• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PERBANDINGAN KEMAMPUAN Skeletonema sp. DAN Chaetoceros sp. SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI (FITO-AKUMULASI) TERHADAP LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI PERBANDINGAN KEMAMPUAN Skeletonema sp. DAN Chaetoceros sp. SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI (FITO-AKUMULASI) TERHADAP LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

STUDI PERBANDINGAN KEMAMPUAN Skeletonema sp. DAN Chaetoceros sp. SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI

(FITO-AKUMULASI) TERHADAP LOGAM BERAT TIMBAL (Pb)

Oleh:

DITA WISUDYAWATI SURABAYA - JAWA TIMUR

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

SKRIPSI

STUDI PERBANDINGAN KEMAMPUAN Skeletonema sp. DAN Chaetoceros sp. SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI

(FITO-AKUMULASI) TERHADAP LOGAM BERAT TIMBAL (Pb)

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga

Oleh :

DITA WISUDYAWATI NIM. 141011052

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama Pembimbing Serta

(3)

SKRIPSI

STUDI PERBANDINGAN KEMAMPUAN Skeletonema sp. DAN Chaetoceros sp. SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI

(FITO-AKUMULASI) TERHADAP LOGAM BERAT TIMBAL (Pb)

Oleh :

DITA WISUDYAWATI NIM. 141011052 Telah diujikan pada

Tanggal : 25 Juni 2014

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Boedi Setya Rahardja, Ir., MP. Anggota : Abdul Manan, S.Pi., M.Si.

Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. Moch. Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D.

Surabaya, 11 Juli 2014 Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga Dekan,

(4)

RINGKASAN

DITA WISUDYAWATI. Studi Perbandingan Kemampuan Skeletonema sp.

dan Chaetoceros sp. sebagai Agen Bioremediasi (Fito-Akumulasi) terhadap

Logam Berat Timbal (Pb). Dosen Pembimbing Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. dan Moch. Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D.

Logam berat adalah jenis bahan pencemar yang berbahaya, bersifat toksik dan dapat mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi buruk serta berpengaruh pada sumberdaya hayati perairan karena sifat logam berat yang akumulatif pada tubuh biota. Adanya fenomena alam misalnya erosi dan banjir, atau akibat perbuatan manusia seperti pembuangan limbah ke perairan, dapat mempengaruhi konsentrasi terlarut bahan-bahan tertentu seperti logam berat timbal. Logam berat berbahaya terhadap organisme dan kesehatan manusia. Salah satu upaya mengatasi pencemaran logam berat timbal di perairan adalah bioremediasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kemampuan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. sebagai agen bioremediasi terhadap logam berat timbal (Pb). Metode penelitian adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) sebagai rancangan percobaan. Perlakuan yang digunakan adalah A (Skeletonema sp. 0 ppm), B (Chaetoceros sp. 0 ppm), C (Skeletonema sp. 0,9 ppm) dan D (Chaetoceros sp. 0,9 ppm) masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Parameter utama yang diamati adalah kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur dan kepadatan fitoplankton. Parameter penunjang yang diamati adalah kualitas air yang terdiri dari suhu, salinitas, pH dan DO (dissolved oxygen).

(5)

SUMMARY

DITA WISUDYAWATI. Comparison Study of Skeletonema sp. and Chaetoceros sp. Abilities as Bioremediation (Phyto-Accumulation) Agent of

Lead (Pb). Academic Advisors Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. and Moch. Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D.

Heavy metal is a kind of pollutant that is dangerous, toxic and able to make the environment condition harmful and affect to the aquatic creatures of water because the characteristic of heavy metal is able to be accumulated inside the creatures. The existence of phenomenon such as flood or human errors such as litter waste to the water, can affect the concentration of suspension materials such as lead. Heavy metal is harmful for organisms and human health. One of efforts to handle heavy metal pollution in water is bioremediation.

This research aimed to understand the abilities comparison of Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. as bioremediation agent of lead (Pb). Research method was experimental research with Random Complete Design as the research design. The treatments were A (Skeletonema sp. 0 ppm), B (Chaetoceros sp. 0 ppm), C (Skeletonema sp. 0.9 ppm) and D (Chaetoceros sp. 0.9 ppm) each treatment was repeated for 5 times. The main parameter which was observed was the content of lead (Pb) in culture media and the density of phytoplanktons. The supported parameters which were observed were water qualities namely temperature, salinity, pH and dissolved oxygen (DO).

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi tentang Studi Perbandingan Kemampuan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. sebagai Agen Bioremediasi (Fito-Akumulasi) terhadap Logam Berat Timbal (Pb). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Skripsi ini lebih lanjut. Akhirnya penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi kepada semua pihak, khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan, terutama budidaya perairan.

Surabaya, 22 Mei 2014

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini banyak melibatkan orang-orang yang sangat berjasa bagi penulis. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat serta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Sri Subekti, drh., DEA. selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga.

2. Bapak Prof. Dr. Hari Suprapto, Ir., M.Agr, selaku Dosen Wali yang telah membimbing dan mengarahkan dalam hal akademik selama menjadi mahasiswa Budidaya Perairan.

3. Ibu Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. dan Bapak Moch. Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D., selaku pembimbing Skripsi atas bimbingannya dalam penyelesaian Skripsi ini.

4. Bapak Boedi Setya Rahardja, Ir., MP., Bapak Sapto Andriyono, S.Pi., MT., dan Bapak Abdul Manan, S.Pi., M.Si. selaku Dosen Penguji Skripsi 5. Bapak Agustono Ir., M.Kes. selaku koordinator Skripsi.

6. Orang tua tersayang, Ayah Aditya Afianto dan Mama Wiwik Herawaty serta Adik Yunita Anggraini yang selalu memberikan doa dan dukungan baik secara moril maupun materi.

7. Seluruh staff pengajar Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga yang mungkin tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan selama ini.

8. Bapak Sigit, Bapak Slamet, Bapak Darto, Mbak Irma, Mbak Dini, Mbak Nita dan seluruh staff kependidikan dan kemahasiswaan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga atas segala bantuannya. 9. Perpustakaan Pusat Universitas Airlangga dan seluruh staff perpustakaan. 10.Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya Malang.

(8)

12.Ibu Sus selaku laboran Laboratorium Pakan Alami BBAP Situbondo dan Ibu Nur selaku laboran Laboratorium Pakan Alami BBPBAP Jepara serta seluruh staff laboratorium.

13.Bapak Tahta selaku laboran Perum Jasa Tirta I Malang serta seluruh staff laboratorium dan administrasi.

14.Bapak Santoso selaku laboran Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya serta seluruh staff laboratorium dan administrasi.

15.Staff pengajar Fakultas Kedokteran Hewan dan staff pengajar Jurusan Biologi serta Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. 16.Teman dan sahabat terdekat saya: Siti Arifah, Rikky Leonard, Ardhito

Himawan, Slamet Andriawan, Andy Pramana, Gantheng Wicaksono, Dyo Maliki Hakim, Ayu Lana N., Kiki Syaputri, Ully Tria P., Lingga Danu F., Rachmat Santoso, R. Ahmad B, Rizky Fadila, Binti Rumiyati, Dyah Ayu U., Gantri G., Deriva Kalsasin, Indra Mahardika, Suci Dwi P.A., Hutami M, Seta Praba, Didya S., Mega P., Farah S.D., Ajeng K., Harini C.P., Reza Septian, Akbar Falah, M. Syaiful R., Mbak Hesty, Mbak Mami, Mbak Alvia, Mbak Yoyo, Mas Antok, Mas Sulung, Mas Farid, Dek Merdeka, Dek Firda, Emma dan Ika (FST), Firda, Lady dan Febi (UB), atas bantuan dalam hal info, data, pengoreksian dan telah banyak menerima keluh kesah serta memberikan saran dan kontribusi yang baik selama kegiatan Skripsi. 17.Teman-teman seperjuangan di Budidaya Perairan angkatan 2010

(PIRANHA) yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang tiada henti.

(9)

DAFTAR ISI

2.1.1 Klasifikasi Skeletonema sp ... 5

2.1.2 Morfologi Skeletonema sp ... 5

2.1.3 Habitat Skeletonema sp ... 6

2.1.4 Kandungan Skeletonema sp. ... 6

2.2 Chaetoceros sp ... 6

2.2.1 Klasifikasi Chaetoceros sp ... 6

2.2.2 Morfologi Chaetoceros sp ... 7

2.2.3 Habitat Chaetoceros sp ... 8

2.2.4 Kandungan Chaetoceros sp ... 8

2.3 Bioremediasi ... 8

2.3.1 Arti Bioremediasi ... 8

(10)

2.3.3 Mekanisme Bioremediasi... 9

2.4 Logam Berat ... 10

2.4.1 Karakteristik Timbal (Pb) ... 11

2.4.2 Sumber Kontaminasi Timbal (Pb) ... 11

2.4.3 Pengaruh Timbal (Pb) di Perairan... 12

2.5 Peranan Fitoplankton dalam Bioremediasi ... 12

III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS ... 14

4.4.2 Persiapan Stok Fitoplankton ... 20

4.4.3 Penghitungan Larutan Stok Timbal (Pb) ... 20

4.4.4 Perlakuan... 21

4.4.5 Parameter Pengamatan ... 22

(11)

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

6.1 Kesimpulan ... 36

6.2 Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rata-rata kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur

Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. ... 24 2. Kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. selama

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skeletonema sp.. ... 5

2. Chaetoceros sp. ... 7

3. Bagan kerangka konseptual penelitian ... 15

4. Diagram alir penelitian ... 23

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil analisa kandungan timbal (Pb) di laboratorium ... 41

2. Data kandungan timbal (Pb) pada media kultur ... 43

3. Data kepadatan fitoplankton harian selama 7 hari (105 sel/ml) ... 44

4. Data kualitas air media kultur fitoplankton selama 7 hari ... 45

5. Alat dan Bahan penelitian ... 46

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Logam berat adalah jenis bahan pencemar yang saat ini berbahaya, bersifat toksik dan jumlahnya sudah cukup mengkhawatirkan. Logam berat dapat mempengaruhi kualitas air sehingga mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi buruk dan berpengaruh pada sumberdaya hayati perairan karena sifat logam berat yang akumulatif pada tubuh biota (Sarjono, 2009).

Parawita dkk. (2009) menyatakan bahwa konsentrasi mineral dan parameter kualitas air di perairan berada pada kisaran tertentu. Adanya masukan baru akibat fenomena alam misalnya erosi dan banjir, atau akibat perbuatan manusia seperti pembuangan limbah ke perairan, dapat mempengaruhi konsentrasi terlarut bahan-bahan tertentu seperti logam berat timbal.

Timbal pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Timbal relatif dapat larut dalam air dengan pH lebih kecil dari 5 dimana air yang bersentuhan dengan timbal dalam suatu periode waktu dapat mengandung lebih

besar dari 1 μg Pb/l (Effendy, 2003) dalam (Sarjono, 2009).

(16)

Beberapa kajian mengenai toksisitas logam berat menunjukkan bahwa logam berat berbahaya terhadap organisme dan kesehatan manusia. Logam berat dengan konsentrasi tinggi dapat membunuh organisme yang tidak toleran dalam waktu yang singkat, sedangkan logam berat dengan konsentrasi rendah dapat mengganggu proses fisiologi atau metabolisme dan merusak organ-organ hewan. Logam berat dapat terakumulasi pada jaringan organisme melalui rantai makanan dalam ekosistem air pada waktu yang lama, kondisi seperti ini dikenal dengan bioakumulasi. Pemangsa puncak dalam rantai makanan biasanya mengakumulasi konsentrasi bahan pencemar yang paling tinggi. Apabila hewan-hewan seperti ikan, siput, remis dikonsumsi oleh manusia, maka logam berat yang terakumulasi tersebut dapat mengancam kesehatan manusia (Birry dan Meutia, 2012).

Salah satu upaya mengatasi pencemaran logam berat timbal di perairan adalah bioremediasi. Menurut Munir (2008) bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran.

(17)

selama 15 hari ke dalam masing-masing erlenmeyer yang mengandung C.calcitrans setelah pertumbuhan optimum dicapai.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardhany (2010) kemampuan Nannochloropsis sp. sebagai agen bioremediasi terhadap logam berat timbal diperoleh paling efektif pada perlakuan 0,9 ppm. Berdasarkan hasil penelitian Hardianie dan Nisak (2013) yang sudah melakukan penelitian serupa menggunakan species Nannochloropsis sp., Spirulina sp. dan Chlorella sp. sebagai agen bioremediasi terhadap logam berat timbal diperoleh penurunan persentase konsentrasi logam berat timbal setelah perlakuan selama 24 jam. Atas dasar hasil penelitian tersebut maka penelitian tentang Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. sebagai agen bioremediasi terhadap timbal dilakukan untuk

mengetahui efektifitas fitoplankton tersebut dibanding beberapa jenis fitoplankton lain yang telah dicoba.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. sebagai agen bioremediasi (fito-akumulasi) terhadap logam berat timbal (Pb)?

(18)

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perbandingan kemampuan Skeletonema sp. dan

Chaetoceros sp. sebagai agen bioremediasi (fito-akumulasi) terhadap

logam berat timbal (Pb).

2. Untuk mengetahui kemampuan pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. pada media yang tercemar logam berat timbal (Pb).

1.4 Manfaat

(19)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skeletonema sp.

2.1.1 Klasifikasi Skeletonema sp.

Menurut ( Hoek, et al., 1998) dalam Armanda (2013) klasifikasi Skeletonema sp. adalah sebagai berikut :

Filum : Heterokontophyta Kelas : Bacillariophyceae Ordo : Centrales

Genus : Skeletonema Spesies : Skeletonema sp.

Gambar 1. Skeletonema sp. Sumber : http://cfb.unh.edu/phycokey

2.1.2 Morfologi Skeletonema sp.

Skeletonema sp. memiliki diameter sel berukuran 4 hingga 12 µm.

(20)

Skeletonema sp. ditandai dengan sel silinder dengan bentuk cincin perifer

tubular, fultoportula, yang tegak lurus menuju katup, berhubungan dengan katup yang berkaitan untuk membentuk koloni memanjang (Zingone et al., 2005).

2.1.3 Habitat Skeletonema sp.

Naik et al. (2010) menyatakan bahwa Skeletonema sp. memiliki kisaran geografis yang luas, baik pada perairan beriklim sedang maupun tropis. Rudiyanti (2011) berpendapat bahwa sebagian besar diatom sangat peka terhadap perubahan kadar garam dalam air. Kehidupan berbagai jenis fitoplankton termasuk Skeletonema sp. tergantung pada salinitas perairan.

2.1.4 Kandungan Skeletonema sp.

Skeletonema sp. adalah salah satu fitoplankton yang berkadar protein

tinggi kurang lebih 50%, memiliki kandungan yang dapat memacu pertumbuhan (growth factor) dan sangat bagus bagi ikan maupun udang, selain hal tersebut fitoplankton ini dapat diproduksi secara masal pada bak terkendali maupun di tambak (Sutikno dkk., 2010). Erlina dkk., (2004) menyatakan bahwa kandungan nutritif Skeletonema costatum mencapai protein 37 %, lemak 7 % dan karbohidrat 21 %. Menurut Das and Sarwar (1998) Skeletonema sp. mengandung protein 51,77%, lemak 20,02%, abu 5,20% dan karbohidrat 16,585%.

2.2 Chaetoceros sp.

2.2.1 Klasifikasi Chaetoceros sp.

(21)

Filum : Chrisophyta Kelas : Bacillariophyceae Ordo : Biddulphiales Famili : Chaetocerotaceae Genus : Chaetoceros Species : Chaetoceros sp.

Gambar 2. Chaetoceros sp.

Sumber : http://www.awi.de/fileadmin/user

2.2.2 Morfologi Chaetoceros sp.

Chaetoceros sp. adalah salah satu mikroalga yang berpotensi untuk

dikembangkan dan banyak terdapat di perairan Indonesia (Setyaningsih dkk., 2012). Ermayanti (2011) menyatakan bahwa Chaetoceros gracilis berbentuk sel tunggal tidak berantai dan bercangkang cembung. Ukuran Chaetoceros berkisar

2-20 μm, serta memiliki setae (alat gerak).

Menurut Lee and Lee (2011) struktur setae memanjang dari sudut permukaan yang menyerupai katup pada bagian tubuhnya. Setae ini umumnya terdiri dari setae pangkal dan setae interkalar. Menurut (Lee, 2008 dalam Setyaningsih dkk., 2012) Chaetoceros sp. termasuk diatom yang disebut golden-brown algae karena kandungan pigmen kuningnya lebih banyak dari pada pigmen

(22)

2.2.3 Habitat Chaetoceros sp.

(Lee, 2008 dalam Setyaningsih dkk., 2012) berpendapat bahwa Chaetoceros sp. hidup di perairan dingin sampai perairan panas. Rahmadiani

(2013) menambahkan bahwa Chaetoceros sp. mudah dipelihara dan memiliki pertumbuhan lebih cepat dibanding jenis lain, selain itu juga memiliki sifat toleran terhadap suhu tinggi yaitu 400C (eurytermal) dan salinitas antara 6-50 ‰ (euryhalin).

2.2.4 Kandungan Chaetoceros sp.

Kandungan nutrisi Chaetoceros sp. adalah kalori 16,2%, protein 27,68%, karbohidrat 23,20%, lipid 9,29%, vitamin C 1,60% dan klorofil a 1,04% (Basyar dkk., 2009). Menurut Das and Sarwar (1998) Chaetoceros sp. mengandung protein 58,34%, lemak 12,29%, abu 4,64% dan karbohidrat 17,39%. Ermayanti (2011) menyatakan bahwa biomassa Chaetoceros sp. juga mengandung alkaloid, terpenoid, karbohidrat, gula pereduksi dan asam amino.

2.3 Bioremediasi 2.3.1 Arti Bioremediasi

(23)

mikroorganisme sebagai agen perbaikan untuk degradasi biologis (Jamil, 2001). Menurut (Desai and Banat, 1997) dalam (Fingerman and Nagabhushanam, 2005) bioremediasi dapat didefinisikan sebagai suatu degradasi alami atau degradasi yang diperlakukan secara biologis terhadap pencemaran lingkungan.

2.3.2 Fitoremediasi dan Fito-Akumulasi

Menurut Jamil (2001) fitoremediasi adalah suatu proses bioremediasi yang menggunakan berbagai jenis tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan atau menghancurkan kontaminan (bahan pencemar) di dalam tanah maupun perairan. Ada beberapa jenis yang berbeda dalam mekanisme fitoremediasi, yaitu rizo-biodegradasi, fito-stabilisasi, fito-akumulasi, rizofiltrasi, phyto-volatilization dan fito-degradasi.

Fito-akumulasi merupakan suatu proses akar-akar tumbuhan menyerap bahan pencemar bersamaan dengan nutrien lainnya dan air. Massa bahan pencemar tidak dihancurkan namun menumpuk sedikit demi sedikit (akumulasi) pada tunas (pucuk) dan daun dari tumbuhan tersebut (Jamil, 2001).

2.3.3 Mekanisme Bioremediasi

(24)

menggunakan senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi dalam proses degradasinya.

Menurut Jamil (2001) bioremediasi terdiri atas 2 jenis yaitu bioremediasi in situ dan bioremediasi ex situ. Bioremediasi in situ adalah memberi perlakuan

(remediasi) pada air atau tanah yang terkontaminasi di lokasi tertentu. Sedangkan bioremediasi ex situ adalah suatu proses yang melibatkan pembersihan tanah atau air yang terkontaminasi ke lokasi lain sebelum perlakuan (remediasi).

2.4 Logam Berat

Logam berat didefinisikan sebagai logam yang memiliki kepadatan lebih dari 5 g/cm3. Logam berat digolongkan menjadi logam berat esensial dan logam berat non-esensial. Logam berat esensial bagi organisme seperti Cu, Zn, Co, Mn dan Mo berperan penting sebagai co-factor dalam reaksi redoks, interaksi ligan, ionisasi air selama biokatalisis, sedangkan logam berat non-esensial seperti As, Cd, Pb dan Hg tidak diperlukan oleh organisme sebaliknya logam-logam berat tersebut menganggu fungsi logam berat esensial dan enzim (Elmsley, 2001) dalam (Singh and Tripathi, 2007).

(25)

2.4.1 Karakteristik Timbal (Pb)

Timbal adalah logam berat, dengan nomor atom 82, berat atom 207,19, berat jenis 11,34, bersifat lunak dan bewarna biru keabu-abuan dengan kilau logam yang khas sesaat setelah dipotong. Kilaunya akan segera hilang dengan adanya pembentukan lapisan oksida pada permukaannya. Timbal mempunyai titik leleh 327,50C dan titik didih 1740 0C (MSDS, 2005) dalam (Fauzi, 2008).

Timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri baterai sebagai bahan yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan timbal dalam membentuk campuran (alloy) dengan logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi dalam penerapan yang luas misalnya untuk kabel listrik, konstruksi pabrik kimia dan kontainer serta memiliki kemampuan tinggi untuk mencegah korosi (Susanti, 2010).

2.4.2 Sumber Kontaminasi Timbal (Pb)

Awalina (2011) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi timbal pada tanah, air dan udara adalah pembakaran bahan bakar yang mengandung timbal, produksi logam non ferrous pyrometallurgical, baja, besi, pembakaran batubara, produksi semen dan penimbunan lumpur aktif limbah perkotaan (sewage sludge). Sekitar 96% dari semua emisi timbal berasal dari sumber antropogenik. Berbagai negara maju sudah mengurangi konsumsi bahan bakar bensin yang mengandung timbal dengan membatasi penggunaan timbal (tetraethyllead, (C2H5)4Pb) sebagai bahan aditif atau disebut sebagai gasoline

octane booster, namun beberapa negara berkembang masih menggunakan bensin

(26)

produk logam, pigmen dan bahan-bahan kimia lainnya. Menurut Susanti (2010) kandungan timbal dalam cat yang merupakan penyebab utama peningkatan kadar timbal di lingkungan.

2.4.3 Pengaruh Timbal (Pb) di Perairan

Timbal adalah logam non esensial yang harus diwaspadai keberadaannya di lingkungan akuatik karena sifat toksiknya yang tinggi terhadap organisme. Logam dan senyawa yang mengandung logam di perairan alamiah dapat berbentuk sebagai terlarut, koloid ataupun partikel tergantung pada pH, potensial reduksi oksidasi dan keberadaan species terlarut lainnya yang mampu membentuk senyawa dengan ion logam (Weiner, 2008) dalam Awalina (2011). Menurut Awalina (2011) timbal memiliki resiko yang membahayakan seperti logam berat lainnya apabila memasuki lingkungan yang mampu meningkatkan kelarutannya.

2.5 Peranan Fitoplankton dalam Bioremediasi

Fitoplankton berperan sebagai produsen primer dalam ekosistem perairan, selain itu juga berguna untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan. Fitoplankton efektif menyerap beberapa senyawa beracun dan meningkatkan oksigen terlarut karena aktivitas fotosintesis (Rudiyanti, 2011).

(27)

ion logam hingga konsentarsi yang tinggi. Upaya untuk meningkatkan kemampuan akumulasi logam oleh fitoplankton masih dapat ditingkatkan dengan mengoptimalkan peran ligan yang berfungsi dalam pengkhelatan logam sehingga tingkat keracunan logam menurun, yaitu dengan memvariasikan penambahan asam organik dan EDTA, sehingga dapat diperoleh kondisi optimal proses bioakumulasi ion logam Cd2+ dan Cr6+ oleh fitoplankton laut dengan menggunakan chelator. Fitoremediasi akan berlangsung baik pada aplikasi lapangan dengan menggunakan jenis fitoplankton yang sudah diaklimatisasi dalam kondisi akumulasi optimum.

Menurut Scarano and Morelli (2002) dalam (Singh and Tripathi, 2007) kompleks fitokelatin logam (metal-PCn) teridentifikasi pada Phaeodactylum tricornotum yang dipaparkan Cd atau Pb dengan konsentrasi 10 µM selama 6 jam

perlakuan.

(28)

III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Menurut Makkasau (2011) sebagian besar mekanisme pembersihan logam berat oleh mikrooganisme adalah proses pertukaran ion yang mirip pertukaran ion pada resin. Mekanisme pertukaran ion ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

A2+ + (B-biomassa) --> B2+ + (A-biomassa)

Menurut Onrizal (2005) dalam Makkasau (2011) passive uptake dikenal sebagai proses bioabsorpsi. Proses ini terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion, dimana ion monovalen dan divalen seperti Na, Mg dan Ca pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat dan kedua adalah formasi kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsi (functional group) seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl, phosphate dan hydroxyl-carboxyl, yang berada pada dinding sel. Active

uptake dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini secara simultan

(29)

Buhani (2002) dalam Sembiring dkk., (2009) menyatakan bahwa gugus fungsional utama yang bertindak sebagai ligan yaitu –COOH yang merupakan penyusun utama dari polisakarida dan gugus amina sebagai penyusun pektin dan protein pada Nannocloropsis sp. yang mampu berikatan dengan baik pada ion logam seperti Cu, Pb dan Cd.

Gambar 3. Bagan kerangka konseptual penelitian

3.2 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan untuk penelitian ini adalah :

1. Terdapat perbedaan antara kemampuan Skeletonema sp. dan kemampuan Chaetoceros sp. dalam menyerap logam berat timbal (Pb).

Bioremediasi

Fitoplankton

Skeletonema sp. Chaetoceros sp.

Dinding Sel

Carbonyl Amino Thiol Hydroxy

(30)
(31)

IV METODOLOGI

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga, Surabaya. Pemeriksaan kandungan timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan, Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2014.

4.2 Materi Penelitian 4.2.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah berbagai peralatan gelas seperti pipet volume, pipet tetes, botol perlakuan, botol sampel, gelas ukur, tabung Erlenmeyer, lampu neon 40 watt dan labu ukur, kertas saring untuk menyaring Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp., mikroskop, handtally counter, pengaduk magnetik, pemanas listrik, botol perlakuan, botol transparan untuk kultur plankton, plastik polietilen (PE), DO meter, pH meter, thermometer, refraktometer, autoclave, bilik hitung haemocytometer, Atomic Absorption Spectrometry (AAS) Perkin Elmer 3110.

4.2.2 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah biakan murni Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diperoleh dari Balai Besar

(32)

aquades, klorin, sabun cair, Na-Thiosulfat, alumunium foil, media F2 (pupuk

diatom) sebagai pupuk untuk kultur fitoplankton dan silikat sebagai senyawa kimia yang dibutuhkan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. dalam pertumbuhannya.

4.3 Prosedur Penelitian 4.3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian ini adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari empat perlakuan dengan lima ulangan yaitu :

1. Perlakuan A : kultur Skeletonema sp. tanpa pemberian logam berat timbal (0 ppm)

2. Perlakuan B : kultur Chaetoceros sp. tanpa pemberian logam berat timbal (0 ppm)

3. Perlakuan C : kultur Skeletonema sp. dengan pemberian logam berat timbal (0,9 ppm)

4. Perlakuan D : kultur Chaetoceros sp. dengan pemberian logam berat timbal (0,9 ppm)

4.3.2 Variabel Penelitian

(33)

diakumulasi oleh Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. serta pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.

4.4 Pelaksanaan Penelitian 4.4.1 Sterilisasi Alat dan Bahan

Sterilisasi alat dan bahan bertujuan untuk menghilangkan kontaminan dari alat dan bahan yang akan digunakan untuk kultur fitoplankton. Sterilisasi alat dan bahan dimulai dengan membersihkan alat dan bahan menggunakan sabun cair dan spons kemudian dibilas dengan air bersih hingga bersih.

Rostini (2007) menyatakan bahwa sebelum kegiatan kultur dimulai, media budidaya perlu dipanaskan dahulu dengan alat yang disebut autoclave. Tujuannya adalah untuk menghilangkan dan membunuh jasad-jasad renik yang terbawa, sehingga didapatkan air yang steril. Autoclave yang digunakan diberikan tekanan 1 atm dengan suhu pemanasan 121oC. Persiapan yang dilakukan sebelum penebaran adalah membersihkan wadah budidaya beserta pipa selang aerasi.

(34)

4.4.2 Persiapan Stok Fitoplankton

Species fitoplankton yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. berasal dari Balai Besar Pengembangan

Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Timur.

Pada media F2, Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. dikultur untuk

memperbanyak biakan fitoplankton tersebut. Fitoplankton diberi perlakuan apabila hasil kultur fitoplankton sudah mampu mencukupi jumlah yang diperlukan. Biakan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. kemudian diinkubasi pada suhu 25-27°C dan diberikan intensitas cahaya.

Media kultur diberi penyinaran dengan lampu neon 40 watt yang diletakkan diatas botol perlakuan. Biakan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. diberi aerasi dengan kecepatan arus yang sedang. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan seperti pengukuran suhu, oksigen terlarut (DO), salinitas dan pH. Pengukuran suhu dilakukan dua kali sehari yaitu pagi hari pukul 06.00 WIB dan sore hari pukul 17.00 WIB sedangkan salinitas diukur satu kali sehari pada pukul 17.00 WIB.

Keberhasilan kultur fitoplankton yang berasal dari air laut ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, salinitas, kekuatan cahaya, dan pH, serta aerasi yang harus diperhatikan selama pelaksanaan kultur (Rostini, 2007).

4.4.3 Penghitungan Larutan Stok Timbal (Pb)

(Gunawati, 2011) dalam Nisak (2013) menyatakan bahwa larutan standar timbal (Pb) dibuat dari senyawa Pb(NO3)2 dengan massa molekul relatif 331,2.

(35)

sebanyak 1,598 gram kemudian dilarutkan dengan H2O hingga 1000 mL,

dihomogenkan di atas magnetic stirrer. Dari larutan induk ini diambil volume tertentu dan diencerkan hingga 100 mL. Pengambilan stok timbal yang akan diperlakukan menggunakan rumus berikut :

Keterangan : V1 = volume stok yang dicari

N1 = konsentrasi stok yang dicari

V2 = volume stok yang diketahui

N2 = konsentrasi stok yang diketahui

4.4.4 Perlakuan

Kadar timbal dalam air laut terlebih dahulu diuji untuk mengetahui kadar timbal sebelum diberi perlakuan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai kadar timbal yang akan diberikan pada perlakuan yaitu 0,9 ppm. Setelah mengetahui kadar timbal dilakukan penghitungan kepadatan fitoplankton untuk mengetahui banyaknya populasi fitoplankton yang akan digunakan dalam perlakuan. Perlakuan dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan timbal dengan kadar 0,9 ppm (termasuk jumlah yang ada dalam air laut sebelum diberi perlakuan timbal) dan menambahkan sejumlah fitoplankton dengan kepadatan 105 sel/ml. Botol perlakuan kemudian diinkubasi dengan pH, suhu, salinitas dan DO (oksigen terlarut) yang disesuaikan.

(36)

4.4.5 Parameter Pengamatan

Parameter utama dalam penelitian ini adalah kandungan logam berat timbal (Pb) pada awal dan akhir penelitian serta pertumbuhan fitoplankton Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. Pengujian kandungan timbal dalam air

dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya. Penghitungan kepadatan fitoplankton dilakukan setiap hari untuk mengetahui pertumbuhan kedua jenis fitoplankton tersebut. Penghitungan kepadatan fitoplankton ini dilakukan dengan menggunakan haemocytometer di bawah pengamatan mikroskop dengan perbesaran 10x sampai 40x.

Parameter pendukung lainnya adalah kualitas air. Kualitas air yang diukur meliputi pH, suhu, salinitas dan DO (oksigen terlarut). Pengukuran pH, suhu, salinitas dan DO dilakukan dua kali sehari yaitu pagi hari pukul 06.00 WIB dan sore hari pukul 17.00 WIB sedangkan salinitas diukur satu kali sehari pada pukul 17.00 WIB.

4.6 Analisa Data

(37)

Gambar 4. Diagram alir penelitian Sterilisasi alat dan bahan

Kultur Skeletonema sp. Kultur Chaetoceros sp.

Pembuatan larutan logam berat timbal (Pb)

(38)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) pada Media Kultur

Hasil analisa kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. selama penelitian menunjukkan adanya

penurunan. Kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan hasil analisa rata-rata kandungan logam berat timbal (Pb) pada air media kultur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata kandungan logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.

Perlakuan Awal Akhir Awal-Akhir Persentase (%) C (Skeletonema sp. 0,9 ppm) 0,233 0,010 0,223 96 D (Chaetoceros sp. 0,9 ppm) 2,075 1,284 0,791 38

Berdasarkan tabel tersebut diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan kandungan Pb pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb selama 24 jam. Penurunan konsentrasi Pb pada media kultur Skeletonema sp. (96%) lebih besar dari pada media kultur Chaetoceros sp. (38%).

5.1.2 Pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.

(39)

selama tujuh hari. Kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut ini.

Tabel 2. Kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. selama penelitian

Perlakuan

Kepadatan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. (105 sel/ml) pada Hari ke-

Gambar 5. Grafik kepadatan rata-rata Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. pada konsentrasi 0 ppm dan 0,9 ppm selama penelitian

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa secara umum, pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. pada semua perlakuan, baik tanpa pemberian Pb maupun dengan pemberian Pb, mengikuti grafik pola umum pertumbuhan fitoplankon.

Pada fase adaptasi, terdapat perbedaan pola adaptasi antara Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B) bila dibandingkan dengan

A (Skeletonema sp. 0 ppm)

B (Chaetoceros sp. 0 ppm)

C (Skeletonema sp. 0,9 ppm)

(40)

Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. dengan pemberian Pb (C dan D). Pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), fase adaptasi

berlangsung lebih cepat bila dibandingkan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb (C dan D). Hal ini dapat dilihat pada grafik, bahwa Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), grafiknya mengalami penurunan kepadatan hanya sampai hari pertama. Selanjutnya, pada hari kedua, sudah mengalami kenaikan kepadatan sel. Sedangkan pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb (C dan D), penurunan grafik pada fase adaptasi

terjadi lebih lama, yaitu sampai hari kedua. Kepadatan fitoplankton Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. baru mengalami peningkatan pada hari ketiga.

Pada fase eksponensial juga terjadi perbedaan pola grafik, antara Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B) bila

dibandingkan dengan yang diberi Pb (C dan D). Pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), fase eksponensial terjadi dengan peningkatan grafik yang tajam terus menerus selama 2 hari. Hal ini berbeda dengan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. yang diberi Pb (C dan D). Skeletonema sp. yang diberi Pb (C), fase eksponensialnya juga terjadi selama 2 hari (hari ke-3 dan ke-4), namun dengan peningkatan grafik tidak terlalu tajam (artinya penambahan kepadatan sel tidak banyak). Pada Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), fase eksponensial berlangsung lebih singkat, hanya 1 hari (pada hari ke-3).

(41)

pada hari ke-3 dengan kepadatan 46,53 x 105 sel/ml. Skeletonema sp. yang diberi Pb (C) mengalami puncak populasi lebih lambat, yaitu pada hari ke-4, dengan kepadatan 13,85 x 105 sel/ml. Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (B) mengalami puncak populasi pada hari ke-3 dengan kepadatan 8,38 x 105 sel/ml. Sedangkan Chaetoceros sp. dengan pemberian Pb (D) mengalami fase perlambatan

pertumbuhan (hari ke-4 dan 5), sebelum akhirnya mencapai puncak populasi pada hari ke-6 dengan kepadatan 6,38 x 105 sel/ml (lebih rendah dari Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (B)).

Setelah mengalami puncak pertumbuhan populasi, Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. pada semua perlakuan, mengalami penurunan pertumbuhan.

Skeletonema sp. yang tidak diberi Pb (A) maupun yang diberi Pb (C), mengalami

pola yang sama yaitu setelah penurunan pada hari ke-5, grafik mengalami peningkatan lagi pada hari ke-6 dan selanjutnya menurun lagi pada hari ke-7. Sedangkan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (B) mengalami penurunan pertumbuhan sampai hari ke-6, setelah mencapai puncak populasi dan selanjutnya meningkat lagi pada hari ke-7. Sementara itu, Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D) mengalami penurunan pada hari ke-7 setelah mencapai puncak pada hari ke-6.

5.1.3 Kualitas Air

(42)

Tabel 3. Pengukuran kualitas air media kultur selama penelitian

Parameter Kisaran

Suhu (0C) 28 – 33 Salinitas (ppt) 24 – 35

pH 8 – 9

DO (mg/L) 5

Hasil pengukuran kualitas air pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. menunjukkan kisaran suhu antara 280C hingga 330C. Salinitas selama penelitian berkisar antara 24 ppt hingga 35 ppt. Nilai pH pada keseluruhan media kultur mencapai nilai 8 hingga 9, dan kandungan oksigen terlarut (DO) sebesar 5 mg/L.

5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pengukuran logam berat timbal (Pb) pada media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. terdapat penurunan kandungan logam berat

timbal (Pb) pada media kultur fitoplankton tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. memiliki kemampuan menyerap logam berat

timbal (Pb) pada perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rudiyanti (2011) yang menyatakan bahwa fitoplankton efektif menyerap beberapa senyawa beracun dan meningkatkan oksigen terlarut karena aktivitas fotosintesis.

Bila kemampuan kedua fitoplankton tersebut dibandingkan, Skeletonema sp. memiliki kemampuan menyerap logam berat timbal (Pb) lebih baik dari pada Chaetoceros sp., dimana persentase penurunan kandungan logam berat timbal

(43)

kandungan protein yang lebih tinggi dari pada Chaetoceros sp. sesuai dengan pendapat (Sutikno dkk., 2010) yang menyatakan bahwa Skeletonema sp. adalah salah satu fitoplankton yang berkadar protein tinggi kurang lebih 50%, memiliki kandungan yang dapat memacu pertumbuhan (growth factor) dan sangat bagus bagi ikan maupun udang, selain hal tersebut fitoplankton ini dapat diproduksi secara masal pada bak terkendali maupun di tambak. Erlina dkk., (2004) juga menyatakan bahwa kandungan nutritif Skeletonema costatum mencapai protein 37 %, lemak 7 %, dan karbohidrat 21 %. sedangkan menurut Basyar dkk., (2009) kandungan nutrisi Chaetoceros sp. adalah kalori 16,2%, protein 27,68%, karbohidrat 23,20%, lipid 9,29%, vitamin C 1,60% dan klorofil a 1,04%.

Semakin tinggi kandungan protein yang dimiliki oleh fitoplankton semakin baik kemampuannya dalam menyerap logam berat karena protein terusun atas gugus karboksil (-COOH) yang mampu berikatan baik dengan ion logam berat sesuai yang dinyatakan oleh Buhani (2002) dalam Sembiring dkk., (2009) menyatakan bahwa gugus fungsional utama yang bertindak sebagai ligan yaitu –COOH yang merupakan penyusun utama dari polisakarida dan gugus amina

sebagai penyusun pektin dan protein pada Nannocloropsis sp. yang mampu berikatan dengan baik pada ion logam seperti Cu, Pb dan Cd.

(44)

bioremediasi terhadap logam berat timbal (Pb). Hal ini sesuai dengan pendapat Munir (2008) yang menyatakan bahwa mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, yeast dan alga.

Pola grafik pertumbuhan fitoplankton pada semua perlakuan secara umum mengikuti grafik pola umum pertumbuhan fitoplankton. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. baik yang diberi Pb (C dan D) maupun tidak diberi Pb (A dan B), dapat beradaptasi dan mengalami pertumbuhan pada perlakuan penelitian ini, walaupun dengan reaksi yang berbeda. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) ada empat fase pertumbuhan fitoplankton yaitu fase istirahat, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian.

(45)

menyebabkan kebutuhan akan oksigen terlarut lebih besar. Bahan organik mati dalam bentuk biomassa fitoplankton tersebut, akan berperan sebagai kompetitor baru dalam penggunaan oksigen terlarut di dalam lingkungan medium pertumbuhan.

Fase eksponensial pada Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. tanpa pemberian Pb (A dan B), terjadi dengan peningkatan grafik yang tajam terus menerus selama 2 hari, berbeda dengan fitoplankton yang diberi Pb (C dan D). Hal ini dapat terjadi karena, dengan tidak adanya penambahan Pb pada media, maka gangguan akibat logam berat tidak terjadi, sehingga pertumbuhan dapat berlangsung normal dan optimal. Hal ini berbeda dengan Skeletonema sp. yang diberi Pb (C), fase eksponensialnya juga terjadi selama 2 hari (hari 3 dan ke-4), namun dengan peningkatan grafik tidak terlalu tajam bila dibandingkan dengan Skeletonema sp. tanpa Pb (A). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi

tidak secepat fitoplankton yang tidak diberi Pb (A dan B). Sedangkan pada Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), fase eksponensial berlangsung lebih singkat,

hanya 1 hari (pada hari ke-3), selanjutnya mengalami penurunan pertumbuhan. Menurut Roitz (2002 et al. 2002) dalam Djumanto (2009) pertumbuhan fitoplankton secara kasar dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu singkat dengan produktivitasnya meledak sangat pesat dan panjang dengan masa pertumbuhan sangat lambat.

(46)

penelitian bahwa baik pada Skeletonema sp. maupun Chaetoceros sp., pemberian Pb pada konsentrasi 0,9 ppm mengganggu pertumbuhan fitoplankton tersebut.

Pada semua perlakuan kecuali Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), setelah terjadi penurunan populasi, selanjutnya terjadi peningkatan populasi kembali. Hal ini diduga karena terjadi penambahan nutrien hasil dekomposisi fitoplankton yang mati pada fase adaptasi, sehingga mendukung ketersediaan nutrisi bagi pertumbuhan fitoplankton. Sedangkan pada Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), belum diketahui apakah akan terjadi peningkatan pertumbuhan setelah terjadi penurunan, sebab penurunan baru terjadi 1 hari dan penelitian telah selesai. Puncak pertumbuhan yang tercapai lebih lambat dibandingkan perlakuan yang lain, menyebabkan diperlukan waktu tambahan bila ingin mengetahui pola pertumbuhan selanjutnya. Menurut Nayar (2004) dalam Hala dkk., (2004) walaupun kondisi nutrien dalam medium masih mencukupi, namun adanya logam berat dapat mengganggu pertumbuhan suatu fitoplankton.

Bila dilihat secara keseluruhan, Chaetoceros sp. yang diberi Pb (D), mengalami keterlambatan fase-fase pertumbuhan bila dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Hala dkk., (2012) yang menyatakan bahwa tampak tren pertumbuhan C. calcitrans yang menurun seiring dengan lamanya waktu kontak dengan logam. Hal ini mengindikasikan bahwa toksisitas ion Pb2+ dan Zn2+ cukup tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan C. calcitrans. Pemaparan campuran logam menunjukkan tren penurunan populasi,

(47)

Pertumbuhan Skeletonema sp. tanpa pemberian Pb (A) lebih optimal dibandingkan dengan pertumbuhan Skeletonema sp. yang diberi Pb (C). Hal ini diduga bahwa adanya logam berat timbal (Pb) berpengaruh pada pertumbuhan Skeletonema sp. sesuai yang dinyatakan oleh Scarano and Morelli (2002) dalam Singh and Tripathi (2007) bahwa terdapat kompleks metal PCn atau kompleks fitokelatin dan logam yang teridentifikasi pada Phaeodactylum tricornutum dengan perlakuan logam berat Cd atau Pb (10µM) selama 6 jam.

(48)

Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) Skeletonema costatum merupakan diatom yang bersifat eurythermal, yang mampu tumbuh pada kisaran suhu 30 - 300C.

Hasil pengukuran salinitas selama penelitian menunjukkan bahwa salinitas pada air media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. berkisar antara 24 ppt hingga 35 ppt. Terjadinya peningkatan salinitas dari awal hingga akhir penelitian, diakibatkan perjadinya penguapan air media. Bila dibandingkan dengan referensi tentang salinitas optimal untuk pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. maka salinitas yang terjadi pada penelitian ini lebih tinggi dibanding salinitas optimal untuk kedua fitoplankton tersebut. Namun demikian, kedua fitoplankton tersebut masih dapat tumbuh dengan pola pertumbuhan yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa kedua fitoplankton masih dapat mentolerir perbedaan salinitas ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa S.costatum merupakan diatom yang bersifat euryhalin dengan nilai salinitas 20-30 0/00 merupakan kisaran yang baik untuk pertumbuhan,

dan optimal pada 25-290/00, namun dapat bertahan hidup hingga 40 0/00. Menurut

Rahmadiani (2013) Chaetoceros sp. dapat hidup pada salinitas antara 6-50 ‰ (euryhalin). Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menambahkan bahwa Chaetoceros memiliki toleransi terhadap kisaran salinitas sangat luas yaitu 6 – 50 permil, sedangkan kisaran salinitas 17 – 25 permil merupakan salinitas optimal untuk pertumbuhannya.

(49)

mikroalga. Mikroalga memerlukan pH antara 7-8,5 untuk pertumbuhan optimum (Najmushabah 2004 dalam Wijaksono 2008) dalam (Ermayanti, 2011). Lee, 1995) dalam Armanda (2013) juga menyatakan bahwa salah satu kondisi optimum pertumbuhan Skeletonema costatum adalah pH 7-8. Kurniawati (2006) menyatakan bahwa salah satu kondisi kultur Chaetoceros amami yang digunakan selama penelitian adalah pH 8±1.

Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) selama penelitian menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut pada air media kultur Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. adalah 5 mg/L. Nilai kandungan oksigen terlarut ini tergolong dalam nilai optimal untuk pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp. Hal ini sesuai dengan kisaran oksigen terlarut pada penelitian yang dilakukan oleh Rudiyanti (2011) tentang pertumbuhan Skeletonema costatum yaitu 2,75-5,24 mg/L. Menurut Boyd (1982) dalam Rudiyanti (2011) kisaran oksigen terlarut yang baik adalah 1-5 mg/L.

(50)

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Skeletonema sp. memiliki kemampuan menyerap logam berat timbal (Pb) 2. Chaetoceros sp. memiliki kemampuan menyerap logam berat timbal (Pb) 3. Terdapat perbedaan kemampuan penyerapan logam berat timbal (Pb)

antara Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.

4. Skeletonema sp. memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan Chaetoceros sp. dalam menyerap logam berat timbal (Pb).

5. Logam berat timbal (Pb) dengan konsentrasi 0,9 ppm dapat menurunkan pertumbuhan Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.

6.2 Saran

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Armanda, D.T. 2013. Pertumbuhan Kultur Mikroalga Diatom Skeletonema costatum (Greville) Cleve Isolat Jepara pada Medium F/2 dan Medium Conway Semarang. IAIN Walisongo. Semarang. hal 51.

Awalina. 2011. Bioakumulasi Ion Logam Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) dalam Fitoplankton pada Beberapa Perairan Situ di sekitar Kabupaten Bogor. Universitas Indonesia. Depok. 153 hal.

Basyar, A.H, A., E. Sutanti dan A. Erlina. 2009. Kultur Fitoplankton untuk Mendukung Kegiatan Perbenihan. Jepara. BBPBAP Jepara. hal 134. Birry, A.A. dan H. Meutia. 2012. Sebuah Potret Pencemaran Bahan Kimia

Berbahaya dan Beracun di Badan Sungai Serta Beberapa Titik Pembuangan Industri Tak Bertuan Studi Kasus Sungai Citarum. Jawa Barat. Greenpeace Asia Tenggara. 37 hal.

Das, N.G. and S.M.M. Sarwar. 1998. Nutritional Analysis of Two Diatoms, Skeletonema sp. and Chaetoceros sp. As Diet for Penaeus monodon in Hatchery. Institute of Marine Sciences, Univeristy of Chittagong. Bangladesh. 4 pp.

Djumanto., T. Sidabutar., dan H. Pontororing. 2009. Pola Persebaran Horizontal dan Kerapatan Plankton di Perairan Bawean. LON-LIPI dan Dirjen Dikti. Yogyakarta. hal 1-13.

Erlina, A., S. Amini dan H. Endrawati. 2004. Kajian Nutritif Phytoplankton Pakan Alami pada Sistem Kultivasi Massal. BBPBAP Jepara. Jepara. hal 208. Ermayanti, E. 2011. Komponen Kimia Chaetoceros gracilis yang Dikultivasi di

Outdoor Menggunakan Media Pupuk NPSi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 84 hal.

Fauzi, T.M. 2008. Pengaruh Pemberian Timbal Asetat dan Vitamin C terhadap Kadar Malondialdehyde dan Kualitas Spermatozoa di dalam Sekresi Epididimis Mencit Albino (Mus musculus L) Strain Balb/C. Medan. Universitas Sumatera Utara. 96 hal.

(52)

Hala, Y., E. Suryati dan P. Taba. 2012. Bioabsorpsi Campuran Logam Pb2+ dan Zn2+ oleh Chaetoceros calcitrans. Makassar. Jurusan Kimia FMIPA Unhas. Makassar. hal 86.

Hala, Y., I. Raya dan E. Suryati. 2004. Interaksi Ion Cu (II) dengan Chaetoceros calcitrans dalam Lingkungan Perairan Laut. Jurusan Kimia FMIPA Unhas. Makassar. hal 1-4.

Hardianie, T.N.O.K. 2013. Studi Perbandingan Kemampuan Nannochloropsis sp. dan Spirulina sp. sebagai Agen Bioremediasi terhadap Logam Berat Timbal (Pb). Universitas Airlangga. 61 hal.

Herlinah. 2010. Karakteristik Genetik Berbagai Species Chaetoceros Serta Analisis Pemanfaatannya pada Perbenihan Udang Windu (Penaeus monodon). Dewan Riset Nasional Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Jakarta. hal 3.

Isnansetyo dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton. Kanasius. Yogyakarta. hal 40-73.

Jamil, K. 2001. Bioindicators and Biomarkers of Enviromental Pollution and Risk Asessment. Science Publishers Inc. India. pp 117-126.

Kurniawati, A.R. 2006. Peningkatan Produktivitas Kultur Diatom Chaetoceros amami Melalui Optimasi Rasio N:P:Si. Program Studi Bioteknologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. hal 3.

Lee, S.D and J.H. Lee. 2011. Morphology and Taxonomy of The Planktonic Diatom Chaetoeros species (Bacillariophyceae) with Special Intercalary Setae in Korean Coastal Waters. Department of Green Life Science, Sangmyung University. Korea. 13 pp.

Makkasau,A.,M. Sjahrul, M.N. Jalaluddin. 2011. Teknik Fitoremediasi Fitoplankton Suatu Alternatif Pemulihan Lingkungan Laut yang Tercemar Ion Logam Cd2+ dan Cr6+. FMIPA Universitas Hasnuddin. Makassar. 14 hal.

Munir, E. 2008. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: Suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian Lingkungan. Universitas Sumatera Utara. Medan. hal 3.

(53)

Nisak, K. 2013. Studi Perbandingan Kemampuan Nannochloropsis sp dan Chlorella sp. sebagai Agen Bioremediasi terhadap Logam Berat Timbal (Pb). Universitas Airlangga. 66 hal.

Parawita, D., Insafitri dan W.A. Nugraha. 2009. Analisis Konsentrasi Logam Berat Timbal (Pb) di Muara Sungai Porong. Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo. Madura. hal 35.

Priadie, B. 2012. Teknik Bioremediasi sebagai Alternatif dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Pusat Litbang Sumber Daya Air. Bandung. hal 39.

Rahmadiani, W.D.D dan Aunurohim. 2013. Bioakumulasi Logam Berat

Kadmium (Cd) oleh Chaetoceros calcitrans pada Konsentrasi Sublethal. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITS. Surabaya. hal 203. Rostini, I. 2007. Kultur Fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) pada

Skala Laboratorium. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran. Jatinangor. 33 hal.

Rukminasari, N. dan S. Sahabuddin. 2012. Distribution and Concentration Several Types of Heavy Metal Correlated with Diversity and Abundance of Microalgae at Tallo River, Makassar, South Sulawesi, Indonesia. Universitas Hasanuddin. Makassar. hal 164.

Rudiyanti, S. 2011. Pertumbuhan Skeletonema costatum pada Berbagai Tingkat Salinitas Media. FPIK-UNDIP. Semarang. hal 70.

Sarjono, A. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Cd, Pb, dan Hg pada Air dan Sedimen di Perairan Kamal Muara Jakarta Utara. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hal.

Sembiring, Z., Buhani dan Suharso. 2009. Isoterm Adsorpsi Ion Pb(II), Cu(II) dan Cd(II) pada Biomassa Nannochloropsis sp. yang Dienkapsulasi Akuagel Silika. Fakultas Matematika dan Ilmu Alam Universitas Lampung. Lampung. 1 hal.

Setyaningsih, I., Desniar dan E. Purnamasari. 2012. Antimikroba dari Chaetoceros gracilis yang Dikultivasi dengan Lama Penyinaran Berbeda. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. hal 181-183.

(54)

Sutikno, E., P. Dwi S. dan Hermintarti. 2010. Pemanfaatan Mikroalga sebagai Bahan Substitusi Tepung Ikan pada Pakan Buatan untuk Ikan dan Udang. Jepara. BBPBAP Jepara. 1 hal.

Susanti, E. 2010. Karakteristik Transfer Logam Timbal (Pb) pada Perairan Lotik. LIPI. Jakarta. hal 10-11.

Wardhany, S.Y. 2010. Analisa Kemampuan Mikroalga Nannochloropsis sp. sebagai Bioremediator Timbal (Pb) dengan Konsentrasi Berbeda. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. 61 hal.

(55)

LAMPIRAN

(56)
(57)
(58)
(59)

Lampiran 4. Data Kualitas Air Media Kultur Fitoplankton Selama 7 Hari

(60)

Lampiran 5. Alat dan Bahan Penelitian

Pupuk fitoplankton (diatom) Bibit Skeletonema sp. dan Chaetoceros sp.

Rak Kultur fitoplankton Botol Perlakuan

(61)

Lux Meter Kertas Saring Fitoplankton

pH Paper Haemocytometer

Pipet, Terminal Aerator dan Batu Aerasi Selang Aerasi (dari sisi kiri ke kanan)

Akuadem, Larutan Pb (NO3)2 , Pb(NO3)2, Labu Ukur, Beaker Glass dan Pipet

(62)

Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

Pelarutan Pb(NO3)2 Penyaringan Fitoplankton

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 3. Bagan kerangka konseptual penelitian
Gambar 4. Diagram alir penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan Azolla microphylla menyerap logam berat Pb pada konsentrasi yang berbeda dipengaruhi

PENGARUH PANGAN YANG DICEMARI LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) TERHADAP KADAR TIMBAL PADA CACING Lumbricus

Manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah memberikan informasi mengenai kandungan logam berat timbal (Pb) dan Besi (Fe) pada air, sedimen dan daging ikan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari akumulasi logam berat timbal (Pb) pada akar mangrove jenis Avicennia marina dan pengaruh akumulasi logam

Akumulasi logam berat Timbal (Pb) pada sedimen tertinggi terdapat di perairan muara sungai Kebon Agung yaitu sebesar 13,157 ppm, sedangkan akumulasi Pb pada

Akumulasi logam berat Timbal (Pb) pada sedimen tertinggi terdapat di perairan muara sungai Kebon Agung yaitu sebesar 13,157 ppm, sedangkan akumulasi Pb pada

Analisis Kadar Logam Berat Timbal Pb Pada Ikan Bader Barbonyumas Gonionotus Di Sungai Berantas Dan Sungai Berangkal Daerah Kabupaten Mojokerto.. Analisis Kadar Logam Berat Timbal Pb

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan logam berat Tembaga Cu dan Timbal Pb dalam sedimen, akar, serta daun pohon mangrove Rhizopora mucronata dan untuk mengetahui