Penyelamatan wilayah hulu yang terkait dengan DAS telah lama dilakukan oleh Pemerintah, antara lain : (1) Pada tahun 1961 diadakan gerakan penghijauan secara massal dalam bentuk pekan penghijauan I di Gunung Mas, Puncak Bogor; (2) Pada tahun 1973 – 1981, lembaga FAO dan UNDP telah melakukan berbagai uji coba untuk memperoleh metoda yang tepat dalam merehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang ditinjau dari aspek fisik maupun sosial ekonomi di hulu DAS Bengawan Solo. Kemudian hasil-hasil pengujian tersebut antara lain diterapkan dalam proyek inpres penghijauan dan reboisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di Indonesia. (3) Proyek pengelolaan DAS terpadu yang pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana berbagai program dan kegiatan yang bersifat sektoral dan lintas disiplin dilakukan. Kemudian dilaksanakan pula studi kajian tentang pengelolaan DAS terpadu di DAS Brantas dan Jratunseluna; namun program dan kegiatan pada proyek-proyek pengelolaan DAS terpadu tersebut cenderung lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan banjir dan hampir seluruh dananya dibiayai oleh Pemerintah.
Lokakarya Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan, pada pertengahan Pebruari 2005 di Jakarta (Fauzi et al. 2005) merekomendasikan bahwa Indonesia membutuhkan regulasi tentang pembayaran jasa lingkungan atau yang dikenal sebagai Payments for Environmental Services (PES) atau Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL). Regulasi yang dimaksud harus memperkuat mekanisme normatif yang sudah berkembang di masyarakat. Lokakarya Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan tersebut diikuti berbagai lembaga pemerintah terkait lingkungan, pakar ekonomi lingkungan dan masyarakat serta sektor swasta diselenggarakan oleh
Rewarding Upland Poor for Environmental Services They Provide (RUPES),
bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Ford Foundation.
Sejauh ini regulasi tentang pembayaran jasa lingkungan, beberapa diantaranya baru pada tingkat peraturan daerah (perda). Sebagai contoh, pembayaran jasa lingkungan daerah aliran sungai (DAS) Cidanau di Propinsi Banten mengacu kepada perda propinsi. Dalam diskusi, berkembang pemikiran untuk tidak perlu membuat regulasi baru. Ketentuan tentang pembayaran jasa lingkungan cukup dimasukkan ke regulasi yang sudah ada. Misalnya, undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang subsidi atau pajak. Para peserta sepakat bahwa regulasi itu nantinya dibuat dengan melibatkan seluruh pemangku peran (stakeholders), berdasarkan pada suatu draft atau rancangan akademik. Ditekankan pula agar regulasi itu mengakomodasi hukum-hukum adat, hak ulayat, dan kearifan lokal yang ada di masyarakat.
Rekomendasi lainnya dari lokakarya tersebut adalah agar pembayaran jasa lingkungan dipahami sebagai biaya kelola lingkungan dan kelola sosial sehingga merupakan biaya produksi jasa lingkungan itu sendiri. Perlu ada kelembagaan tersendiri untuk pembayaran jasa lingkungan,
termasuk lembaga keuangannya. Untuk mendukung jalannya rekomendasi tersebut, maka dibentuk community of interest (komunitas dengan kepentingan sama) akan menyusun mekanisme komunikasi, merancang garis besar kegiatan, dan membentuk gugus tugas (working groups).
Model DAS Cidanau dalam lokakarya itu, lembaga swadaya masyarakat Rekonvasi Bhumi (Rahadian, 2005) memaparkan model mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Mekanisme pembayarannya dirancang untuk mengontrol dan mengatasi penebangan hutan (deforestasi). Mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau melibatkan Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), yang mempertemukan masyarakat yang tinggal di hulu sungai sebagai "penjual" dengan PT Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai "pembeli". FKDC melakukan negosiasi dengan PT KTI untuk pembayaran jasa lingkungan, kemudian hasilnya dituangkan dalam naskah kesepahaman dan perjanjian pembayaran jasa lingkungan antara FKDC dan PT KTI. Secara ringkas, peran forum komunikasi DAS Cidanau dalam implementasi jasa lingkungan meliputi: 1. Mengelola dana hasil pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat
(buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Cidanau melalui lembaga pengelola jasa lingkungan DAS Cidanau.
2. Mendorong pembangunan hutan di lahan milik oleh masyarakat dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan.
3. Menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau.
4. Mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau.
Forum itu juga mendiskusikan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dengan masyarakat pemilik hutan di hulu DAS Cidanau. Hasilnya, PT KTI setuju membayar jasa lingkungan secara sukarela (voluntary) selama lima tahun. Dua tahun pertama, PT KTI bersedia membayar Rp 175 juta per tahun. Adapun untuk tiga tahun berikutnya, akan
dinegosiasikan kemudian antara PT KTI dan FKDC. Masyarakat di lokasi model akan menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1,2 juta per hektar per tahun selama lima tahun. Ketentuannya, lahan masyarakat yang berhak menerima pembayaran jasa lingkungan memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon pada tahun pertama. Selanjutnya, masyarakat akan menerima pembayaran jasa lingkungan minimal Rp 2,5 juta per hektar per tahun dengan jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima.
Menurut Sutamin (2005) sebagai Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat mengemukakan bahwa konsep pengembangan jasa lingkungan di wilayahnya sudah sampai pada tahap penyamaan persepsi pada tingkat pengambil kebijakan; dalam hal ini telah terbentuk tim kecil dan penyusun rancangan perda pemanfaatan jasa lingkungan dengan melibatkan unsur-unsur dari lembaga yang memiliki komitmen, seperti WWF Nusa Tenggara, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, serta jajaran pemerintah daerah dan legislatif.
Hasil kajian Zaini (2005) di PDAM Menang Mataram, Lombok Barat dengan melakukan pendekatan program perlindungan sumber air baku dengan sistem zonasi dengan melakukan survai kepada pelanggan menyatakan bahwa 90% pelanggan bersedia untuk membayar biaya konservasi sebesar Rp1 000 – Rp5 000 per bulan dan membentuk Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) dengan Asosiasi Pelanggan Air Bersih (APAB) yang dimediasi oleh PDAM Menang Mataram. Sementara itu menurut Arifin (2005) bahwa telah terjadi adanya kesenjangan antara kebijakan yang ada dengan penerapan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan yang telah berjalan atau terlaksana yang diantaranya disebabkan oleh beberapa hal : (1) imbal jasa lingkungan merupakan topik baru dan secara pasar sulit dikembangkan, dan (2) dapat diimplementasikan bersamaan dengan program ekoturisme, dukungan sosial kapital atau pada
pengelolaan sumberdaya alam terpadu termasuk sumberdaya air. Hal ini mendapat dukungan dari Salim (2005) bahwa isu-isu pengembangan jasa lingkungan belum masuk kedalam diskusi para pengambil keputusan, padahal di lain pihak, hal itu perlu diangkat menjadi kebijakan Nasional dalam kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Salim menegaskan bahwa mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan perlu pendekatan secara bottom-up dalam setiap aspek pengembangannya, karena didalamnya menggambarkan adanya mekanisme bertemunya keseimbangan antara “kesediaan menerima imbalan” (willingness to accept atau WTA) penyedia jasa lingkungan dengan “kemampuan membayar imbalan” (willingness to pay atau WTP) yang tentunya harus memperhatikan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat sebagai suatu specific location. Selain itu banyak perangkat keuangan yang sebenarnya sudah hamper menggambarkan mekanisme tersebut, seperti pungutan, pajak, pinjaman lunak dan lainnya jika dimanfaatkan secara lebih efektif akan dapat mendukung mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan agar tepat sasaran perlu adanya pembangunan kelembagaan yang partisipatif, transparan dan akuntabel bagi seluruh stakeholders.
Rosa et al. (2005) dari Programa Salvadoreño de Investigación Sobre Desarrollo Medio Ambiente (PRISMA) El-Salvador memaparkan beberapa contoh kasus hasil kajian selama 1999 – 2003 tentang kompensasi jasa lingkungan di negara-negara Amerika melalui Proyek Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) yang dikoordinasikan oleh PRISMA dan didukung oleh Ford Foundation, selain itu ada pula kerangka program riset kompensasi jasa lingkungan untuk petani dan penduduk lokal selain bantuan dari Ford Foundation, juga CIDA, SDC dan NOVIB, hasil studi pembayaran dan imbal jasa lingkungan (sebagai Comparative study) meliputi :
(1) Kostarika, misalnya, sudah lebih maju karena pembayaran jasa lingkungan diatur berdasarkan regulasi oleh negara, antara lain melalui pajak
bahan bakar dan adanya institusi khusus yang menentukan wilayah target berupa SINAC (System of Conservation Areas) dan yang menangani proses pembayaran dan kontraknya adalah FONAFIFO (Dana Kehutanan Nasional). FONAFIFO menjadi lembaga dana khusus dalam FONASA (Dana Jasa Lingkungan Nasional) antara lain dananya berguna untuk program pengurangan gas rumah kaca (GRK), dana untuk perlindungan air, keragaman hayati, keindahan pemandangan, dan dana lainnya yng mungkin diadakan dalam kaitannya dengan imbal jasa lingkungan.
(2) Brasil menerapkan kebijakan dalam perluasan hak petani, berupa : pemberian hak kepada petani untuk menyadap karet di lahan konservasi, pemberian jaminan hukum atas hak penyadapan, kompensasi sejumlah tertentu yang diberikan kepada asosiasi petani karet untuk setiap kilogram karet yang disadap. Memberikan dorongan kepada petani untuk melakukan konservasi secara tradisional dan pemberian akses bagi masyarakat petani untuk mengelola kawasan lindung atau taman yang sudah terdegradasi.
(3) Pengalaman Meksiko, bahwa kontrol dan akses tidaklah cukup, masyarakat desa memerlukan pentingnya peningkatan kapasitas organisasi.
(4) Kota New York dan Masayarakat sekitar DAS Catskill-Delaware dalam pengelolaannya diputuskan melalui perundingan multi stakeholders dan dilakukan secara konsisten dan tegas sesuai komitmen para pihak dan Kota New York menyetujui untuk mendukung suatu perubahan dalam praktek pertanian melalui suatu paket kompensasi yang tidak terfokus pada pembayaran lansung.
(5) El Salvador adanya komitmen bahwa persfektif terhadap bentang alam dalam memahami berbagai ragam pemanfaatan lahan di daerah pedesaan adalah suatu keniscayaan dimana skema pengelolaan di berbagai level agro-ekosistem dan hutan serta jasa lingkungan lainnya untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, maka para pihak multi
stakeholders harus saling menghargai dan mengintegrasikan semua
Studi Drakel 2008 di DAS Citarum bahwa kemauan membayar berdasarkan pada dugaan rataan WTP adalah diatas harga air yang berlaku saat itu Rp62 500 perorang perbulan dan WTP agregat (total kemauan membayar) dari populasi Rp36 080 618 perbulan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi WTP adalah usia, pendapatan, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan atas kuantitas dan kualitas air dan status rumah.
Studi Irawan (2007) tentang Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian di DAS Citarik, menjelaskan bahwa lahan pertanian selain berfungsi sebagai penghasil komoditas pertanian juga menghasilkan jasa lingkungan, dimana lahan sawah dan lahan kering masing-masing memberikan nilai jasa lingkungan 85,4 % dan 72,1 % dari nilai ekonomi totalnya. Multifungsi lahan pertanian memberikan total nilai ekonomi berupa : sumber pendapatan, penyerap tenaga kerja, stabilitas ketahanan pangan (beras), mitigasi banjir, mitigasi erosi dan sedimentasi berturut-turut untuk lahan sawah adalah Rp6 906 178 perha pertahun, Rp8 895 600 per hektar pertahun, Rp22 366 922 perhektar pertahun, Rp3 575 400 perhektar pertahun, dan Rp6 247 376 perhektar pertahun dan pada usahatani di lahan tegalan berturut-turut Rp1 755 960 perhektar pertahun, Rp3 696 000 perhektar pertahun, Rp0 -, Rp848 400 perhektar pertahun, dan Rp0 -. Nilai ekonomi lahan sawah untuk fungsi mitigasi banjir adalah Rp3 575 400 perhektar pertahun dan netto daya sangga airnya 1 180 m3 perhektar dengan nilai totalnya Rp40.22 milyar, sedangkan pada lahan tegalan Rp848 400 perha pertahun dan netto daya sangga airnya 280 m3
Diasumsikan 50% dari nilai jasa lingkungan dikembalikan kepada petani, sehingga nilai jasa lingkungan komoditas pertaniannya setara harga gabah GKG (gabah kering giling) Rp1 338/kg dan jagung Rp806/kg di atas harga pasar yang berlaku; misalnya pada saat itu harga pasar untuk gabah adalah Rp1 725/kg GKG, sehingga total harganya menjadi Rp3 063 perkg GKG. Masyarakat perkotaan di hilir (74%) mendukung gagasan pembayaran jasa lingkungan pertanian dan diantaranya ada 66% yang menyatakan
positip dengan nilai kesediaan untuk membayar jasa lingkungan (WTP) Rp15 819 perkeluarga pertahun dengan mekanisme pembayaran melalui tarif PBB (pajak bumi dan bangunan); sedangkan masyarakat di hulu atau nilai kesediaan petani lahan sawah menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) sebesar Rp2.1 juta/ha dan lahan tegalan Rp4.3 juta/ha.
Hasil studi Tampubolon (2007) menjelaskan biaya marjinal lingkungan sebagai akibat degradasi lingkungan di hulu terhadap PDAM adalah Rp28.33 – Rp64 per m3 air baku (air minum), sehingga kerugian yang diderita PDAM Tirta Dharma Purwakarta Rp212.43 per m3 dan PT PDAM Thames PAM Jaya Rp821.46 per m3 dengan biaya marjinal Rp64 per m3 air minum yang dihasilkan PDAM; dan kesediaan membayar jasa lingkungan masyarakat hulu Rp28.33 per m3
Menurut penelitian Ansofino (2005) bahwa faktor yang menentukan permintaan air adalah jumlah penduduk tahun sekarang dan dua tahun sebelumnya serta jumlah sumur bor; serta jumlah pelanggan rumah tangga dan nilai rumah pada tahun sebelumnya; sedangkan faktor yang menentukan penawaran air adalah harga marjinal pada tahun sebelumnya, pengambilan air sungai pada waktu sekarang dan satu tahun sebelumnya, jumlah karyawan teknis, nilai pajak perolehan air yang harus dibayar ke hulu, jumlah pengambilan air tanah, dan luas lahan kritis di DAS Citarum. Studi ini
air baku yang digunakan.
Penelitian Ramdan (2006) tentang alokasi air antar wilayah kabupaten Kuningan sebagai daerah hulu dan Kota Cirebon sebagai daerah hilir, menyatakan bahwa total dana konservasi dari sektor Rumah Tangga di daerah Kuningan kontribusinya adalah: Rp29.25 juta per bulan atau Rp351 juta pertahun; sedangkan di Kota Cirebon dari sektor rumah tangga sebesar Rp177.5 juta per bulan – Rp2.13 milyar. Adapun angka riil pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005 Kota Cirebon yang sudah dialokasikan pada Kas Daerah senilai Rp1.75 milyar pertahun.
menjelaskan bahwa harga keseimbangan pasar ditentukan oleh harga permintaan karena penawaran bersifat inelastis; dimana keseimbangan harga air sekarang Rp15/m3 dengan jumlah penawaran 155 juta m3/tahun dan permintaan 248 juta m3/tahun; sedangkan untuk harga penawaran yang mampu menutupi biaya produksi air minum PAM Jaya adalah Rp185 per m3
Menurut Hayati et al. (2009) menyatakan bahwa dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap pendapatan rumah tangga petani, yaitu: Pertama, pendekatan rata-rata rumah tangga petani dengan kepemilikan lebih banyak dari 1 000 batang pohon yaitu sebesar Rp178 333.33 per bulan, 250 – 1 000 batang pohon sebesar Rp717 711.67 per bulan, dan 250 batang pohon sebesar Rp416 361.35 per bulan dan pendapatan rumah tangga petani sesudah adanya pembayaran jasa lingkungan untuk rumah tangga petani dengan kepemilikan lebih banyak dari 1000 batang pohon yaitu sebesar Rp240 333,33 per bulan, 250 – 1000 batang pohon sebesar Rp945 075 per bulan, dan lebih sedikit dari 250 batang pohon sebesar Rp398 347.68 per bulan. Kedua, kontribusi pembayaran jasa lingkungan terhadap total pendapatan rumah tangga petani lebih banyak dari 1 000 batang pohon yaitu sebesar 50.07%, 250 – 1 000 batang pohon sebesar 5.45%, dan 250 batang pohon sebesar 6.48%. Ketiga, tingkat kesejahteraan rumah tangga petani sebelum adanya PJL yaitu sebesar 3.39% berada pada kategori kesenjangan tinggi dan setelah adanya pembayaran jasa lingkungan sebesar 5.30% berada pada kategori . Selanjutnya menyatakan bahwa implikasi kebijakan pengelolaan sumberdaya air yang optimal bagi pembangunan wilayah dan perkotaan dengan pendekatan pasar (market based approach) yang manfaat maksimumnya Rp94 585 milyar dengan ketersediaan air bertahan sampai dengan tahun 2039; pada pendekatan user based manfaat maksimumnya Rp87 981 milyar dan air tersedia sampai dengan tahun 2016 dan pada pendekatan alokasi publik manfaat maksimumnya Rp82 748 milyar dan ketersediaan air sampai dengan tahun 2014.
kesejangan tinggi dengan kata lain tidak sejahtera. Keempat, bahwa dampak pembayaran jasa lingkungan terhadap perkembangan komoditi agribisnis yaitu pembayaran jasa lingkungan memberikan dampak terhadap perkembangan sistem agribisnis dengan membudayakan melinjo sebagai subsistem agribisnis sebagai off farm masyarakat petani.