cerita ke BP, aku sama temenku dari kelas sebelah, dari kelas A, yang dukung aku dia sama mantanku yang waktu itu.” (CT, no. 268-269).

2) Reaksi guru

Guru Bimbingan Konseling yang juga merupakan wali

kelas subjek, tahu mengenai masalah subjek sejak awal dan

terus memberikan dukungan pada subjek. Guru BK subjek

memberikan pengarahan di kelas pada semua siswa agar

memperbaiki situasi yang terjadi terhadap subjek. Meskipun

pengarahan yang di berikan guru BK berpengaruh pada

perilaku siswa-siswa yang lain, namun subjek merasa

terdukung dan menjadi lebih kuat secara psikologis.

“Ngebelanya itu, waktu kelas satu juga masalah itu aku bawa ke BP. Jadinya guru BPnya itu membela aku. Dia nenangin aku, membuat aku ngerasa safety kalau dekat

dia. Mama juga sampai rela datang ke sekolah. Pas waktu kelas dua juga seperti itu, sampai guru BPku rela mau nyariin sekolah baru buat aku.” (CT, no. 227-230).

“Ya dia berusaha juga buat ngingetin ke kelas, soalnya dia posisi sebagai wali kelas juga, ngasih tahu ke kelas juga seperti itu. Tapi ya gimana ya, nggak bisa berubah juga kelasnya. Ya sudah, jadinya dia back up aku terus, dukung aku terus, jadinya aku lebih deket ke dia.” (CT, no. 236-238).

“...nggak berefek kalau ke anak-anak. Cuma ke pribadi aku sendiri efeknya.. ketika mereka terus melecehkan aku, istilahnya, ngebuat aku tambah kuat, tambah kuat, tambah kuat. Jadi aku, ngerasa.. ya sudah kalau mereka mau ngelecehin, ya terserah. Jadi aku ngerasa tambah kuat aja. Ke pribadi, soalnya aku ngerasa dia nge back up, ngedukung aku” (CT, no.242-246).

Guru-guru yang lain mengetahui masalah subjek,

namun mereka tidak peduli karena mereka merasa itu bukan

tanggung jawab mereka. Tanggung jawab guru adalah

memeberikan pelajaran bukan mengatasi masalah pergaulan

siswa.

“Masa bodoh.. biarin aja, maksudnya itu kan urusan.. nggak tahu sih, dari aku pribadi aku ngerasa kayak mereka ngomong “itu kan urusan kamu, bukan urusan kami, kami cuma didik kamu, belajar, selesai. Kalau kamu punya masalah pergaulan, itu kamu sendiri.. gitu lho. Seperti itu rata-rata gurunya.” (CT, no. 252-255).

Subjek mengharapkan dukungan dari guru-guru yang

lain dalam menghadapi dan menyelesaikan masalahnya

dengan teman-temannya, namun guru-guru di sekolah tidak

mau tahu dalam masalah subjek dan bahkan ada yang

“Iya.. mengharapkan, cuma kadang-kadang mereka juga lebih mendukung temen-temenku sih.” (CT, no. 262).

f. Saran dari korban.

Agar tidak menjadi korban bullying, subjek menyarankan

agar siswa-siswa di sekolah menghindari orang-orang yang senang

mengintimidasi. Jika terlanjur menjadi korban, subjek

menyarankan agar segera menyelesaikan masalah itu dengan pihak

yang mempunyai otoritas seperti guru atau polisi.

“.. kalau bisa ya dijauhin saja orang-orang seperti itu. Orang-orang yang mengintimidasi seperti itu dijauhin saja.” (CT, no. 321-322).

“Diselesaikan, lebih baik sama pihak yang berwajib lah.” (CT, no. 327).

“Kayak misalnya kalau disekolah kan guru, kalau diluar itu polisi juga ada.” (CT, no. 329).

Subjek menyarankan agar guru-guru di sekolah tidak

memihak pada kelompok siswa yang lebih besar, tapi bisa menjadi

penengah bagi masalah-masalah yang terjadi di antara siswa.

“Kalau dari sekolahnya sendiri tu, misalnya kayak guru-guru gitu jangan memihak lah. Ya kan biasanya gitu, guru memihak yang lebih besar, yang lebih berkelompok dan berkuasa. Ya kalau bisa guru tu ngambil sebagi penengah lah. Supaya anak-anaknya nggak merasa kok kayaknya tambah berat situasinya.“ (CT, no. 340-343).

g. Persepsi subjek terhadap bullying.

Subjek 1 mempersepsi bullying sebagai suatu hal yang

menyakitkan, dan membuatnya kesepian di sekolah. Penyebab

namun diperkirakan karena pelaku (perempuan) iri atas subjek

yang mendapatkan perhatian lebih dari siswa-siswa laki-laki sejak

awal subjek 1 masuk sekolah, sedangkan pelaku lain ikut-ikutan

mengintimidasi korban karena memanfaatkan situasi subjek 1 yang

telah menjadi korban bullying oleh siswa lain.

2. Subjek 2

a. Latar belakang dan cara pandang korbanterhadap kekerasan.

Subjek adalah anak tunggal. Ayah subjek telah meninggal

dunia sehingga subjek hidup berdua dengan ibunya. Sejak kuliah

Dokumen terkait