• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No.17, Medan Selayang Sumatera Utara dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) yang berlokasi di Jalan Universitas No.1 Kampus USU, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah usap hidung semua dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif Anak, Instalasi Perawatan Intensif Bedah dan Instalasi Perawatan Intensif Dewasa RSUP HAM Medan pada saat peneliti melakukan skrining, dengan jumlah sebanyak 30 sampel.

5.1.3. Hasil Uji Laboratorium

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK USU diperoleh data-data yang terangkum dalam tabel berikut:

Tabel 5.1. Distribusi isolat S.aureus berdasarkan jenis kelamin Positif S.aureus f (%) Negatif S.aureus f (%) Jumlah f (%) Laki-laki 3 (21,4%) 11 (78,6%) 14 (46,7%) Perempuan 7 (43,8%) 9 (56,2%) 16 (53,3%) Total 10 (33,3%) 20 (66,7%) 30 (100%) Keterangan: f = frekuensi

Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa isolat S. aureus ditemukan pada 10 orang (33,3%) dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif RSUP HAM Medan yaitu pada 3 (21,4%) laki-laki dan 7 (43,8%) perempuan.

Tabel 5.2. Hasil skrining S. aureus dengan resistansi berperantara MecA.

No. Sampel MecA

3 Negatif 5 Positif 10 Positif 17 Positif 19 Negatif 20 Positif 23 Positif 25 Negatif 26 Positif 29 Negatif

Dalam penelitian ini, diketahui bahwa diameter zona hambat terkecil Cefoxitin terhadap S.aureus adalah 11,0 mm dan diameter zona hambat terbesar adalah 27,5 mm dimana rata-rata zona hambat Cefoxitin terhadap pertumbuhan S. aureus adalah 19,6 mm.

Pada penelitian ini, S. aureus dikatakan positif MecA apabila zona hambat di sekitar cakram cefoxitin ≤ 21 mm dan negatif MecA bila zona hambat di sekitar cakram Cefoxitin ≥ 22 mm setelah disesuaikan dengan pedoman CLSI. Dari tabel 5.2 dapat diketahui 6 (60%) dari 10 isolat S. aureus yang berhasil diidentifikasi adalah strain positif MecA.

Dari hasil uji kepekaan dengan metode difusi cakram terhadap 15 jenis antibiotika, didapatkan hasil seperti berikut :

Tabel 5.3. Profil sensitivitas sampel S.aureus terhadap 15 antibiotik ANTIBIOTIK SENSITIF f (%) INTERMEDIATE f (%) RESISTAN f (%) Ampicillin 0 (0%) - 10 (100%) Amoxicillin- Clavulanic acid 7 (70%) - 3 (30%) Amoxicillin 0 (0%) - 10 (100%) Ceftazidime 0 (0%) 0 (0%) 10 (100%) Ciprofloxacin 8 (80%) 0 (0%) 2 (20%) Cefotaxime 4 (40%) 4 (40%) 2 (20%) Cefepime 0 (0%) 0 (0%) 10 (100%) Gentamicin 10 (100%) 0 (0%) 0 (0%) Clindamycin 0 (0%) 0 (0%) 10 (100%) Imipenem 10 (100%) 0 (0%) 0 (0%) Levofloxacin 8 (80%) 0 (0%) 2 (20%) Meropenem 0 (0%) 1 (10%) Trimethoprim- Sulfamethoxazole 9 (90%) 0 (0%) 1 (10%) Piperacillin- tazobactam 0 (0%) - 10 (100%) Cefoxitin 4 (40%) - 6 (60%) Keterangan: f = frekuensi

Dari uji kepekaan isolat S. aureus terhadap 15 antibiotika, ditemukan bahwa isolat tersebut telah resistan terhadap beberapa antibiotik. Antibiotika tersebut adalah Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin-tazobactam.

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini telah dilakukan skrining terhadap 30 sampel usap hidung dokter muda yang bertugas di Instalasi Perawatan Intensif RSUP HAM Medan. Dari 30 sampel tersebut, sebanyak 10 sampel telah diidentifikasi sebagai isolat S. aureus (33,3%) dan 6 isolat S. aureus dari 10 sampel tersebut positif untuk resistensi berperantara MecA (60%). Dari 30 sampel tersebut sebanyak 20% sampel adalah positif untuk S. aureus dengan resistansi berperantara MecA. Menurut penelitian Rongpharpi, S.R et al. (2013), persentase S. aureus yang

diisolasi dari petugas kesehatan sebanyak 22,22% dan sebanyak 11,43% positif untuk resistensi berperantara MecA. Penelitian lain di Ethiopia mendapatkan 28,8% isolat S. aureus dari petugas kesehatan dan 44,1% dari isolat tersebut adalah MRSA (Shibabaw, 2013). Persentase isolat S. aureus dan S. aureus dengan resistansi berperantara MecA yang diisolasi pada penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, hal ini dapat disebabkan perbedaan jumlah sampel penelitian.

Dari hasil penelitian ini, diperoleh jumlah dokter muda laki-laki sebanyak 14 orang (46,7%) dan 3 dari mereka positif untuk isolat S.aureus (21,4%). Jumlah dokter muda perempuan pula sebanyak 16 orang (53,3%) dan 7 dari mereka positif untuk isolat S.aureus (43,8%). Penelitian yang dilakukan oleh Rongpharpi, S.R et al. (2013) melaporkan sebanyak 54,3% pekerja kesehatan yang positif untuk isolat S.aureus adalah laki-laki dan 45,7% adalah perempuan. Dalam penelitian ini, hanya 1 (16,7%) laki-laki yang positif skrining MRSA dan sebanyak 5 (83,3%) perempuan yang positif skrining MRSA. Penelitian yang dilakukan oleh Gebreyesus (2013) melaporkan persentase pekerja kesehatan perempuan yang positif skrining MRSA sebanyak 14,1% dan laki-laki sebanyak 6,2%. Menurut penelitian lain di Iran, sebanyak 34,4% petugas kesehatan laki- laki positif skrining MRSA dan sebanyak 65,6% petugas kesehatan wanita positif skrining MRSA (Askarian, 2009). Perbedaan persentase jumlah hasil skrining MRSA positif antara laki-laki dengan perempuan ini dapat disebabkan adanya perbedaan komitmen dalam usaha pengendalian infeksi dan usaha masing-masing dalam menjaga kebersihan diri ataupun faktor-faktor lain yang dapat diselidiki pada penelitian lebih lanjut (Shibabaw, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini, isolat S. aureus telah resistan (100%) terhadap 6 dari 15 antibiotik yang diuji. Antibiotik yang dimaksud yaitu Ampicillin, Amoxicillin, Ceftazidime, Cefepime, Clindamycin dan Piperacillin- tazobactam. Pada penelitian Rongpharpi, S.R et al. (2013), tidak ada isolat S. aureus yang 100% resistan terhadap antibiotik, dimana hasil profil sensitivitas Ampicillin menunjukkan resistansi sebanyak 88,6%. Resistansi isolat S. aureus terhadap Amoxicillin menurut penelitian Monem, (2012) adalah sebanyak 82,1%

pada strain MRSA dan 23,8% pada strain MSSA. Menurut penelitian Ahmed MO et al. (2012), resistansi terhadap antibiotik Clindamycin adalah 30%. Resistansi isolat S.aureus terhadap 6 jenis antibiotik ini mungkin terjadi oleh karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Di negara-negara berkembang, resep dokter tidak diperlukan untuk membeli antibiotik, bahkan antibiotika dapat diperoleh dengan mudah sebab diperjualbelikan layaknya seperti obat bebas. Peresepan antibiotika yang tidak rasional oleh dokter juga menyumbang pada berkembangya sifat resistan bakteri terhadap antibiotika.

Dalam penelitian ini, ditemukan isolat S.aureus sensitif (100%) terhadap 2 dari 15 antibiotik yang digunakan yaitu Gentamicin dan Imipenem. Menurut penelitian Monem (2012), sensitivitas isolat S. aureus strain MRSA terhadap Gentamicin sebanyak 97,4% dan 95,2% pada strain MSSA. Penelitian yang dilakukan oleh Fadeyi et al. (2010) pula melaporkan sensitivitas antibiotik isolat MRSA sebanyak 36,7% terhadap antibiotik Gentamicin. Berdasarkan pedoman CLSI dokumen M100-S23, Staphylococcus spp. yang sensitif terhadap Cefoxitin dapat dianggap sensitif pula terhadap antibiotika Carbapenem (termasuk Imipenem) dan berlaku sebaliknya (CLSI, 2013). Namun pada penelitian ini seluruh isolat S. aureus (termasuk MRSA) sensitif terhadap Imipenem, dengan demikian sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kadar sensitivitas MRSA terhadap antibiotika golongan Carbapenem. Berdasarkan pedoman yang sama dinyatakan pula bahwa pada Staphylococcus spp. yang sensitif terhadap antibiotika golongan Aminoglikosida (termasuk Gentamicin), antibiotik ini hanya boleh digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik lain yang hasil uji kepekaannya juga sensitif (CLSI, 2013). Hal ini sebaiknya diperhatikan dalam penggunaan antibiotika untuk mengatasi infeksi yang disebabkan Staphylococcus spp., untuk menghindari munculnya strain MDR dari bakteri ini.

Dokumen terkait