Dalam rangka untuk mendeskripsikan obyek penelitian secara lebih mendalam, maka sebelum memasuki hasil penelitian dan pembahasan akan dijelaskan gambaran secara umum mengenai perkembangan inflasi, nilai tukar dan jumlah uang beredar di Indonesia.
Perkembangan Inflasi di Indonesia
Fenomena inflasi menjadi salah satu ancaman yang memiliki andil besar dalam perekonomian suatu negara berkembang, termasuk Indonesia. Kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum yang berdampak pada
stabilitas ekonomi mencerminkan tingkat inflasi yang terjadi di suatu negara. Dalam penelitian ini, indeks harga konsumen (IHK) menjadi indikator yang digunakan peneliti untuk menggambarkan pergerakan harga tersebut. Inflasi IHK mempresentasikan konsumsi atas barang dan jasa yang diminta masyarakat secara keseluruhan dalam membentuk harga. Berikut perkembangan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia selama periode 2002:Q1-2012:Q4 digambarkan pada Gambar 9.
Selama periode penelitian, pergerakan laju inflasi IHK cukup stabil berada pada kisaran satu digit angka dan pencapaiannya berada di bawah tingkat 5 persen, kecuali fluktuasi tajam yang terjadi pada tahun 2005-2006 serta guncangan ekonomi di tahun 2008 yang merupakan dampak dari kenaikan harga minyak dunia dan krisis keuangan global sehingga memiliki pengaruh terhadap lonjakan harga domestik.
Sumber : Badan pusat statistik (diolah)
Gambar 9 Laju inflasi Indonesia tahun 2002-2012
Pergerakan inflasi tidak terlepas dari perkembangan beberapa variabel ekonomi antara lain seperti nilai tukar, pertumbuhan jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan permintaan masyarakat akan barang dan jasa pada periode tertentu. Secara keseluruhan, pergerakan inflasi di Indonesia selama periode penelitian memiliki trend yang menurun. Trend yang menurun dari tingkat inflasi di Indonesia tidak luput dari keberhasilannya kebijakan inflation targetting yang diterapkan. Adapun fluktuasi tajam yang terjadi pada dua periode di dalam penelitan merupakan dampak dari adanya guncangan sisi eksternal yang tidak dapat diantisipasi oleh otoritas moneter dan pemerintah.
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Pergerakan nilai tukar rupiah di Indonesia pada periode 2002 hingga 2012 terlihat berfluktuatif yang diperlihatkan pada Gambar 10. Pada tahun 2002 hingga 2004 pergerakannya cenderung stabil dan nilai rupiah cenderung terapresiasi, yaitu range perubahan antara Rp 9.000,00 – RP 10.000,00 setiap dolarnya. Akan
-2 0 2 4 6 8 10 12 2002Q 1 2002Q 3 2003Q 1 2003Q 3 2004Q 1 2004Q 3 2005Q 1 2005Q 3 2006Q 1 2006Q 3 2007Q 1 2007Q 3 2008Q 1 2008Q 3 2009Q 1 2009Q 3 2010Q 1 2010Q 3 2011Q 1 2011Q 3 20 12 Q 1 20 12 Q 3 (p e rs e n ) Tahun
tetapi dimulai di tahun 2005-2006 dilanjutkan pada tahun 2008-2009 terjadi pelemahan nilai rupiah yang disebabkan meningkatnya harga-harga domestik yang diakibatkan kenaikan harga minyak dunia.
Depresiasi nilai tukar rupiah tertinggi selama periode penelitian terjadi pada tahun 2009 kuartal 1 sebesar Rp 11.636,67 pada setiap dolarnya. Sedangkan apresiasi nilai tukar rupiah tertinggi mencapai Rp 8.413,00 pada setiap dolarnya di tahun 2003 kuartal 2. Rupiah terdepresiasi selama tahun 2008 akibat kenaikan harga minyak dunia dan tahun 2009 yang disebabkan krisis keuangan global berimbas pada kenaikan harga domestik dan berdampak pada menurunnya harga rupiah terhadap dolar AS.
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Gambar 10. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun 2002-2012
Perkembangan Jumlah Uang Beredar (M2)
Perkembangan jumlah uang beredar di Indonesia di dalam penelitian ini diukur dengan uang dalam arti luas (M2). Dalam menggambarkan tingkat likuiditas perekonomian, variabel M2 dapat dijadikan salah satu indikatornya. Gambar 11 menjelaskan perkembangan jumlah uang beredar selama periode penelitian.
Jumlah uang beredar memiliki pertumbuhan yang selalu meningkat dalam setiap tahunnya apabila melihat pada Gambar 11 selama periode 2002 hingga 2012. Dalam perkembangannya, dapat ditunjukkan bahwa peningkatan pesat untuk pertumbuhan M2 terjadi ketika terjadi gejolak ekonomi, seperti pada tahun 2005 dam 2008. Tingkat pertumbuhan M2 memiliki volatilitas yang cukup tinggi. Dalam periode penelitian ini, total pertumbuhan M2 telah mengalami peningkatan 298 persen di mana pada awal periode tahun 2002 jumlah uang yang diedarkan adalah sebesar 831.410 triliun dan meningkat menjadi 3.307.507 triliun di akhir periode tahun 2012.
Menurut laporan Bank Indonesia, meningkatnya pertumbuhan M2 pada akhir periode didukung oleh tingginya pertumbuhan aktiva luar negeri bersih atau
0.00 2000.00 4000.00 6000.00 8000.00 10000.00 12000.00 14000.00 2002Q 1 2002Q 3 20 03 Q 1 20 03 Q 3 2004Q 1 2004Q 3 2005Q 1 2005Q 3 2006Q 1 2006Q 3 2007Q 1 2007Q 3 2008Q 1 2008Q 3 2009Q 1 2009Q 3 2010Q 1 2010Q 3 2011Q 1 2011Q 3 2012Q 1 2012Q 3 Ru p iah Tahun
net foreign assets (NFA) yang sebagian besar berupa uang kuasi pada sektor perbankan. Selain itu, peningkatan NFA pada tahun 2011 juga merupakan dampak dari adanya pertumbuhan kredit yang akseleratif dan turut memberikan kontribusi pada pertumbuhan M2. Faktor domestik dalam bentuk kredit pada sektor riil mendominasi kinerja likuiditas perekonomian. Selain faktor internal, peningkatan M2 juga dipengaruhi oleh adanya faktor eksternal yang tercermin pada perkembangan NFA yang meningkat. Peningkatan tersebut terjadi pada NFA Bank Indonesia sejalan dengan meningkatnya cadangan devisa yang bersumber dari penerimaan hasil migas akibat tingginya harga minyak dunia, khususnya pada beberapa waktu terakhir.
Sumber : International monetary fund (diolah)
Gambar 11 Perubahan jumlah uang beredar (M2) Indonesia tahun 2002-2012
Hasil Estimasi Model VECM Uji Stasioneritas Data
Stasioneritas data dalam suatu penelitian sangat penting saat memulai langkah awal dalam melakukan estimasi model untuk melihat ada tidaknya unit root pada data time series. Pada penelitian ini, akan digunakan uji stasioneritas
Philips-Perron (PP). Apabila nilai mutlak t-PP pada hasil dari pengujian ini lebih besar dari Mackinnon critical values-nya maka data telah stasioner pada taraf nyata sebesar satu persen atau lima persen. Pada hasil pengujian ini dapat pula dilihat dari probabilitasnya, apabila nilai probabilitasnya kurang dari taraf nyata satu persen, lima persen, dan sepuluh persen maka data tersebut stasioner pada taraf tersebut.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengujian, variabel yang stasioner pada tingkat level hanya GDP. Sedangkan CPI, M2, RER danPPI tidak stasioner
-4 -2 0 2 4 6 8 10 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 3500000 2002Q 1 2002Q 3 2003Q 1 20 03 Q 3 2004Q 1 2004Q 3 2005Q 1 2005Q 3 2006Q 1 2006Q 3 2007Q 1 2007Q 3 2008Q 1 2008Q 3 2009Q 1 2009Q 3 2010Q 1 2010Q 3 2011Q 1 2011Q 3 2012Q 1 2012Q 3 (p e rs e n (% )) (Mi ly ar Ru p iah ) Tahun M2 Perubahan M2
sehingga perlu pengujian stasioneritas pada first difference-nya. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 dapat dilihat bahwa uji PP pada level hanya menghasilkan variabel GDP yang stasioner pada taraf nyata lima persen. Sedangkan untuk variabel CPI, M2, RER dan PPI harus diuji pada first difference untuk mengetahui apakah data tersebut stasioner pada taraf lima persen.
Tabel 2 Uji Stasioneritas pada level Variabel
Philips
Perron Nilai Kritis MacKinnon Keterangan
Statistik 1% 5% 10%
LN_CPI -1.334432 -3.59246 -2.9314 -2.60394 Tidak Stasioner LN_GDP -8.630238 -4.18648 -3.51809 -3.18973 Stasioner*
LN_M2 -3.195374 -4.18648 -3.51809 -3.18973 Tidak Stasioner LN_RER -1.956033 -3.59246 -2.9314 -2.60394 Tidak Stasioner LN_PPI -1.680061 -3.59246 -2.9314 -2.60394 Tidak Stasioner
Sumber : Data penelitian (diolah)
Catatan : tanda asterik (*) menunjukkan nilai pengujian berdasarkan taraf nyata lima persen
Tabel 3 dapat dilihat bahwa uji PP pada first difference menghasilkan semua data stasioner pada taraf nyata lima persen. Sebelumnya hanya variabel GDP yang stasioner, akan tetapi setelah diuji pada first difference, variabel CPI, M2, RER dan PPI menjadi stasioner. Hal tersebut syarat utama model VECM data harus stasioner pada first difference sudah terpenuhi, bahwa semua data time series pada variabel yang akan digunakan dalam estimasi model stasioner pada derajat yang sama, yaitu derajat integrasi satu I(1).
Tabel 3 Uji Stasioneritas pada first difference
Variabel Philips Perron Nilai Kritis MacKinnon Keterangan
Statistik 1% 5% 10% LN_CPI -5.674479 -3.59662 -2.93316 -2.60487 Stasioner* LN_GDP -17.38818 -3.59662 -2.93316 -2.60487 Stasioner* LN_M2 -9.678107 -3.59662 -2.93316 -2.60487 Stasioner* LN_RER -5.391451 -3.59662 -2.93316 -2.60487 Stasioner* LN_PPI -4.675369 -3.59662 -2.93316 -2.60487 Stasioner*
Sumber : Data penelitian (diolah)
Catatan : tanda asterik (*) menunjukkan nilai pengujian berdasarkan taraf nyata lima persen
Data yang ditransformasikan tersebut akan hilang hubungan jangka panjangnya, sehingga harus di uji kointegrasi yang merupakan syarat utama kedua
untuk model VECM. Hal ini akan mengembalikan hubungan jangka panjangnya dengan memberi kebebasan pergerakan dalam hubungan dinamis jangka pendeknya.
Uji Lag Optimum
Uji lag dilakukan untuk membentuk model VAR yang baik dengan penentuan jumlah lag yang memberikan nilai optimal dalam penelitian. Lag yang dipilih adalah model dengan nilai yang paling kecil, karena jika terlalu banyak panjang lag akan mengurangi derajat bebas. Sehingga, lag yang lebih kecil disarankan untuk dapat memperkecil spesifikasi error pada model. Hasil yang diperoleh dari informasi menggunakan Akaike Information Critetion (AIC),
Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ) diperoleh lag optimum di 1. Pada penelitian ini menggunakan nilai SC yang terkecil sebagai nilai lag optimal yang dipilih adalah lag 1. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Perhitungan Lag Optimum
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 260.1574 NA 1.98E-12 -12.75787 -12.54676 -12.68154
1 495.6009 400.2541 5.40E-17 -23.28005 -22.01339* -22.82206
2 531.3666 51.86016 3.35E-17 -23.81833 -21.49612 -22.97869
3 560.9563 35.50773 3.14E-17 -24.04782 -20.67006 -22.82653
4 622.0928 58.07967* 7.28e-18* -25.85464* -21.42133 -24.25170*
Sumber : Data penelitian (diolah)
Catatan : tanda asterik cetak tebal (*) Lag optimal yang dipilih
Uji Stabilitas VAR
Setelah melakukan pengujian lag optimal pada sistem VAR yang digunakan, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian kestabilan dari sistem VAR pada lag optimal tersebut. Uji stabilitas VAR digunakan untuk melihat seluruh akar-akarnya memiliki modulus (nilai absolut lebih kecil dari satu dan terletak pada unit circlenya) maka model VAR tersebut stabil sehingga analisis IRF dan FEVD yang dihasilkan dianggap valid. Hasil uji stabilitas VAR pada Tabel 5 menghasilkan sistem VAR yang stabil, sehingga analisis dengan menggunakan IRF dan FEVD hasilnya valid.
Tabel 5 Stabilitas sistem Vector Autoregression
Root Modulus 0.983144 - 0.033758i 0.983723 0.983144 + 0.033758i 0.983723 0.643357 - 0.281052i 0.702067 0.643357 + 0.281052i 0.702067 -0.223342 0.223342
Uji kointegrasi
Pada uji stasioneritas data, bahwa semua variabel tidak stasioner pada level, namun stasioner pada First Difference. Transformasi data ini, akan menghilangkan hubungan jangka panjang, sehingga uji kointegrasi ini diperlukan dalam mengembalikan hubungan jangka panjangnya. Hasil dari uji kointegrasi dengan menggunakan metode Johansen Cointegration test, model VECM bisa diterapkan dalam penelitian ini, karena semua data stasioner pada first difference
dan terdapat kointegrasi antar variabel. Hal ini terlihat pada Tabel 6 dengan nilai
trace statistic lebih besar dari critical value, maka variabel tersebut kointegrasi. Tabel 6 Hasil Johansen Cointegration Test
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.737523 137.9272 88.8038 0 At most 1 * 0.486965 81.74834 63.8761 0.0008 At most 2 * 0.423724 53.71708 42.91525 0.003 At most 3 * 0.333132 30.56798 25.87211 0.0121 At most 4 * 0.27577 13.55113 12.51798 0.0335
Sumber : Data penelitian (diolah)
Trace test indicates 5 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level *denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **Mackinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Berdasarkan Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa terdapat minimal satu rank
kointegrasi pada taraf nyata 6 persen, sehingga terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menjelaskan hubungan jangka panjang antara variabel pada model VECM
Hubungan Kausalitas antara Inflasi, Jumlah Uang Beredar dan Exchange rate : Granger Causality Test
Uji Granger Causality merupakan suatu metode untuk mengetahui apakah diantara variabel-variabel yang ada dalam model memiliki hubungan kausalitas (sebab-akibat). Hal ini dapat digunakan untuk melihat lebih dari satu variabel ekonomi yang dapat mempengaruhi variabel ekonomi lainnya. Hasil Uji granger causality pada Tabel 7 menunjukkan adanya hubungan satu arah antara exchange rate terhadap inflasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa exchange rate
mempengaruhi inflasi, akan tetapi inflasi tidak mempengaruhi exchange rate.
Exchange rate mempengaruhi inflasi melalui harga suatu komoditi yang diperdagangkan antara suatu negara dengan negara lain. Ketika nilai tukar rupiah mengalami pelemahan (depresiasi) terhadap dollar AS, maka harga luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga dalam negeri. Artinya, ketika para produsen yang mengandalkan bahan baku produksinya melalui barang impor, akan lebih tinggi biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan produksinya, harga komoditi
yang dihasilkan di dalam negeri akan lebih tinggi sehingga inflasi dalam negeri akan meningkat. Ini yang disebut dengan teori imported inflation.
Tabel 7 Hasil Granger Causality Test
Peubah Tak Bebas LN_CPI LN_GDP LN_M2 LN_RER LN_PPI
Peubah Bebas LN_CPI LN_GDP LN_M2 LN_RER LN_PPI
Sumber : Data penelitian (diolah)
Catatan : panah bercetak tebal ( ) variabel yang diteliti
Estimasi VECM
Setelah dilakukan pengujian kointegrasi pada sistem VAR sebelumnya dan ternyata dibuktikan bahwa terdapat kointegrasi sebanyak minimal 1 persamaan dan menghasilkan semua persamaan memiliki kointegrasi, maka analisis yang mempengaruhi inflasi dalam penelitian ini dikombinasikan dengan model VECM. Dengan VAR-VECM, dapat diketahui hubungan jangka pendek serta jangka panjang antarvariabel. Dalam penelitian ini, signifikansi suatu variabel terhadap variabel lainnya dinilai pada taraf nyata 5%.
Tabel 8 Hasil estimasi VECM inflasi
Variabel Koefisien t-stastistik Jangka Pendek CointEq1 -0.000316 [-0.00874] D(LN_CPI(-1)) 0.102733 [ 0.60448] D(LN_GDP(-1)) 0.064033 [ 0.22837] D(LN_M2(-1)) 0.237421 [ 2.34441] D(LN_REER(-1)) 0.018044 [ 0.59146] D(LN_PPI(-1)) 0.178882 [ 1.89255] Jangka Panjang LN_GDP(-1) -9.396621 [10.9335] LN_M2(-1) 1.723322 [-6.79060] LN_REER(-1) 0.007194 [-0.11441] LN_PPI(-1) 0.85057 [-4.23863]
Sumber : Data penelitian (diolah)
Pada hasil estimasi VECM yang terlihat pada Gambar 8 terdapat pengaruh yang positif dan signifikan untuk jangka pendek terhadap inflasi (LN_CPI) yaitu variabel jumlah uang beredar (LN_M2). Sedangkan untuk jangka panjang, pengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi (LN_CPI) adalah variabel jumlah uang beredar (LN_M2) dan variabel indeks perdagangan besar (LN_PPI). Untuk variabel nilai tukar (LN_RER) memiliki pengaruh yang positif akan tetapi tidak signifikan, karena nilai statistiknya [0.11411] masih lebih kecil dibandingkan t-tabel [2.02]. Variabel pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi (LN_CPI) dalam jangka panjang, hal ini disebabkan kontribusi konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, ketika inflasi tinggi maka konsumsi atau permintaan masyarakat akan barang dan jasa akan berkurang sehingga membuat laju pertumbuhan ekonomi menjadi menurun (Danareksa Research Institute 2013). Pada estimasi VECM ini terbukti adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang yang ditunjukkan dengan kointegrasi kesalahan ((CointEq1(-0.000316)) bernilai negatif.
Impulse Response Function (IRF) Persamaan LNCPI
Analisis Impulse Response Function (IRF) merupakan salah satu analisis penting di dalam model VAR/VECM. Analisis IRF ini melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya goncangan (shocks) atau perubahan di dalam variabel gangguan.
Sumber : Data penelitian (diolah)
Gambar 12. Analisis impulse response function (IRF) persamaan LNCPI
Hasil uji IRF pada Gambar 12.1 menunjukkan respon inflasi terhadap guncangan variabel inflasi itu sendiri. Guncangan inflasi sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertamaakan menyebabkan peningkatan pada inflasi sebesar
.000 .004 .008 .012 .016 .020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Response of LN_CPI to LN_CPI
.000 .004 .008 .012 .016 .020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Response of LN_CPI to LN_GDP .000 .004 .008 .012 .016 .020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Response of LN_CPI to LN_M2 .000 .004 .008 .012 .016 .020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Response of LN_CPI to LN_RER
.000 .004 .008 .012 .016 .020 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Response of LN_CPI to LN_PPI
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Gambar 12.1 Gambar 12.2
Gambar 12.3 Gambar 12.4
0.0143 persen. Pada kuartal dua, respon inflasi terhadap guncangan mencapai titik tertingginya yaitu sebesar 0.0169 persen. Memasuki kuartal selanjutnya, respon inflasi terhadap guncangan mengalami penurunan. Pada kuartal tujuh, respon inflasi terhadap guncangan mencapai titik terendahnya, yaitu sebesar 0.0148 persen. Pada kuartal sepuluh hingga kuartal dua puluh, respon inflasi terhadap guncangan mencapai fase keseimbangan, hal ini terbukti dengan besaran angka kisaran 0.015 persen sepanjang periode.
Hasil uji IRF Gambar 12.2 menunjukkan respon inflasi terhadap guncangan variabel pertumbuhan ekonomi. Guncangan pertumbuhan ekonomi sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama belum direspon oleh inflasi. Mulai kuartal kedua, guncangan pada pertumbuhan ekonomi direspon positif oleh inflasi sebesar 0.0035 persen. Pada kuartal tiga, respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi mencapai titik tertingginya sebesar 0.0049 persen. Akan tetapi, memasuki kuartal lima, respon inflasi mengalami penurunan dan mencapai titik terendahnya yaitu sebesar 0.0022 persen. Respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi memiliki data yang cukup volatil. Terbukti, pada kuartal tujuh, respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi menujukkan peningkatan kembali yaitu sebesar 0.0037 persen. Namun, pada kuartal delapan, respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan mencapai 0.0027 persen. Memasuki periode selanjutnya, dimulai pada kuartal sepuluh hingga dua belas, tingkat volatilitas respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi sudah menunjukkan penurunan dan cenderung mecapai keseimbangan. Memasuki kuartal empat belas hingga dua puluh, respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi mencapai fase keseimbangannya, terbukti dengan terjaganya angka dikisaran 0.0030 hingga 0.0032 persen.
Hasil uji IRF Gambar 12.3 menunjukkan respon inflasi terhadap guncangan variabel jumlah uang beredar. Guncangan pada jumlah uang beredar sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama belum direspon oleh inflasi. Mulai kuartal kedua, guncangan jumlah uang beredar direspon positif oleh inflasi sebesar 0.0037 persen. Kuartal tiga menunjukkan respon inflasi mengalami penurunan menjadi 0.0023 persen terhadap guncangan jumlah uang beredar. Memasuki kuartal empat, respon inflasi mengalami peningkatan kembali terhadap guncangan, yaitu menjadi 0.0032 persen. Akan tetapi, memasuki kuartal lima, respon inflasi mengalami puncak penurunannya menjadi 0.0009 persen. Memasuki kuartal delapan, respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan kembali yaitu sebesar 0.0021 persen. Fase keseimbangan respon inflasi terhadap guncangan pertumbuhan ekonomi tercapai dimulai pada kuartal sepuluh hingga kuartal dua puluh, terbukti dengan kisaran angka 0.0018 hingga 0.0019 persen yang tetap terjaga sepanjang periode.
Hasil uji IRF Gambar 12.4 menunjukkan respon inflasi terhadap guncangan variabel nilai tukar. Guncangan pada nilai tukar sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama belum direspon oleh inflasi. Pada kuartal kedua, inflasi mulai merespon guncangan, hal ini terbukti dengan besaran yang positif sebesar 0.0008 persen.Sepanjang kuartal tiga hingga kuartal enam, respon inflasi terhadap guncangan nilai tukar mencapai peningkatan. Peningkatan tertinggi dari respon inflasi terhadap nilai tukar terjadi di kuartal enam yaitu sebesar 0.0016 persen. Memasuki kuartal tujuh hingga dua puluh, respon inflasi terhadap guncangan nilai
tukar menunjukkan fase keseimbangannya, yaitu dengan terjaganya angka di kisaran 0.0014 hingga 0.0015 persen tanpa ada fluktuasi yang tajam.
Hasil uji IRF Gambar 12.5 menunjukkan respon inflasi terhadap guncangan variabel indeks perdagangan besar (PPI).Guncangan pada PPI sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama belum direspon oleh inflasi. Memasuki kuartal dua, inflasi menunjukkan respon yang positif terhadap guncangan PPI yaitu sebesar 0.0041 persen. Respon inflasi tertinggi terhadap guncangan PPI ditunjukkan pada kuartal empat, yaitu sebesar 0.0066 persen. Akan tetapi pada kuartal lima respon inflasi terhadap guncangan PPI mengalami penurunan menjadi 0.0056 persen. Memasuki kuartal delapan, respon inflasi mengalami kenaikan sebesar 0.0058 persen, namun pada kuartal sembilan, respon inflasi terhadap guncangan PPI mengalami penurunan kembali, yaitu menjadi 0.0056 persen. Fase keseimbangan respon inflasi terhadap guncangan PPI tercipta dimulai pada kuartal sepuluh hingga kuartal dua puluh, karena angka pada periode tersebut terjaga di kisaran 0.0057 hingga 0.0058 persen tanpa ada fluktuasi yang tajam.
Variance Decomposition persamaan LNCPI
Variance Decomposition (VD) bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi dari masing-masing variabel terhadap shock yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Dengan kata lain, VD menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. VD memiliki tujuan untuk menjelaskan seberapa besar persentase kontribusi masing-masing guncangan (shock) dalam variabel yang digunakan untuk menganalisis yang mempengaruhi inflasi di Indonesia. Jangka waktu yang digunakan dalam meproyeksikan VD adalah sebesar 5 tahun yang terdiri dari 20 kuartal.
Sumber : Data penelitian (diolah)
Gambar 13 Variance decomposition (%) LNCPI
Berdasarkan hasil Variance Decomposition (VD) yang ditunjukkan oleh Gambar 13 dapat diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhadap tingkat inflasi. Pada periode pertama, variabel inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel inflasi itu sendiri sebesar 100 persen. Kontribusi variabel lain mulai berpengaruh terhadap pergerakan inflasi memasuki periode
80 85 90 95 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
kedua dengan persentase untuk indeks perdagangan besar sebesar 3.25 persen,jumlah uang beredar sebesar 2.67 persen, variabel pertumbuhan ekonomi sebesar 2.29 persen, variabel nilai tukar sebesar 0.13 persen.
Memasuki periode dua puluh (tahun ke-5), kontribusi masing-masing variabel mengalami perubahan terhadap laju inflasi. Pengaruh inflasi terhadap laju inflasi itu sendiri semakin menurun hingga periode ke-20 menjadi 83.31 persen. Variabel indeks perdagangan besar mengalami peningkatan menjadi 10.95 persen. Lalu diikuti variabel pertumbuhan ekonomi sebesar 3.53 persen. Variabel jumlah uang beredar memiliki pengaruh sebesar 1.49 persen dan variabel nilai tukar memiliki pengaruh yang paling kecil sebesar 0.70 persen.
Implikasi Estimasi Pengaruh Nilai Tukar dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi
Pada estimasi pengujian Impulse Response Function (IRF), respon inflasi terhadap guncangan nilai tukar adalah positif. Makna dari respon inflasi yang positif terhadap guncangan nilai tukar menunjukkan bahwa, apabila terjadi guncangan pada nilai tukar (rupiah depresiasi) akan menyebabkan peningkatan pada inflasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akinbobola (2012) yang menyatakan bahwa guncangan eksternal yang disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar dapat meningkatkan inflasi, melalui pengaruhnya terhadap harga domestik. Indonesia yang memiliki keterbukaan ekonomi wajib waspada terhadap guncangan sisi eksternal, mengingat nilai tukar rupiah yang tergolong rendah apabila dibandingkan negara lain. Karena kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap beberapa proses produksi dalam pasar domestik Indonesia, maka depresiasi nilai tukar rupiah akan meningkatkan biaya produksi yang berasal dari produk impor sehingga berdampak pada meningkatnya harga jual produk. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini telah terjawab, yaitu nilai tukar memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi.
Pada estimasi pengujian IRF, respon inflasi terhadap guncangan jumlah uang beredar adalah positif. Makna dari respon inflasi yang positif terhadap guncangan jumlah uang beredar menunjukkan bahwa, apabila terjadi guncangan pada jumlah uang beredar akan menyebabkan peningkatan pada inflasi.Hal ini masih sejalan dengan teori kuantitas uang (Quantity Theory of Money) yaitu ketika jumlah uang beredar meningkat, pada tingkat harga yang sama, masyarakat memiliki lebih banyak uang dari yang mereka minta. Meningkatnya jumlah uang menyebabkan naiknya permintaan terhadap barang dan jasa. Jika jumlah barang dan jasa yang diminta tidak seimbang dengan jumlah barang dan jasa yang di produksi, maka akan terjadi peningkatan harga. Apabila hal itu terjadi untuk keseluruhan barang dan jasa, maka itu yang disebut dengan fenomena inflasi. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini telah terjawab, yaitu jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi.