• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.15 HASIL PENELITIAN 1 STATISTIK DESKRIPTIF

1.15.2 HASIL PENGUJIAN HIPOTESIS

Dalam penelitian ini penulis menggunakan t-test: paired two samples for means untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan discretionary accruals

sebelum dan sesudah right issue. Yaitu adanya kecenderungan discretionary accruals yang lebih tinggi sebelum right issue dibandingkan dengan sesudah right issue. Pengujian dengan t-test: paired two samples for means dilakukan dengan membandingkan discretionary accruals sebelum dan sesudah right issue. Selain itu, sebagai pembanding penulis juga membandingkan discretionary accruals

sebelum dan pada saat right issue dan pada saat right issue dan sesudah right issue.

Tabel 4.6 Hasil t-test: paired two samples for means antara

discretionary accruals sebelum right issue dengan

discretionary accruals sesudah right issue dengan derajat

keyakinan 95%

Dari tabel 4.6 di atas, dapat dilihat bahwa nilai thitung adalah -1,462553185. Nilai ini berarti lebih kecil dari ttabel yaitu sebesar 1,68957244. Jika melihat dari tingkat signifikansi hasil perhitungan, maka dapat dilihat bahwa tingkat signifikansi hasil di atas adalah 0,07625603, berarti relatif lebih besar dari 0,05,

sehingga hasil pengujian secara parsial tidak signifikan. Dengan demikian berarti bahwa H0 diterima, dan Ha ditolak. Hal ini berlawanan dengan teori dan beberapa penelitian terdahulu (Sulistyanto, 2008; Astuti, 2005; dan Rao dan Dandale, 2005).

Tabel 4.7 Hasil t-test: paired two samples for means antara

discretionary accruals sebelum right issue dengan

discretionary accruals pada saat right issue dengan

derajat keyakinan 95%

Sebagai pembanding, penulis membandingkan discretionary accruals

sebelum right issue dengan discretionary accruals pada saat right issue. Tabel 4.7 menunjukkan hasil perbandingan antara discretionary accruals sebelum right issue dengan discretionary accruals pada saat right issue, yaitu nilai thitung sebesar -1,391303079 lebih kecil dibandingkan dengan ttabel yaitu sebesar 1,68957244 pada derajat keyakinan 95%. Dengan tingkat signifikansi sebesar 0,086457351 (relatif lebih besar dari 0,05). Dengan demikian, discretionary accruals sebelum

right issue tidak lebih besar jika dibandingkan dengan discretionaryaccruals pada saat right issue. Hal ini berlawanan dengan teori dan hasil beberapa penelitian yang ada (Sulistyanto, 2008; Astuti, 2005; dan Rao dan Dandale, 2005). Meskipun

begitu, jika dibandingkan dengan nilai pada tabel 4.6, maka nilai thitung pada tabel 4.7 relatif lebih kecil.

Tabel 4.8 Hasil t-test: paired two samples for means antara

discretionary accruals pada saat right issue dengan

discretionary accruals sesudah right issue dengan derajat

keyakinan 95%

Selain tabel 4.7, sebagai pembanding yang lain adalah dengan membandingkan discretionary accruals pada saat right issue dengan

discretionary accruals sesudah right issue. Hasil yang ditunjukkan pada tabel 4.8 diperoleh nilai thitung adalah 0,688091873 lebih kecil jika dibandingkan dengan ttabel pada pengujian satu pihak (pihak kanan) yaitu sebesar 1,68957244. Sedangkan tingkat signifikansi dari tabel di atas adalah sebesar 0,247965205, jauh lebih besar dari 0,05. Dengan demikian hasil pengujian di atas sangat tidak signifikan, yang berarti bahwa discretionary accruals pada saat right issue tidak lebih besar jika dibandingkan dengan discretionary accruals sesudah right issue.

1.16 PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian statistik deskriptif, dapat diketahui bahwa rata-rata perusahaan mempublik yang melakukan right issue antara tahun 2001-2007 mempraktikkan manajemen laba. Hal ini bisa dilihat dari hasil regresi linier berganda antara discretionary accruals dengan total accruals dan non discretionary accruals signifikan. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan right issue akan cenderung untuk melakukan aktivitas manajemen laba, baik sebelum peristiwa right issue, maupun setelah

right issue (Sulistyanto, 2008). Perusahaan yang melakukan right issue akan mencoba untuk merekayasa laporan keuangannya sehingga tampak bagus di mata investor. Untuk itu, pihak manajemen melakukan aktivitas manajemen laba dengan pola penaikan laba (maximization). Dengan kenaikan laba yang signifikan, diharapkan investor semakin tertarik untuk membeli saham perusahaan yang melakukan right issue. Meskipun begitu, praktik manajemen laba akan berdampak buruk untuk perusahaan di masa yang akan datang. Manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan hanya akan menguntungkan perusahaan dalam jangka pendek. Jangka panjang, perusahaan akan mengalami penurunan kinerja setelah peristiwa right issue secara signifikan (Astuti, 2005).

Nilai rata-rata dari discretionary accruals perusahaan mempublik yang melakukan right issue adalah negatif. Dengan demikian, dalam melakukan aktivitas manajemen laba, sebagian besar perusahaan tersebut melakukan penurunan laba. Hal ini berlawanan dengan teori dan beberapa penelitian terdahulu, dimana seperti yang dijelaskan di atas, perusahaan yang melakukan

right issue akan menaikkan laba secara signifikan. Secara teori, ada beberapa hal yang menyebabkan perusahaan tersebut melakukan aktivitas manajemen laba dengan menurunkan laba (minimization). Antara lain political cost hypothesis

yang memprediksi bahwa perusahaan besar cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang dapat menurunkan laba. Perusahaan menurunkan laba dengan mengakui biaya periode yang akan datang ke dalam periode berjalan. Biasanya perusahaan melakukan aktivitas manajemen laba dengan cara menurunkan laba saat perusahaan ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah, menghindari biaya pajak, atau adanya peraturan-peraturan yang baru dari pemerintah, baik itu peraturan tentang perpajakan maupun peraturan lain yang mengatur perusahaan. Seperti peraturan anti trust dan anti monopoli. Sedangkan yang kedua adalah ketika terjadi pergantian kepemimpinan, dengan harapan pemimpin yang berikutnya akan dapat menaikkan laba secara signifikan. Dalam hal ini, pihak manajemen melakukan aktivitas manajemen laba dengan metode

taking a bath. Yaitu manajemen berusaha untuk meminimalisasi laba sedemikian sehingga laba yang dihasilkan perusahaan jauh di bawah laba sesungguhnya, bahkan ada kemungkinan manajemen melaporkan bahwa perusahaan mengalami kerugian yang cukup signifikan pada periode tersebut.

Dalam konteks hubungan keagenan antara perusahaan dengan pemerintah, perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar pajak yang ditentukan besarnya dengan besar kecilnya laba yang dimiliki oleh perusahaan. Semakin besar laba yang diperoleh perusahaan, maka pajak yang dibayarkan akan semakin besar, dan begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu, pihak manajemen berusaha agar laba

perusahaan selalu kelihatan lebih rendah daripada laba yang sesungguhnya diperoleh. Kebebasan pihak manajemen dalam memilih perlakuan akuntansi, menyebabkan pihak manajemen perusahaan memiliki lebih banyak informasi perusahaan dari pada pemerintah. Hal ini membuat pihak manajemen melakukan aktivitas manajemen laba dengan menurunkan laba periode tersebut sehingga pajak yang dibayarkan cenderung relatif lebih rendah dari pada yang seharusnya. Phillips et.al. (2002), Hanlon et.al. (2005), Gleason et.al. (2009), dan Seidman (2010), menyatakan bahwa terdapat perusahaan melakukan aktivitas manajemen laba untuk menekan biaya pajak yang harus dibayar pada periode berjalan.

Perubahan peraturan perpajakan juga menjadi sebab pihak manajemen melakukan aktivitas manajemen laba. Biasanya, peraturan perpajakan yang ditetapkan tahun ini baru dijalankan sepenuhnya oleh perusahaan pada tahun berikutnya. Sehingga, selama tahun berjalan, pihak manajemen dapat melakukan aktivitas manajemen laba untuk menekan besarnya pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Hal yang cukup berperan adalah metode pencatatan dan perhitungan persediaan. Dengan metode-metode tersebut, maka perusahaan dapat melakukan pembelian persediaan pada waktu-waktu tertentu yang sekiranya akan dapat mengurangi laba karena besarnya harga pokok penjualan. Cook et.al. (2006) menyebutkan bahwa perusahaan cenderung untuk melakukan aktivitas manajemen laba jika terjadi perubahan tingkat bunga, terutama jika perubahan tersebut terjadi pada kuartal tiga dan kuartal empat. Bahkan Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX) tidak berpengaruh terhadap keputusan pihak manajemen untuk melakukan aktivitas manajemen laba.

Dari hasil pengujian hipotesis, diperoleh hasil bahwa discretionary accruals

sebelum right issue tidak lebih besar jika dibandingkan dengan discretionary accruals sesudah right issue. Hal ini berlawanan dengan teori dan penelitian terdahulu seperti yang sudah penulis paparkan di atas. Ada beberapa hal yang mempengaruhi mengapa hal tersebut bisa terjadi. Di antaranya, diduga adanya upaya pihak perusahaan untuk menghindari pajak, atau adanya peraturan perpajakan yang baru, atau bisa juga karena peraturan pemerintah yang lain yang mungkin kurang menguntungkan bagi beberapa perusahaan. Seperti misalnya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi yang relatif cukup besar (bisniskeuangan.kompas. com, 8 Maret 2010). Contoh ketika Bank Lippo menerbitkan tiga versi laporan keuangan periode tahun 2002, yang berbeda antara satu dengan yang lain. Yaitu laporan yang dipublikasikan dalam media massa, laporan keuangan yang dilaporkan kepada BAPEPAM, dan laporan keuangan yang disampaikan akuntan publik kepada manajer perusahaan (Sulistyanto, 2008). Beberapa hasil penelitian tentang aktivitas manajemen laba dalam memanipulasi laporan keuangan untuk menghindari pajak seperti yang sudah penulis paparkan di atas, dapat dijadikan dasar bahwa terdapat indikasi adanya aktivitas manajemen laba untuk menghindari pajak pada beberapa perusahaan yang mempublik di Bursa Efek Indonesia pada periode 2001-2007.

Dari hasil penelitian dan beberapa hal yang sudah penulis paparkan di atas, penulis mengambil beberapa alternatif kemungkinan mengapa sebagian besar perusahaan yang melakukan right issue menggunakan metode penurunan laba pada aktivitas manajemen labanya, di antaranya adalah:

1. Peraturan perpajakan yang berubah-ubah dalam beberapa tahun terakhir bisa menjadi alasan mengapa perusahaan melakukan aktivitas manajemen laba dengan menurunkan laba. Ada indikasi bahwa, peraturan perpajakan yang baru lebih memberatkan perusahaan jika dibandingkan dengan peraturan perpajakan yang lama. Misalnya dengan berubahnya tarif pajak yang diberlakukan untuk wajib pajak badan, akan menyebabkan pihak manajemen melakukan aktivitas manajemen laba dengan menurunkan laba. Sehingga pajak yang dibayarkan oleh perusahaan akan relatif lebih rendah.

2. Peraturan anti monopoli yang baru juga bisa menjadi penyebab mengapa perusahaan menurunkan laba (bahkan mungkin saja penurunan laba itu secara drastis). Hal ini dimaksudkan agar saat terjadinya merger atau akuisisi, maka apa yang mereka lakukan adalah upaya untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan yang memang sedang tidak bagus, bukan sebagai upaya untuk memonopoli suatu jenis usaha tertentu. Upaya tersebut wajar terjadi jika kondisi keuangan perusahaan memang sedang menurun (dalam hal ini pihak manajemen melakukan aktivitas laba dengan menurunkan laba).

3. Pergantian kepemimpinan yang baru juga dapat menyebabkan pihak manajemen melakukan penurunan laba. Hal ini dilakukan agar pemimpin yang baru dapat meningkatkan laba secara lebih signifikan. Mengingat pemimpin yang baru akan berusaha untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik dari

pemimpin yang sebelumnya. Bonus plan hypothesis, pemimpin yang baru akan berusaha untuk mendapatkan bonus yang semaksimal mungkin. Sehingga dalam periode berikutnya pemimpin yang baru tersebut akan berusaha untuk memaksimalkan laba. Bahkan tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan aktivitas manajemen laba dengan penaikan laba.

4. Selain dari tiga hal di atas, jika melihat periode amatan yang penulis ambil dalam penelitian ini, terjadinya krisis ekonomi global dalam dunia ekonomi dunia, terutama Indonesia, menyebabkan pelaku bisnis telah memprediksi hal tersebut. Sehingga pelaku bisnis harus berhati-hati jika ingin melakukan aktivitas manajemen laba sebelum peristiwa right issue. Mengingat bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas manajemen laba dengan menaikkan laba akan mengalami penurunan kinerja perusahaan secara signifikan sesudah melakukan penawaran right issue. Penurunan kinerja tersebut akan berlangsung selama beberapa periode setelah penawaran right issue. Bahkan menurut Sulistyanto (2008), dalam kondisi ekonomi perekonomian makro yang sedang mengalami penurunan akibat terjadinya krisis ekonomi global, perusahaan akan mengalami penurunan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain. Perusahaan harus menanggung dua konsekuensi sekaligus. Pertama adalah konsekuensi aktivitas manajemen laba yang sudah dilakukan pada periode sebelumnya. Kedua adalah konsekuensi adanya krisis ekonomi global yang memang mengakibatkan penurunan kinerja pada sebagian besar perusahaan di Indonesia.

5. Jian dan Elder (2004) dan Sulistyanto (2008), menyatakan investor tidak merasa terkejut dengan adanya penurunan kinerja dari perusahaan. Begitu juga

penurunan kinerja sebelum penawaran dilakukan pun tidak menyebabkan investor menarik investasinya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya right issue ditawarkan kepada pemilik saham lama. Di negara-negara berkembang, kepemilikan saham biasanya masih dimiliki oleh keluarga dan teman. Oleh karena itu, pihak manajemen tidak terlalu memikirkan untuk melakukan aktivitas manajemen laba dengan menaikkan laba agar penawaran right issue

1.17 SIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang sudah penulis paparkan di atas, penulis mengambil simpulan bahwa discretionary accruals sebelum right issue

tidak lebih besar jika dibandingkan dengan discretionary accruals sesudah right issue. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi hal tersebut, namun penulis lebih cenderung untuk menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi yang tidak stabil menjadi penyebab mengapa perusahaan berusaha untuk tidak melakukan aktivitas manajemen laba dengan menaikkan laba sebelum peristiwa right issue. Hal ini dimungkinkan mengingat investor tidak terlalu mempermasalahkan kondisi keuangan perusahaan secara mendetail, mengingat right issue merupakan penawaran saham kepada pemegang saham yang lama. Dalam kondisi perekonomian global yang tidak stabil, melakukan aktivitas manajemen laba dengan cara menaikkan laba akan memiliki risiko yang lebih besar pada kinerja perusahaan di masa yang akan datang. Pada masa mendatang, perusahaan tidak hanya harus menanggung konsekuensi karena kondisi perekonomian yang tidak stabil, tetapi sekaligus menanggung konsekuensi karena aktivitas penaikan laba yang dilakukan pada periode sebelumnya. Dengan demikian, pola penurunan laba masih tetap dilakukan oleh pihak manajemen dalam melakukan aktivitas manajemen laba.

1.18 SARAN

Dalam penelitian ini masih terdapat beberapa keterbatasan, di antaranya adalah:

1. Penulis tidak terlalu memperhatikan kondisi setiap perusahaan, sehingga dalam pengambilan sampel penulis hanya mempertimbangkan perusahaan yang melakukan right issue. Beberapa perusahaan ada kemungkinan selama periode amatan yang dilakukan penulis melakukan kegiatan yang lain yang mengakibatkan hasil penelitian penulis berlawanan dengan teori dan penelitian terdahulu, seperti melakukan akuisisi atau merger, melakukan penawaran perdana, atau terdapat pergantian kepemimpinan. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti dapat melakukan penelitian dengan lebih memperhatikan sampel yang digunakan. Bahkan mungkin sebagai pembanding bisa digunakan penelitian antara perusahaan yang melakukan right issue dan yang tidak melakukan right issue.

2. Penulis juga tidak memisahkan antara perusahaan jasa, dagang dan manufaktur. Untuk penelitian selanjutnya, dalam melakukan perhitungan sebaiknya dipisahkan untuk masing-masing jenis perusahaan. Peneliti dapat melihat hasil uji-t untuk masing-masing perusahaan tersebut apakah memiliki perbedaan yang signifikan. Dengan adanya pemisahan tersebut, akan lebih jelas perusahaan jenis apa saja yang melakukan manajemen laba dengan cara menaikkan laba dan perusahaan mana yang melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba. Sebagai pembanding, peneliti bisa juga memasukkan perusahaan yang termasuk dalam indeks LQ-45.

3. Selain itu penulis masih menggunakan model Jones yang dimodifikasi dalam melakukan analisis data. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti dapat menggunakan analisis data dari beberapa persamaan yang lain, seperti model Kothari, atau Miller ratio. Model Kothari menggunakan ROA dalam persamaannya. Pendekatan dengan menggunakan ROA dirancang untuk menyediakan suatu perbandingan dari efektifitas pemadanan kinerja dengan pengukuran kinerja aktivitas akrual. Model tersebut mungkin akan dapat memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan model Jones yang sudah dimodifikasi, terutama jika menggunakan sampel dengan teknik

random sampling (Kothari et.al., 2005). Sedangkan Miller ratio berusaha memisahkan discretionary accruals dari aktivitas akrual jangka pendek saja. Sehingga, perbedaan antara model Jones yang dimodifikasi dengan Miller ratio adalah aktivitas akrual jangka panjang. Miller ratio bisa digunakan jika peneliti ingin melakukan penelitian kasus per kasus untuk mengetahui adanya indikasi earnings management, dan bukan sampel perusahaan secara agregat (Miller, 2009).

Dokumen terkait