• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Perhitungan %antihepatotoksik dan daya antihepatotoksik serta

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Efek Antihepatotoksik Infusa Herba Mimosa pigra L Terhadap Tikus

4. Hasil Perhitungan %antihepatotoksik dan daya antihepatotoksik serta

Mimosa pigra L. terhadap tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida

Perhitungan %antihepatotoksik yang dilakukan oleh peneliti dengan cara menghitung %kerusakan dari hepatotoksin terlebih dahulu. Perhitungan %kerusakan didapat dengan membandingkan hasil penurunan purata aktivitas serum transaminase perlakuan terhadap kontrol negatif dengan penurunan aktivitas serum transaminase kontrol hepatotoksin terhadap kontrol negatif. Kemudian %antihepatotoksik didapat dengan mengurangkan 100% sebagai

representasi hati dalam kondisi sehat dengan %kerusakan yang terhitung. Secara matematis dinyatakan sebagai berikut :

1 −(purata ALT kontrol karbon tetraklorida − purata ALT kontrol negatif) × 100%(purata ALT perlakuan − purata ALT kontrol negatif)

1 −(purata AST kontrol karbon tetraklorida − purata AST kontrol negatif)(purata AST perlakuan − purata AST kontrol negatif) × 100%

(Wakchaure, Jain, Singhai, Somani, 2013).

Pada formula tersebut, digunakan pengurang berupa aktivitas serum transaminase tikus pada kontrol negatif. Penggunaan aktivitas serum transaminase kontrol negatif sebagai pengurang dikarenakan aktivitas serum transaminase kontrol negatif merupakan aktivitas normal pada kondisi normal. Pada hakikatnya aktivitas serum transaminase kontrol negatif adalah aktivitas serum transaminase pada tikus yang diberikan pelarut senyawa uji, sehingga pada penelitian ini seharusnya kontrol negatif dari perlakuan silimarin adalah CMC-Na 1% pada dosis yang sama (25 mg/KgBB) dan kontrol negatif perlakuan adalah aquades dengan volume pemberian maksimum yaitu 2,5 ml. Akan tetapi pada penelitian kali ini, peneliti tidak melakukan pengukuran aktivitas serum transaminase dengan senyawa tersebut karena CMC-Na 1% dan aquades tidak memiliki potensi meningkatkan aktivitas serum transaminase. Hal ini didukung dari penelitian Surendran, Eswaran, Vijayakumar, Rao (2011) yang juga menggunakan CMC-Na 1% sebagai kontrol negatif dan memperlihatkan tidak adanya peningkatan aktivitas serum transaminase pada tikus. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Sujono dan Widiatmoko, 2012 juga menggunakan aquades sebagai kontrol negatif dan menunjukkan tidak adanya kenaikan aktivitas serum transaminase pada tikus. Dari penelitian-penelitian tersebut, lebih diyakini bahwa aktivitas serum transaminase tidak mengalami peningkatan dengan pemberian CMC-Na 1% dan aquades sehingga untuk menggantikan kedua kontrol tersebut, peneliti menggunakan kontrol negatif dalam penelitian berupa kontrol minyak yang merupakan pelarut karbon tetraklorida. Hasil pengolahan data secara statistik menyatakan bahwa aktivitas serum transaminase kontrol negatif berupa minyak zaitun juga tidak berbeda bermakna dengan aktivitas transaminase tikus pada jam ke-0, sehingga bisa dikatakan bahwa aktivitas serum transaminase pada kontrol negatif minyak zaitun merupakan aktivitas serum transaminase tikus normal dan digunakan dalam perhitungan %antihepatotoksik baik perlakuan infusa herba Mimosa pigra L. maupun kontrol positif silimarin.

Perhitungan daya antihepatotoksik dilakukan dengan menggunakan rumus :

%antihepatotoksik ALT perlakuan

%antihepatotoksik ALT silimarin x 100%

Tujuan perhitungan daya antihepatotoksik adalah untuk melihat efek

antihepatotoksik infusa herba Mimosa pigra L. dibandingkan dengan efek

antihepatotoksik dari silimarin dosis 25 mg/KgBB.

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan efek antihepatotoksik dari infusa

herba Mimosa pigra L. dan juga dosis optimum dari efek antihepatotoksik

diuji dibagi menjadi 3 peringkat dosis. Peringkat dosis paling rendah yaitu 1,26 g/KgBB, peringkat dosis kedua yaitu 1,89 g/KgBB, dan peringkat dosis tertinggi sebesar 2,835 g/KgBB. Dosis ini didapat dari penelitian Apriyanto, dkk (2000) yang juga menggunakan dosis yang sama untuk menguji efek hepatoprotektif

infusa herba Mimosa pigra L. terhadap tikus terinduksi parasetamol.

Hasil pengolahan data aktivitas serum ALT dan AST secara statistik

menggunakan analisis non-parametrik Mann-Whitney dapat dilihat dari tabel VIII

dan IX, serta perbandingan aktivitas serum masing-masing dapat dilihat pada gambar 10 dan 11. Hasil perbandingan %antihepatotoksik antara kontrol positif

silimarin dan perlakuan pemberian infusa herba Mimosa pigra L. dapat dilihat

pada gambar 12.

Gambar 10. Diagram batang rata-rata pengaruh pengaruh dosis pemberian infusa herba Mimosa pigra L. terhadap hepatotoksisitas karbon tetraklorida

Tabel VIII. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan pemberian infusa herba Mimosa pigra L. berdasarkan serum ALT pada variasi dosis tertentu

Kontrol minyak zaitun Kontrol CCl4 Kontrol

ekstrak silimarin Kontrol Dosis I (1,26 g/KgBB)

Dosis II (1,89 g/KgBB) Dosis III (2,835 g/KgBB) Kontrol minyak zaitun BB TB BB BB BB BB Kontrol CCl4 BB BB BB BB BB BB Kontrol ekstrak TB BB BB BB BB BB Kontrol Silimarin BB BB BB TB TB TB Dosis I (1,26 g/KgBB) BB BB BB TB TB BB Dosis II (1,89 g/KgBB) BB BB BB TB TB BB Dosis III (2,835 g/KgBB) BB BB BB TB BB BB

BB = Berbeda bermakna (p<0,05) ; TB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)

Gambar 11. Diagram batang rata-rata pengaruh pengaruh dosis pemberian infusa herba Mimosa pigra L. terhadap hepatotoksisitas karbon tetraklorida

Tabel IX. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan pemberian infusa herba Mimosa pigra L. berdasarkan serum AST pada variasi dosis tertentu

Kontrol minyak zaitun Kontrol CCl4 Kontrol

ekstrak silimarin Kontrol Dosis I (1,26 g/KgBB)

Dosis II (1,89 g/KgBB) Dosis III (2,835 g/KgBB) Kontrol minyak zaitun BB TB BB TB TB BB Kontrol CCl4 BB BB TB BB BB BB Kontrol ekstrak TB BB BB TB BB BB Kontrol Silimarin BB TB BB BB BB TB Dosis I (1,26 g/KgBB) TB BB TB BB TB BB Dosis II (1,89 g/KgBB) TB BB BB BB TB BB Dosis III (2,835 g/KgBB) BB BB BB TB BB BB

BB = Berbeda bermakna (p<0,05) ; TB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)

Gambar 12. Diagram batang %antihepatotoksik antara kontrol minyak zaitun, kontrol CCl4, kontrol silimarin, dan perlakuan berdasarkan aktivitas

serum ALT dan AST 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 Kontrol minyak zaitun Kontrol

CCl4 silimarinkontrol dosis I (1,26 g/KgBB) dosis II (1,89 g/KgBB) dosis III (2,835 g/KgBB) %a nt he pa to toks ik (%) %antihepatotoksik serum ALT %antihepatotoksik serum AST

Pada pemberian silimarin dosis 25 mg/KgBB, didapatkan aktivitas serum ALT sebesar 82,8 ± 7,0 U/l dan akivitas serum AST sebesar 431,0 ± 27,3 U/l. Dari hasil aktivitas serum ALT yang didapat, %antihepatotoksik yang terhitung

adalah 58,7%. Bila dibandingkan dengan kontrol CCl4, terlihat perbedaan yang

bermakna (p=0,009) sehingga dapat disimpulkan bahwa silimarin dosis 25 mg/KgBB dapat menurunkan aktivitas serum ALT. Bila dibandingkan dengan kontrol minyak, aktivitas serum ALT pemberian silimarin juga memberikan hasil yang berbeda bermakna (p=0,009) sehingga nilai aktivitas serum ALT belum berada pada batas normal. Dari hasil ini disimpulkan bahwa silimarin dosis 25 mg/KgBB p.o. mampu menurukan aktivitas serum ALT namun belum dapat menormalkan aktivitasnya pada perlakuan antihepatotoksik.

Aktivitas serum AST yang terukur pada pemberian silimarin dosis 25 mg/KgBB p.o. menunjukkan %antihepatotoksik sebesar 15,6%. Perbandingan

aktivitas serum AST pada pemberian silimarin dengan kontrol CCl4

meununjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,251) sehingga dikatakan bahwa silimarin dosis 25 mg/KgBB p.o. tidak mampu menurunkan aktivitas serum AST pada perlakuan antihepatotoksik. Hal ini dikarenakan kenaikan aktivitas serum AST tidak hanya disebabkan oleh kerusakan hati melainkan juga akibat cidera otot, jantung, serta organ vital lain seperti paru-paru. Selain merusak hati, karbon tetraklorida juga menyebabkan kerusakan pada organ-organ tersebut, sedangkan kemampuan utama silimarin pada dosis 25 mg/KgBB spesifik pada kerusakan hati bukan kerusakan organ yang lain. Hal ini menyebabkan tingginya aktivitas serum AST walaupun dengan pemberian silimarin sekalipun.

Dari hasil yang didapat, ditemukan perbedaan dari penelitian yang selama ini dilakukan menggunakan kontrol positif silimarin dengan dosis 25 mg/KgBB dimana kebanyakan menunjukkan penurunan aktivitas serum baik ALT

maupun AST. Penelitian yang dilakukan oleh Surendran, et al., 2011

menunjukkan bahwa pemberian silimarin dosis 25 mg/KgBB p.o. memberikan aktivitas serum ALT dan AST yang mendekati dengan kontrol negatif, sedangkan secara statistik, pemberian silimarin memberikan perbedaan yang signifikan pada

aktivitas serum ALT dan AST dibandingkan kontrol CCl4. Hal ini dikarenakan

pada penelitian Surendran, et al., 2011 digunakan model hepatoprotektif di mana

terjadi penambahan antioksidan terlebih dahulu sebelum terjadi perusakan hati sehingga organ hati sudah terlindungi oleh antioksidan dari silimarin (flavonolignan). Ketika ada radikal bebas yang masuk dan meracuni sel-sel hati, hati sudah memiliki perlindungan ganda baik dari enzim antioksidan hati sendiri serta dari antioksidan silimarin sehingga radikal bebas yang akan merusak hati dapat dinetralkan terlebih dahulu dan kerusakan hati dapat diminimalisir. Selain itu, antioksidan yang diberikan guna melindungi hati dari radikal bebas juga

memicu pembentukan enzim hati seperti NADPH-chytochrom c reductase dan

cytochrome b5. Antioksidan juga dapat mereduksi efek toksik dari senyawa tergantung metabolisme seperti karbon tetraklorida dengan cara menghambat aktivitas dari sitokrom P450. Karbon tetraklorida akan membentuk radikal bebas setelah melalui metabolisme fase I oleh enzim sitokrom P450. Inhibisi enzim ini

oleh antioksidan dapat memperlambat metabolsime CCl4 dan mereduksi

2001). Berbeda dengan perlakuan antihepatotoksik, hati yang belum mendapatkan perlindungan apapun dipaparkan oleh radikal bebas dari karbon tetraklorida. Satu-satunya perlindungan yang dimiliki oleh sel hati adalah dari enzim antioksidan hati itu sendiri (peroksidase, katalase, dll.). Pada perlakuan antihepatotoksik, hati dipaparkan dengan karbon tetraklorida terlebih dahulu sehingga terjadi perusakan

oleh radikal bebas akibat CCl4. Radikal bebas ini akan merusak hati terutama pada

zona III di mana terdapat paling banyak aktivitas enzim mikrosomal dan enzim antioksidan (Bowman, Rand, 1980). Perusakan hati tersebut akan menyebabkan penurunan aktivitas eznim antioksidan sebelum terjadinya regenerasi sel-sel hati, sehingga antioksidan dari silimarin bekerja sendiri dalam menetralkan radikal bebas tanpa bantuan enzim antioksidan hati.

Pada pemberian silimarin dosis 25 mg/KgBB ditemukan aktivitas antihepatotoksik berdasarkan aktivitas serum ALT dengan %antihepatotoksik sebesar 58,7%. Berdasarkan aktivitas serum ALT, silimarin pada dosis 25 mg/KgBB sudah memiliki kemampuan sebagai antihepatotoksik. Oleh karena itu silimarin dosis 25 mg/KgBB dapat berpotensi sebagai kontrol positif dari penelitian dan dapat dijadikan sebagai pembanding daya antihepatotoksik

terhadap perlakuan menggunakan infusa herba Mimosa pigra L. Perhitungan daya

antihepatotoksik pada penelitian ini hanya berdasarkan aktivitas serum ALT yang merupakan indikator spesifik kerusakan hati. Hal ini dikarenakan perhitungan daya antihepatotoksik diharapkan menunjukkan perbandingan kemampuan antihepatotoksik yang spesifik dengan kontrol positif silimarin.

Pada pemberian dosis infusa herba Mimosa pigra L. sebesar 1,26 g/KgBB menunjukkan aktivitas serum ALT pada jam ke-24 sebesar 79,0 ± 5,7 U/l dan aktivitas serum AST sebesar 122,2 ± 9,7 U/l. Dari aktivitas serum ALT, didapatkan %antihepatotoksik sebesar 62,5%. Apabila dibandingkan dengan

kontrol CCl4, terlihat adanya perbedaan yang bermakna (p=0,009) sehingga infusa

herba Mimosa pigra L. dapat menurunkan aktivitas serum ALT, akan tetapi jika

dibandingkan dengan kontrol minyak, terlihat perbedaan yang bermakna (p=0,009) juga sehingga penurunan aktivitas serum ALT yang terjadi belum mencapai batas normal. Aktivitas serum ALT pada pemberian dosis 1,26 g/KgBB juga memiliki perbedaan yang tidak bermakna (p=0,834) dengan kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan aktivitas serum ALT, efek

antihepatotoksik dari infusa herba Mimosa pigra L. dosis 1,26 g/KgBB memiliki

efek antihepatotoksik yang sama dengan silimarin dosis 25 mg/KgBB. Dari hasil

perhitungan daya antihepatotoksik infusa herba Mimosa pigra L. menunjukkan

nilai sebesar 106,5%. Hal ini menunjukkan bahwa infusa herba Mimosa pigra L.

dosis 1,26 g/KgBB memiliki efek antihepatotoksik yang lebih besar dari silimarin akan tetapi secara statistik tidak signifikan perbedaannya.

Berdasarkan aktivitas serum AST pada jam ke-24, didapatkan %antihepatotoksik sebesar 97,6%. Secara statistik, aktivitas serum AST pada

pemberian infusa herba Mimosa pigra L. dosis 1,26 g/KgBB memiliki perbedaan

yang bermakna (p=0,009) bila dibandingkan dengan kontrol CCl4 dan memiliki

perbedaan yang tidak bermakna (p=0,346) dibandingkan kontrol minyak. Dari

1,26 g/KgBB secara oral dapat menurunkan aktivitas serum AST hingga batas

normal. Aktivitas serum AST pada perlakuan dosis infusa herba Mimosa pigra L.

sebesar 1,26 g/KgBB memberikan penurunan aktivitas serum AST yang lebih besar serta memiliki perbedaan yang signifikan (p=0,009) dengan aktivitas serum AST pada pemberian silimarin dosis 25 mg/KgBB.

Dari hasil yang didapat %antihepatotoksik serum ALT yang didapat

sebesar 62,5%, dinyatakan bahwa pada dosis 1,26 g/KgBB, infusa herba Mimosa

pigra L. memiliki aktivitas antihepatotoksik yang cukup besar. Prosentase antihepatotoksik 62,5% ini menunjukkan bahwa dengan pemberian infusa herba Mimosa pigra L. dosis 1,26 g/KgBB sudah memiliki aktivitas antihepatotoksik.

Dari hasil %antihepatotoksik AST terhadap karbon tetraklorida yang didapat sebesar 97,6%, dapat dinyatakan bahwa pada dosis 1,26 g/KgBB, infusa

herba Mimosa pigra L. memiliki kemampuan yang cukup besar dalam

menurunkan aktivitas AST. Akan tetapi penurunan yang terjadi dapat dikarenakan adanya penyembuhan dari organ-organ lain selain hati yang juga rusak akibat pemejanan karbon tetraklorida seperti otot, ginjal, jantung, dan paru-paru. Ekstrak

metanol daun Mimosa pigra L. memiliki kemampuan sebagai anti hipertensi

pulmonar. Selain itu, ekstrak metanol dari daun Mimosa pigra L. memiliki

aktivitas sebagai antiinflamasi (Rakotomalala, et al., 2013). Berdasarkan

penelitian ini dapat dimungkinkan infusa herba Mimosa pigra L. memiliki

aktivitas dalam membantu penyembuhan dari sel-sel otot rangka dan sel-sel otot jantung yang rusak akibat karbon tetraklorida.

Pada pemberian dosis infusa herba Mimosa pigra L. sebesar 1,89 g/KgBB menunjukkan aktivitas serum ALT pada jam ke-24 sebesar 69,8 ± 4,3 U/l dan aktivitas serum AST sebesar 120,0 ± 4,4 U/l. Dari aktivitas serum ALT, didapatkan %antihepatotoksik sebesar 71,7%. Apabila dibandingkan dengan

kontrol CCl4, terlihat adanya perbedaan yang bermakna (p=0,009) sehingga infusa

herba Mimosa pigra L. pada dosis 1,89 g/KgBB juga dapat menurunkan aktivitas

serum ALT, akan tetapi jika dibandingkan dengan kontrol minyak, terlihat perbedaan yang bermakna (p=0,009) juga sehingga penurunan aktivitas serum ALT yang terjadi belum mencapai batas normal. Aktivitas serum ALT pada pemberian dosis 1,89 g/KgBB juga memiliki perbedaan yang tidak bermakna (p=0,173) dengan kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan

aktivitas serum ALT, efek antihepatotoksik dari infusa herba Mimosa pigra L.

dosis 1,89 g/KgBB memiliki kesamaan dengan efek antihepatotoksik dari silimarin dosis 25 mg/KgBB. Dilihat dari hasil perhitungan daya antihepatotoksik,

infusa herba Mimosa pigra L. dosis 1,89 g/KgBB memiliki daya antihepatotoksik

sebesar 122,1%. Dari hasil ini menunjukkan bahwa infusa herba Mimosa pigra L.

dosis 1,89 g/KgBB memiliki efek antihepatotoksik yang lebih besar dari silimarin akan tetapi memiliki perbedaan yang tidak signifikan secara statistik.

Ditinjau aktivitas serum AST pada jam ke-24, didapatkan %antihepatotoksik sebesar 98,1%. Secara statistik, aktivitas serum AST pada

pemberian infusa herba Mimosa pigra L. dosis 1,89 g/KgBB memiliki perbedaan

yang bermakna (p=0,009) bila dibandingkan dengan kontrol CCl4 dan memiliki

hasil ini dikatakan bahwa pemberian infusa herba Mimosa pigra L. pada dosis 1,89 g/KgBB secara oral dapat menurunkan aktivitas serum AST hingga batas

normal. Aktivitas serum AST pada perlakuan dosis infusa herba Mimosa pigra L.

sebesar 1,89 g/KgBB menunjukkan penurunan yang lebih besar dan memiliki perbedaan yang signifikan (p=0,009) dengan aktivitas serum AST pada pemberian silimarin dosis 25 mg/KgBB.

Berdasarkan %antihepatotoksik ALT terhadap karbon tetraklorida yang didapat sebesar 71,7%, dinyatakan bahwa pada dosis 1,89 g/KgBB, infusa herba Mimosa pigra L. memiliki aktivitas antihepatotoksik yang cukup besar. Berdasarkan %antihepatotoksik dari serum AST yang didapat sebesar 98,1%. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas penyembuhan pada organ lain yang lebih besar daripada aktivitas penyembuhan pada hati. Hasil pengolahan data secara statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan aktivitas serum transaminase (ALT dan

AST) yang tidak bermakna antara pemberian infusa herba Mimosa pigra L. dosis

1,26 g/KgBB dengan 1,89 g/KgBB sehingga kedua dosis tersebut memiliki efek antihepatotoksik yang sama.

Pada pemberian dosis infusa herba Mimosa pigra L. sebesar 2,835

g/KgBB menunjukkan aktivitas serum ALT pada jam ke-24 sebesar 101,60 ± 5,41 U/l dan aktivitas serum AST sebesar 355,2 ± 17,1 U/l. Dari aktivitas serum ALT, didapatkan %antihepatotoksik sebesar 39,9%. Apabila dibandingkan dengan

kontrol CCl4, terlihat adanya perbedaan yang bermakna (p=0,009) sehingga infusa

herba Mimosa pigra L. pada dosis 2,835 g/Kg BB dapat menurunkan aktivitas

perbedaan yang bermakna (p=0,009) juga sehingga penurunan aktivitas serum ALT yang terjadi belum mencapai batas normal. Aktivitas serum ALT pada pemberian dosis 2,835 g/KgBB juga memiliki perbedaan yang tidak bermakna

(p=0,075) dengan kontrol positif. Daya antihepatotoksik infusa herba Mimosa

pigra L. dosis 2,835 g/KgBB sebesar 68,0%. Hal ini menunjukkan bahwa

berdasarkan aktivitas serum ALT, efek antihepatotoksik dari infusa herba Mimosa

pigra L. dosis 2,835 g/KgBB tidak lebih besar dari silimarin dosis 25 mg/KgBB akan tetapi berbeda tidak bermakna secara statistik. Berdasarkan hal ini, dikatakan

bahwa infusa herba Mimosa pigra L. pada dosis 2,835 g/KgBB yang diberikan

secara oral mampu menurunkan aktivitas serum ALT pada tikus terinduksi karbon tetraklorida namun belum bisa menormalkan aktivitas serum ALT tersebut.

Berdasarkan aktivitas serum AST pada jam ke-24, didapatkan %antihepatotoksik sebesar 35,7%. Secara statistik, aktivitas serum AST pada

pemberian infusa herba Mimosa pigra L. dosis 2,835 g/KgBB memiliki perbedaan

yang bermakna (p=0,016) bila dibandingkan dengan kontrol CCl4 dan memiliki

perbedaan yang juga bermakna (p=0,009) dibandingkan kontrol minyak. Dari

hasil ini dikatakan bahwa pemberian infusa herba Mimosa pigra L. pada dosis

2,836 g/KgBB secara oral dapat menurunkan aktivitas serum AST akan tetapi tidak mencapai batas normal. Aktivitas serum AST pada perlakuan dosis infusa

herba Mimosa pigra L. sebesar 2,835 g/KgBB memiliki perbedaan yang tidak

bermakna (p=0,076) dengan aktivitas serum AST pada pemberian silimarin dosis 25 mg/KgBB.

Hasil perhitungan %antihepatotoksik baik dari aktivitas serum ALT maupun AST menunjukkan bahwa pada dosis 2,835 g/KgBB infusa herba Mimosa pigra L. mengalami penurunan. Secara statistik aktivitas serum transaminase dosis 2,835 g/KgBB memiliki perbedaan yang bermakna dengan dosis 1,26 g/KgBB dan 1,89 g/KgBB baik pada aktivitas serum ALT (p=0,028; p=0,016) maupun aktivitas serum AST (p=0,009). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efek antihepatotoksik dari dosis 2,835 g/KgBB terhadap kedua peringkat dosis yang lain. Hal ini diduga karena adanya kejenuhan aktivitas antioksidan dalam menetralkan radikal bebas sehingga kecepatan reaksi penetralan menjadi tetap dan bahkan melambat. Kerusakan hati akan

menyebabkan berkurangnya enzim glutation .-transferase (GSH) sebagai salah

satu enzim penetral senyawa radikal bebas dan senyawa kimia yang berlebih termasuk antioksidan itu sendiri dengan menggunakan konjugasi glutation. Hal ini akan berdampak pada kerusakan hati yang semakin parah karena ketidakseimbangan dari mekanisme penetralan senyawa kimia yang memasuki hati terhadap kecepatan senyawa tersebut meracuni hati, sehingga memicu terjadinya stres oksidatif (Rang, Dale, Ritter, Moore, 2003). Kelebihan senyawa antioksidan seperti senyawa fenolik juga dapat menyebabkan kerusakan pada sel.

Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa senyawa fenolik yang berlebih

pada kultur sel PC21 dan Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM)

menunjukkan terjadinya proses oksidasi pada antioksidan itu sendiri. Proses self

oxidation ini menyebabkan terbentuknya hidrogen peroksida (H2O2), quinone dan semiquinone yang dapat meracuni sel (Halliwell, 2006). Selain itu, dugaan lain

yang mungkin terjadi adalah kandungan senyawa alkaloid yang bersifat toksik

pada sel. Mimosa pigra L. merupakan tanaman genus Mimosa. Genus Mimosa

memiliki kandungan alkaloid yang bersifat toksik bernama mimosin. Mimosin memiliki kemampuan menghambat pembelahan sel terutama pada fase S yaitu fase sintesis DNA (Hughes dan Cook, 1996). Efek dari mimosin dapat menyebabkan proses regenerasi sel-sel terutama sel hati yang mengalami kerusakan menjadi lebih lama karena proses sintesis DNA menjadi terhambat sehingga penyembuhan hati juga menjadi lebih lama. Untuk saran penelitian

selanjutnya, dapat digunakan ekstrak lain dari Mimosa pigra L. seperti ekstrak

metanol sehingga diharapkan alkaloid mimosin tidak ikut terekstrak.

Dari penelitian ini dinyatakan bahwa ditemukan efek antihepatotoksik

dari infusa herba Mimosa pigra L. pada dosis 1,26 g/KgBB dan 1,89 g/KgBB

sedangkan pada dosis 2,835 g/KgBB terjadi penurunan efek antihepatotoksik. Berdasarkan aktivitas serum ALT, didapatkan %antihepatotoksik berturut-turut sebesar 62,5; 71,7; dan 39,9%. Berdasarkan aktivitas AST, didapatkan %antihepatotoksik berturut-turut sebesar 97,6; 98,1; dan 35,7%. Dari hasil ini

dapat dinyatakan bahwa efek antihepatotoksik dari infusa herba Mimosa pigra L.

tidak tergantung dosis.

Bila dilihat lebih lanjut pada dosis 1,26 g/KgBB dan dosis 1,89 g/KgBB memiliki efek antihepatotoksik yang berbeda tidak bermakna. Namun bila dibandingkan dengan dosis 2,835 g/KgBB, aktivitas anthepatotoksinnya memiliki perbedaan bermakna dan pada dosis 2,835 g/KgBB menunjukkan penurunan. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa pada dosis 1,26 g/KgBB dan dosis

1,89 g/KgBB, infusa herba Mimosa pigra L. memiliki efek antihepatotoksik paling besar dengan dosis optimum 1,26 g/KgBB. Berdasarkan hal ini, perlu dilakukan penelitian dengan peringkat dosis di bawah 1,26 g/KgBB untuk mendapatkan dosis efektif yang lebih kecil dan digunakan untuk perhitungan ED50.

Berdasarkan hasil yang didapat, hipotesis yang disusun oleh peneliti

diterima bahwa infusa herba Mimosa pigra L. memiliki efek antihepatotoksik. Hal

ini didukung dari temuan efek antihepatotoksik pada salah dosis yang sudah ditetapkan yaitu 1,26; 1,89; dan 2,835 g/KgBB dengan dosis antihepatotoksik optimum pada 1,26 g/KgBB.

Kemampuan antihepatotoksik ini diduga karena kandungan beberapa

senyawa yang ada pada infusa herba Mimosa pigra L. beberapa senyawa tersebut

antara lain quercetin dan myricitrin yang memiliki aktivitas antioksida.

Antioksidan dapat menghambat reaksi pembentukan radikal lipid dengan cara

mencegah propagnasi dan radical scavenging. Senyawa lain yang terlibat adalah

triptophan yang merupakan asam amino esensial untuk proses regenerasi sel.

Berdasarkan hal ini, dapat digunakan ekstrak lain dari Mimosa pigra L. seperti

ekstrak etanol dan metanol sehingga diharapkan senyawa antioksidan yang berupa quercetin dan myricitrin serta asam amino triptophan yang terekstrak menjadi lebih banyak dan tidak terkontaminasi metabolit sekunder yang lain.

Dokumen terkait