• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Singkat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus

Rumah Sakit Mardi Rahayu berdiri tanggal 29 Januari 1969 yang berlokasi di Ds. Jati Wetan Kabupaten Kudus tepatnya di Jl. AKBP Agil Kusumadya no. 110. Nama Mardi Rahayu berasal dari dua kata yaitu “Mardi” yang berarti tempat berusaha dan “Rahayu” yang berarti selamat atau sejahtera. Keinginan untuk membuat rumah sakit berawal dari berkembangnya balai pengobatan sehingga diperlukan tempat yang lebih luas lagi untuk melayani pasien.

Pada awalnya Rumah Sakit Mardi Rahayu melayani pasien rawat inap dengan kapasitas 25 tempat tidur. Rumah sakit juga melayani persalinan dan perawatan anak-anak. Pada tahun 1974 bangunan Rumah Sakit Mardi Rahayu diperluas dan kapasitas tempat tidur ditambah menjadi 100 tempat tidur dan resmi dibuka untuk umum pada tanggal 17 Desember 1974.

Kini Rumah Sakit Mardi Rahayu sudah berkembang dengan sarana perawatan mencapai sekitar 376 tempat tidur dan menjadi rumah sakit swasta terbesar yang ada di Kabupaten Kudus. Rumah Sakit Mardi Rahayu saat ini dipimpin oleh Dr. Khrisna Nugraha Widjaja dan yang dulunya Yayasan Kesehatan Kristen (YKK) berubah nama menjadi Yayasan Kristen Kesejahteraan Mardi Rahayu (YKKMR) pada tanggal 28 September 2007 mengikuti aturan baru tentang Yayasan sesuai dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang nomor 28 tahun 2004. Motto dari Rumah Sakit Mardi Rahayu yaitu “Kesembuhan dan Keselamatan Anda adalah Kebahagiaan Kami”. Dengan visi dan misinya yaitu, Visi: Menjadi Rumah Sakit Pilihan Utama di Jawa Tengah, dan Misi: Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang utuh dan bermutu bagi semua masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan panggilan Gereja yaitu: Pelayanan, Persekutuan dan Kesaksian.

12

Pada tanggal 5 Mei 2016 setelah melalui rangkaian penilaian yang cukup panjang, RS Mardi Rahayu Kudus dinyatakan lulus akreditasi tingkat paripurna (bintang lima) oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Akreditasi paripurna merupakan tingkat akreditasi tertinggi untuk sebuah rumah sakit, yang menandakan bahwa sudah memenuhi syarat-syarat sebagai rumah sakit yang baik dalam pelayanan, dan RS Mardi Rahayu menjadi rumah sakit pertama di Kabupaten Kudus yang telah memperoleh akreditasi paripurna.

Gambaran Profil Responden

Untuk mendapatkan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan cara membagikan kuesioner kepada perawat wanita di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus yang sudah menikah dan memiliki anak sebanyak 121 dan dikembalikan 104 dan yang terisi lengkap sebanyak 84 kuesioner.

Berdasarkan usia, perawat wanita yang ada di Rumah Sakit Mardi Rahayu didominasi oleh mereka yang berusia >35 tahun yaitu sebanyak 38 orang (45%) , jumlah ini tidak terpaut jauh dengan perawat wanita yang berusia antara 25-35 tahun yaitu sebanyak 37 orang (44%). Dari hasil ini menunjukkan bahwa perawat wanita di rumah sakit Mardi Rahayu pada umumnya diisi oleh perawat wanita dengan usia yang sudah tidak muda lagi, melainkan pada usia yang matang. Pada usia ini perawat wanita seharusnya lebih sedikit mengalami stres karena memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi dan menjadikan stres negatif menjadi stres yang positif.

Berdasarkan pendidikan terkahir, sebagian besar perawat wanita adalah lulusan D3 yaitu sebanyak 75 orang (89%), sedangkan untuk lulusan S1 hanya 9 orang (11%). Hal ini menunjukkan bahwa perawat wanita di rumah sakit Mardi Rahayu berada pada tingkat pendidikan level sedang.

Berdasarkan masa kerja, tampak bahwa perawat wanita mayoritas telah bekerja lebih dari 10 tahun di rumah sakit Mardi Rahayu, yaitu sebanyak 46 orang (55%). Hal ini menunjukkan bahwa perawat wanita telah bekerja cukup lama pada rumah sakit tersebut, dan dapat dikatakan bahwa pengalamannya dalam bekerja sudah matang sehingga dapat mengelola work family conflict dan stres kerja dengan baik.

Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki, tampak bahwa 40 orang (48%) memiliki dua orang anak, dan 33 orang memiliki satu orang anak. Dengan semakin banyak jumlah anak

13

yang dimiliki, akan membutuhkan waktu dan perhatian dari orang tua lebih banyak dan hal tersebut bisa saja menimbulkan work family conflict apabila tidak bisa membagi perannya di dalam keluarga dan pekerjaan. Selengkapkapnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2

Gambaran Umum Responden

Karakteristik Kategori Jumlah Presentase

Usia <25 9 11% 25-35 37 44% >35 38 45% Total 84 100% Pendidikan Diploma 75 89% S1 9 11% S2 0 0% Total 84 100% Masa Kerja <5 14 17% 5 s/d 10 24 28% >10 46 55% Total 84 100% Jumlah Anak 1 orang 33 39% 2 orang 40 48% 3 orang 9 11% 4 orang 2 2% Total 84 100% Hasil Penelitian

Hasil Pengujian Validitas dan Reliabilitas

Variabel Work Family Conflict meliputi dua unsur yaitu Work Interference with Family (WIF) dan Family Interference with Work (FIW). Work Interference with Family (WIF) terdiri dari 6 pernyataan dan Family Interference with Work terdiri dari 5 pernyataan, total ada 11 pernyataan. Berdasarkan hasil pengujian validitas dan reliabilitas tahap pertama menunjukkan bahwa semua pernyataan mempunyai nilai r hitung (nilai Pearson Correlation) > r tabel (didapat dari tabelr) dengan nilai r tabel 0,2146 dan tingkat signifikansi 0,05 sehingga seluruh indikator yang diujikan tersebut dinyatakan valid. Demikian juga dengan uji

14

reliabilitasnya, menunjukkan nilai Cronbach alpha sebesar 0,824 > 0,60 sehingga pernyataan-pernyataan tersebut dinyatakan reliabel..

Variabel Stres Kerja terdiri dari 9 pernyataan. Berdasarkan hasil pengujian validitas dan reliabilitas tahap pertama, dari 9 pernyataan ada 1 item yang dinyatakan tidak valid/gugur. Item yang tidak valid/gugur adalah item nomor 7, yang berisi “saya selalu minum obat untuk mengurangi kecemasan dalam bekerja” dengan hasilnya r hitung < r tabel yaitu 0,116 < 0,2146. Untuk uji reliabilitasnya, menunjukkan nilai Cronbach alpha 0,700 > 0,60 sehingga pernyataan-pernyataan tersebut dinyatakan reliabel.

Variabel Dukungan Sosial terdiri dari 14 pernyataan. Berdasarkan hasil pengujian validitas dan reliabilitas variabel Dukungan Sosial tahap pertama, menunjukkan bahwa semua pernyataan mempunyai nilai r hitung > r tabel sehingga seluruh pernyataan tersebut dinyatakan valid. Demikian halnya dengan uji reliabilitasnya, menunjukkan nilai Cronbach alpha sebesar 0,890 > 0,60, sehingga pernyataan-pernyataan tersebut reliabel.

Pengaruh Work Family Conflict terhadap Stres Kerja

Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S) menunjukkan bahwa angka Kolmogorov-Kolmogorov-Smirnov (K-S) sebesar 1,024 dan mempunyai nilai signifikan sebesar 0,245 > 0,05 maka distribusi data residualnya adalah normal.

Tabel 3

15

Berdasarkan pengelolaan data SPSS dihasilkan persamaan regresi linier Y= 7.715+ 0.491X. Hasil uji t pada Tabel 3 diketahui bahwa work family conflict mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja perawat wanita di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus. Hal ini ditunjukkan oleh nilai t hitung 9,757 > t tabel 1,989 dan angka signifikan 0,000 < 0,05 yang artinya H1 diterima. Pengaruh yang ditunjukkan mempunyai arah positif yang berarti bahwa semakin tinggi work family conflict maka semakin tinggi stres kerja pada perawat wanita, sebaliknya semakin rendah work family conflict maka semakin rendah stres kerja pada perawat wanita. Nilai dari R square adalah 0,537, artinya bahwa 53,7% variabel stres kerja dapat dijelaskan oleh variabel work family conflict sedangkan sisanya 46,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.

Pengaruh Work Family Conflict terhadap Stres Kerja Dimoderasi Dukungan Sosial Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S) menunjukkan bahwa angka Kolmogorov-Kolmogorov-Smirnov (K-S) sebesar 0,927 dan mempunyai nilai signifikan sebesar 0,357 > 0,05 maka distribusi data residualnya adalah normal.

Tabel 4

16

Berdasarkan pengelolaan data SPSS dihasilkan persamaan regresi linier Y = 14.093 + 0.295X1 + -0.113X2 + 0.003X1.X2 dengan nilai koefisien yang positif sebesar 14.093 dan angka signifikan sebesar 0,654 (lebih besar dari 0,05) dengan hasil tersebut disimpulkan bahwa H2 ditolak. Nilai dari R square adalah 0,539, artinya bahwa 53,9% variabel stres kerja dapat dijelaskan oleh variabel work family conflict dan dukungan sosial sedangkan sisanya 46,1% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.

Tabel 5

Skor Rata-rata Responden Terhadap Work Family Conflict

No Pernyataan Skor rata-rata

1. Jam kerja saya mengurangi waktu saya untuk bersama dengan keluarga

3,00 2. Tuntutan waktu pekerjaan kantor membuat saya

kesulitan untuk mengurus keluarga

2,67 3. Tuntutan waktu pekerjaan kantor membuat saya

kesulitan untuk mengurus tanggung jawab pribadi

2,54 4. Akibat bekerja saya tidak selalu dapat menemani

suami/istri/anak pada waktu yang dibutuhkan

3,10 5. Sesuatu yang ingin saya lakukan dirumah tidak

dapat terealisasi karena tuntutan dari pekerjaan kantor

2,67

6. Tuntutan pekerjaan kantor membawa kesulitan untuk bersantai dengan keluarga dirumah

2,69 7. Saya menunda melakukan pekerjaan kantor karena

tuntutan suami/istri saya

2,03 8. Saya menunda melakukan pekerjaan kantor karena

harus mengurus anak saya

2,05 9. Keluarga mengurangi waktu saya untuk

menyelesaikan pekerjaan kantor

1,98 10. Saya harus menunda melakukan hal-hal di tempat

kerja karena tuntutan waktu saya untuk keluarga

17

11. Sepulang kerja saya terlalu letih untuk menjalankan aktivitas bersama keluarga

2,75

Total rata-rata 2,49

Dari tabel diatas tampak bahwa skor rata-rata jawaban responden pada 11 item pernyataan untuk variabel work family conflict sebesar 2,49 dan masuk dalam kategori rendah. Angka rata-rata terendah pada variabel work family conflict yaitu item penyataan no 10 dengan nilai rata-rata 1,96 dan angka rata-rata tertinggi pada variabel work family conflict yaitu item pernyataan no 4 dengan nilai rata-rata 3,10

Tabel 6

Skor Rata-rata Responden Terhadap Stres Kerja

No Pernyataan Skor

rata-rata 1. Saya merasa pekerjaan yang saya hadapi menguras

tenaga saya

2,86 2. Saya merasa beban kerja yang diberikan kepada

saya terlalu banyak

2,52 3. Saya sering berfikir negatif berkaitan dengan

masalah-masalah pekerjaan

2,05 4. Saya sering mengalami depresi saat menghadapi

masalah-masalah pekerjaan

2,07 5. Saya merasa kelelahan secara emosi dalam bekerja 2,38 6. Saya merasa kelelahan secara fisik dalam bekerja 3,08 8. Saya merasa pola makan saya berubah saat

menghadapi pekerjaan

2,52 9. Saya merasa tersinggung saat ditegur oleh

atasan/rekan kerja

2,04

Total rata-rata 2,44

Dari tabel diatas tampak bahwa skor rata-rata jawaban responden pada 8 item pernyataan untuk variabel stres kerja sebesar 2,44 dan masuk dalam kategori rendah. Angka rata-rata terendah pada variabel stres kerja yaitu item pernyataan no 9 dengan nilai rata-rata

18

2,04 dan angka rata-rata tertinggi pada variabel stres kerja yaitu item pernyataan no 6 dengan nilai rata-rata 3,08.

Tabel 7

Skor Rata-rata Tanggapan Responden Terhadap Dukungan Sosial

No Pernyataan Skor rata-rata

1. Suami saya mau mendengarkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan saya

4,15 2. Suami saya menunjukkan perhatian yang mendalam

terhadap pekerjaan saya

3,95 3. Keluarga saya memberikan bantuan kepada saya

berkaitan dengan permasalahan kerja saya

3,73 4. Apabila saya mengalami konflik dengan rekan kerja

atau atasan, saya mendapatkan solusi penyelesaian dari keluarga saya

3,72

5. Atasan saya bersedia mendengarkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan saya

3,90 6. Atasan saya memberikan dorongan dalam bekerja 3,94 7. Atasan saya memberikan semangat dalam bekerja 3,97 8. Atasan saya menunjukkan perhatian yang mendalam

terhadap pekerjaan saya

3,73 9. Dalam pengambilan keputusan, atasan saya

bertindak secara adil dan bijaksana

3,70 10. Rekan kerja saya memberikan bantuan kepada saya

berkaitan dengan permasalahan yang saya hadapi

3,85 11. Rekan kerja saya bersedia mendengarkan

masalah-masalah yang berhubungan dengan pekerjaan saya

3,91 12 Rekan kerja selalu memberikan saran untuk

meningkatkan kualitas kerja saya

3,75 .13 Rekan kerja saya selalu memberikan semangat

kepada saya pada saat jam kerja

3,64 14. Rekan kerja saya bersedia membantu saya untuk

menyelesaikan masalah pekerjaan

3,76

Total rata-rata 3,83

Dari tabel diatas tampak bahwa skor rata-rata jawaban responden pada 14 item pernyataan untuk variabel dukungan sosial sebesar 3,83 dan masuk dalam kategori tinggi. Angka rata-rata terendah pada variabel dukungan sosial yaitu item penyataan no 13 dengan

19

nilai rata-rata 3,64 dan angka rata-rata tertinggi pada variabel dukungan sosial yaitu item pernyataan no 1 dengan nilai rata-rata 4,15.

Tabel 8

Crosstabulation Pendidikan dengan WFC

Berdasarkan uji tabulasi silang, dari 75 responden dengan pendidikan Diploma, 62,7% (47 responden) memiliki tingkat work family conflict yang rendah, dan 9 responden dengan pendidikan Strata 1, 55,6% (5 responden) juga memiliki tingkat work family conflict yang rendah. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi work family conflict, semakin tinggi tingkat pendidikan maka work family conflict semakin rendah. Nilai chi-squarenya yaitu 0,651 > 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan work family conflict.

20 Tabel 9

Crosstabulation Usia dengan WFC

Berdasarkan uji tabulasi silang, dari 38 responden yang berusia >35 tahun, 63,2% (24 responden) memiliki tingkat work family conflict yang rendah. Ini menunjukkan bahwa semakin tua usia (usia matang) maka tingkat work family conflict yang dialami semakin rendah, ini karena perawat wanita dapat menyeimbangkan perannya di dalam pekerjaan maupun di dalam keluarga. Nilai chi-squarenya yaitu 0,940 > 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan antara usia dengan work family conflict.

21 Tabel 10

Crosstabulation Jumlah Anak dengan WFC

Berdasarkan uji tabulasi silang, diketahui bahwa jumlah anak tidak mempengaruhi work family conflict. Berapun jumlah anak yang dimiliki, tingkat work family confllict yang dialami tergolong rendah. Nilai chi-squarenya yaitu 0,908 > 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan antara jumlah anak dengan work family conflict.

Tabel 11

22

Berdasarkan uji tabulasi silang, dari 9 responden dengan tingkat pendidikan Strata 1, 88,9% (8 responden) memiliki tingkat stres kerja yang rendah. Ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi stres kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah tingkat stres kerja yang dialami, dengan demikian bahwa semakin banyak ilmu yang diperoleh maka akan berdampak pada stres yang positif. Nilai chi-squarenya yaitu 0,415 > 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan stres kerja.

Tabel 12

23

Berdasarkan uji tabulasi silang, dari 38 respon yang berusia >35 tahun, 73,7% (28 responden) memiliki tingkat stres kerja yang rendah. Ini menunjukkan bahwa semakin tua usia (usia matang) maka stres kerja yang dirasakan semakin rendah, karena di usia yang matang bisa mengendalikan emosi dengan baik dan akan berdampak pada stres yang positif yaitu akan semakin tertantang dan termotivasi dalam bekerja. Nilai chi-squarenya 0,658 > 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan antara usia dengan stres kerja.

Tabel 13

Crosstabulation Usia dengan Dukungan Sosial

Berdasarkan uji tabulasi silang, 75,0% (6 responden) dengan usia 25-35 tahun memiliki dukungan sosial pada tingkat sedang, dan 66,7% (8 responden) dengan usia >35 tahun memiliki dukungan sosial yang sangat tinggi. Semakin tinggi tingkat usia maka dukungan sosial yang diperoleh juga semakin tinggi. Nilai chi-squarenya 0,306 > 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan antara usia dengan dukungan sosial.

24 Tabel 14

Crosstabulation Pendidikan dengan Dukungan Sosial

Berdasakan uji tabulasi silang, 88,9% (56 responden) dengan tingkat pendidikan diploma memiliki dukungan sosial yang tinggi, dan 11,7% (7 responden) dengan tingkat pendidikan Strata 1 juga memiliki dukungan sosial yang tinggi. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka dukungan sosial yang di peroleh juga semakin tinggi. Nilai chi-squarenya 0,973 > 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan dukungan sosial.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan pada variabel work family conflict terhadap stres kerja, hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi work family conflict pada perawat wanita maka akan semakin tinggi tingkat stres kerja. Hasil ini diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Indriyani (2009) bahwa konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh signifikan dan positif terhadap terjadinya stres kerja perawat wanita di rumah sakit Roemani Semarang dan penelitian oleh

25

Wirakristama (2011) bahwa konflik peran ganda (pekerjaan-keluarga) memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap stres kerja pada karyawan wanita di PT. Nyonya Meneer Semarang.

Sebagai seorang perawat wanita, sangat berisiko dengan work family conflict apabila tidak bisa membagi perannya antara pekerjaan dan keluarga. Tugas sebagai seorang wanita yang sudah menikah dan memiliki anak adalah mengurus keluarga. Tapi kenyataannya tidak sedikit wanita yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga atau hanya ingin mengaktualisasikan kemampuannya. Apabila wanita tidak dapat menjalankan perannya (pekerjaan atau keluarga) dengan seimbang maka akan mengganggu peran yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). Pendapat dari Greenhaus & Beutell yang menyatakan bahwa work family conflict mengacu pada sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan keluarga saling terganggu. Dalam hal ini sebagai seorang perawat wanita diharuskan untuk dapat menyeimbangkan perannyanya di dalam pekerjaan maupun di dalam keluarga sehingga tidak terjadi work family conflict yang akibatnya akan menimbulkan stres kerja. Tugas sebagai seorang perawat memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pasien untuk itu diperlukan kesehatan fisik dan psikis untuk dapat melayani pasien dengan baik.

Salah satu yang menyebabkan work family conflict adalah beban kerja yang berlebihan sehingga menghabiskan waktu untuk bekerja dan waktu untuk keluarga berkurang, tetapi dalam hasil penelitian ini perawat wanita tidak merasa beban yang diberikan terlalu berlebih ini terbukti dari tingkat work family conflict yang terjadi di rumah sakit Mardi Rahayu Kudus tergolong rendah yaitu dengan skor rata-rata jawaban responden 2,44. Ini menunjukkan bahwa perawat wanita dapat menyeimbangkan perannya di dalam pekerjaan maupun di dalam keluarga. Saat bekerja fokus pada pekerjaan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu, dan pada saat berada dirumah memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk melakukan kegiatan bersama keluarga. Dari 84 perawat wanita, 46 diantaranya sudah bekerja lebih dari 10 tahun sehingga pengalamannya dalam bekerja lebih banyak dan mampu untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, sehingga mempunyai waktu untuk bersama keluarga. Rendahnya tingkat work family conflict pada perawat wanita maka rendah juga tingkat stres kerja yang dirasakan, karena mengingat bahwa sebagian besar perawat wanita berusia lebih dari 35 tahun dan dianggap sudah matang dalam mengendalikan emosi, sehingga stres kerja yang dirasakan dapat berdampak positif yaitu semakin termotivasi dalam bekerja, hasil crosstab juga menujukkan bahwa semakin tinggi

26

tingkat pendidikan pada perawat wanita, maka semakin rendah stres kerja yang dialami, karena dengan semakin tingginya tingkat pendidikan maka semakin banyak pula pengetahuannya dalam mengelola stres.

Hasil penelitian dari work family conflict terhadap stres kerja yang dimoderasi oleh dukungan sosial diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 1,183 dan angka signifikan 0,240. Variabel moderat yang merupakan interaksi antara work family conflict dan dukungan sosial memiliki nilai signifikansi 0,654 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel dukungan sosial bukanlah variabel moderasi dengan kata lain variabel dukungan sosial tidak akan memperkuat atau memperlemah pengaruh work family conflict terhadap stres kerja. Tidak didukungnya H2 ini menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak memberikan efek apapun terhadap terjadinya stres kerja yang diakibatkan adanya pengaruh work family conflict. Ada atau tidaknya dukungan sosial, work family conflict tetap berpengaruh terhadap stres kerja, dengan arah yang positif yaitu semakin rendah work family conflict maka semakin rendah stres kerja. Stres kerja yang terjadi pada perawat wanita, disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari individu itu sendiri. Ada perawat yang banyak mengalami tekanan tetapi tidak mengalami stres kerja, dan ada juga yang sedikit mengalami tekanan tetapi mengalami stres kerja yang berlebihan. Ini berarti dukungan sosial tidak berpengaruh terhadap stres stres kerja pada perawat wanita, stres kerja yang terjadi disebabkan oleh faktor internal dari individu. Tidak semua masalah yang dihadapi perawat dapat diselesaikan dengan dukungan sosial. Ada masalah yang bersifat privasi sehingga tidak perlu diketahui oleh orang lain misalnya dalam masalah keluarga, sehingga dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Kurangnya sikap bersosialisasi antar perawat dan adanya sifat sungkan diantara perawat, sehingga merasa sungkan saat ingin meminta bantuan dan sebaliknya jika tidak diminta memberi bantuan tidak akan memberikan.

Dokumen terkait