• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pangan yang dicemari logam berat timbal (Pb) terhadap kadar timbal pada cacing Lumbricus rubellus.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pangan yang dicemari logam berat timbal (Pb) terhadap kadar timbal pada cacing Lumbricus rubellus."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PANGAN YANG DICEMARI LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) TERHADAP KADAR TIMBAL PADA CACING Lumbricus rubellus

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Jimmy Pieter Chua

NIM : 098114018

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

PENGARUH PANGAN YANG DICEMARI LOGAM BERAT TIMBAL TIMBAL (Pb) TERHADAP KADAR TIMBAL PADA CACING Lumbricus

rubellus

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Jimmy Pieter Chua

NIM : 098114018

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

“Jadilah seperti pohon yang ditanam ditepi aliran air, yang

menghasilkan buah pada musimnya, dan tidak layu daunnya, serta apa yang diperbuatnya pun berhasil ”

(Mazmur 1: 3)

Karya ini kupersembahkan untuk:

Bapak dan Ibu sebagai rasa syukur atas kasih sayang yang berlimpah, perhatian, semangat, dan dukungannya

Teman - teman

(8)

PRAKATA

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria berkat kasih

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi

yang berjudul “Pengaruh Pangan yang Dicemari Logam Berat Timbal (Pb)

Terhadap Kadar Timbal Pada Cacing Lumbricus rubellus” dengan baik. Skripsi

ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana

Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis

banyak mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. C.M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku Ketua Program Studi Fakultas

Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta yang turut memberikan saran dan

masukan untuk penulis selama tahap penelitian.

3. Prof. Dr. Sri Noegrohati Apt, selaku Dosen pembimbing yang telah

memberikan pengarahan, bantuan, tuntunan, kritik, dan saran sejak awal

penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini.

4. Dra. M.M. Yetty Tjandrawati, M.Si. dan Enade Perdana Istyastono, Ph. D., Apt.

selaku dosen penguji atas segala masukan dan bimbingannya.

5. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt. atas dukungan dan segala bantuan dalam perijinan

(9)

7. Segenap dosen yang telah berkenan membagikan ilmu kepada penulis selama

belajar di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Teman seperjuangan skripsi: Rachelia Octavia, A. A. Istri Yulianti S., untuk

kesabaran, kebersamaan dan suka dukanya.

9. Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, Mas Kethul Ismadi, Mas Ottok dan

seluruh staff laboratorium Fakultas Farmasi serta staff keamanan dan

kebersihan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas bantuan dan

kerjasamanya.

10.Teman seperjuangan di laboratorium Kimia Analisis Instrumentasi : Leo,

Topan, Ina, Nety, Jo, Shinta, Sasya, Metri, Victor, Agnes, Novia, Teti, Febrin,

Wisnu dan Ozy.

11.Teman-teman FST A 2009 dan seluruh angkatan 2009 atas dukungan dan suka

duka yang diberikan, Semoga pengalaman yang telah kita lalui bersama bisa

menjadi bekal untuk perjuangan hidup kita kelak.

12.Seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas yang telah

membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian dan

penyusunan skripsi ini mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis, sehingga

sangat diharapkan adanya masukan dan saran yang membangun untuk penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi dunia ilmu

pengetahuan.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………... v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. vi

PRAKATA………... vi

DAFTAR ISI………... viii

DAFTAR TABEL……….. xiv

DAFTAR GAMBAR……….. xv

DAFTAR LAMPIRAN………... xvi

INTISARI………... xvii

ABSTRACT……….. xviii

BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang……… 1

1. Perumusan Masalah ……….. 3

2. Keaslian Penelitian ………. 3

3. Manfaat Penelitian ………... 4

B. Tujuan Penelitian ………... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

A. Lumbricus rubellus………..…………...

B. Manfaat Cacing Lumbricus rubellus………...

5

(11)

C. Pencemaran Logam Berat .…..………...………… 6

D. Timbal………...………...… 6

1. Definisi ………..………..…….. 6

2. Keracunan Timbal…….……… 7

E. Destruksi………...………...

1. Destruksi Kering……….

2. Destruksi Basah………...………

a. Satu Jenis Asam………..

b. Campuran Asam……….

7

8

8

9

10

F. Spektroskopi Serapan Atom ……….……….

1. Source (Sumber Cahaya) ……….

2. Absorption Cell……….

a. Burner system……….

b. Nebulizer……….

3. Slit………

4. Monochromator………...

5. Detector………...

6. Display………

G. Validasi Metode Analisis………

1.Linearitas………...………..

2.Spesifisitas………..…

(12)

a. Repeatability……….

b. Intermediate Precision...

c. Reproducibility………..

5.Limit of Detection………....

6.Limit of Quantitation………...

H. Landasan Teori………

I. Hipotesis………..

J. Bagan Kerja ………

16 16 17 17 18 19 19 19

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ………...……… 20

B. Variabel Penelitian………...……… 20

C. Definisi Operasional……… 20

D. Bahan-bahan Penelitian ……….. 21

E. Alat-Alat Penelitian ……… 21

F. Tatacara Penelitian ………..

1. Pencucian Wadah dan Peralatan……….

2. Pemilihan Sampel………...

3. Penimbangan Bobot Kering Sampel ………..

4. Destruksi Cacing Lumbricus rubellus………...

a. Digesti Basah………...

b. Penyaringan……….

5. Kondisi Optimum Analisis………...………...

(13)

a. Optimasi Tinggi Burner………...

b. Optimasi Untuk Perbandingan Bahan Bakar dan Oksidator…...

6. Kurva Baku……….

a. Larutan Stok (1000 µg/ml)………..

b. Larutan Intermediet……….

7. Validasi Metode Analisis………...

a. Prosedur Standar Adisi………

8. Penetapan Kadar………..………

a. Penyiapan Sampel………

b. Preparasi Sampel……….

c. Digesti Basah………...

d. Penyaringan……….

e. Penetapan Kadar………..

24 24 24 24 25 25 26 26 26 26 26 27 27

G. Tata Cara Analisis Hasil... ………..

1. Validitas Alat Untuk Determinasi…….………..

a. Linearitas……….

b. Sensitivitas………...

2. Validasi Metode………

a. Akurasi……….

b. Presisi………...

c. Intermediate precision……….

d. Limit of Quantitation………...

e. Pengaruh Prosedur Analisis……….………

(14)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemilihan Sampel………

B. Destruksi Sampel……….

C. Optimasi Spektroskopi Serapan Atom……….

1. Garis Resonansi………...

2. Lebar Celah……….

3. Kuat Arus………

4. Perbandingan Udara-Asetilen……….

5. Tinggi Burner…………...………...

D. Validasi Instrumen Analisis……….

1. Linearitas……….

2. Sensitivitas………..

E. Validasi Metode Standar Adisi………

1. Akurasi………....

2. Presisi………..

3. .Intermediate Precision………..

4. Limit Of Quantification(LOQ) ...………...

5. Pengaruh Prosedur Analisis………

F. Penetapan Kadar………..

1. Perlakuan Sampel………..

2. Penetapan Kadar………

30 31 33 34 35 36 38 40 41 42 44 46 46 47 48 49 50 53 53 54

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

(15)

B. Saran ………... 56

DAFTAR PUSTAKA ………. 57

LAMPIRAN ………... 59

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I Kategori metode analisis………. 15

Tabel II Perolehan kembali menurut Horwitz …………..………... 16

Tabel III %RSD menurut Horwitz dan AOAC……….. 17

Tabel IV Data optimasi spektroskopi serapan atom………... 33

Tabel V Hasil perolehan kembali (Recovery)………... 47

Tabel VI CV dari standar adisi………...……… 48

Tabel VII Uji signifikansi intersep dan slope……….. 49

Tabel VIII LOQ………. 50

Tabel IX Uji F standar deviasi baku dan adisi………... 52

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Instrumen spektroskopi serapan atom……….. 11

Gambar 2. Cacing Lumbricus rubellus……….. 31

Gambar 3. Garis resonansi timbal……… 34

Gambar 4. Ilustrasi pengecilan garis resonansi……… 36

Gambar 5. Hollow Cathode Lamp………... 36

Gambar 6. Sputtering……….... 37

Gambar 7 Sistem nebulizer………. 39

Gambar 8. Porses atomisasi……….. 39

Gambar 9. Flame Structure……….. 40

Gambar 10. Profil suhu nyala………. 41

Gambar 11. Kurva Baku PbNO3……… 43

Gambar 12. Ilustrasi pencarian LOD………. 44

Gambar 13. Overlapping kurva LOD………. 44

Gambar 14. Gabungan Kurva baku dan kurva standar adisi rep 1………. 50

Gambar 15. Gabungan Kurva baku dan kurva standar adisi rep 2………. 51

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. COA PbNO3………. 60

Lampiran 2. Pengenceran HNO3 65% p.a menjadi 1 M……… 60

Lampiran 3. Penimbangan PbNO3 99,7%... 60

Lampiran 4. Pengenceran larutan stok menjadi larutan kerja………... 61

Lampiran 5. Penimbangan bobot kering……….……. 61

Lampiran 6. Data optimasi SSA………... 63

Lampiran 7. Data absorbansi kurva baku………. 63

Lampiran 8. Kurva regresi baku PbNO3 dan kisaran linearitas……… 64

Lampiran 9. Perhitungan sensitifitas alat………. 65

Lampiran 10. Data absorbansi standar adisi………... 65

Lampiran 11. Perhitungan akurasi standar adisi (%Recovery)………... 67

Lampiran 12. Perhitungan presisi standar adisi (CV)……… 71

Lampiran 13. Intermediate Precision..…….………. 71

Lampiran 14. Perhitungan LOQ………. 75

Lampiran 15. Pengaruh prosedur analisis……….. 78

(19)

INTISARI

Cacing Lumbricus rubellus memiliki Lumbricin I yaitu antimikroba

dengan spektrum luas tanpa menimbulkan hemolitik dan Lumbrokinase yaitu enzim yang memiliki daya fibrinolotik yang sangat kuat. Pemberian pangan yang terkontaminasi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar logam berat pada cacing Lumbricus rubellus. Tujuan penelitian ini ingin melihat apakah terjadi

peningkatan kadar logam berat timbal (Pb) pada cacing Lumbricus rubellus

karena pangan yang diberikan terkontaminasi oleh timbal (Pb).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah destruksi basah dan instrumen yang digunakan adalah Spektroskopi Serapan Atom. Dari hasil penelitian dengan instrumen yang optimal didapatkan hasil validitas yang baik dari sisi linearitas, akurasi, presisi. Dalam penelitian ini juga melihat apakah ada pengaruh prosedur analisis terhadap hasil akhir dengan mengunakan statistik.

Hasil dari penetapan kadar tidak dapat disimpulkan. Hal ini dikarenakan semua sampel yang digunakan baik perlakuan maupun blanko tidak dapat dikuantifikasikan karena semua data berada di bawah LOQ (4,1460 µg/g sampel).

(20)

ABSTRACT

Lumbricus rubellus has Lumbricin I and Lumbrokinase. Lumbrin I is a

broad spectrum antimicrobial without hemolytic activity. Lumbrokinase is an enzyme with very strong fibrinolytic activity. Provision of contaminated food can cause elevated levels of heavy metal lead (Pb) in the Lumbricus rubellus because

given food contaminated by lead (Pb).

The method which is used in this study is wet digestion and the instrument is Atomic Absorption Spectrophotometry. This study obtains a good validity from the linearity, accuracy, and precision parameters. This study determines the effect of analysis method to the result using statistic.

The results of this study are inconclusive because all the samples cannot be quantified. All the data that obtain from this study is under the LOQ value (4,1460 µg/g sample).

(21)

BAB I PENGANTAR A.Latar Belakang

Di Indonesia baru-baru ini sedang marak penggunaan cacing Lumbricus

rubellus sebagai obat alternatif untuk mengobati penyakit tipus dan demam. RRC,

Korea, Vietnam, dan banyak tempat lain di Asia Tenggara cacing jenis Lumbricus

rubellus sudah biasa digunakan sebagai obat sejak ribuan tahun yang lalu (Dina,

2012). Cacing Lumbricus rubellus memiliki peptida antimikroba yang disebut

dengan Lumbricin I yang terdiri dari 62 asam amino. Peptida dari Lumbriucs

rubellus ini ternyata memiliki daya antimikroba dengan spektrum yang luas tanpa

menimbulkan efek hemolitik (Cho, Chan Young, Sun, 1998).

Lumbricus rubellus juga memiliki enzim yang disebut dengan

lumbrokinase. Enzim ini terdapat dalam tubuh cacing Lumbricus rubellus dalam

bentuk iso-enzim yang berada pada saluran cerna dan cairan usus dari cacing

tersebut. Enzim lumbrokinase ini memiliki daya aktivitas fibrinolitik yang sangat

kuat, stabil dalam rentang pH yang luas dan menunjukkan kestabilan terhadap

panas dan degradasi. Lumbrokinasi memiliki efek sebagai pemacu aktivitas

plasminogen dan memacu sistem normal di dalam tubuh manusia untuk

melarutkan fibrin pada bekuan darah (Verma dan Pulicherla, 2011).

Manfaat dari cacing Lumbricus rubellus cukup banyak, maka perlu

adanya penangganan khusus dalam pemilihan media tumbuh dan pangan untuk

mengurangi kontaminan yang ada. Cacing Lumbricus rubellus yang beredar

(22)

hal ini menjadi suatu keraguan bagi peneliti terhadap pangan cacing dan proses

dari pembuatan kapsul cacing ini.

Laporan adanya timbal (Pb) dalam obat tradisional yang teramati berasal

dari USA, Australia, India, New Zealand dan Hongkong terdapat beberapa

formulasi yang mengandung timbal sebanyak 30% dari berat serbuk dan pil

(Babu, 2011). Dampak dari timbal sendiri sangat mengerikan bagi manusia,

utamanya bagi anak-anak diantaranya adalah mempengaruhi fungsi kognitif,

kemampuan belajar, penurunan fungsi pendengaran, merusak fungsi organ tubuh,

seperti ginjal, sistem syaraf, dan reproduksi, meningkatkan tekanan darah dan

mempengaruhi perkembangan otak (BPLH, 2009).

Jika pembudidayaan cacing Lumbricus rubellus tidak tepat pemberian

pangannya, maka cemaran yang ada dipangan cacing tersebut dapat berpindah ke

dalam tubuh cacing. Salah satunya adalah timbal (Pb) yang dapat berasal dari

kendaraan bermotor, debu bangunan tua serta air dan tanah yang terkontaminasi.

(Babu, 2011).

Untuk menganalisis kadar logam timbal maka dapat digunakan metode

destruksi basah dan menggunakan instrumen SSA (Spektroskopi Serapan Atom)

dimana instrumen ini sangat selektif untuk mendeteksi timbal. Instrumen ini

menggunakan hollow cathode lamp yang menghasilkan garis resonansi yang

spesifik sehingga mampu menghasilkan intensitas yang tinggi untuk timbal. Hal

ini membuat spektroskopi serapan atom menjadi instrumen analisis yang spesifik

(23)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah dengan pemberian pangan

yang terkontaminasi timbal dapat berpindah ke tubuh cacing Lumbricus rubellus

dan mengalami akumulasi dalam masa pemeliharaan selama 2 bulan.

1. Perumusan Masalah

a. Apakah metode untuk penetapan kadar logam berat timbal (Pb) pada cacing

Lumbricus rubellus menggunakan spektroskopi serapan atom memiliki

validitas yang baik?

b. Apakah terjadi akumulasi kadar timbal di dalam tubuh cacing dengan

pemberian pangan yang tercemar selama dua bulan?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai logam berat pada cacing Lumbricus rubellus, yaitu

The Accumulation of Metals (Cd, Cu, Pb, Zn and Ca) by two Ecologically

Contrasting Earthworm Species (Lumbricus rubellus and Aporrectodea

caliginosa): Implications for Ecotoxicological testing oleh J.E. Morgan dan

A.J. Morgan (1999).

Penelitian yang akan dilakukan terdapat perbedaan yaitu media yang

digunakan adalah serbuk gergaji dan cemaran logam berat berasal dari pangan

bukan dari media tumbuh.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Menambah informasi bagi ilmu pengetahuan khususnya

dalam bidang kefarmasian mengenai metode yang digunakan untuk analisis

(24)

b. Manfaat metodologi. Metode penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

suatu metode yang dapat digunakan untuk sampel mahluk hidup.

c. Manfaat praktis. Memberikan informasi tentang pengaruh pemberian

pangan yang tercemar terhadap cacing Lumbricus rubellus yang digunakan

sebagai bahan obat.

B.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui metode untuk penetapan kadar logam berat timbal (Pb) pada

cacing Lumbricus rubellus menggunakan spektroskopi memiliki validitas yang

baik.

2. Mengetahui apakah terjadi akumulasi kadar timbal di dalam tubuh cacing

(25)

BAB II

PENELAHAAN PUSTAKA A. Lumbricus rubellus

Lumbricus rubellus termasuk dalam kelompok binatang tidak bertulang

belakang (avertebrata) dan banyak ditemukan di daerah yang lembap. Seluruh

badannya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin sehingga dapat

digolongkan dalam filum Annelida. Pada setiap segmen tubuh terdapat seta yaitu

rambut yang keras dan pendek. Jumlah seta ini sangat sedikir maka Lumbricus

rubellus dimasukkan dalam kelas oligochaeta. Genus Lumbricus ini suka dengan

bahan organik yang berasal dari kotoran hewan maupun dedaunan (Palungkun,

2010).

B.Manfaat Cacing Lumbricus rubellus

Antimikroba yang berasal dari cacing Lumbricus rubellus dinamakan

dengan Lumbricin I, dimana Lumbricin I ini memiliki daya antimikroba dengan

spektrum yang luas tanpa menimbulkan efek hemolitik. Lumbricin I hanya

dihasilkan oleh cacing Lumbricus rubellus dewasa (Cho, Chan, Young, dan Sun,

1998).

Lumbrokinase hadir dalam bentuk iso-enzim dalam usus terutama dalam

cairan usus dari cacing Lumbricus rubellus. Lumbrokinase memiliki karakteristik

yang unggul yaitu stabil dalam pelarut organik dan anorganik dan menjadi tidak

aktif pada suhu 600C. Enzim Lumbrukinase memiliki aktivitas fibrinolytic yang

sangat kuat, stabil pada kisaran pH yang luas dan menunjukkan kestabilan

(26)

C. Pencemaran Logam Berat

Pencemaran adalah peningkatan berbagai macam bahan yang biasanya

bersifat berbahaya ke lingkungan dan dapat merusak lingkungan sebagai aktivitas

manusia ke lingkungan. Pencemaran logam berat terhadap lingkungan merupakan

suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh

manusia. Logam biasanya digunakan dalam peralatan rumah tangga, batu baterai,

tempat makanan, pipa-pipa logam, perhiasan, peralatan pertanian dan lain-lain.

Pencemaran logam dapat berasal dari proses produksi, misalnya pembakaran batu

bara, pemurnian minyak, pembangkit listrik. Pada cacing pencemaran ini dapat

berasal dari pangan yang diberikan (Buchari, Wayan, Pharma dan Kunti, 2001).

D. Timbal (Pb) 1. Definisi

Timbal lebih dikenal dengan nama timah hitam dan dalam bahasa

ilmiahnya dikenal dengan kata Plumbum dan logam ini dilambangkan dengan

Pb. Di dalam tabel periodik unsur kimia, logam ini termasuk kedalam

kelompok logam-logam golongan IV–A. Mempunyai nomor atom 82 dengan

masa atom 207,2 adalah suatu logam berat berwarna kelabu kebiruan dan lunak

dengan titik leleh 327°C dan titik didih 1.620°C. Pada suhu 550-600°C. Timbal

(Pb) menguap dan membentuk oksigen dalam udara membentuk timbal oksida.

Bentuk oksidasi yang paling umum adalah timbal (II). Walaupun bersifat lunak

(27)

larut dalam air dingin, air panas dan asam. Timbal (Pb) ini bisa larut dalam

asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat (Palar, 1994).

2. Keracunan Timbal

Kelebihan timbal di dalam tubuh dapat memberikan efek toksik

multisistemik melalui tiga mekanisme, yaitu melalui aktivitas hambatan enzim,

sebagai konsekuensi ikatan pada gugus sulfuhidril (-SH); dengan mempengaruhi

aksi kation esensial, terutama kalsium, zat besi dan seng dengan mengubah

struktur reseptor serta membran sel (Katzung, 2004).

Timbal dapat mengakibatkan yang bersifat reversibel pada ginjal akibat

efek sampingnya terhadap tubulus proksimal sehingga menganggu kerja dari

ginjal dalam proses mengabsorbsi glukosa, asam amino dan fosfat. Efek jangka

panjangnya yaitu terjadi penurunan fungsi ginjal, termasuk atropi glomular,

fibrosis interstinal, dan sklerosis pembuluh darah (Manahan, 2003).

Gejala yang mengindikasikan keracunan Pb kronis, yaitu anoreksia,

lelah, malaise, sakit kepala, depresi, kelemahan otot kaki dan tangan, anemia,

neuropati perifer (Katzung, 2004).

E. Destruksi

Jaringan hewan dan tanaman, cairan biologis, dan komponen organik

biasanya diuraikan dengan destruksi basah dengan menggunakan satu jenis asam

atau campuran asam, bisa juga dengan destruksi kering yang dipanaskan pada

temperatur tinggi (400-700°C) pada tungku api. Pada destruksi basah, hasil

(28)

menguap sehingga menyisakan garam atau asam dari konstituen inorganik.

(Christian, 2004).

1. Destruksi Kering

Walaupun berbagai macam kombinasi pengabuan dan destruksi basah

digunakan dalam frekuensi yang hampir sama oleh analisis senyawa organik dan

material biologik, destruksi kering merupakan metode tanpa bantuan bahan kimia

adalah teknik yang paling banyak digunakan. Timbal, seng, kobalt dan besi dapat

diperoleh dengan kehilangan yang sedikit karena retensi dan penguapan

(Christian, 2004).

2. Destruksi Basah

Destruksi basah dengan menggunakan campuran dari asam nitrat dan

asam sulfat adalah prosedur oksidasi yang paling sering dipakai. Biasanya

sejumlah kecil dari asam sulfat digunakan dengan volume asam nitrat yang lebih

besar (20-30 ml). Destruksi basah biasanya dilakukan dengan labu Kjehdahl.

Asam nitrat menghancurkan zat organik, tetapi tidak cukup panas untuk

menghancurkan sisa terakhir. Campuran dipanaskan selama proses destruksi

sampai asap SO3 putih terbentuk dan mulai berefluk dalam labu. Pada keadaan ini

cairan akan sangat panas, dan asam sulfat bereaksi terhadap sisa bahan organik.

(29)

Destruksi basah terdiri dari 2 jenis yaitu:

a. Satu Jenis Asam.Sebagai panduan umum berguna untuk mengklasifikasikan

perlakuan asam lebih umum menurut apakah asam tersebut dapat

mengoksidasi sampel atau tidak. Asam nonoxidizing termasuk asam klorida,

fluorida, sulfat, dan perklorat encer, sedangkan asam pengoksidasi termasuk

panas, nitrat pekat, sulfat, dan asam perklorat. Larutnya logam dengan asam

nonoxidizing adalah proses penggantian hidrogen.

Asam klorida akan melarutkan logam di atas potensial reduksi hidrogen,

garam dari asam lemah, dan oksida banyak. Pengenceran asam sulfat dan

berguna untuk logam di atas potensial reduksi hidrogen. Asam sulfat pekat

akan sering melarutkan logam di bawah potensial reduksi standar hidrogen.

Kondisi oksidasi paling ampuh yang diperoleh dengan menggunakan asam

perklorat pekat panas, yang akan melarutkan semua logam biasa. Asam

klorida pekat merupakan pelarut yang sangat baik untuk oksida logam

banyak serta mereka logam yang lebih mudah teroksidasi dibanding

hidrogen. Selain itu, sering lebih baik untuk pelarut oksida daripada asam

pengoksidasi.

Asam nitrat pekat akan melarutkan semua logam biasa dengan pengecualian

dari aluminium dan kromium, yang pasif untuk reagen sebagai akibat

pembentukan permukaan oksida. Asam nitrat panas juga mudah

mengoksidasi zat organik banyak. Asam sulfat pekat dapat digunakan untuk

mengurai dan melarutkan berbagai zat dan itu sangat berguna untuk

(30)

b. Campuran Asam. Kombinasi asam lebih disukai untuk matriks organik

tertentu dan umumnya lebih menguntukan untuk penguraian senyawa

organik. Untuk senyawa organik biasanya digunakan yaitu campuran aqua

regia (1:3 asam nitrat-asam klorida). Asam nitrat berfungsi untuk agen

pengoksidasi sementara asam klorida berfungsi sebagai agen pengkompleks.

Sebagai tambahan brom atau hidrogen peroksida bisa meningkatkan

kelarutan dari mineral. Campuran 1:4 asam sulfat dan asam nitrat biasanya

digunakan untuk sampel organik. Asam nitrit akan mengurai zat organik

tetapi tidak mencapai suhu yang cukup untuk mengurai yang tersisa. Namun

karena asam nitrat mendidih dan menguap maka tertinggal asam sulfat. Asap

SO3 menguap dan memenuhi labu sehingga membuat suasana yang sangat

panas dan memungkinkan asam sulfat panas ini untuk menguraikan

bahan-bahan organik yang tersisa. Metode ini harus dilakukan didalam lemari

asam. Lebih banyak asam nitrat yang ditambahkan maka akan

memperpanjang proses dekstruksi dan menghilangkan bahan organik yang

sulit dihancurkan (Twyman, 2005).

F. Spektroskopi Serapan Atom.

Instrumen spektroskopi serapan atom berprinsip pada absorbsi cahaya

oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang

tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Transisi elektronik suatu unsur bersifat

spesifik. Dengan absorbsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu

(31)

Keberhasilan analisis ini tergantung dari proses eksitasi dan cara memperoleh

resonansi yang tepat (Khopkar, 1990).

Atomisasi dapat dilakukan dengan nyala maupun dengan tungku. Untuk

mengubah unsur metalik menjadi uap atau hasil disosiasi diperlukan energi panas.

Temperatur harus benar-benar terkendali dengan sangat hati-hati agar proses

atomisasinya sempurna. Ionisasi harus dapat dihindartkan dan ini dapat terjadi

bila temperatur terlalu tinggi (Khopkar, 1990).

Seperangkat sumber yang dapat memberikan garis emisi yang tajam dari

suatu unsur spesifik tertentu sebagai hollow cathode lamp. Lampu ini memiliki

dua elektroda, satu diantaranya berbentuk silinder dan terbuat dari unsur zat yang

sama dengan unsur yang dianalisis. Dengan pemberian tegangan pada arus

tertentu, logam mulai memijar, dan atom-atom logam katodanya akan teruapkan

dengan pemercikan. Atom yang tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada

panjang gelombang tertentu (Khopkar, 1990).

Interaksi materi dengan berbagai energi seperti energi panas, energi

radiasi, energi kimia dan energi listik selalu memberikan sifat-sifat yang

karakteristik untuk untuk setiap unsur (atau persenyawaan) dan besarrnya

perubahan yang terjadi biasanya sebanding dengan jumlah unsur atau

persenyawaan yang terdapat didalamnya. Di dalam kimia analisis yang

mendasarkan pada proses interaksi itu antara lain cara analisis spektrofotometri

serapan atom yang bisa berupa cara emisi dan cara absorpsi (serapan) (Gandjar

(32)
[image:32.595.208.413.111.281.2]

Gambar 1. Instrumen spektroskopi serapan atom(Beaty dan Kerber, 1996)

ada 6 komponen dasar dalam instrument serapan atom yaitu:

1. Source (Sumber Cahaya)

Atom-atom menyerap cahaya dengan panjang gelombang yang spesifik,

maka perlu digunakan spektra sinar yang sempit. Spektra yang sempit ini

memberikan intensitas yang tinggi dan membuat serapan atom menjadi teknik

analisis yang spesifik. Sumber cahaya yang digunakan dalam spektroskopi

serapan atom adalah hollow catoda lamp (HCL) dan electrodeless discharge lamp

(EDL) (Beaty dan Kerber, 1996).

Hollow catoda lamp memiliki sinar yang terang dan stabil untuk sumber

cahaya untuk kebanyakan elemen. Akan tetapi untuk elemen yang menguap,

dimana memiliki intensitas yang kecil dan umur lampu yang pendek menjadi

permasalahan yang utama. Untuk kebanyakan elemen hollow catoda lamp sangat

memuaskan sebagai sumber cahaya akan tetapi memiliki kekurangan terutama

sampel dengan intensitas kecil. Electrodeless discharge lamp merupakan sumber

(33)

cocok untuk varietas elemen yang lebih luas termasuk yang bersifat menguap

(Beaty dan Kerber, 1996).

2. Absorption Cell

Dalam Absorption cell merupakan tempat atom dari sampel hasilkan

dimana terdiri dari burner system, nyala dan pengontrol gas.

a. Burner system. Burner system terdiri dari burner heads dan nebulizers.

Burner heads terbuat dari titanium padat dimana memiliki karakteristik

tahan terhadap karat dan tahan terhadap pemanasan tinggi. Burner heads

dengan panjang 10 cm didesain untuk nyala hasil campuran udara-asetilen.

Karena panjang burner ini menyediakan sensitivitas yang baik untuk elemen

air-asetilen.

b. Nebulizer. Nebulizer berfungsi mengisap sampel cairan dengan jumlah yang

terkontrol diubah menjadi aerosol untuk dimasukkan ke dalam api dan

mencampur aerosol sampel, pembakar dan oksidator menuju ke dalam nyala

3. Slit

Berfungsi untuk mengatur jumlah cahaya yang berasal dari nyala dan

diteruskan ke monokromator

4. Monokromator

Monokromator untuk mengisolasi cahaya dengan panjang gelombang

tertentu dari nyala sehingga cahaya dengan panjang gelombang yang lain tidak

diteruskan ke detektor.

5. Detector

(34)

6. Display

Untuk menunjukkan hasil pembacaan dari hasil proses instrument (Beaty

dan Kerber, 1996).

G.Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu proses untuk memastikan bahwa

prosedur analisis yang digunakan cocok. Metode analisis dapat dikelompokkan

menjadi 4 kategori yaitu :

1. Kategori 1, merupakan metode analisis yang digunakan untuk mengukur

komponen utama dalam jumlah besar (termasuk bahan pengawet) atau bahan

aktif obat dari suatu sediaan.

2. Kategori 2, merupakan metode analisis untuk penentuan impurities bahan obat

dan degradasi produk obat, termasuk penentuan kuantitatif dan uji batas.

3. Kategori 3, merupakan metode analisis yang digunakan untuk menentukan

karakteristik sediaan farmasi (misalnya disolusi).

4. Kategori 4, merupakan metode analisis untuk identifikasi secara kualitatif

(Synder, Kirkland dan Dolan, 2010).

Setiap kategori metode analisis memiliki persyaratan validasi yang

(35)
[image:35.595.100.512.131.554.2]

Table I. Kategori metode analisis (Synder, Kirkland dan Dolan, 2010)

Parameter Validasi

Kategori 1

Kategori 2 Kategori 3

Kategori 4 Kuantitatif Uji Batas

Akurasi Ya Ya * * Tidak Presisi Ya Ya Tidak Ya Tidak Spesifisitas Ya Ya Ya * Ya

LOD Tidak Tidak Ya * Tidak LOQ Tidak Ya Tidak * Tidak Linearitas Ya Ya Tidak * Tidak Rentang Ya Ya Tidak * Tidak * Mungkin dibutuhkan tergantung dari tipe uji

Parameter-parameter validasi yang sering digunakan antara lain:

1. Linearitas

Linearitas dari prosedur analisis adalah kemampuan (dengan kisaran

yang ditentukan) untuk menghasilkan data yang proposional dengan konsentrasi

dalam sampel (Chan, Lee, Herman, dan Xue, 2004).

2. Spesifisitas

Spesifisitas adalah kemampuan untuk menilai suatu analit dengan tegas

dalam suatu sampel dengan berbagai macam campuran. Uji spesifisitas dari suatu

metode dengan cara membandingkan sampel yang mengandung pengotor, produk

yang terdegradasi atau dengan penyusun placebo dengan sampel yang tidak ada

pengotor, produk yang terdegradasi atau dengan penyusun placebo (Chan, Lee,

Herman, dan Xue, 2004).

3. Akurasi

Menurut ICH (International Conference on Harmonization), akurasi dari

(36)

sebagai persen perolehan kembali (percent recovery) (Chan, Lee, Herman, dan

Xue, 2004).

Persentase perolehan kembali yang diperboleh ditunjukkan pada tabel II

[image:36.595.98.505.223.643.2]

dibawah ini:

Tabel II. Perolehan kembali menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador, 2007)

4. Presisi

Presisi dari prosedur analisis menunjukkan kedekatan antara seri

pengukuran yang didapatkan dari beberapa sampel dengan perlakuan yang sama.

Presisi dilaporkan sebagai %RSD atau CV dan presisi diamati dalam 3 tingkatan

yaitu:

a. Repeatability (Precision). Repetability adalah pengukuran presisi daalam

kondisi operational yang sama dalam jangka waktu yang singkat.

b. Intermediate Precision. Intermediate precision didefinisikan sebagai

variasi yang muncul pada laboratorium yang sama. Parameter yang diuji

(37)

tempat dan waktu serta variasi dari yang melakukan proses tersebut yang

dilakukan hari demi hari.

c. Reproducibility. Reproducibility mengukur presisi antara laboratorium

yang berbeda ketika digunakan kolaborasi dua atau lebih ilmu (Chan, Lee,

[image:37.595.102.502.260.612.2]

Herman, dan Xue, 2004).

Tabel III. Batas %RSD menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador 2007)

5. Limit of Detection (LOD)

Limit of detection adalah konsentrasi atau jumlah dari analit yang

berbeda signifikan dari blanko dan dapat dideteksi oleh instrumen (Chan, Lee,

Herman, dan Xue, 2004).

6. Limit of Quantitation (LOQ)

Limit of quantitation adalah konsentrasi atau jumlah analit terkecil yang

dapat dikuantifikasi dengan presis dan akurasi yang cocok. Limit of quantitation

merupakan parameter kuantitatif untuk analit dalam suatu matriks dengan

konsentrasi kecil dan digunakan untuk menetukan jumlah pengotor atau jumlah

(38)

H.Landasan Teori

Cacing Lumbricus rubellus sebagai obat alternatif untuk mengobati

penyakit tipus dan demam oleh sebab itu dalam hal pemilihan pangan dan media

perlu diperhatikan. Jikalau pangan yang diberikan diambil dengan sembarangan

misalnya dari pinggir jalan maka akan ada kemungkinan terdapat cemaran logam

berat salah satunya timbal. Timbal dapat mengakibatkan yang bersifat reversibel

pada ginjal akibat efek sampingnya terhadap tubulus proksimal shingga

menganggu kerja dari ginjal dalam proses mengabsorbsi glukosa, asam amino dan

fosfat (BPLHD, 2009).

Keberadaan timbal ini dapat dideteksi dengan menggunakan instrument

spektrofotometri serapan atom. Instrumen ini bisa dengan spesifik mendeteksi

keberadaan timbal meski ada logam-logam lain yang dapat mengganggu dari

pembacaan alat ini. Sampel yang digunakan adalah mahluk hidup maka perlu

dilakukan penghilangan senyawa organik dengan cara destruksi. Destruksi yang

dipilih adalah destruksi basah karena keamanan dari pengerjaannya terjamin

dibandingkan dengan destruksi kering. Pelarut yang digunakan untuk destruksi

adalah H2SO4 dan HNO3 (Twyman, 2005).

Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka perlu dilakukan optimasi

spektroskopi serapan atom. Optimasi yang dilakukan antara lain optimasi tinggi

burner, kuat arus, garis resonansi, perbandingan bahan bakar dan udara, serta

lebar celah. Disamping itu perlu dilakukan optimasi terhadap metode analisis

(39)

I. Hipotesis

Dari pangan dicemari yang diberikan terhadap cacing Lumbricus

rubellus, terjadi akumulasi kadar timbal yang masuk ke dalam tubuh cacing.

J. Bagan Kerja

Cacing

Lumbricus

rubellus

Pangan yang

Tidak Dicemari

Timbal

Tidak Terjadi

Akumulasi Timbal

Pangan yang

Dicemari Timbal

Terjadi Akumulasi

Timbal

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental dengan rancangan

deskriptif karena dilakukan manipulasi terhadap subjek uji, subyek uji yang

dimaksud disini adalah perlakuan yang diberikan terhadap sampel.

B. Variabel Penelitian 1. Klasifikasi Variabel

a. Varibel bebas. Variabel pada penelitian ini adalah kadar larutan baku

PbNO3, tinggi burner,perbandingan udara dan asetilen

b. Varibel tergantung. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah

absorbansi, kadar timbal dalam cacing dan parameter validasi

c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam

penelitian ini adalah asal cacing Lumbricus rubellus dan alat-alat yang

digunakan

C.Definisi Operasional

1. Lumbricus rubellus adalah termasuk dalam kelompok binatang tidak

bertulang belakang (avertebrata) dan banyak ditemukan di daerah yang

lembab.

2. Cemaran logam berat adalah cemaran Pb dalam cacing Lumbricus rubellus

(41)

3. Destruksi basah merupakan salah satu cara dekomposisi sampel dengan

penambahan reagen cair.

D.Bahan Penelitian

PbNO3 p.a Merck®, asam sulfat(H2SO4) 90,63% p.a Merck®, asam nitrat

(HNO3) 65% p.a Merck®, cacing Lumbricus rubellus, daun hasil fermentasi, asam

bikromat, aquabidest ( Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Fakultas

Farmasi Sanata Dharma).

E. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas merk

Pyrex®, hotplate merk LabTech®, Seperangkat instrument SSA merk Perkin

Elmer SSA 3110®, Tipe nyala api yaitu Asetilen : udara, neraca analitik merk

Denver®, kertas Whatman No.42, vacuum dan botol plastik.

F. Tata Cara Penelitian 1. Pencucian Wadah dan Peralatan

Peralatan dan wadah yang akan digunakan untuk analisis, dibilas dengan

asam pencucikemudian didiamkan pada lemari asam selama 24 jam lalu dibilas

dengan aquabidest. Dilakukan pergantian asam pencuci ketika warnanya sudah

berubah menjadi kehijauan. Setelah kering, alat ini dimasukkan dalam kantong

(42)

2. Pemilihan Sampel

Sampel cacing Lumbricus rubellus dibeli langsung dari petani cacing di

Nyamplung, Gamping Yogyakarta. Cacing yang digunakan memiliki ciri-ciri

warna bagian atas tubuh merah dan bawah tubuh merah pucat dan adanya warna

kuning bagian anus.

3. Penimbangan Bobot Kering Sampel

Wadah dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam,

ditimbang kemudian dipanaskan kembali dalam oven pada suhu 105oC selama 1

jam. Cara ini dilakukan berulang kali sampai diperoleh bobot tetap. Bobot tetap

berarti selisih dua kali penimbangan sampel berturut-turut tidak lebih dari 0,5 mg

tiap g sisa yang ditimbang. Penimbangan bobot kering juga dilakukan terhadap

sampel yang digunakan. Ditimbang 1-2 g sampel kemudian lakukan seperti

prosedur diatas menggunakan wadah yang telah dikuantifikasi (Dirjen POM,

1974).

4. Destruksi Cacing Lumbricus rubellus

a. Destruksi Basah. Ditimbang seksama dua setengah gram sampel (bobot

kering), dalam labu Erlenmeyer 50 ml (sebelumnya dicuci asam dan

dikeringkan). Ditambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat diikuti oleh 12,5 ml HNO3

pekat ke dalam labu sampel. Sampel dipanaskan menggunakan hotplate

pada suhu ±130°C (mendidih). Ketika dipanaskan akan keluar asap

cokelat-kuning. Setelah asap cokelat-kuning tersebut hilang, maka akan mucul asap

putih dari H2SO4 yang menunjukkan terjadinya proses penguraian H2SO4

(43)

pekat setetes demi setetes. Dilanjutkan sampai warna larutan menjadi jernih,

yaitu berwarna kuning jerami. Jika larutan itu masih gelap warnanya

ditambahkan HNO3 pekat perlahan-lahan dan dididihkan lagi. Proses ini

diulangi sampai larutan tersebut jernih, kuning jerami dan ketika

dimasukkan kedalam wadah yang berisi es tidak terbentuk gumpalan

minyak. Sampel dibiarkan mendingin sampai suhu kamar (dilakukan tiga

kali replikasi) (AOAC, 2007).

b. Penyaringan. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan corong burner

dan Kertas Whatman No. 42. Kertas Whatman No. 42 dijenuhkan dengan

HNO3 1 M lalu diletakkan di bagian atas corong. Corong diletakkan pada

mulut labu isap. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke dalam erlenmeyer

yang berisi timbal hasil destruksi basah lalu disaring. Kedalam Erlenmeyer

kosong dibilas dengan 5 mL HNO3 1 M sebanyak 2 kali untuk mengantipasi

sampel tertinggal di Erlenmeyer. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke

dalam labu isap melewati kertas saring tadi untuk mengantisipasi adanya

sampel yang tertinggal di kertas saring dan corong. Larutan hasil

penyaringan dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian ditambahkan

HNO3 1 M hingga batas tanda pada labu ukur. Larutan dipindahkan ke

wadah plastic dan disimpan dalam lemari pendingin. Larutan siap diujikan

ke SSA pada kondisi optimum (dilakukan tiga kali replikasi) (AOAC,

(44)

5. Kondisi Optimum Analisis

a. Optimasi Tinggi Burner. Tekanan bahan bakar dan gas pembawa diatur

sampai nyala api stokiometrik nyala berwarna kuning tipis. Tekanan

dinaikkan sampai nyala berpijar kuning kuat. Larutan Pb 5 µg/ml disiapkan

dan absorbansinya dicatat pada 217 nm dan λ diatur hingga absorbansi

maksimum. Tinggi burner diatur hingga cahaya tampak melalui ujungnya

dengan tombol. Aquadest digunakan untuk men “zero” kan instrumen lalu

diukur absorbansi dari larutan Pb lima µg/ml.

b. Optimasi Untuk Perbandingan Bahan Bakar dan Oksidator. Digunakan tipe

nyala udara : asetilen dengan perbandingan 20:5 dan 20:10. Tekanan udara

dijaga konstan dan tekanan bahan bakar diatur bertahap dari kaya bahan

bakar hingga nyala kecil. Absorbansi Pb 5 µg/ml dicatat pada setiap

penambahan. Tekanan bahan bakar dipilih yang optimum dan tekanan udara

diubah dengan cara yang sama. Absorbansi vs tekanan udara diplot, dengan

catatan satu dibuat konstan. Setting tekanan bahan bakar dipilih yang

optimum.

6. Kurva Baku

a. Larutan Stok (1000 µg/ml). Dilarutkan 0,31970 g Pb(NO3)2 dalam 50 ml

HNO3 1M dalam labu takar 200 ml, kemudian ditambahkan HNO3 1M

(45)

Konsentrasi 1000 µg/ml didapat dari:

b. Larutan Intermediet 100 µg/ml. Pembuatan larutan Pb 100 µg/ml dengan

cara memipet 10 ml larutan stok lalu di ditambahkan dengan HNO3 1M

hingga batas tanda pada labu takar 100 ml. Buat seri konsentrasi dari

larutan intermediet yaitu 0.1, 0.5, 1, 1.5, 2, 2.5, 3 µg/ml. Kurva kalibrasi

unsur Pb diperoleh dengan mengukur serapan larutan standar unsur pada

kondisi optimum (dengan menggunakan tinggi burner dan perbandingan

bahan bakar dan udara hasil optimasi diawal). Dari hasil yang didapatkan

ditentukan linearitas dengan memplotkan absorbansi dan konsentrasi,

membuat kisaran linearitas dan menentukan sensitivitas alat dengan

menghitung LOD.

7. Validasi Metode Analisis

a. Prosedur Standar Adisi. Sebelum proses destruksi ke dalam 2.5 g sampel

(bobot kering) ditambahkan standar PbNO3 dengan konsentrasi 0, 2, 4, 6, 8

dan 10 µg/ml sebanyak 10 ml. Setelah didestruksi kemudian disaring

dengan kertas Whatman no.42 dan diukur absorbansinya menggunakan SSA

pada kondisi optimum dengan panjang gelombang (λ) 217 nm. Proses ini

dilakukan sebanyak tiga kali replikasi. Hasil pembacaan alat digunakan

(46)

8. Penetapan Kadar

a. Penyiapan Sampel. Sebanyak dua buah wadah yang berisikan media dari

serbuk kayu dimasukkan cacing Lumbricus rubellus 1 kg untuk setiap

wadah dan diberikan perlakuan yaitu pemberian pangan daun tercemar

timbal (Pb) yang diperoleh dari pohon di jalan Godean, Yogyakarta.

Kemudian daun-daun ini disemprotkan dengan PbNO3 10µg/ml secara

merata dan difermentasi selama seminggu menggunakan cairan EM4®.

Pemberian pangan dilakukan semenjak cacing Lumbricus rubellus berumur

2 minggu hingga 2 bulan. Dimana pemberian pangan dilakukan setiap 6

kali sehari.

b. Preparasi Sampel. Sebanyak sejumlah cacing lalu direndam didalam air

panas. Jika cacing tidak bergerak lagi diangkat dari wadah lalu dikering

anginkan.

c. Destruksi Basah. Ditimbang seksama dua setengah gram sampel (bobot

kering), dalam labu Erlenmeyer 50 ml (sebelumnya dicuci asam dan

dikeringkan). Ditambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat diikuti oleh 12,5 ml HNO3

pekat ke dalam labu sampel. Sampel dipanaskan menggunakan hotplate

pada suhu ±130°C (mendidih). Ketika dipanaskan akan keluar asap

cokelat-kuning. Setelah asap cokelat-kuning tersebut hilang, maka akan mucul asap

putih dari H2SO4 yang menunjukkan terjadinya proses penguraian H2SO4

dan sampel akan berwarna lebih gelap. Dengan segera ditambahkan HNO3

pekat setetes demi setetes. Dilanjutkan sampai warna larutan menjadi jernih,

(47)

ditambahkan HNO3 pekat perlahan-lahan dan dididihkan lagi. Proses ini

diulangi sampai larutan tersebut jernih, kuning jerami dan ketika

dimasukkan kedalam wadah yang berisi es tidak terbentuk gumpalan

minyak. Sampel dibiarkan mendingin sampai suhu kamar (dilakukan dua

kali replikasi) (AOAC, 2007).

d. Penyaringan. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan corong burner

dan Kertas Whatman No. 42. Kertas Whatman No. 42 dijenuhkan dengan

HNO3 1 M lalu diletakkan di bagian atas corong. Corong diletakkan pada

mulut labu isap. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke dalam erlenmeyer

yang berisi timbal hasil destruksi basah lalu disaring. Kedalam Erlenmeyer

kosong dibilas dengan 5 mL HNO3 1 M sebanyak 2 kali untuk mengantipasi

sampel tertinggal di Erlenmeyer. Sebanyak 5 ml HNO3 1 M dituangkan ke

dalam labu isap melewati kertas saring tadi untuk mengantisipasi adanya

sampel yang tertinggal di kertas saring dan corong. Larutan hasil

penyaringan dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian ditambahkan

HNO3 1 M hingga batas tanda pada labu ukur. Larutan dipindahkan ke

wadah plastic dan disimpan dalam lemari pendingin. Larutan siap diujikan

ke SSA pada kondisi optimum (dilakukan dua kali replikasi) (AOAC,

2007).

e. Penetapan Kadar. Larutan hasil destruksi diujikan ke SSA dengan kondisi

optimum dan diukur absorbansinya dengan panjang gelombang (λ) 217 nm.

Lalu dihitung kadarnya dan dibuat kurva antara peningkatan kadar timbal

(48)

G. Tata Cara Analisis Hasil 1. Validasi Alat Untuk Determinasi

a. Linearitas. Linearitas ditentukan dari koefisien korelasi (r) yang diperoleh

dari kadar dan serapan dari data penentuan kurva baku ke dalam regresi

linear.

b. Sensitivitas. Sensitivitas alat dapat ditentukan dengan menghitung LOD

dengan rumus:

Keterangan: Sa : standar deviasi dari intercept kurva baku dan b : slope

2. Validasi Metode

a. Akurasi. Akurasi dapat dihitung dengan rumus:

Perolehan Kembali (recovery) =

x 100%

b. Presisi. Presisi dapat dihitung dengan rumus:

Kesalahan Acak (%RSD) =

c. Intermediate Precision. Kesesuain alat ditentukan dengan uji-t terhadap

slope dan intersept dari 2 kurva baku yang dibaca pada hari yang berbeda.

d. Limit of Quantitation. Limit Of Quantitation (LOQ) dapat dihitung dengan

rumus:

(49)

e. Pengaruh Prosedur Analisis. Pengaruh prosedur analisis ditentukan dengan

membandingkan antara kurva baku dengan kurva standar adisi. Dilihat

apakah terdapat perbedaan slop yang signifikan antara kurva baku dengan

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Pengaruh Pangan yang Dicemari Logam Berat Timbal

(Pb) Terhadap Kadar Timbal pada Cacing Lumbricus rubellus” dilakukan

beberapa tahapan seperti destruksi basah optimasi spektroskopi serapan atom,

pembuatan kurva baku, preparasi sampel dengan menggunakan destruksi basah,

pembuatan kurva adisi, perhitungan validasi metode dan penetapan kadar sampel.

A.Pemilihan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing Lumbricus

rubellus yang dibeli langsung dari petani cacing di Nyamplung Gamping

Yogyakarta. Cacing Lumbricus rubellus yang dibeli sudah dewasa dan siap untuk

berkembangbiak. Cacing Lumbricus rubellus memiliki ciri-ciri spesifik yang

membedakannya dengan cacing tanah lainnya yaitu perbedaan warna antara

bagian atas badan cacing dan bagian bawah cacing. Pada bagian atas berwarna

merah sedangkan pada bagian bawah berwarna merah pucat. Selain itu pada

bagian anus cacing Lumbricus rubellus berwarna kuning. Hal ini ditunjukkan

(51)
[image:51.595.99.514.102.620.2]

Gambar 2. Cacing Lumbricus rubellus

B.Destruksi Sampel

Metode destruksi ada 2 jenis yaitu destruksi kering dan destruksi

basah. Destruksi kering merupakan metode untuk mengekstraksi cemaran

logam dengan cara mengabukan (ashing) sampelnya dengan suhu diatas 500oC

sedangkan destruksi basah melibatkan degradasi kimia dari matriks sampel

dalam larutan, biasanya dengan kombinasi asam untuk meningkatkan kelarutan

elemen yang akan dianalisis.

Dalam penelitian ini digunakan metode destruksi basah karena:

a. Destruksi kering dapat menyebabkan beberapa elemen seperti AS, Cr dan

Pb pada saat pemanasan dan memungkinkan terjadinya adsorpsi pada

dinding tungku pada pengabuan dengan suhu 500-5500C (Hseu dan Yei,

2004).

b. Dalam penelitian Sastre et al. (2002) menyatakan destruksi menggunakan

asam nitrat merupakan metode yang optimal untuk menentukan jumlah

logam berat dalam sampel tanah dengan jumlah material organik yang

(52)

c. Dalam penelitian Zheljazkov dan Warman (2002) membandingkan antar

asam nitrat, campuran asam nitrat-asam perklorat dan metode destruksi

basah untuk menganalisis 17 elemen dalam 6 kompos dari Kanada. Hasil

penelitian menunjukkan dengan jumlah yang sama, antara asam nitrat

dengan campuran campuran asam nitrat-asam perklorat memberikan

perolehan kembali (recovery) yang lebih baik daripada digesti kering untuk

Cd dan Pb (Hseu dan Yei, 2004).

d. Dalam penelitian ini digunakan campuran asam nitrat-asam sulfat karena

mengutamakan keamanan (safety) dalam bekerja. Penggunaan dari asam

perklorat perlunya penanganan khusus karena mampu meledak dan mudah

mengoksidasi material inorganik (Twyman, 2005).

Untuk sampel organik secara umum digunakan campuran 1:2 asam sulfat

dan asam nitrat. Asam nitrat akan mengurai sebagian besar material organik akan

tetapi tidak mencapai suhu yang cukup untuk menghancurkan material organik

yang tersisa karena terlebih dahulu menguap dan yang tertinggal adalah asam

sulfat. Asap SO3 akan memenuhi labu dan membuat larutan menjadi semakin

panas dan memungkinkan asalm sulfat untuk mengurai bahan organik yang

tersisa. Ketika timbul asap putih menunjukkan asam sulfat mulai terurai jadi perlu

ditambahkan asam nitrat sedikit demi sedikit untuk memperpanjang proses

destruksi maka demi keamanan pengerjaan dengan metode ini harus dikerjakan

dalam lemari asam karena asap yang dihasilkan (Twyman, 2005).

Asam nitrat berfungsi sebagai pengoksida yang utama dan asam sulfat

(53)

sisa-sisa material organik yang tidak bisa dihancurkan oleh sama nitrat. Reaksi

yang terjadi adalah sebagai berikut:

H2SO4

3Pb + 8HNO3 3Pb2+ + 6 NO3- + 2NO + 4H2O (1)

C.Optimasi Spektroskopi Serapan Atom

Hal yang dilakukan pertama kali adalah pengaturan alat spektroskopi

serapan atom untuk memperoleh hasil analisis yang sensitif. Ketika instrumen

yang akan digunakan dioptimasi diharapkan semakin banyak atom-atom yang

menyerap dalam nyala api sehingga serapan yang dihasilkan semakin banyak

pula. Pada kondisi optimum akan diperoleh serapan yang maksimum. Dalam

penelitian ini spektroskopi serapan atom yang digunakan adalah tipe serapan

(absorbation) dari logam timbal (Pb).

Parameter kondisi optimum pada alat spektroskopi serapan atom meliputi

garis resonansi, lebar celah, kuat arus lampu katoda, laju alir udara dan asetilen,

kuat arus lampu katoda, dan tinggi pembakar burner. Data hasil pengoptimasian

instrumen tersaji lengkap pada tabel IV dan data ini diperoleh dari Fakultas MIPA

[image:53.595.103.511.338.738.2]

Universitas Gadjah Mada.

Tabel IV. Data optimasi spektroskopi serapan atom

Parameter Kondisi Optimum

Garis Resonansi 283,3 nm Lebar Celah 0,7 mm Kuat Arus Lampu Katoda 10 mA

(54)

1. Garis Resonansi

Monokromator dalam spektroskopi serapan atom berfungsi untuk

mengecilkan garis resonansi dari semua garis resonansi yang tidak diserap yang

dipancarkan oleh sumber. Dari hasil optimasi yang dilakukan oleh Fakultas MIPA

Universitas Gadjah Mada didapatkan garis resonansi yang optimal untuk sampel

Pb yaitu 283,3 nm karena pada panjang gelombang ini merupakan panjang

gelombang yang kuat untuk menyerap transisi elektron dari keadaan dasar

(ground state) ke keadaan tereksitasi. Saat atom-atom dalam keadaan dasar maka

ketika diberikan energi, atom tersebut akan tereksitasi namun pada kondisi

tereksitasi atom-atom ini tidak stabil sehingga melepaskan energi yang diserapnya

dalam bentuk sinar dan kembali ke keadaan dasar.

Pemilihan garis resonansi yang optimum bertujuan untuk meminimalkan

gangguang-gangguan sehingga didapatkan performa analitik yang maksimum

daripada garis resonansi yang lain. Dari gambar 3 dibawah menunjukkan garis

resonansi Pb yang memiliki intensitas tertinggi pada panjang gelombang 283,3

[image:54.595.104.514.300.738.2]
(55)

Intensitas relatif dari garis spektral tergantung pada jumlah populasi

atom. Perubahan suhu dapat mempengaruhi jumlah atom yang berada pada

keadaan tereksitasi. Maka dapat dihitung jumlah populasi atom yang menyerap

sinar dari hollow catoda lamp dan membuat atom tersebut berpindah dari keadaan

dasar ke keadaan tereksitasi dengan persamaan yang dikemukakan oleh

Maxwell-Boltzmann yaitu:

Keterangan, N = jumlah populasi atom (1=dari hollow katoda ; 0 =dari sisa sinar yang diteruskan),

P1 = absorbansi dari lampu hollow katoda, P0 = absorbansi dari sisa sinar yang diteruskan, k =

konstanta Boltzmann (1,38x10-23 J/K), =transisi energi (E1-E0)

(Lajunen, 2004)

2. Lebar Celah

Lebar Celah monokromator harus dipilih untuk mengoptimasi signal to

noise ratio. Lebar celah dalam spektrofotometri serapan atom harus sebesar yang

diperlukan untuk mengisolasi garis resonansi yang diperlukan. Semakin kecil

lebar celah yang dilakukan akan memperkecil gangguan spektranya. (Narsito,

1992). Pada kondisi optimum lebar celah yang digunakan adalah 0,7 mm, ini

menunjukkan bahwa lebar celah yang digunakan sangat kecil sehingga efektif

(56)
[image:56.595.102.511.112.595.2]

Gambar 4. Ilustrasi pengecilan garis resonansi 3. Kuat Arus

Gambar 5. Hollow Cathode Lamp (Beaty dan Kerber, 1996)

Lampu Katoda berbentuk silinder yang terdiri dari anoda dan katoda

yang ditutupi denga kaca Quartz silinder yang diisi dengan gas neon atau argon

dengan tekanan 1-5 torr seperti yang ditunjukkan pada gambar 5. Pengisian gas

yang optimum untuk memberikan intensitas yang maksimum digunakan saat

(57)

ketika lampu diisi dengan gas neon sedangkan yang diisi dengan gas argon

menimbulkan warna biru (Elmer, Hon dan Miller, Hon dan Miller 1996).

Pada bagian katoda dilapisi logam yang sesuai dengan logam yang akan

dianalisis. Anoda diberi tegangan sehingga bila sejumlah kecil arus yang

diberikan di antara katoda dan anoda akan mengakibatkan gas yang ada di dalam

tabung akan mengalami ionisasi sehingga ion gas akan tertarik ke arah katoda

dengan kecepatan tinggi menyebabkan terjadinya tumbukan yang mengakibatkan

tereksitasinya atom-atom logam yang ada dikatoda. Peristiwa tumbukkan ini

[image:57.595.102.510.266.607.2]

disebut sputtering ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 6. Sputtering (Beaty dan Kerber, 1996)

Ketika atom kembali ke keadaan dasar (ground state), garis resonansi

tertentu akan diemisikan oleh atom tersebut dalam hal ini atom timbal. Sinar akan

diteruskan ke nyala api dan atom dengan elemen yang sama dengan elemen

katoda (Pb) akan menyerap sinar ini dan akan mengalami eksitasi. Hasil optimasi

kuat arus yang dibutuhkan untuk menghasilkan sinar yang memiliki spektrum

spesifik dengan garis resonansi 283,3 nm sebesar 10mA.

Kuat arus lampu katoda yang disarankan tergantung pada unsur yang

akan dianalisis. Kuat arus yang digunakan sebaiknya seoptimal mungkin karena

jika kuat arus yang digunakan terlalu rendah akan menyebabkan intensitas lampu

menjadi terlalu sinar rendah sehingga sinar yang dihasilkan juga rendah

(58)

Efisiensi lampu katoda cekung bergantung pada bentuk geometri dari

katodanya dan besarnya tegangan listrik yang diberikan. Peningkatan pemberian

arus pada lampu katoda, pada umumnya akan meningkatkan intensitas akan tetapi

akan mengurangi umur dari lampu tersebut. Peningkatan ini tetap ada batasnya.

Jika pemberian tegangan berlebihan maka akan akan terjadi penyerapan sendiri

(self absorption) karena terjadinya peningkatan jumlah atom-atom yang tidak

tereksitasi dan menyerap emisi yang dipancarkan sendiri. Hal ini dapat

mengurangi intensitas dari lampu tersebut (Underwood, 2002).

4. Perbandingan Udara-Asetilen

Kombinasi udara-asetilen menghasilkan tipe nyala yang lebih banyak

digunakan dalam mendeterminasi 35 elemen dengan spektroskopi serapan atom.

Temperatur dari kombinasi udara-asetilen ini sekitar 23000C. Rasio dari

udara-asetilen perlu dioptimasi untuk mendapatkan sensitivitas yang maksimum (Elmer,

Hon dan Miller, 1996).

Udara digunakan sebagai bahan pengoksida dan astilen digunakan

sebagai bahan pembakar. Laju oksida dan pembakar yang optimal yaitu asetilen 3

mL/menit dan udara 2 mL/menit. Tipe nyala yang dihasilkan yaitu ‘Lean’ flame

ini merupakan kondisi yang baik karena timbal akan cenderung dalam keadaan

atom dibandingkan keadaan oksidanya. Selain itu pada kondisi ‘Lean’ flame suhu

yang dihasilkan akan lebih tinggi dibandingkan ‘Rich’ flame (kondisi pembakar

lebih banyak dan mengurangi jumlah timbal dari bentuk oksida menjadi bentuk

(59)

pengabutan (nebulizer) yang mengubah sampel menjadi uap (aerosol) yang siap

masuk ke dalam nyala api untuk atomisasi.

[image:59.595.100.496.166.702.2]

Gambar 7. Sistem nebulizer (Beaty dan Kerber, 1996)

(60)

5. Tinggi Burner

Tinggi burner Spektroskopi Serapan Atom perlu dioptimasi karena

parameter ini menentukan letak atau posisi pembakaran sampel yang optimal di

burner yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil bacaan detektor. Posisi

pembakaran sampel yang optimum akan menentukan sempurnanya pembakaran

[image:60.595.99.511.256.605.2]

yang terjadi sehingga proses atomisasi bisa maksimal.

Gambar 9. Flame Structure (Abdel, 2010)

Dari gambar 9 diatas menunjukkan struktur dari nyala yang digunakan

dalam spektroskopi serapan atom. Nyala terbagi menjadi 3 zona yaitu primary

contribution zone, interzonal region dan secondary contribution zone. Primary

contribution zone adalah zona dimana belum terjadi kesetimbangan termal, dalam

zona ini masih kaya akan bahan pembakar dan belum adanya sampel yang

teratomisasi. Interzonal region adalah zona yang relatif sempit dan daerah ini

terjadi peristiwa atomisasi sehingga zona ini merupakan zona yang kaya akan

atom bebas sehingga dipilih untuk spektroskopi. Selain itu zona ini juga

merupakan zona dengan suhu tertinggi. Secondary contribution zone adalah zona

dimana terjadi reformasi molekul dari atom-atom bebas menjadi bentuk oksida

(61)

dibandingkan dengan interzonal region (Abdel, 2010), Profil suhu dari nyala

[image:61.595.101.512.168.611.2]

spektroskopi serapan atom dapat dilihat pada gambar 10 dibawah ini :

Gambar 10. Profil suhu nyala (Abdel, 2010)

Dari gambar 10 dapat dilihat suhu tertinggi adalah diatas 1 cm primary

contribution zone. Pembakaran yang optimum akan menghasilkan atom bebas

dalam jumlah banyak sehingga pembacaan hasil oleh detektor juga semakin

optimal. Tinggi burner yang optimal hasil optimasi Fakultas MIPA Universitas

Gadjah Mada yaitu 1,2 cm.

D.Validasi Instrumen Analisis

Validasi instrumen adalah proses yang terdokumentasi yang memastikan

bahwa instrumen yang digunakan bekerja dengan benar selain itu untuk memiliki

keyakinan terbukti dalam pengukuran analitis, setiap komponen yang memberikan

kontribusi terhadap kualitas keseluruhan hasil harus diidentifikasi dan

(62)

benar dan karenanya tidak memiliki efek yang merugikan untuk hasil analisis.

Validasi instrumen merupakan suatu keharusan bagi perusahaan farmasi untuk

melakukan validasi instrumen (Anonim, 2008). Validasi instrumen dapat

dilakukan dengan cara menguji linearitas, kisaran linearitas dan sensitivitas alat.

1. Linearitas

Linearitas berguna untuk melihat apakah detektor memberikan hasil yang

linear terhadap konsentrasi analit yang kemudian dibuat kurva kalibrasi untuk

mendapatkan persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear sebagai berikut:

Y = (a±Sa) +(b±Sb)x

Dimana y = respon detektor, a = intercept, b = slope, x = kadar, dengan standar

deviasi dari intercept dan slope yaitu Sa dan Sb (González dan Herrardor, 2007).

Rekomendasi dari ICH, dalam menguji linearitas setidaknya 5 tingkat

konsentrasi yang harus digunakan dan linearitas tercapai ketika nilai dari

coefficient of determination (r2) ≥ 0,997 atau r ≥ 0,9985. Slope dari regresi linear

akan memberikan gambaran tentang sensitivitas. (Chan, Lee, Herman, dan Xue,

2004).

Pada suatu penetapan kadar hendaknya pembuatan kurva baku dilakukan

setiap akan memulai suatu proses penetapan kadar. Hal tersebut dimaksudkan

agar kurva baku yang dibuat merupakan kurva baku yang teraktual dengan

kondisi spektroskopi serapan atom yang ada, karena dalam selang rentang waktu

tertentu kurva baku yang ada bisa saja memiliki nilai r yang sama dengan kurva

baku pada pembuatan waktu sebelumnya namun tidak dengan nilai slope (b) yang

(63)

solution. Working solution adalah larutan yang dipreparasi dari larutan stok yang

kemudian diencerkan dengan pelarut yang sesuai dan membuat konsentrasi yang

diinginkan. Sebanyak 6 buat larutan baku Pb(NO3)2dengan konsentrasi 0,1-3

µg/mL diukur absorbansinya menggunakan spektroskopi serapan atom yang

[image:63.595.103.511.246.603.2]

sudah dioptimasi terlebih dahulu didapatkan hasil pada gambar 11.

Gambar 11. Kurva Baku Pb(NO3)2

Dari 6 analit yang digunakan sudah memenuhi persyaratan yang

ditetapkan oleh ICH yaitu sekurang-kurangnya 5 konsentrasi dan hasil coefficient

of determination (r2) yang didapatkan sebesar 0,9985 atau r = 0,9992. r = 0,9992

menunjukkan 99,9% perubahan absorbansi dipengaruhi oleh perubahan

konsentrasi analit (Pb(NO3)2). Kisaran linear dari kurva diatas yaitu 0,1-3 µg/mL.

Dapat disimpulkan hasil uji linearitas yang tercantum pada lampiran 9 memenuhi

syarat yang ditetapkan oleh ICH dan instrumen yang digunakan memberikan

respon yang linear terhadap konsentrasi analit.

y = 0,0126x + 0,0027 R² = 0,9985

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Abso

rb

an

si

Konsentrasi (µg/mL)

Kurva Baku Pb(NO

3

)

2

Konsentrasi vs absorbansi

<

Gambar

Gambar 1. Instrumen spektroskopi serapan atom(Beaty dan Kerber, 1996)
Table I. Kategori metode analisis (Synder, Kirkland dan Dolan, 2010)
Tabel II. Perolehan kembali menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador,
Tabel III. Batas %RSD menurut Horwitz dan AOAC (Gonzalez dan Herrador 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Mikoriza Arbuskular Terhadap Pertumbuhan dan Serapan Pb dan Cd Tanaman Mucuna pruriens pada Tanah yang Dicemari Logam Berat.. Dibimbing oleh Asmarlaili S sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tetas kokon cacing tanah ( Lumbricus rubellus ) di bawah pengaruh pemberian insektisida organofosfat.. Jenis penelitian

gigas sebagai biofilter terhadap penurunan kadar logam berat timbal (Pb) pada media tanam menunjukkan bahwa penambahan berbagai konsentrasi logam Pb dan waktu pemaparan yang

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan (1) Cacing tanah ( Lumbricus rubellus) efektif dalam dekomposisi sampah organik menjadi pupuk kascing, (2) Semakin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian insektisida organofosfat sampai dengan dosis 1gr/L, pada kokon cacing tanah Lumbricus rubellus tidak memberikan pengaruh

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa logam berat Pb tidak ada hubungan dengan kepadatan cacing tanah, namun secara deskriptif dapat dilihat dari berat dan rata-rata panjang

Pengaruh Mikoriza Arbuskular Terhadap Pertumbuhan dan Serapan Pb dan Cd Tanaman Mucuna pruriens pada Tanah yang Dicemari Logam Berat.. Dibimbing oleh Asmarlaili S sebagai

Tesis ini berjudul Pengaruh Mikoriza Arbuskular Terhadap Pertumbuhan dan Serapan Pb dan Cd Tanaman Mucuna pruriens pada Tanah yang Dicemari Logam Berat.. Selama melakukan