• Tidak ada hasil yang ditemukan

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengamatan Agronomi Padi

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Pertama. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan metode budidaya SRI pada tanaman pertama menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun total per rumpun, dan jumlah anakan per rumpun berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan metode konvensional pada umur 38 sampai 68 hari setelah semai (HSS). Jumlah anakan pada metode SRI pada umur 38, 53, dan 68 HSS berturut-turut sebesar 13.3, 31.1, dan 37, sedangkan jumlah anakan pada metode konvensional berturut-turut sebesar 8.4, 22.5, dan 24.9. Jumlah daun total per rumpun pada metode SRI pada umur 38, 53, dan 68 HSS berturut-turut sebesar 40.1, 105.8, dan 149.8, sedangkan jumlah daun total per rumpun pada metode konvensional berturut-turut sebesar 26.9, 80.7, dan 108.8 (Gambar 1).

Budidaya padi dengan metode SRI mampu meningkatkan secara nyata bobot kering tajuk dan akar tanaman padi pada umur 105 HSS berturut-turut sebesar 34.3% dan 82.5%. Jumlah anakan produktif per rumpun pada metode SRI juga nyata lebih banyak (P<0.05) dibanding dengan metode konvensional. Jumlah anakan produktif per rumpun pada metode SRI menghasilkan 24.9 anakan, sedangkan pada metode konvensional hanya 14.6 anakan, sehingga penggunaan metode SRI mampu meningkatkan jumlah anakan produktif per rumpun sebesar 71.1%, tetapi jumlah anakan produktif per m2 tidak berbeda nyata (Tabel 1).

Gambar 2 Tinggi tanaman, jumlah daun total/rumpun, dan jumlah anakan/rumpun pada tanaman pertama ( : SRI; : Konvensional) dan tanaman ratun (RK: non-salibu konvensional, RS: non-salibu SRI, SK: salibu konvensional, SS: salibu SRI)

12

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Ratun. Perlakuan teknik pemotongan

dan metode budidaya serta interaksinya tidak mempengaruhi tinggi tanaman ratun pada umur 15, 30, dan 45 hari setelah panen (HSP), namun memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anakan dan jumlah daun total per rumpun. Jumlah anakan dan jumlah daun total per rumpun nyata lebih banyak (P<0.05) pada perlakuan sistem salibu dengan metode budidaya SRI, semakin banyak jumlah anakan maka semakin banyak pula jumlah daun. Jumlah anakan pada perlakuan sistem salibu dengan metode budidaya SRI pada umur 15, 30, dan 45 hari setelah panen berturut-turut sebesar 9, 19.3, dan 23.8. Jumlah daun total per rumpun pada umur 15, 30, dan 45 hari setelah panen pada perlakuan sistem salibu dengan metode budidaya SRI berturut-turut sebesar 16.6, 48.7, dan 64.1 (Gambar 1).

Perlakuan teknik pemotongan dan metode budidaya masing-masing mempengaruhi jumlah anakan produktif per rumpun dan bobot kering tajuk per rumpun. Jumlah anakan produktif per rumpun dan bobot kering tajuk per rumpun nyata lebih banyak (P<0.05) pada teknik pemotongan sistem salibu dengan metode budidaya SRI. Perlakuan metode budidaya mempengaruhi bobot kering akar per rumpun. Bobot kering akar per rumpun nyata lebih banyak (P<0.05) pada metode budidaya SRI yaitu sebesar 8.3 g dibanding dengan metode konvensional yaitu sebesar 5.3 g. Jumlah anakan produktif per m2 dipengaruhi oleh perlakuan teknik pemotongan. Jumlah anakan produktif per m2 nyata lebih banyak (P<0.05) pada teknik pemotongan sistem salibu sebesar 216.9 g dari pada sistem non -salibu yaitu sebesar 165.1 g (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah anakan produktif/rumpun, jumlah anakan produktif/m2, bobot kering tajuk/rumpun (g), dan bobot kering akar/rumpun (g) pada tanaman pertama dan tanaman ratun

Perlakuan produktif/rumpun Jumlah anakan Jumlah anakan produktif/m2 Bobot kering tajuk/rumpun (g) Bobot kering akar/rumpun (g) Tanaman Pertama SRI 24.9 a 398.3 a 43.3 a 13.6 a Konvensional 14.6 b 363.8 a 32.2 b 6.6 b Tanaman Ratun Tek. Pemotongan: Sistem Salibu 11.2 a 216.9 a 30.0 a 8.2 a Sistem Non-salibu 8.5 b 165.1 b 18.6 b 5.4 a Metode Budidaya:

SRI 12.4 a 198.2 a 27.4 a 8.3 a Konvensional 7.4 b 183.8 a 21.2 b 5.3 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom pada masing

13

Pertumbuhan Generatif Tanaman Pertama. Budidaya padi dengan

metode SRI secara signifikan menghasilkan bobot gabah kering per rumpun yang lebih tinggi (P<0.05) dibanding dengan metode konvensional. Bobot gabah kering per rumpun pada metode SRI sebesar 50.4 g, sedangkan bobot gabah kering per rumpun pada metode konvensional sebesar 23 g. Oleh karena itu, metode SRI dapat meningkatkan bobot gabah kering per rumpun sebesar 119.3%. Bobot 1000 gabah pada metode SRI juga nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding metode konvensional. Bobot 1000 gabah pada metode SRI sebesar 25.6 g, sedangkan bobot 1000 gabah pada metode konvensional sebesar 24.1 g. Bobot gabah kering panen per m2 pada metode SRI nyata lebih tinggi (P<0.05) yaitu 786.7 g m-2

dibanding metode konvensional yaitu 633.4 g m-2. Begitu pula dengan bobot gabah kering giling per m2 pada metode SRI nyata lebih tinggi (P<0.05) yaitu 689.7 g m-2 dibanding metode konvensional yaitu 555.4 g m-2. Perlakuan metode SRI dapat meningkatkan bobot gabah kering panen per m2 dan bobot gabah kering giling per m2 sebesar 24.2% (Tabel 2).

Pertumbuhan Generatif Tanaman Ratun. Perlakuan teknik pemotongan

dan metode budidaya masing-masing serta interaksinya tidak mempengaruhi (P>0.05) bobot 1000 gabah. Perlakuan teknik pemotongan dan metode budidaya masing-masing mempengaruhi bobot gabah kering per rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah kering giling per m2. Bobot gabah kering per rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah kering giling per m2 nyata lebih banyak (P<0.05) pada teknik pemotongan sistem salibu dengan metode budidaya SRI (Tabel 2).

Tabel 2 Bobot 1000 gabah (g), bobot gabah kering/rumpun (g), bobot gabah kering panen (g m-2), dan bobot gabah kering giling (g m-2) pada tanaman pertama dan tanaman ratun

Perlakuan Bobot 1000 gabah (g) Bobot gabah kering/rumpun (g) Bobot gabah kering panen (g m-2) Bobot gabah kering giling (g m-2) Tanaman Pertama SRI 25.6 a 50.4 a 786.7 a 689.7 a Konvensional 24.1 b 23.0 b 633.4 b 555.4 b Tanaman Ratun Tek. Pemotongan: Sistem Salibu 23.8 a 24.1 a 338.0 a 296.0 a Sistem Non-salibu 23.5 a 11.1 b 193.0 b 168.5 b Metode Budidaya:

SRI 23.7 a 20.7 a 312.5 a 273.5 a Konvensional 23.6 a 14.5 b 218.5 b 191.0 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom pada masing

14

Perbandingan Produksi Tanaman Ratun terhadap Tanaman

Pertama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman ratun yang

diperlakukan dengan teknik pemotongan sistem salibu dan metode budidaya SRI mampu menghasilkan persentase produksi sebesar 50.3% dari tanaman pertama (Tabel 3). Adanya serangan dari burung mempengaruhi nilai persentase produktivitas pada ratun.

Tabel 3 Perbandingan produksi tanaman ratun terhadap tanaman pertama

Produksi Tanaman Pertama Produksi Tanaman Ratun % Peningkatan produksi Metode Konvensional

(633.4 g m-2) Metode SRI (786.7 g m-2)

Non-salibu Konvensional (156.3 g m-2) 24.7 % Salibu Konvensional (280.6 g m-2) 44.3 % Non-salibu SRI (229.7 g m-2) 29.2 % Salibu SRI (395.4 g m-2) 50.3 %

Pengamatan Fisiologi Padi

Laju Fotosintesis. Laju fotosintesis pada tanaman pertama pada fase puncak vegetatif dan generatif pada metode SRI menunjukkan hasil yang nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Laju fotosintesis tanaman padi pada metode SRI saat fase puncak vegetatif dan generatif berturut-turut 40.1 dan 29.1 µmol CO2 m-2 s-1, sedangkan laju fotosintesis tanaman padi pada metode konvensional berturut-turut 36.4 dan 17.6 µmol CO2 m-2 s-1 (Tabel 4 ).

Laju fotosintesis pada tanaman ratun dipengaruhi oleh perlakuan metode budidaya. Laju fotosintesis ratun pada saat fase puncak vegetatif dan generatif pada metode budidaya SRI nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding dengan metode konvensional. Laju fotosintesis ratun pada metode SRI saat fase puncak vegetatif dan generatif berturut-turut 13.7 dan 10.5 µmol CO2 m-2 s-1, sedangkan laju fotosintesis ratun pada metode konvensional berturut-turut 12.2 dan 9.4 µmol CO2

m-2 s-1 (Tabel 4).

Tabel 4 Laju fotosintesis pada fase puncak vegetatif dan generatif pada PAR 2000 µmol CO2 m-2 s-1 pada tanaman pertama dan tanaman ratun

Tanaman Pertama Laju fotosintesis (µmol CO2 m-2 s-1) Fase puncak vegetatif

(70 hari setelah semai) (90 hari setelah semai) Fase generatif

SRI 40.1 a 29.1 a

Konvensional 36.4 b 17.6 b Tanaman Ratun Laju fotosintesis (µmol CO2 m-2 s-1)

Fase puncak vegetatif

(35 hari setelah panen) (60 hari setelah panen) Fase generatif

SRI 13.7 a 10.5 a

Konvensional 12.2 b 9.4 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom pada masing masing faktor tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (α = 0.05).

15

Serapan Hara Tanaman Pertama. Serapan hara N dan P pada daun padi

umur 105 HSS pada metode SRI nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding dengan metode konvensional. Namun, serapan hara K pada metode SRI dan metode konvensional tidak berbeda nyata (P>0.05) (Tabel 5).

Serapan Hara Tanaman Ratun. Perlakuan metode budidaya

mempengaruhi serapan hara P pada daun padi. Serapan hara P pada metode budidaya SRI berbeda nyata dibandingkan dengan konvensional (P<0.05). Perlakuan teknik pemotongan dan metode budidaya masing-masing mempengaruhi serapan hara N dan K pada daun padi ratun (Tabel 5).

Tabel 5 Serapan hara N, P, dan K pada daun tanaman pertama dan tanaman ratun Perlakuan Serapan N-daun (mg/rumpun) Serapan P-daun (mg/rumpun) Serapan K-daun (mg/rumpun)

Tanaman Pertama SRI 370.0 a 60.0 a 470.0 a Konvensional 180.0 b 40.0 b 440.0 a Tanaman Ratun Tek. Pemotongan: Sistem Salibu 320.0 a 60.0 a 401.7 a Sistem Non-Salibu 198.3 b 51.7 a 306.7 b Metode Budidaya:

SRI 278.3 a 63.3 a 321.7 b Konvensional 240.0 b 48.3 b 386.7 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom pada masing

masing faktor tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (α = 0.05).

Karbohidrat Total dan Fitohormon (Giberelin, Kinetin, dan Auksin) pada Meristem Interkalar Padi. Karbohidrat total dan fitohormon (giberelin dan kinetin) pada meristem interkalar dipengaruhi oleh perlakuan teknik pemotongan. Namun auksin dipengaruhi oleh perlakuan metode budidaya. Karbohidrat total pada perlakuan teknik pemotongan dengan sistem non-salibu lebih tinggi (P<0.05) dibanding dengan sistem salibu. Karbohidrat total di meristem interkalar pada sistem non-salibu sebesar 8.7%, sedangkan pada sistem salibu sebesar 4.5%. Sementara kandungan giberelin dan kinetin nyata lebih tinggi (P<0.05) pada perlakuan teknik pemotongan dengan sistem salibu dibandingkan dengan sistem non-salibu. Kandungan giberelin dan kinetin pada sistem salibu masing-masing sebesar 69.3 ppm dan 5.4 ppm, sedangkan kandungan giberelin dan kinetin pada sistem non-salibu sebesar 29.9 ppm dan 3.8 ppm. Begitu pula dengan kandungan auksin nyata lebih tinggi (P<0.05) pada perlakuan metode budidaya SRI yaitu 1.4 ppm dibanding dengan metode konvensional yaitu 0.8 ppm (Tabel 6).

16

Tabel 6 Pengaruh teknik pemotongan dan metode budidaya terhadap kandungan

karbohidrat total dan fitohormon pada meristem interkalar padi Perlakuan Karbohidrat total

(%) Giberelin (ppm) Kinetin (ppm) Auksin (ppm) Teknik Pemotongan

Sistem Salibu 4.5 b 69.3 a 5.4 a 0.9 a Sistem Non-salibu 8.7 a 29.9 b 3.8 b 1.3 a Metode Budidaya

SRI 6.6 a 57.7 a 4.8 a 1.4 a Konvensional 6.6 a 41.5 a 4.3 a 0.8 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom pada masing

masing faktor tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (α = 0.05).

Pembahasan

Perubahan Fisiologi Padi Tanaman Pertama dengan Metode Budidaya

System of Rice Intensification (SRI)

Metode SRI telah mampu meningkatkan produksi padi dengan cara memperbaiki pertumbuhan tanaman dari fase vegetatif sampai fase generatif. Tinggi tanaman, jumlah daun total per rumpun, dan jumlah anakan per rumpun padi lebih tinggi pada metode SRI dibandingkan dengan metode konvensional (Gambar 2). Hal ini disebabkan umur bibit yang digunakan lebih muda yaitu umur 10 HSS dibandingkan dengan metode konvensional menggunakan bibit umur 25 HSS. Penanaman bibit umur 10 HSS dapat meminimalisasi shock pada tahap pertumbuhan awal padi ketika dipindah tanamkan (Stoop et al. 2002). Penanaman bibit yang lebih muda memungkinkan tanaman lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan dan tidak mudah stress. Bibit padi umur 10 HSS juga memiliki perakaran yang belum panjang, sehingga dapat mengurangi guncangan saat pindah tanam dan meningkatkan kemampuan tanaman padi dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif (Ramli et al. 2012). Selain itu, penanaman dengan satu bibit padi per lubang tanam dan jarak tanam yang lebih lebar pada metode SRI juga dapat mengurangi persaingan dalam menyerap unsur hara, air, dan udara sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan individu tanaman padi dibandingkan dengan metode konvensional (Thakur et al. 2010). Selain itu, jarak tanam bibit padi pada metode SRI yang lebih lebar dibanding metode konvensional memberi ruang yang lebih leluasa untuk pertumbuhan perakaran padi. Penggunaan jarak tanam yang lebih lebar memungkinkan cahaya yang ditangkap oleh daun padi akan lebih banyak. Dengan demikian proses fotosintesis dapat berjalan lebih optimum, sehingga menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi yang tinggi (Nurlaili 2011).

Bobot kering tajuk per rumpun dan bobot kering akar per rumpun pada metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional (Tabel 1). Hal ini disebabkan pada metode SRI terjadi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Tanaman padi pada metode SRI memiliki laju fotosintesis yang lebih tinggi dibanding dengan metode konvensional (Tabel 4). Laju fotosintesis dari fase vegetatif sampai generatif pada metode SRI lebih tinggi daripada metode konvensional. Peningkatan laju fotosintesis pada metode SRI

17 didukung dengan seiring meningkatnya serapan hara N dan P dalam daun. Serapan hara N dan P dalam daun pada metode SRI lebih tinggi dibandingkan metode konvensional (Tabel 5).

Peningkatan laju fotosintesis dan peningkatan serapan hara pada metode SRI mungkin berperan dalam mengkonversi sebagian besar anakan menjadi anakan produktif (Tabel 1). Peningkatan jumlah anakan produktif dapat meningkatkan bobot 1000 gabah, bobot gabah kering per rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah kering giling per m2 (Tabel 2). Morfologi dan fisiologi tanaman padi pada metode SRI lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional sehingga menyebabkan peningkatan hasil gabah (Thakur et al. 2011). Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan padi tanaman pertama pada penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2015) bahwa tanaman padi yang dibudidayakan dengan metode SRI menghasilkan pertumbuhan vegetatif dan generatif lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Pertumbuhan dan perkembangan yang baik pada tanaman pertama akan mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan pada ratun (ratun) (Oliver et al. 2014).

Perubahan Fisiologi Tanaman Ratun dengan Sistem Salibu dengan Metode Budidaya System of Rice Intensification (SRI)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah daun, jumlah anakan (Gambar 2), dan jumlah anakan produktif pada ratun lebih sedikit dibandingkan pada tanaman pertama (Tabel 1). Hal ini dikarenakan jumlah karbohidrat tersedia di batang padi yang diperlukan untuk pengisian biji pada ratun lebih sedikit, sehingga hasil panen ratun lebih rendah dari hasil tanaman pertama. Oad et al. (2002a) melaporkan bahwa pertumbuhan dan produktivitas padi pada ratun berbeda dengan tanaman pertama. Secara morfologi, jumlah anakan dan jumlah anakan produktif padi ratun umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman pertama (Vergara et al. 1988; Oad et al. 2002a; Akhgari & Niyaki 2014; Faruq et al. 2014). Penelitian sebelumnya (Chauhan et al. 1985; Sanni et al. 2009; Tari 2011; Liu et al. 2012) juga telah melaporkan bahwa hasil panen ratun lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman pertama. Namun, dengan menggunakan sistem salibu dan metode SRI mampu memperbaiki pertumbuhan padi ratun dari fase vegetatif sampai generatif dari pada sistem non-salibu yang umum dilakukan oleh petani.

Sistem salibu dan metode SRI pada ratun mampu meningkatkan jumlah anakan per rumpun dan jumlah total daun per rumpun (Gambar 2). Tinggi pemotongan batang 5 cm di atas permukaan tanah pada sistem salibu menghasilkan ratun yang lebih banyak dibanding dengan sistem non-salibu. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi pemotongan menentukan jumlah mata tunas yang ada untuk tumbuh kembali. Tinggi pemotongan mempengaruhi jumlah anakan dan hasil biji serta memacu tunas yang dorman untuk tumbuh (Harrel et al. 2009). De Datta dan Bernasor (1998) juga melaporkan bahwa jumlah anakan, periode pertumbuhan, vigor ratun, dan hasil produksi ratun dipengaruhi oleh tinggi pemotongan pada batang padi sisa panen tanaman pertama. Pemotongan dengan ketinggian 5 cm di atas permukaan tanah pada sistem salibu mampu mempercepat keluarnya tunas ratun.

18

Perlakuan teknik pemotongan dan metode budidaya masing-masing mempengaruhi jumlah anakan produktif per rumpun, bobot kering tajuk per rumpun, sedangkan bobot kering akar per rumpun dipengaruhi oleh metode budidaya. Sistem salibu dan metode budidaya SRI mampu meningkatkan jumlah anakan produktif per rumpun, bobot kering tajuk per rumpun dan bobot kering akar per rumpun dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Hal ini disebabkan banyak tunas yang membentuk anakan baru, sehingga meningkatkan bobot kering tajuk dan bobot kering akar.

Laju fotosintesis pada ratun juga dipengaruhi oleh perlakuan metode budidaya. Laju fotosintesis pada metode SRI lebih tinggi daripada metode konvensional pada fase puncak vegetatif dan generatif (Tabel 4). Daun yang tetap hijau selama pengisian biji dapat menyebabkan fotosintesis tetap tinggi, sehingga translokasi fotosintat ke biji meningkat dan menyebabkan produksi padi juga meningkat (Fu & Lee 2009). Laju fotosintesis meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan N di daun. N berperan dalam efisiensi fotosintesis, transportasi asimilasi dan distribusi pada tanaman (Olszewski et al. 2014). Kandungan N yang tinggi dalam jaringan daun memungkinkan klorofil berada dalam jumlah yang banyak dan Rubisco sehingga dapat memicu laju fotosintesis lebih tinggi (Osaki et al. 1995). Perlakuan teknik pemotongan dan metode budidaya masing-masing mempengaruhi serapan hara N dan K pada daun, sedangkan serapan hara P dipengaruhi oleh perlakuan metode budidaya. Serapan hara N oleh daun pada sistem salibu dengan metode SRI lebih banyak dibanding sistem non-salibu dengan metode konvensional, sedangkan serapan hara K oleh daun pada sistem salibu dengan metode konvensional lebih tinggi dibandingkan sistem non-salibu dengan metode SRI. Serapan hara P pada metode SRI lebih tinggi dibandingkan metode konvensional (Tabel 5). P merupakan unsur penting dalam tumbuhan yang berperan dalam proses fotosintesis (Reich et al. 2009), begitu juga dengan K ikut berperan dalam proses fotosintesis (Motaghi & Nejad 2014).

Bobot gabah kering per rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah kering giling per m2 dipengaruhi oleh perlakuan teknik pemotongan dan metode budidaya. Sistem salibu dan metode SRI mampu meningkatkan bobot gabah kering per rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah kering giling per m2 dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 2). Hal ini disebabkan sistem salibu (batang padi sisa panen 5 cm di atas permukaan tanah) menghasilkan tunas yang berasal dari ruas pertama dan kedua, sehingga menyebabkan pertumbuhan vegetatifnya lebih optimum dan menghasilkan pertumbuhan generatif lebih sempurna. Di sisi lain, sistem non-salibu (batang padi sisa panen 20 cm di atas permukaan tanah) menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat mencapai masa generatif, sehingga malai yang terbentuk lebih pendek dan diikuti dengan jumlah gabah isi dan jumlah gabah total per rumpun lebih sedikit dibandingkan dengan sistem salibu. Perlakuan teknik pemotongan dan metode budidaya pada penelitian ini menghasilkan perbandingan persentase produktivitas ratun terhadap tanaman pertama ditemukan lebih tinggi pada sistem salibu dengan metode SRI dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 3). Vergara et al. (1988) mengemukakan bahwa jumlah gabah per malai ratun yang fertil lebih banyak dihasilkan pada ratun yang berasal dari ruas yang lebih rendah.

19

Peran Fisiologi Padi dalam Menghasilkan Ratun

Padi merupakan salah satu jenis tanaman dari famili Poaceae yang memiliki keistimewaan mampu untuk tumbuh kembali setelah di panen. Hal yang sering dilakukan oleh petani setelah panen biasanya membiarkan lahannya begitu saja, sehingga nilai produktivitas lahan menurun, sementara mereka dapat memanfaatkan tanaman ratun. Batang padi sisa panen mampu menghasilkan rumpun baru, sehingga dapat melanjutkan pertumbuhan kembali lebih dari satu siklus panen. Kemampuan padi dalam menghasilkan ratun dapat ditentukan oleh sifat genetik dan lingkungan, seperti ketersediaan air, tingkat kesuburan tanah, sinar matahari, suhu, keadaan hama, penyakit tanaman, dan tinggi pemotongan (Mahadevappa 1988). Lebih lanjut Vergara et al. (1988) melaporkan bahwa vigoritas sistem perakaran dan konsentrasi residu karbohidrat yang tinggi pada batang saat panen tanaman pertama merupakan prasyarat pembentukan tanaman ratun.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan teknik pemotongan yang dilakukan pada batang padi tanaman pertama mempengaruhi kandungan karbohidrat total yang terdapat pada jaringan meristem interkalar sisa panen tanaman pertama. Persentase karbohidrat total yang terdapat pada meristem interkalar sisa panen tanaman pertama pada sistem salibu ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan sistem non-salibu (Tabel 6). Karbohidrat merupakan salah satu hasil fotosintesis yang memiliki peranan penting dalam metabolisme. Selain sebagai hasil utama fotosintesis, karbohidrat berperan sebagai substrat dalam proses respirasi yang digunakan untuk membentuk bahan baru tanaman. Karbohidrat yang tersedia cukup pada bagian akar dan batang ditranslokasikan untuk inisiasi tunas sehingga menjadi tanaman ratun. Pemotongan kembali dilakukan untuk merangsang tumbuhnya tunas sehingga dapat meningkatkan jumlah anakan dan jumlah daun.

Pemotongan kembali pada batang padi yang dilakukan pada sistem salibu juga mempengaruhi kandungan fitohormon yang terdapat pada tumbuhan. Fitohormon tumbuhan diduga berperan dalam pembentukan tunas baru. Kurepin et al. (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan tunas pada tumbuhan dipengaruhi oleh interaksi lingkungan dengan beberapa fitohormon tumbuhan. Fitohormon dapat memberikan pengaruh yang besar pada berbagai proses fisiologis apabila fitohormon tersebut terdapat pada konsentrasi yang tepat dan pada sel yang tepat (sel target) (Srivastava 2002). Pertumbuhan tunas ratun terbentuk karena adanya kerjasama dari ketiga fitohormon tumbuhan, yaitu peran dari giberelin, kinetin, dan auksin. Hal ini dikarenakan beberapa jenis fitohormon dapat bekerja pada satu respon yang sama (apparent redundancy) (Srivastava 2002).

Perlakuan teknik pemotongan mempengaruhi kandungan giberelin dan kinetin yang terdapat pada batang padi. Kandungan giberelin dan kinetin pada sistem salibu lebih tinggi dibandingkan dengan sistem non-salibu (Tabel 6), sehingga memungkinkan pada sistem salibu menghasilkan tunas-tunas baru dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem non-salibu. Hal ini disebabkan giberelin banyak ditemukan di daerah jaringan muda pada tanaman seperti pada tunas dan ruas batang, sehingga berperan penting dalam merangsang munculnya tunas baru. Giberelin berperan dalam proses pemanjangan dan pembelahan sel pada tumbuhan (Mahmoody & Noori 2014) serta mengendalikan pemanjangan batang, perkecambahan, dan transisi dari fase pertumbuhan vegetatif

20

ke fase generatif (Thomas et al. 2005). Begitu juga dengan sitokinin berperan dalam merangsang pembentukan tunas baru. Sitokinin memacu pembelahan sel dan mengkontrol pertumbuhan tunas dan meristem akar (Kyozuka 2007).

Tunas-tunas baru yang membentuk ratun berasal dari jaringan meristem interkalar yang terdapat pada ruas padi. Jaringan meristem interkalar tersusun dari sel-sel yang aktif membelah dan tumbuh (Taiz & Zeiger 2010) dan pembelahan serta pemanjangan sel yang terjadi di jaringan meristem interkalar batang dipengaruhi oleh kandungan giberelin pada tumbuhan (Srivastava 2002). Meristem interkalar merupakan target dari kerja giberelin dalam merangsang pemanjangan internodus batang padi (Taiz & Zeiger 2010).

Selain giberelin dan kinetin, ditemukan juga kandungan auksin pada batang padi sisa panen. Auksin yang ditemukan pada batang padi berperan sebagai pemicu pertumbuhan tunas (Srivastava 2002) dan berperan dalam proses

Dokumen terkait