5.1.1 Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) pada Media Kultur
Hasil analisa kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. selama penelitian menunjukkan adanya penurunan. Kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan hasil analisa rata-rata kandungan logam berat timbal (Pb) pada air media kultur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.
Perlakuan Awal Akhir Awal-Akhir Persentase (%) C (Skeletonema sp. 0,9 ppm) 0,233 0,010 0,223 96 D (Chaetoceros sp. 0,9 ppm) 2,075 1,284 0,791 38
Berdasarkan tabel tersebut diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan kandungan Pb pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb selama 24 jam. Penurunan konsentrasi Pb pada media kultur Skeletonema sp. (96%) lebih besar dari pada media kultur Chaetoceros sp. (38%).
5.1.2 Pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.
Pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. diamati melalui penghitungan kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. setiap hari
selama tujuh hari. Kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut ini.
Tabel 2. Kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. selama penelitian
Perlakuan
Kepadatan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. (105 sel/ml) pada Hari ke-
0 1 2 3 4 5 6 7 A 6,00 3,5 17,18 46,53 22,15 9,50 27,18 18,43 B 6,00 4,75 6,38 8,38 6,88 6,25 4,88 5,50 C 6,00 3,23 3,73 10,38 13,85 9,50 15,50 10,13 D 6,00 2,75 2,13 5,50 5,38 5,50 6,38 2,63
Gambar 5. Grafik kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. pada konsentrasi 0 ppm dan 0,9 ppm selama penelitian
Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa secara umum, pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. pada semua perlakuan, baik tanpa pemberian Pb maupun dengan pemberian Pb, mengikuti grafik pola umum pertumbuhan fitoplankon.
Pada fase adaptasi, terdapat perbedaan pola adaptasi antara Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B) bila dibandingkan dengan
A (Skeletonema sp. 0 ppm) B (Chaetoceros sp. 0 ppm) C (Skeletonema sp. 0,9 ppm) D (Chaetoceros sp. 0,9 ppm)
Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. dengan pemberian Pb (C dan D). Pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), fase adaptasi berlangsung lebih cepat bila dibandingkan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb (C dan D). Hal ini dapat dilihat pada grafik, bahwa Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), grafiknya mengalami penurunan kepadatan hanya sampai hari pertama. Selanjutnya, pada hari kedua, sudah mengalami kenaikan kepadatan sel. Sedangkan pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb (C dan D), penurunan grafik pada fase adaptasi terjadi lebih lama, yaitu sampai hari kedua. Kepadatan fitoplankton Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. baru mengalami peningkatan pada hari ketiga.
Pada fase eksponensial juga terjadi perbedaan pola grafik, antara Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B) bila dibandingkan dengan yang diberi Pb (C dan D). Pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), fase eksponensial terjadi dengan peningkatan grafik yang tajam terus menerus selama 2 hari. Hal ini berbeda dengan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb (C dan D). Skeletonema sp. yang diberi Pb (C), fase eksponensialnya juga terjadi selama 2 hari (hari ke-3 dan ke-4), namun dengan peningkatan grafik tidak terlalu tajam (artinya penambahan kepadatan sel tidak banyak). Pada Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), fase eksponensial berlangsung lebih singkat, hanya 1 hari (pada hari ke-3).
Puncak pertumbuhan pada masing-masing perlakuan juga mengalami perbedaan. Skeletonema sp. tanpa pemberian Pb (A), mencapai puncak populasi
pada hari ke-3 dengan kepadatan 46,53 x 105 sel/ml. Skeletonema sp. yang diberi Pb (C) mengalami puncak populasi lebih lambat, yaitu pada hari ke-4, dengan kepadatan 13,85 x 105 sel/ml. Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (B) mengalami puncak populasi pada hari ke-3 dengan kepadatan 8,38 x 105 sel/ml. Sedangkan Chaetoceros sp. dengan pemberian Pb (D) mengalami fase perlambatan pertumbuhan (hari ke-4 dan 5), sebelum akhirnya mencapai puncak populasi pada hari ke-6 dengan kepadatan 6,38 x 105 sel/ml (lebih rendah dari Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (B)).
Setelah mengalami puncak pertumbuhan populasi, Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. pada semua perlakuan, mengalami penurunan pertumbuhan. Skeletonema sp. yang tidak diberi Pb (A) maupun yang diberi Pb (C), mengalami pola yang sama yaitu setelah penurunan pada hari ke-5, grafik mengalami peningkatan lagi pada hari ke-6 dan selanjutnya menurun lagi pada hari ke-7. Sedangkan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (B) mengalami penurunan pertumbuhan sampai hari ke-6, setelah mencapai puncak populasi dan selanjutnya meningkat lagi pada hari ke-7. Sementara itu, Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D) mengalami penurunan pada hari ke-7 setelah mencapai puncak pada hari ke-6.
5.1.3 Kualitas Air
Data kualitas air media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian pada semua perlakuan dapat dilihat secara keseluruhan pada Lampiran 4. Sedangkan kisaran rata-rata pengukuran kualitas air ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengukuran kualitas air media kultur selama penelitian Parameter Kisaran Suhu (0C) 28 – 33 Salinitas (ppt) 24 – 35 pH 8 – 9 DO (mg/L) 5
Hasil pengukuran kualitas air pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. menunjukkan kisaran suhu antara 280C hingga 330C. Salinitas selama penelitian berkisar antara 24 ppt hingga 35 ppt. Nilai pH pada keseluruhan media kultur mencapai nilai 8 hingga 9, dan kandungan oksigen terlarut (DO) sebesar 5 mg/L.
5.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. terdapat penurunan kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur fitoplankton tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. memiliki kemampuan menyerap logam berat timbal (Pb) pada perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rudiyanti (2011) yang menyatakan bahwa fitoplankton efektif menyerap beberapa senyawa beracun dan meningkatkan oksigen terlarut karena aktivitas fotosintesis.
Bila kemampuan kedua fitoplankton tersebut dibandingkan, Skeletonema sp. memiliki kemampuan menyerap logam berat timbal (Pb) lebih baik dari pada Chaetoceros sp., dimana persentase penurunan kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. (96%) lebih tinggi dibandingkan dengan Chaetoceros sp. (38%). Hal ini diduga karena Skeletonema sp. memiliki
kandungan protein yang lebih tinggi dari pada Chaetoceros sp. sesuai dengan pendapat (Sutikno dkk., 2010) yang menyatakan bahwa Skeletonema sp. adalah salah satu fitoplankton yang berkadar protein tinggi kurang lebih 50%, memiliki kandungan yang dapat memacu pertumbuhan (growth factor) dan sangat bagus bagi ikan maupun udang, selain hal tersebut fitoplankton ini dapat diproduksi secara masal pada bak terkendali maupun di tambak. Erlina dkk., (2004) juga menyatakan bahwa kandungan nutritif Skeletonema costatum mencapai protein 37 %, lemak 7 %, dan karbohidrat 21 %. sedangkan menurut Basyar dkk., (2009) kandungan nutrisi Chaetoceros sp. adalah kalori 16,2%, protein 27,68%, karbohidrat 23,20%, lipid 9,29%, vitamin C 1,60% dan klorofil a 1,04%.
Semakin tinggi kandungan protein yang dimiliki oleh fitoplankton semakin baik kemampuannya dalam menyerap logam berat karena protein terusun atas gugus karboksil (-COOH) yang mampu berikatan baik dengan ion logam berat sesuai yang dinyatakan oleh Buhani (2002) dalam Sembiring dkk., (2009) menyatakan bahwa gugus fungsional utama yang bertindak sebagai ligan yaitu –COOH yang merupakan penyusun utama dari polisakarida dan gugus amina sebagai penyusun pektin dan protein pada Nannocloropsis sp. yang mampu berikatan dengan baik pada ion logam seperti Cu, Pb dan Cd.
Penurunan kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. menunjukkan bahwa dua species fitoplankton tersebut memiliki kemampuan yang dalam menyerap logam berat timbal (Pb) meskipun kemampuan yang dimiliki kedua fitoplankton tersebut berbeda, sehingga Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. dapat dijadikan agen
bioremediasi terhadap logam berat timbal (Pb). Hal ini sesuai dengan pendapat Munir (2008) yang menyatakan bahwa mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, yeast dan alga.
Pola grafik pertumbuhan fitoplankton pada semua perlakuan secara umum mengikuti grafik pola umum pertumbuhan fitoplankton. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. baik yang diberi Pb (C dan D) maupun tidak diberi Pb (A dan B), dapat beradaptasi dan mengalami pertumbuhan pada perlakuan penelitian ini, walaupun dengan reaksi yang berbeda. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) ada empat fase pertumbuhan fitoplankton yaitu fase istirahat, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian.
Pada fase adaptasi, perbedaan pola grafik akibat perlakuan, menunjukkan bahwa perlakuan pemberian Pb telah mempengaruhi fisiologi Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), fase adaptasinya berlangsung lebih cepat (1 hari) bila dibandingkan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb (C dan D) (2 hari). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian Pb mempengaruhi fisiologi kedua fitoplankton tersebut, sehingga metabolisme terjadi lebih lama dan membutuhkan waktu adaptasi lebih lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Davila (1995) dalam Hala dkk., (2004) bahwa kondisi medium dengan penambahan ion logam dengan konsentrasi yang meningkat dapat mengakibatkan kemampuan aklimatisasi fitoplankton menurun. Hal ini diperparah dengan semakin bertambahnya jumlah fitoplankton yang mati dan kemudian mengendap ke dasar medium akan
menyebabkan kebutuhan akan oksigen terlarut lebih besar. Bahan organik mati dalam bentuk biomassa fitoplankton tersebut, akan berperan sebagai kompetitor baru dalam penggunaan oksigen terlarut di dalam lingkungan medium pertumbuhan.
Fase eksponensial pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), terjadi dengan peningkatan grafik yang tajam terus menerus selama 2 hari, berbeda dengan fitoplankton yang diberi Pb (C dan D). Hal ini dapat terjadi karena, dengan tidak adanya penambahan Pb pada media, maka gangguan akibat logam berat tidak terjadi, sehingga pertumbuhan dapat berlangsung normal dan optimal. Hal ini berbeda dengan Skeletonema sp. yang diberi Pb (C), fase eksponensialnya juga terjadi selama 2 hari (hari 3 dan ke-4), namun dengan peningkatan grafik tidak terlalu tajam bila dibandingkan dengan Skeletonema sp. tanpa Pb (A). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tidak secepat fitoplankton yang tidak diberi Pb (A dan B). Sedangkan pada Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), fase eksponensial berlangsung lebih singkat, hanya 1 hari (pada hari ke-3), selanjutnya mengalami penurunan pertumbuhan. Menurut Roitz (2002 et al. 2002) dalam Djumanto (2009) pertumbuhan fitoplankton secara kasar dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu singkat dengan produktivitasnya meledak sangat pesat dan panjang dengan masa pertumbuhan sangat lambat.
Puncak pertumbuhan pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang tidak diberi Pb (A dan B) terjadi pada kepadatan populasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi perlakuan. Hal ini semakin mendukung hasil
penelitian bahwa baik pada Skeletonema sp. maupun Chaetoceros sp., pemberian Pb pada konsentrasi 0,9 ppm mengganggu pertumbuhan fitoplankton tersebut.
Pada semua perlakuan kecuali Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), setelah terjadi penurunan populasi, selanjutnya terjadi peningkatan populasi kembali. Hal ini diduga karena terjadi penambahan nutrien hasil dekomposisi fitoplankton yang mati pada fase adaptasi, sehingga mendukung ketersediaan nutrisi bagi pertumbuhan fitoplankton. Sedangkan pada Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), belum diketahui apakah akan terjadi peningkatan pertumbuhan setelah terjadi penurunan, sebab penurunan baru terjadi 1 hari dan penelitian telah selesai. Puncak pertumbuhan yang tercapai lebih lambat dibandingkan perlakuan yang lain, menyebabkan diperlukan waktu tambahan bila ingin mengetahui pola pertumbuhan selanjutnya. Menurut Nayar (2004) dalam Hala dkk., (2004) walaupun kondisi nutrien dalam medium masih mencukupi, namun adanya logam berat dapat mengganggu pertumbuhan suatu fitoplankton.
Bila dilihat secara keseluruhan, Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), mengalami keterlambatan fase-fase pertumbuhan bila dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Hala dkk., (2012) yang menyatakan bahwa tampak tren pertumbuhan C. calcitrans yang menurun seiring dengan lamanya waktu kontak dengan logam. Hal ini mengindikasikan bahwa toksisitas ion Pb2+ dan Zn2+ cukup tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan C. calcitrans. Pemaparan campuran logam menunjukkan tren penurunan populasi, dimana penambahan logam pada kisaran tertentu mengakibatkan penurunan kerapatan sel.
Pertumbuhan Skeletonema sp. tanpa pemberian Pb (A) lebih optimal dibandingkan dengan pertumbuhan Skeletonema sp. yang diberi Pb (C). Hal ini diduga bahwa adanya logam berat timbal (Pb) berpengaruh pada pertumbuhan Skeletonema sp. sesuai yang dinyatakan oleh Scarano and Morelli (2002) dalam Singh and Tripathi (2007) bahwa terdapat kompleks metal PCn atau kompleks fitokelatin dan logam yang teridentifikasi pada Phaeodactylum tricornutum dengan perlakuan logam berat Cd atau Pb (10µM) selama 6 jam.
Analisa kualitas air selama penelitian meliputi suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut (DO). Hasil pengukuran suhu selama penelitian dari hari pertama hingga hari terakhir menunjukkan bahwa suhu air media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. berkisar antara 280C hingga 330C. Rata-rata keseluruhan pengukuran suhu pada air media kultur dapat dilihat pada Tabel 3. Suhu merupakan salah satu variabel lingkungan yang mempengaruhi laju fotosintesis dan pertumbuhan mikroalga. Suhu di perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses-proses kimia dalam tubuh mikroalga. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu (Fogg 1975) dalam (Ermayanti, 2011). Pada penelitian ini, suhu yang terjadi pada media kultur masih dapat ditolerir oleh Chaetoceros sp. Menurut Rahmadiani (2013) Chaetoceros sp. mudah dipelihara dan memiliki pertumbuhan lebih cepat dibanding jenis lain, selain itu juga memiliki sifat toleran terhadap suhu tinggi yaitu 400C (eurytermal). Menurut Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) Chaetoceros sp. toleran terhadap suhu air yang tinggi. Alga ini akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 250C – 300C dan masih dapat tumbuh pada suhu 370C. Menurut
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) Skeletonema costatum merupakan diatom yang bersifat eurythermal, yang mampu tumbuh pada kisaran suhu 30 - 300C.
Hasil pengukuran salinitas selama penelitian menunjukkan bahwa salinitas pada air media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. berkisar antara 24 ppt hingga 35 ppt. Terjadinya peningkatan salinitas dari awal hingga akhir penelitian, diakibatkan perjadinya penguapan air media. Bila dibandingkan dengan referensi tentang salinitas optimal untuk pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. maka salinitas yang terjadi pada penelitian ini lebih tinggi dibanding salinitas optimal untuk kedua fitoplankton tersebut. Namun demikian, kedua fitoplankton tersebut masih dapat tumbuh dengan pola pertumbuhan yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa kedua fitoplankton masih dapat mentolerir perbedaan salinitas ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa S.costatum merupakan diatom yang bersifat euryhalin dengan nilai salinitas 20-30 0/00 merupakan kisaran yang baik untuk pertumbuhan, dan optimal pada 25-290/00, namun dapat bertahan hidup hingga 40 0/00. Menurut Rahmadiani (2013) Chaetoceros sp. dapat hidup pada salinitas antara 6-50 ‰ (euryhalin). Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menambahkan bahwa Chaetoceros memiliki toleransi terhadap kisaran salinitas sangat luas yaitu 6 – 50 permil, sedangkan kisaran salinitas 17 – 25 permil merupakan salinitas optimal untuk pertumbuhannya.
Hasil pengukuran pH selama penelitian menunjukkan bahwa nilai pH air media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. berkisar antara 8 hingga 9. Derajat keasaman (pH) merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kultur
mikroalga. Mikroalga memerlukan pH antara 7-8,5 untuk pertumbuhan optimum (Najmushabah 2004 dalam Wijaksono 2008) dalam (Ermayanti, 2011). Lee, 1995) dalam Armanda (2013) juga menyatakan bahwa salah satu kondisi optimum pertumbuhan Skeletonema costatum adalah pH 7-8. Kurniawati (2006) menyatakan bahwa salah satu kondisi kultur Chaetoceros amami yang digunakan selama penelitian adalah pH 8±1.
Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) selama penelitian menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut pada air media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. adalah 5 mg/L. Nilai kandungan oksigen terlarut ini tergolong dalam nilai optimal untuk pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. Hal ini sesuai dengan kisaran oksigen terlarut pada penelitian yang dilakukan oleh Rudiyanti (2011) tentang pertumbuhan Skeletonema costatum yaitu 2,75-5,24 mg/L. Menurut Boyd (1982) dalam Rudiyanti (2011) kisaran oksigen terlarut yang baik adalah 1-5 mg/L.
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air selama penelitian yang masih dalam batas optimal dan ditolerir oleh Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp., maka diduga bahwa tidak ada gangguan akibat kualitas air yang tidak sesuai, yang mempengaruhi hasil penelitian.
VI KESIMPULAN DAN SARAN