• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian tentang hemeneutika model Gadamer dengan kajian

fenomenologis ini bukan merupakan penelitian yang pertama. Sebelumnya telah

banyak kajian tentang hermeneutika Gadamer dan kajian fenomenologis. Namun

yang membedakan adalah berbagai hasil penelitian itu dominan dengan kajian

keilmuan murni. Hanya satu yang ditulis oleh Sembodo yang terkait dengan

pendidikan. Berikut adalah beberapa hasil penelitian terdahulu yang dilakukan

23

Desvian Bandarsyah, 2014

Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah

(studi fenomenologis pada mahasiswa

Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1. Sembodo Ardi Widodo, 2008, Metode Hermeneutik dalam Pendidikan,

Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Dengan mencermati uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil intisari

pembahasan sebagai berikut: Pertama, hermeneutika mengambil model

pemahaman dari wilayah human studies daripada natural sciences.

Pemahaman tidak ubahnya seperti membaca teks atau mempelajari

analog-analognya daripada mengobservasi objek. Sebuah teks selalu mempunyai

makna, tetapi karena pengarangnya tidak hadir, meninggal, atau berasal dari

kultur yang berbeda dengan kita, maka makna harus diinterpretasikan untuk

kondisi waktu sekarang.

Bagi hermeneutik, interpretasi adalah “hati” pemahaman. Pandangan ini akan cocok bagi guru karena perannya adalah untuk memahami manusia

dan kreasi-kreasinya serta mengembangkan pemahaman ini kepada murid.

Mengajar dalam perspektif hermeneutika adalah seni, bukan ilmu atau

teknologi. Sebagai guru kita harus menanyakan apa makna materi pelajaran

yang kita ampu bagi kita, dan apa maknanya bagi murid. Kita harus

memperkenalkannya dan menolong murid untuk memahaminya. Dalam

kacamata hermeneutika, core dari proses pembelajaran adalah membaca dan

berdiskusi atas teks dan analog-analognya yang muncul secara spontan.

Kedua, menurut hermeneutika, kita memulai dengan pra-pemahaman terhadap

24

Desvian Bandarsyah, 2014

Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah

(studi fenomenologis pada mahasiswa

Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

yang sedang kita hadapi, lebih-lebih untuk dipahami. Sebagai seorang guru,

kita bertanya kepada murid-murid untuk topik terlebih dahulu dalam

cakrawala pengetahuan dan interestnya sekarang, dan kemudian menyuruhnya

untuk memodifikasi sikap-sikap mereka dalam merespon apa yang oleh topik

dikatakan kepada mereka. Dengan cara ini mereka akan mengembangkan

horizon mentalnya terhadap horizon topik. Inilah langkah kreatif dari pra

pemahaman. Ketiga, bagi hermeneutik, proses pembelajaran itu seperti dialog

atau “permainan” di mana mereka yang terlibat dibawa oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya kepada pandangan yang tidak mereka antisipasi

sebelumnya. Diskusi sejati tidak pernah direncanakan kemajuan dan hasilnya.

Guru dan murid-murid berbicara secara spontan. Sebagaimana layaknya

dalam “permainan” pemahaman, mereka bisa merubah pandangan atau respon-responnya terhadap teks tanpa batas.

2. O. Hasbiansyah, 2008, Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik

Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi, Bandung: Unisba.

Praktik penelitian fenomenologi sebenarnya tidak serumit bayangan

kebanyakan orang ketika memahami fenomenologi dalam kajian filsafat. Pada

dasarnya, penelitian fenomenologi ingin menggali dua dimensi saja: apa yang

dialami subjek (orang yang diteliti) dan bagaimana subjek tersebut memaknai

pengalaman tersebut. Pengalaman subjek dalam hal ini merupakan fenomena

25

Desvian Bandarsyah, 2014

Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah

(studi fenomenologis pada mahasiswa

Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pengalaman faktual si subjek, bersifat objektif bahkan fisikal. Sedangkan

dimensi kedua merupakan opini, penilaian, evaluasi, harapan dan pemaknaan

subjek terhadap fenomena yang dialaminya. Dimensi kedua bersifat subjektif.

Namun seorang peneliti perlu memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip

fenomenologi. Tanpa memahaminya, ia tidak akan mampu menganalisis data

penelitian yang sudah ditranskripsikan ke dalam uraian atau tabel dalam

konteks fenomenologi. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa

tahapan-tahapan penelitian yang dikemukakan bukanlah prosedur baku dalam

penelitian fenomenologi. Apa yang telah diuraikan hanyalah salah satu variasi

metodologi penelitian fenomenologi yang dapat dipakai. Di luar itu masih ada

sejumlah prosedur yang dapat digunakan.

3. Ratna Indriati, 2011, Serat Aji Pamasa dalam Kajian Hermeneutika Gadamer.

Semarang: Unnes.

Serat Aji Pamasa sebagai teks sastra yang di dalamnya mengandung

bahasa dengan tingkat ambiguitas yang tinggi, diperlukan pemahaman yang

akurat. Oleh sebab itu, serat Aji Pamasa akan dipahami melalui empat konsep

hermeneutika Gadamer. Dengan demikian, tujuan penelitian ini untuk

memaparkan interpretasi serat Aji Pamasa melalui empat konsep pemahaman

hermeneutika Gadamer. Teori yang digunakan adalah teori hermeneutika

Gadamer dengan pendekatan penelitian mengggunakan pendekatan dialektika.

26

Desvian Bandarsyah, 2014

Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah

(studi fenomenologis pada mahasiswa

Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian ini berdasar konsep Bildung,

pemahaman yang diperoleh tentang serat Aji Pamasa yang merupakan puisi

Jawa klasik bermetrum macapat terdiri dari tiga belas pupuh yakni

dhandhanggula, sinom, asmarandana, kinanthi, pucung, pangkur, gambuh, durma, megatruh, pangkur, girisa, asmarandana, sinom dengan keseluruhan

jumlah bait yakni 689 bait.

Serat Aji Pamasa secara tekstual tersebutkan penciptanya adalah

Ranggawarsita dengan bukti adanya sandiasma. Serat Aji Pamasa dibuat atas

kehendak Mangkunegara IV dan dijadikan sebagai salah satu bahan wayang

madya. Berdasarkan konsep sensus communis, pemahaman yang diperoleh

yakni pandangan tentang keberadaan serat Aji Pamasa yang diciptakan

sebagai bahan wayang madya untuk mengisi kekosongan antara wayang

purwa dan wayang gedhog. Hal itu untuk menunjukkan adanya mata rantai

bahwa raja-raja di Jawa merupakan keturunan Parikesit. Berdasarkan konsep

pertimbangan, pemahaman yang diperoleh yakni cerita wayang madya

terintegrasi dari wayang purwa yang penceritaannya terpusat pada cerita para

Pandawa dan Kurawa. Berdasarkan konsep taste atau selera, pemahaman yang

diperoleh yakni bahwa nama tokoh-tokoh dalam serat Aji Pamasa jika

ditafsirkan mewakili sifat dan wujud perilaku dalam cerita serta pesan yang

27

Desvian Bandarsyah, 2014

Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah

(studi fenomenologis pada mahasiswa

Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

yang baik dan menganggap Mangkunegara IV sebagai sosok pemimpin yang

baik. Rasa yang ingin disugestikan oleh pengarang ialah rasa damai.

Berdasar penelitian ini, saran yang bisa diberikan agar serat Aji

Pamasa dikaji lebih lanjut menggunakan teori sastra lain, misalnya saja

menggunakan teori strukturalisme untuk membedah serat Aji Pamasa dari segi

strukturnya. Dengan demikian, dapat menambah wawasan terhadap karya

sastra sebagai kebudayaan manusia.

4. Hambali, R. Yuli A., 2005, Pemulihan Peran Subjek dalam Hermeneutika

Hans Georg Gadamer, Yogyakarta: UGM.

Peryataan Descartes yang menegaskan bahwa rasio adalah

satu-satunya tolok ukur bagi lahirnya kebenaran dan pengetahuan ternyata

memunculkan sejumlah persoalan serius di sekitar sumber pengetahuan.

Sebab, ini mengandaikan filsafat hendak merumuskan suatu fondasi. Dalam

perspektif fondasional, diyakini bahwa segala pengetahuan membutuhkan

suatu disiplin keras yang dapat mengecek dan mendasari klaim-klaimnya

tentang kebenaran. Disiplin ini adalah epistemologi. Suatu ilmu baru memiliki

derajat validitas yang terhormat bila penemuan dapat memenuhi pengujian

epistemologis. Sisi lain yang muncul dari tradisi epistemologi adalah

penafsiran tentang pemahaman pengetahuan. Pengetahuan dilihat sebagai

28

Desvian Bandarsyah, 2014

Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah

(studi fenomenologis pada mahasiswa

Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pada titik ini, persoalannya terasa jadi lebih mendasar, karena ini

menyangkut soal hakikat dan posisi manusia selaku subjek dalam dunia.

Hermeneutika Gadamer memiliki pandangan berbeda tentang ini. Dengan

melanjutkan tradisi pemikiran Heidegger, Gadamer memandang hermeneutika

sebagai ciri khas keberadaan manusia. Untuk menafsirkan teks bukanlah

melulu berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan bagian dari

totalitas pengalaman manusia di dalam dunianya (being in the world).

Berbeda dengan apa yang telah diupayakan oleh Scheilmacher dan

Dilthey, Gadamer berupaya menggeser bidang penelitian hermeneutika dari

wilayah teori pengetahuan atau epistemologi ke ontologi, yaitu cara manusia

memaknai dan melibatkan pengalaman keberadaannya di dunia. Pengalaman

manusia saat bersentuhan dengan persoalan-persoalan filosofis, seni estetika,

dan sejarah menjadi model-model pengalaman yang selalu melibatkan

manusia dimana kebenaran yang dikomunikasikan tidak bisa diverifikasi

dengan sarana-sarana metodis ilmu pengetahuan. Penelitian ini merupakan

penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode

historis, sedangkan tekhnik yang digunakan adalah interpretasi atas sejumlah

naskah terutama dari Truth and Method (1975).

Dokumen terkait