• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae (anggrek-anggrekan), terdiri atas 700 genus dan 20 000 species. Terdapat 110 jenis vanili yang tersebar di daerah tropis, tetapi yang bernilai ekonomis baru tiga jenis, yaitu Vanilla planifolia

34

Tanaman vanili telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1819. Dekade 60-an tanaman vanili telah berkembang pesat mulai dari daerah Jawa Barat lalu menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun produksi vanili Indonesia saat itu masih rendah, namun di pasaran dunia, vanili Indonesia sudah dikenal dan sering disebut sebagai “java vanilla beans”. Salah satu keunggulan vanili Indonesia adalah kadar vanillin yang lebih tinggi dibandingkan dengan vanili dari negara-negara lain, yaitu 2.75 persen. Selain itu jenis vanili yang ditanam di Indonesia merupakan jenis yang paling disukai di pasaran dunia yaitu Vanilla planifolia Andrews.

Pengusahaan vanili di Indonesia sebagian besar dilakukan dalam bentuk perkebunan rakyat dan sisanya dalam perkebunan swasta. Sampai saat ini, daerah pengembangan vanili di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Daerah sentra produksinya adalah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Dalam pengusahaannya, tanaman vanili ini sangat sesuai ditanam pada ketinggian 400 - 600 m dpl, memerlukan naungan sebagai peneduh, dan tidak menyukai lingkungan yang lembab. Tekstur tanah lempung berpasir, dengan pH 6 – 7, struktur gembur, berhumus, dan drainase yang baik. Iklim yang optimal dengan curah hujan antara 1 500 – 2 000 mm/tahun, temperatur 24 – 26 derajat Celsius, dengan jumlah hari hujan 80 – 178 dan adanya 2 – 3 bulan kering. Untuk mendapatkan hasil vanili yang baik diperlukan persyaratan, yakni adanya musim kemarau yang tegas lebih kurang 3 bulan, adanya naungan dengan intensitas matahari 30 - 50 persen, dan ketersediaan air cukup sehingga peralatan selalu lembab (Hadisutrisno, 2005).

35

Tanaman vanili mulai berbunga setelah 2 – 3 tahun dan berbuah setiap tahun sampai umur 10 – 12 tahun. Karena tanaman ini yakni penyerbukan secara alami tidak dapat berlangsung dengan baik, untuk itu harus dibantu oleh manusia (hand pollinating) atau dengan bantuan hewan seperti burung atau lebah. Buah vanili dapat dipetik dalam waktu 8 – 9 bulan setelah penyerbukan, dengan produksi per pohon 0.5 – 2 kg buah basah.

Produk-produk vanili Indonesia yang diekspor kebanyakan masih dalam bentuk polong kering. Polong panili kering ini dapat diolah lebih lanjut menjadi ekstrak oleoresin yang penggunaannya di luar negeri cukup banyak. Ekspor vanili dalam bentuk oleoresin lebih menguntungkan karena tidak memerlukan tempat yang besar untuk mengemas dan nilai jualnya lebih tinggi. Keuntungan lain bentuk oleoresin dibandingkan dengan bentuk aslinya sebagai berikut (Ruhnayat (2004) :

1. Bebas dari kontaminasi mikroorganisme.

2. Mempunyai tingkat aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan bahan aslinya. 3. Lebih mudah dalam proses pencampuran dalam pengolahan makanan.

Permasalahan dalam pengusahaan vanili di Indonesia adalah produktivitas dan mutu yang masih rendah. Produktivitas dipengaruhi antara lain oleh tingkat kesesuaian lingkungan tumbuh, teknik budidaya, varietas, dan serangan penyakit. Di berbagai daerah, serangan penyakit busuk batang menjadi faktor utama penyebab rendahnya produktivitas vanili. Namun, serangan penyakit tersebut dapat dicegah sedini mungkin apabila diterapkan cara budidaya yang benar mulai dari penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan cara panen (Ruhnayat, 2004). Dengan menerapkan cara budidaya yang

36

benar diharapkan tanaman vanili dapat berproduksi secara baik tanpa kendala yang berarti.

Sementara itu, mutu vanili umumnya dipengaruhi oleh umur panen, jumlah buah per tandan, dan proses pengolahan setelah panen. Dalam hal ini, masih banyaknya petani yang melakukan panen (petik) buah muda dan terbatasnya pengetahuan petani dalam melakukan pengolahan vanili secara benar menjadi faktor utama penyebab rendahnya mutu vanili di berbagai daerah di Indonesia.

Adapun faktor-faktor yang mendorong petani vanili melakukan petik muda (Mauludi, 1992 dalam Rachmawati, 1993), antara lain disebabkan oleh :

1. Kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara kontinyu.

2. Terjadinya pencurian sehingga untuk menghindarinya petani cenderung merasa lebih aman apabila memetiknya lebih awal.

3. Adanya para pedagang pengumpul yang masih mau dan bersedia membeli vanili muda tanpa memperhatikan mutu.

Buah vanili yang dipetik muda akan menghasilkan grade / mutu non standard yang harganya sangat rendah, sehingga pendapatan yang diperoleh petani akan menjadi rendah pula. Berbeda dengan buah vanili yang dipetik tepat waktu, pendapatan yang diterima petani dapat mencapai 18 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan buah vanili yang dipetik muda (Trubus, 1991 dalam Rachmawati, 1993).

Di sisi lain, untuk mengatasi terbatasnya pengetahuan petani dalam melakukan pengolahan vanili secara benar maka peran kelompok tani menjadi sangat penting sebagai media dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan tentang pengolahan vanili yang

37

benar sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga pada akhirnya para petani mampu menghasilkan mutu vanili yang lebih baik.

Berkaitan dengan aspek produksi (dalam hal ini produktivitas dan mutu vanili), aspek pemasaran pun merupakan hal penting dalam pengembangan vanili di Indonesia. Hal ini dikarenakan meningkatnya produksi tidak akan mempunyai arti jika tidak dapat dipasarkan dengan baik dan memperoleh harga yang tinggi (Kartasapoetra, 1986). Berkaitan dengan aspek pemasaran vanili, diketahui lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran vanili terdiri dari pedagang pengumpul (tingkat desa, tingkat kabupaten, kecamatan atau antar pulau) dan eksportir. Secara umum saluran pemasaran vanili di Indonesia adalah (Rismunandar dan Sukma, 2004) :

1. Petani pengumpul pengolah eksportir, 2. Petani pengumpul dan pengolah eksportir, 3. Petani pengumpul pengolah dan eksportir, 4. Petani dan pengolah eksportir,

5. Petani pengolah dan eksportir, dan 6. Petani sekaligus pengolah dan eksportir.

Bervariasinya jalur pemasaran vanili tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor geografis, akses transportasi, dan volume penjualan (Suwandi dan Sudibyanto, 2004). Sejalan dengan itu, studi yang dilakukan Mauludi (1994) menunjukkan bahwa petani yang langsung menjual produk vanilinya kepada eksportir akan menerima harga yang lebih tinggi dibandingkan hanya menjualnya ke pedagang perantara atau pedagang pengumpul. Selain itu, pasar vanili pada tingkat pedagang besar ternyata kurang bersaing/kurang efisien dan cenderung oligopsonistik.

38

2.3. Hasil Penelitian Terdahulu

Dokumen terkait