• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian mengenai pendapatan petani dan pemasaran vanili di Kabupaten Banyuwangi dilakukan oleh Rachmawati (1993). Dengan menggunakan analisis B/C Ratio dan R/C Ratio, diketahui bahwa pada lahan sedang (0.5 Ha – 2 Ha) usaha tani vanili lebih layak / menguntungkan dari pada di lahan sempit (0.1 Ha – 0.49). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan petani dari usaha tani vanili di lahan sedang lebih tinggi. Di sisi lain, diketahui bahwa saluran pemasaran II merupakan saluran pemasaran yang lebih efisien. Hal ini terlihat dari rantai pemasaran yang lebih pendek dan jumlah marjin pemasaran yang nilainya lebih kecil dari pada saluran pemasaran I.

Mauludi (1994) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pemasaran vanili di Propinsi Bali. Dengan menggunakan analisis marjin pemasaran dan regresi linear berganda dengan pendugaan kuadrat terkecil biasa (OLS) diperoleh hasil bahwa marjin pemasaran vanili di Propinsi Bali dipengaruhi secara bersama-sama oleh harga beli, volume penjualan, biaya angkutan, dan biaya susut. Namun secara parsial keempat faktor tersebut memberikan peranan/pengaruh yang berbeda pada masing- masing tingkat pedagang. Selanjutnya, dengan menggunakan analisis korelasi harga diketahui bahwa pasar vanili pada tingkat pedagang besar ternyata kurang bersaing/kurang efisien (cenderung oligopsonistik).

Penelitian tentang faktor produksi pada usaha tani vanili dengan menggunakan model Cobb Douglas dilakukan oleh Slameto dan Asnawi (1997) di Desa Jabung, Lampung Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi vanili di daerah Jabung, Lampung Tengah dapat ditingkatkan dengan menambah luas lahan dan frekuensi

39

pemangkasan pohon penegak. Penambahan areal satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 2.4241 persen sedangkan penambahan satu persen pemangkasan pohon penegak produksi akan meningkat sebesar 0.7061 persen, ceteris paribus.

Selanjutnya Malian, Rachman, dan Djulin (2004) melakukan penelitian mengenai permintaan ekspor dan daya saing vanili di Provinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan model analisis permintaan dan integrasi pasar serta Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas ekspor vanili Indonesia bersifat subsitusi terhadap vanili dari Madagaskar dan Komoro di pasar Amerika Serikat, sementara integrasi harga antara harga di tingkat petani dengan harga ditingkat eksportir sangat lemah dan bersifat asimetrik. Hasil analisis daya saing menunjukkan bahwa secara umum petani vanili memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan nilai DRCR dan PCR lebih kecil dari satu. Meskipun keragaan produksi dan produktivitas vanili masih tergolong rendah, namun peluang pengembangan komoditas masih terbuka. Dalam hal ini instrumen kebijakan insentif terhadap harga input sangat diperlukan.

Penelitian vanili selanjutnya yaitu mengenai penawaran ekspor vanili Indonesia dilakukan oleh Ilham, Suhartini, dan Sinaga (2004). Dengan menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode 2SLS, disimpulkan bahwa : (1) luas tanam menghasilkan dipengaruhi oleh upah tenaga kerja secara negatif, dalam jangka pendek belum responsif terhadap perubahan tingkat upah tetapi dalam jangka panjang menjadi responsif, (2) produktivitas vanili dipengaruhi secara positif oleh harga vanili domestik namun tidak responsif terhadap perubahan harga, (3) ekspor vanili Indonesia ke Jerman dan Amerika Serikat dipengaruhi oleh ekspor tahun sebelumnya, (4) transmisi harga ekspor ke harga

40

yang diterima petani sangat lemah sementara transmisi harga dunia ke harga ekspor cukup erat.

2.3.2. Penelitian Kelembagaan / Kemitraan

Penelitian kelembagaan tataniaga Bahan Olah Karet Rakyat (Bokar) dilakukan oleh Haris (1999) di pusat-pusat produksi karet rakyat di wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan aspek kelembagaan diketahui bahwa penegakkan hak dan kewajiban pelaku transaksi sebagaimana tertuang dalam kontrak kerjasama pada kelembagaan kemitraan, cenderung lemah. Diduga hal ini disebabkan oleh tidak sejajarnya posisi rebut tawar pihak-pihak yang bermitra. Pada umumnya petani mengkaitkan keikutsertaan pada kelembagaan kemitraan dengan program pengembalian kredit kebun serta beban moral sebagai petani peserta proyek yang telah mendapat bantuan pemerintah dalam pengembangan kebun karetnya. Sementara itu, dengan menggunakan model multinominal logit diketahui bahwa kondisi sosial ekonomi petani yaitu berupa pendidikan non formal dan jumlah pendapatan keluarga secara positif mempengaruhi peluang petani dalam mengikuti kemitraan.

Warning dan Key (2000) melakukan penelitian tentang dampak dari program kemitraan di Senegal. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif biaya (cost), penerimaan (revenue), dan pengeluaran (expenditure), diketahui bahwa secara signifikan kemitraan dapat meningkatkan pendapatan petani dan menyebabkan meningkatnya taraf hidup masyarakat bahkan berdampak ganda terhadap tenaga kerja, peningkatan infra struktur, pertumbuhan ekonomi wilayah, dan peningkatan teknologi usahatani. Selanjutnya, dengan menggunakan modelbinominal probit, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai peralatan pertanian mempengaruhi peluang petani untuk mengikuti program

41

kemitraan. Banyaknya peralatan pertanian menyebabkan produktivitas meningkat sehingga kemampuan petani membayar pinjaman meningkat.

Penelitian kemitraan yang lain yaitu mengenai usahatani kontrak pada agribisnis sayuran serta peranannya dalam optimasi penggunaan faktor produksi dilakukan oleh Sulistyowati (2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi aspek kelembagaan terlihat bahwa wewenang pihak mitra lebih dominan dibanding posisi petani, selain itu dalam pelaksanaan kemitraan terjadi beberapa penyimpangan, baik yang dilakukan oleh perusahaan mitra maupun petani mitra meskipun hak dan kewajiban masing-masing pihak sudah diatur dalam kontrak. Disisi lain, pelaksanaan usahatani kontrak ternyata berperanan dalam meningkatkan efisiensi alokatif pendapatan dan R/C usahatani, namun belum berperan dalam meningkatkan produktivitas lahan.

Selanjutnya Romano (2004) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja kemitraan pada agribisnis jagung, kentang dan jeruk di Propinsi Sumatera Utara. Dengan menggunakan analisis SWOT diketahui bahwa keunggulan mitra utama meliputi pengolahan, kemampuan menyediakan sarana dan prasarana produksi, pengendalian mutu, dan jaringan pasar. Kelemahan mitra utama meliputi fluktuasi suplai dalam kuantitas dan harga. Sementara dari sisi petani jagung, kentang dan jeruk, diketahui keunggulan petani meliputi ketersediaan lahan dan tenaga kerja keluarga. Sedangkan, kelemahan petani yaitu dalam pengadaan modal dan keterjaminan pasar produk.

Puspitawati (2004) melakukan penelitian tentang kemitraan antara Perum Pertani dengan petani penangkar benih padi di Kabupaten Karawang dengan menggunakan analisis model logit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peubah bebas harga benih,

42

jumlah benih, total produksi, harga output (gabah), dan curahan tenaga kerja luar keluarga mempengaruhi peluang petani melakukan kemitraan. Adapun manfaat hubungan kemitraan bagi petani diketahui dari sisi penerimaannya, di mana dengan bermitra petani penangkar benih lebih efisien dalam pengelolaan usahataninya. Hal ini ditunjukkan dari nilai R/C atas biaya total petani mitra yang lebih tinggi dibanding petani non mitra.

2.3.3. Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

Penelitian Sumarhani (2004) di BKPH Banjarsari KPH Ciamis menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan melalui kemitraan sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, dengan lahan garapan seluas 0.25 ha, petani mendapat tambahan pendapatan keluarga dari hasil tanaman semusim seluruhnya dan dari hasil panen kayu sengon yang ditanam diantara tanaman pokok jati. Sementara kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di RPH Cineam KPH Tasikmalaya, pendapatan bersih yang diperoleh petani dari panen pertama kapulaga basah melalui pemanfaatan lahan di bawah tegakan jati adalah sebesar Rp 600 000 / ha.

Selanjutnya, Murniati (2004) melakukan penelitian tentang aspek teknis dan lingkungan, aspek sosial-ekonomi dan budaya, serta aspek kelembagaan dari kemitraan sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di berbagai daerah. Secara teknis dan lingkungan, adanya kegiatan reboisasi partisipatif di Sanggau, Kalimantan Barat, telah mengurangi gangguan kebakaran hutan dan mengurangi praktek ladang berpindah. Sementara secara rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB, sepenuhnya dapat mengakomodasikan kondisi sosial dan budaya masyarakat Jawa dan Madura dalam hal obat-obatan tradisional. Ini terlihat dari pemilihan jenis tanaman obat-obatan dan

43

pengembangan usaha wanafarma melalui pelatihan di bidang kesehatan dan obat-obatan. Rehabilitasi zona rehabilitasi TNMB secara kemitraan dengan masyarakat setempat telah berhasil memberikan kontribusi pendapatan sebesar 49.22 % terhadap total pendapatan keluarga peserta. Secara kelembagaan, diperoleh hasil bahwa kegiatan pendampingan telah mampu mengembangkan dan memperkuat organisasi masyarakat. Namun, dikarenakan pendampingan ini umumnya dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan fisik tanam menanam, sehingga partisipasi dan peran masyarakat peserta terutama dalam proses perencanaan kegiatan masih rendah. Jika masyarakat dilibatkan dan diajak diskusi dalam perencanaan kegiatan, usulan dari masyarakat masih jarang dijadikan keputusan/dilaksanakan.

Berdasarkan uraian beberapa hasil penelitian terdahulu, penelitian penulis mengenai aspek kelembagaan kemitraan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dengan menggunakan analisis aspek kelembagaan menurut Schmid serta faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi petani melakukan kemitraan dengan menggunakan analisis model logit, masih belum ada yang melakukan. Oleh karena itu, penulis berharap hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian atau bahan referensi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang kemitraan.

44

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Pembangunan seringkali didefinisikan sebagai pertumbuhan dan perubahan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi lebih baik (Soekartawi, 1996).

Salah satu upaya pembangunan yang menghendaki perubahan masyarakat tani ke arah yang lebih baik adalah pembangunan di bidang agroforestri. Di saat petani mengalami krisis lahan dan penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya maka melakukan pembangunan atau kegiatan di bidang agroforestri merupakan alternatif yang tepat bagi para petani dalam upaya meningkatkan pendapatan petani / penduduk miskin dengan cara memanfaatkan sumberdaya yang tersedia (lahan) yang berada di kawasan hutan.

Agroforestri itu sendiri didefinisikan oleh International Council for Research in Agroforestry sebagai suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengombinasikan produksi tanaman dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan setempat (King dan Chandler (1978) dalam Hairiah, K. dkk, (2003)).

Sementara menurut Lundgren dan Rainters (1982) dalam Hairiah, K. dkk, (2003) agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan

45

mengombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.

Berdasarkan definisi tersebut agroforestri memiliki unsur-unsur : 1. Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia. 2. Penetapan teknologi.

3. Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan. 4. Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu.

5 Ada interaksi ekologi , sosial, dan ekonomi.

Sebagai suatu sistem atau teknologi penggunaan lahan, pengembangan agroforestri antara lain bertujuan : (1) Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan kepada produksi hasil tanaman berupa kayu dan non kayu secara berurutan dan/atau bersamaan, (2) Pembangunan hutan secara multifungsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif, (3) Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin dilingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahanan pangan masyarakat, (4) Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas (Lundgren dan Rainters (1982) dalam Hairiah, K. dkk, 2003).

Beberapa keunggulan agroforestri jika dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya yaitu dalam hal :

46

1. Produktivitas. Beberapa penelitian membuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.

2. Diversitas. Pengkombinasian dua komponen atau lebih pada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi. Dari segi ekonomi dapat mengurangi resiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar, sementara dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur).

3. Kemandirian. Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan petani kecil, sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (al pupuk, pestisida) dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur.

4. Stabilitas. Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.

Salah satu desa yang telah mengembangkan kegiatan agroforestri adalah Desa Padasari Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang. Desa ini memiliki potensi besar dalam perkebunan vanili (milik rakyat/petani) dan hutan (milik Perum Perhutani). Adapun kegiatan agroforestri yang kini sedang dilaksanakan di Desa Padasari adalah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

47

PHBM berdasarkan Ketentuan Umum Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No.136/KPTS/DIR/2001, merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

Di Desa Padasari, terbentuknya PHBM dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan yang saling mengisi antara Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dan Perum Perhutani, di mana Kelompok Tani membutuhkan tambahan lahan dan modal untuk kegiatan usahatani vanili, sementara Perum Perhutani membutuhkan tenaga untuk mengelola dan mengamankan hutan. Diharapkan kegiatan yang saling mengisi tersebut dapat menumbuhkembangkan sense of belonging petani vanili khususnya anggota Kelompok Tani Hutan Bagjamulya dalam memfungsikan dan memanfaatkan sumberdaya hutan sekaligus juga dalam mengupayakan peningkatan pendapatan petani melalui usahatani vanili.

Terkait dengan upayapeningkatan pendapatan petani maka kemitraan PHBM di Desa Padasari pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu inovasi. Definisi inovasi adalah suatu ide, informasi, dan praktek-praktek yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan atau dilaksanakan oleh sekelompok warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu untuk melaksanakan perubahan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya demi terciptanya mutu hidup seluruh masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1993).

48

Ada empat faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan masyarakat/petani mengenai suatu inovasi, yaitu : (1) secara teknis memungkinkan, (2) secara ekonomi menguntungkan, (3) secara sosial memungkinkan, dan (4) sesuai dengan kebijakan pemerintah (Hernanto, 1989).

Proses penerapan inovasi itu sendiri akan melewati tahap demi tahap yang berbeda untuk setiap petani. Pada dasarnya proses penerapan inovasi petani meliputi lima tahapan (Kartasapoetra, 1994) yaitu : (1) mengetahui dan menyadari (awareness), (2) penaruhan minat (interesting), (3) Penilaian (evaluation), (4) melakukan percobaan (trial), dan (5) penerapan inovasi (adoption).

Inovasi yang disampaikan kepada petani pada kenyataannya banyak mengalami kendala sehingga kecepatan menerapkan inovasi menunjukkan adanya perbedaan satu sama lain. Berdasarkan cepat lambatnya dalam penerapan inovasi, petani dapat dikelompokkan atas lima kategori (Kartasapoetra, 1994) yaitu : (1) Innovator, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan, (2) Early Adopter, penerap inovasi lebih dini, (3). Early Majority, penerap inovasi awal, (4) Late Majority, penerap inovasi yang lebih akhir, dan (5) Laggards, penolak inovasi. Selanjutnya, keputusan petani terhadap inovasi memungkinkan petani untuk melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja petani yang menolak inovasi, akan terus mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau tetap menolak (continued rejecttion) sesuai dengan informasi yang diterimanya.

Sehubungan dengan uraian tersebut, pada proses sosialisasi kemitraan PHBM di Desa Padasari terdapat petani yang tertarik dan mendukung kemitraan (kelompok

49

tidak tertarik dan tidak mendukung kemitraan (kelompok laggard). Bagi petani vanili yang tertarik dan mendukung kemitraan menganggap bahwa kemitraan tersebut merupakan suatu inovasi dan mempunyai harapan dalam meningkatkan pendapatan, sehingga petani ini mempunyai kemungkinan besar melakukan kemitraan. Sementara petani vanili yang tidak tertarik dan tidak mendukung kemitraan mempunyai anggapan bahwa sangat berat jika harus melakukan kemitraan karena harus berperan aktif, baik dalam melakukan usahatani vanili maupun dalam mengelola dan mengamankan hutan. Oleh karenanya, para petani ini dapat dikatakan mempunyai kemungkinan untuk tidak melakukan kemitraan.

Terdapatnya perbedaan akan ketertarikan dan dukungan petani terhadap kemitraan PHBM menunjukkan terdapatnya keberagaman pemahaman dan pola berpikir dari para petani vanili yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial ekonomi yang melingkupi petani itu. Adapun faktor-faktor sosial ekonomi yang diduga mempengaruhi kemungkinan petani melakukan kemitraan yaitu :

1. Umur petani

Umur petani diduga berpengaruh negatif, karena semakin tua umur seorang petani maka akan semakin sulit untuk menerima suatu perubahan atau cepat puas dengan keadaan yang telah dicapainya, sehingga semakin tua umur petani maka akan semakin kecil peluang petani untuk mengikuti kemitraan. Sebaliknya pada petani berusia muda justru cenderung responsif terhadap hal-hal yang baru karena ditunjang oleh keadaan fisik serta kemampuan yang lebih kokoh dibandingkan dengan petani berusia tua.

50

2. Pengalaman berusahatani

Semakin lama pengalaman petani dalam melakukan usahatani maka petani tersebut memiliki kemampuan dan keterampilan teknik produksi yang lebih baik, dan membaca peluang usaha. Selain itu, petani akan semakin berhati-hati menghitung kemungkinan resiko yang dihadapi. Dengan demikian, semakin lama pengalaman petani, maka akan semakin besar peluang petani untuk melakukan kemitraan.

3. Pendidikan formal

Petani yang memiliki pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung lebih tanggap dan mau mencoba pembaharuan yang dianjurkan dalam rangka meningkatkan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, pendidikan formal diduga berpengaruh positif terhadap peluang petani untuk melakukan kemitraan. Sebaliknya, petani yang berpendidikan rendah cenderung tidak responsif karena sulit dalam menafsirkan informasi yang diperoleh.

4. Jumlah anggota keluarga produktif

Jumlah anggota keluarga yang bekerja di bidang pertanian diduga berpengaruh positif terhadap peluang petani untuk melakukan kemitraan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja di bidang pertanian maka semakin mudah suatu inovasi pertanian seperti kemitraan diterima dikalangan petani.

5. Luas lahan

Petani yang memiliki lahan usahatani yang sempit, cenderung tidak berani mengambil resiko, karena kemitraan itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu cara mengurangi resiko. Sebaliknya dengan petani yang berlahan luas, semakin luas lahan

51

yang digarap maka petani cenderung lebih berani mengambil resiko dan tidak mudah untuk melakukan kemitraan.

6. Harga komoditi

Harga komoditi diduga akan berpengaruh positif terhadap peluang petani dalam melakukan kemitraan. Semakin tinggi harga komoditi, maka semakin besar insentif petani untuk memilih bermitra dengan perusahaan karena dengan bermitra menawarkan perbaikan jumlah dan mutu produksi serta kepastian harga yang terjadi.

7. Jarak lahan

Jarak rumah petani ke lahan usahatani (hutan) diduga akan berhubungan negatif karena semakin jauh lahan usahatani (hutan) maka petani tidak terlalu intensif dalam mengelola usahataninya.

Untuk mengetahui berapa besar dan apa saja faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi kemungkinan petani melakukan kemitraan digunakan model pilihan kualitatif (models of qualitative choice).

Model pilihan kualitatif (models of qualitative choice), menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), merupakan suatu model di mana variabel terikat (dependent variable) Y melibatkan dua atau lebih pilihan kualitatif. Kemungkinan atau peluang yang terpilih adalah salah satu dari dua atau lebih pilihan yang tersedia.

Dalam model pilihan kualitatif dikenal model pilihan biner (binary choice model) di mana individu-individu dihadapkan pada suatu pilihan di antara dua alternatif dan pilihan mereka tergantung pada karakteristik masing-masing individu tersebut. Satu atau lebih variabel terikat Y yang terdapat pada model pilihan biner digambarkan sebagai dummy

52

variables (0,1). Selanjutnya Pindyck dan Rubinfeld (1991) menyatakan bahwa untuk menjawab masalah-masalah yang sifatnya binary choice, dapat digunakan empat macam model yaitu linear probability model, probit model,logit model, dan forecasting-goodness of fit. Berkaitan dengan itu, penelitian ini menggunakan model logit dikarenakan model logit yang didasari oleh fungsi peluang logistik kumulatif cukup memenuhi persyaratan di mana nilai peluangnya selalu berada pada kisaran (0 – 1), sehingga relatif mudah untuk diterapkan dalam penelitian.

Secara umum model logit dapat dirumuskan sebagai berikut (Pyndick dan Rubinfield, 1991) : ( )

1

1

1

1

− +

⎞ ⎛

=

=

+

=

⎟ ⎜=

+

+

i

⎠ ⎝

i

i i i z α βX

P

F ( Z )

F (α βX )

e

e

... (1) Dari persamaan (1) ini diperoleh :

1 − 1 ⎛ ⎞ + = ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ z i e P i ...(2)

sehingga dengan membagi Pi dan kemudian dikurangi 1, diperoleh persamaan : 1 1 1 − =− =⎞ ⎛ − ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ i z i i i P e P P ... (3)

dengan mendefinisikan ezi =1/ezi, maka diperoleh :

1 ⎛ ⎞ = ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ i z i i P e P ... (4) sehingga : log 1 ⎛ ⎞ = − ⎝ ⎠ i i i P Z P ... (5)

53

atau dari persamaan (1) diperoleh : log 1 i i i P Z P ⎛ ⎞ = − ⎝ ⎠ i i e X + + =α β ... (6) di mana :

Pi = Kemungkinan petani melakukan kemitraan ( P1=1, jika petani

melakukan kemitraan dan P2 = 0, jika petani tidak melakukan kemitraan)

1 - Pi = Kemungkinan petani tidak melakukan kemitraan

α = Intersep

β = Parameter peubah Xi

Xi = Vektor peubah bebas (i = 1, 2, 3, ..., n)

ei = Galat acak

Dalam metode regresi logistik, ukuran yang sering digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat adalah nilai odds ratio yang didapat dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (bi) atau exp (bi). Nilai odds ratio

menunjukkan perbandingan peluang y = 1 (bila melakukan kemitraan) dengan y = 0 (bila tidak melakukan kemitraan).

Odds ratio = ( ) 1 ( ) i i P X P X ⎡ ⎤ ⎢

⎣ ⎦ atau exp (bi) ...(7)

Selanjutnya, sebagai suatu kelembagaan, keberhasilan kemitraan PHBM di Desa Padasari sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan / ketaatan dari pihak yang bermitra yaitu petani mitra dan Perum Perhutani dalam melaksanakan hak dan kewajiban, peraturan-peraturan serta perjanjian / kesepakatan lainnya. Oleh karena itu kajian mengenai kelembagaan kemitraan PHBM perlu dilakukan untuk melihat seberapa jauh tingkat keberhasilan kemitraan tersebut.

Kelembagaan itu sendiri secara umum mempunyai dua pengertian, yaitu kelembagaan sebagai organisasi dan sebagai aturan main. Kelembagaan sebagai suatu

54

organisasi adalah sebagai kumpulan orang-orang yang dengan sadar berusaha untuk memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian sesuatu tujuan umum (Winardi, 1989). Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank, dan sebagainya. Sementara itu yang dimaksud dengan kelembagaan sebagai aturan main menurut Schmid

Dokumen terkait