• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian, hasil penelitian, pembahasan hasil penelitian dan keterbatasan penelitian.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini berisikan tentang kesimpulan dari penelitian dan saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

8 A. Tinjauan Teori

1. Pengetahuan a. Pengertian

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tau dan ini setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra pada manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tau dari manusia yang sekedar menjawab petanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

b. Tingkat pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata

kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartiakan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.

c. Cara memperoleh pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat diperoleh dengan beberapa cara, diantaranya :

1) Cara tradisional

Cara kuno atau tradisional ini dipakai untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum diketemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain :

a) Cara coba-salah (Trial and error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil dicoba kemungkinan yang lain. Apabila

kemungkinan kedua ini gagal pula, maka dicoba kembali dengan kemunkinan ketiga, dan apabila kemungkinan ketiga gagal dicoba kemungkinan yang keempat dan seterusnya, sampai masalah tersebut terpecahkan.

b) Secara kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan.

c) Cara kekuasaan atau otoritas

Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama, maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama didalam penemuan pengetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunya otoritas, tanpa terlebih dulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang dikemukakannya adalah sudah benar.

d) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan.

e) Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya.

2) Cara ilmiah dalam memperoleh pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah, atau lebih populer disebut metodelogi penelitian (research methodology).

d. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Wawan dan Dewi (2012), faktor yang mempengaruhi pengetahuan meliputi:

1) Faktor Internal a) Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra yang dikutip Notoatmodjo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan

(Nursalam, 2003). Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.

b) Pekerjaan

Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. c) Umur

Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Hurlock (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam dalam berfikir dan bekerja. 2) Faktor Eksternal

a) Faktor lingkungan

Menurut Ann.Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003) lingkungan merupakan suatu kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.

b) Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.

e. Kriteria tingkat pengetahuan

Menurut Riwidikdo (2013), pengetahuan seseorang dapat dikategorikan dalam beberapa kategori, yaitu :

1) Baik, bila nilai responden yang diperoleh (x) > mean + 1 SD 2) Cukup, bila nilai mean – 1 SD ≤ x ≤ mean + 1 SD

3) Kurang, bila nilai responden yang diperoleh (x) < mean – 1 SD

2. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) a. Pengertian

Menurut Departemen Kesehatan (2005), Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi, yang diduga ada hubungannya dengan pemberian imunisasi.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

1) Related programme atau hal – hal berkaitan dengan kegiatan imunisasi, misalnya timbul bengkak bahkan abses pada bekas suntikan vaksin. Biasanya karena jarum tidak steril. Contoh lain adalah kelenjar limfe misalnya di daerah ketiak, atau lipat paha membengkak dan terasa sedikit nyeri. Ini akibat aktivitas sistem kekebalan tubuh yang menerima vaksin tersebut.

2) Reaction related to properties of vaccine atau reaksi terhadap sifat – sifat yang dimiliki oleh vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja reaksi terhadap bahan campuran vaksin. Reaksi

ini biasanya berupa pembengkakan, kemerahan, demam (misalnya terhadap vaksin campak, biasanya akan normal kembali dalam satu hari).

3) Coincidental atau koinsidensi. Koinsidensi adalah dua kejadian secara bersama tanpa adanya hubungan satu sama lain. Ketika anak menerima imunisasi, sebenarnya dia sudah dalam keadaan masa perjalanan penyakit yang sama atau penyakit lain (masa tunas) yang tidak ada hubungannya dengan vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja, anak sedang dalam perjalanan mau sakit batuk pilek atau diare bahkan seringkali penyakit akut yang lebih serius disertai demam.

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.

Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik,

bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin (Ranuh dkk, 2011).

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors)

(Ranuh dkk, 2011). b. Penyebab

KN PP KIPI membagi penyebab Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) menjadi lima kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:

1) Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors) Sebagian kasus Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

b) Lokasi dan cara menyuntik

c) Sterilisasi semprit dan jarum suntik d) Jarum bekas pakai

e) Tindakan aseptik dan antiseptik

f) Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik g) Penyimpanan vaksin

h) Pemakaian sisa vaksin

i) Jenis dan jumlah pelarut vaksin

j) Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berulang pada petugas yang sama.

2) Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.

3) Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya

ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai kontra indikasi, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

4) Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

5) Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

c. Angka kejadian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi

(Marmi dan Rahardjo, 2012).

d. Gejala klinis Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Gejala klinis Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) terjadi makin cepat gejalanya (Proverawati dan Andhini, 2010).

Tabel 2.1 Gejala Klinis Reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Gejala Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Lokal Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-it is

Sistem Saraf Pusat Kelumpuhan akut Ensefalopati Ensefalitis Meningitis Kejang

Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema Reaksi anafilaksis Syok anafilaksis Artralgia Demam tinggi >38,5°C Episode hipotensif-hiporesponsif Osteomielitis

Menangis menjerit yang terus menerus (3 jam)

Sindrom syok septik Sumber : Artikel Fakultas Kedokteran UNAIR (2006).

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis (Proverawati dan Andhini, 2010). e. Kelompok resiko

Menurut (Marmi dan Rahardjo, 2012), untuk mengurangi resiko timbulnya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah:

1) Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) setempat dan KN PP Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi (KIPI) dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera

2) Bayi berat lahir rendah

Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah: a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah

dari pada bayi cukup bulan

b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsA c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin

polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melalui tinja.

3) Pasien imunokompromais

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu

pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

4) Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin

Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

B. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Modifikasi Notoatmodjo (2010) dan Sugiyono (2012 ) Tingkat pengetahuan : 1. Tahu (know) 2. Memehami (comprehention) 3. Analisis (analysis) 4. Aplikasi (application) 5. Sintesis (sinthesis) 6. Evaluasi (evaluation) Pengetahuan

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan : Faktor Internal 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Umur Faktor Eksternal 1. Faktor lingkungan 2. Sosial budaya

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) 1. Pengertian 2. Penyebab 3. Gejala klinis 4. Kelompok resiko

C. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Modifikasi Notoatmodjo (2010) dan Sugiyono (2012) Tingkat pengetahuan ibu

tentang Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan : Faktor Internal 4. Pendidikan 5. Pekerjaan 6. Umur Faktor Eksternal 3. Faktor lingkungan 4. Sosial budaya Cukup Baik Kurang

25 A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau diskripsi suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2010). Kuantitatif (data numerik) adalah data penelitian yang berupa bilangan atau angka-angka (Sunyoto, 2011). Metode penelitian menggunakan pendekatan cross sectional yaitu penelitian pada beberapa populasi yang diamati pada waktu yang sama (Hidayat, 2007). Penelitian yang akan dilakukan menggambarkan pengetahuan ibu tentang kejadian ikutan pasca imunisasi pada tingkat baik, cukup dan kurang.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau lokasi penelitian tersebut akan dilakukan. Lokasi ini sekaligus membatasi ruang lingkup penelitan tersebut (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilaksanakan di Posyandu Kanthil Desa Jembangan, Plupuh, Sragen.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian adalah waktu penelitian tersebut dilakukan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5, 6, 10, 11, dan 13 April 2014.

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak berumur kurang dari 12 bulan di Posyandu Kanthil Desa Jembangan, Plupuh, Sragen. Populasi pada bulan April sebanyak 26 ibu.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Menurut Arikunto (2006), apabila populasi kurang dari 100 lebih baik diambil semua, tetapi jika populasi lebih dari 100 dapat diambil 10%-15% atau 20%-25% atau lebih. Karena jumlah populasi dalam penelian ini sebanyak 26 ibu, maka peneliti akan mengambil sampel total sebanyak 26 ibu.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Hidayat (2007), teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan sampling jenuh yaitu dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel.

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu pengetahuan ibu tentang Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

E. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati ketika melakukan pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena dengan menggunakan parameter yang jelas (Hidayat, 2007).

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Skala Ukur Hasil Tingkat pengetahuan ibu tentang Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi(KIPI) Kemampuan /pengetahuan ibu dalam menjawab kuesioner tentang Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Kuesioner Ordinal a. Baik, bila nilai yang diproleh (x) > mean +1 SD b. Cukup, bila nilai mean – 1 SD < x < mean + 1 SD c. Kurang, bila nilai responden yang diperoleh (x) < mean – 1 SD

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpukan data (Notoatmodjo, 2010). Kuesioner adalah sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang hal-hal yang ia ketahui dan sudah disediakan jawabannya (Arikunto, 2010). Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih.

1. Kisi-kisi kuesioner

Tabel 3.2. Kisi-Kisi Kuesioner

No Indikator No. Kuesioner Jumlah

Favourable Un-favourable 1. Pengertian KIPI 1,3,8,11,17,21,23,24, 25,27 2,4,9,10,12, 22,28,29 18 2. Penyebab KIPI 5,6,7,13,26,30 6

3. Gejala klinis KIPI 14,15,16,19 18 5

4. Kelompok resiko 20 1

Jumlah total soal 30

Keterangan: angka yang bergaris bawah menyatakan pertanyaan tidak valid. 2. Cara penilaian

Jenis pernyataan dalam kuensioner tersebut ialah favourable (+) yaitu pernyataan positif yang sesuai dengan teori, jika dijawab benar mendapatkan skor 1, jika dijawab salah mendapatkan skor 0. Dan pernyataan un-favourable (-) yaitu pernyataan negative yang tidak sesuai dengan teori, jika dijawab salah maka mendapatkan skor 1, jika dijawab benar mendapatkan skor 0. Pengisian kuisioner tersebut dengan memberi tanda (√) pada jawaban yang dianggap benar.

Untuk mengetahui kuesioner untuk penelitian ini berkualitas, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap karakteristik sejenis di luar lokasi penelitian. Uji validitas dilakukan di Posyandu Desa Jabung, Plupuh, Sragen dengan 32 responden. Karena jumlah populasi terbatas, maka seluruh populasi dimasukkan sebagai sample. Untuk penelitian deskriptif pada manusia, jumlah samplenya di atas 30 subjek ( Sulistyaningsih, 2012). 1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang dapat menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrument. Sebuah instrument dilakatakan valid apabila mampu mengukur apa yang seharusnya hendak diukur (Arikunto, 2010). Penelitian ini menggunakan uji validitas dengan rumus product moment. Instrument dikatakan valid jika nilai p-value < 0,05 dan < 0,01. Penghitungan uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS 17 for

windows dengan menggunakan taraf signifikan 5%. Dengan

menggunakan oleh data SPSS (Rumus Pearson Product Moment) adalah:

r

xy

=

Keterangan :

N : Jumlah responden

rxy : Koefisien skorelasi product moment x : Skor pertanyaan

y : Skor total

Setelah dilakukan uji validitas di posyandu desa Jabung terhadap 32 ibu dengan jumlah 30 pernyataan didapatkan 27 pernyataan valid dan 3 pernyataan tidak valid yaitu no 24, no 29, dan no 30 kemudian ke tiga soal tersebut tidak digunakan.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas menunjukkan bahwa kuesioner tersebut konsisten

apabila digunakan untuk mengukur gejala yang sama. Pengujian reliabilitas instrument dilakukan secara eksternal maupun

internal. Secara eksternal pengujian dapat dilakukan dengan test-retest (stability), yaitu dengan cara mengulang beberapa kali uji instrument. Secara internal reliabilitas instrument dapat diuji dengan split half yaitu dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrument sesuai dengan data yang dikumpulkan (Suyanto dan Salamah, 2008). Instrumen dikatakan reliabel bila nilai reliabelitas seluruh instrumenya > 0,7 (Riwidikdo, 2010).

Untuk menguji reliabilitas instrument peneliti menggunakan Alpha Chronbach dengan bantuan Komputer SPSS for windows (Riwidikdo, 2010).

Rumus Alpha Chronbach adalah sebagai berikut : r11 =

Keterangan :

r11 = Reliabilitas Instrument

∑Si2

= Jumlah varian butir Si2 = Varians Total

Setelah dilakukan uji coba instrumen didapatkan nilai Alpha Chronbach sebesar 0,919, sehingga instrumen dikatakan reliable.

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan data yang akan dilakukan dalam penelitian Hidayat (2007). Cara pengumpulan data akan dilakukan dengan cara memberikan lembar persetujuan (informed consent) dan membagikan kuesioner pada ibu yang membawa anaknya datang ke Posyandu Kanthil desa

Dokumen terkait