NASA/GISS AOM
4.2 Hasil Prediksi Untuk Setiap Stasiun Hujan
Hasil korelasi yang diperoleh setiap stasiun hujan setelah melakukan pelatihan dan pengujian dengan menggunakan JST-1 dan JST-2 dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil yang tertinggi diperoleh stasiun Bondan dengan nilai korelasi
sebesar 0.4976 dan hasil yang terendah diperoleh stasiun Krangkeng dengan nilai korelasi sebesar 0.3704.
Tabel 5 Rataan korelasi setiap stasiun
Stasiun Rataan Korelasi
Bangkir 0.4294 Bondan 0.4976 Cidempet 0.4271 Cikedung 0.4384 Jatibarang 0.3915 Jatinyuat 0.3992 Kedokan 0.3784 Krangkeng 0.3704 Lohbener 0.4442 Sudikampiran 0.4452 Sudimampir 0.4124 Sukadana 0.4791 Sumurwatu 0.4128
Grafik perbandingan antara hasil observasi pada stasiun Bondan dengan hasil prediksi dengan menggunakan pelatihan JST dapat dilihat pada Gambar 18 sedangkan untuk stasiun Krangkeng dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil prediksi pada kedua stasiun tersebut (Bondan dan Krangkeng) menunjukkan pola yang mengikuti hasil observasinya. Akan tetapi pada hasil yang ditunjukkan pada stasiun Krangkeng, terdapat beberapa titik yang masih jauh untuk didekati oleh hasil prediksi. Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai korelasi yang dihasilkan stasiun Krangkeng lebih kecil dari nilai korelasi yang dihasilkan oleh stasiun Bondan.
Gambar 18 Grafik perbandingan hasil observasi pada stasiun Bondan dengan hasil prediksi.
Gambar 19 Grafik perbandingan hasil observasi pada stasiun Krangkeng dengan hasil prediksi.
Sebaran lokasi stasiun pengamatan dan nilai korelasi juga sedikit berpengaruh. Nilai korelasi stasiun pengamatan yang berada dekat dengan laut (Sudimampir, Jatinyuat, Krangkeng, Kedokan Bunder) cenderung memiliki nilai
korelasi yang rendah. Sebaliknya, lokasi pengamatan yang jauh dari laut (Bangkir, Cidempet, Lohbener, Sukadana, Bondan, Sudikmapiran, Cikedung) cenderung memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi. Peta sebaran lokasi beserta besar kecilnya nilai korelasi dapat dilihat pada Gambar 20.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil yang didapatkan dapat menunjukkan bahwa beberapa model GCM dapat mendekati nilai rataan curah hujan bulanan. Hasil prediksi yang paling bagus diperoleh stasiun Bondan dengan nilai korelasi sebesar 0.4976 dan nilai korelasi terendah diperoleh stasiun Krangkeng dengan nilai korelasi sebesar 0.3704. Lokasi pengamatan cenderung berpengaruh dengan hasil prediksi. Jika lokasi pengamatan berada dekat dengan laut, maka nilai korelasi cenderung rendah sedangkan jika lokasi pengamatan berada jauh dari laut, maka nilai korelasi yang dihasilkan cenderung lebih besar.
Hasil yang didapatkan cenderung mengikuti pola yang dihasilkan oleh data observasi. Akan tetapi masih terdapat kelemahan, yaitu pada beberapa titik ekstrim, hasil prediksi tidak dapat mencapai nilai ekstrim tersebut.
5.2 Saran
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mencoba memilih rentang grid GCM selain 5x5. Jumlah data observasi dan data model GCM yang digunakan untuk pelatihan disarankan lebih banyak, sehingga model yang dihasilkan diharapkan lebih bagus. Dalam melakukan pelatihan JST dengan algoritma pelatihan Levenberg-Marquardt, sebaiknya dicoba juga mengganti nilai beberapa parameter yang terdapat dalam algoritma tersebut selain parameter gradien minimum.
Abdi H. 2007. Distance. Neil Salkind (Ed.) (2007). Encyclopedia of Measurement and Statistics, The University of Texas: Dallas.
Aldrian E, Gates, Lydia D, Widodo FH. 2003. Variability of Indonesian Rainfall and the Influence of ENSO and Resolution in ECHAM4 Simulations and in the Reanalyses. Max Planck Institute for Meteorology.
Beale Mark Hudson, Hagan Martin T, Demuth Howard B. 2011. Neural Network
ToolBox User’s Guide. The MathWorks, Inc: United States.
Buono, A. et al. 2010. A Neural Network Architecture for Statistical Downscaling Technique : A Case Study in Indramayu District. Dipublikasi dalam International Conference, The Quality Information for Competitive Agricultural Based Production System and Commerce (AFITA). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/41728 [23 Mei 2011].
Cawley GC, Haylock M, Dorling SR, Goodess C, Jones PD. 2003. Statistical Downscaling with Artificial Neural Networks. U.K: University of East Anglia, Norwich. ESANN'2003 proceedings - European Symposium on Artificial Neural Networks Bruges (Belgium), 23-25 April 2003, d-side publi., ISBN 2-930307-03-X, pp. 167-172.
Hagan Martin T, Mohammad B Menhaj. 1994. Training Feedforward with the Marquardt Algorithm. IEEE Transactions On Neural Networks, Vol. 5, No. 6, November.
Hermawan A. 2006. Jaringan Saraf Tiruan Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Puspitaningrum D. 2006. Pengantar Jaringan Saraf Tiruan. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Tang Lei, Payam Rafaelizadeh, Huan Liu. 2008. Cross-Validation. Arizona State University: USA.
Siang JJ. 2005. Jaringan Saraf Tiruan & Pemrogramannya Menggunakan Matlab. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Sutikno. 2008. Statistical Downscaling Luaran GCM dan Pemanfaatannya untuk Peramalan Produksi Padi.. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Warsito Budi, Sri Sumiyati. 2007. Prediksi Curah Hujan Kota Semarang Dengan Feedforward Neural Network Menggunakan Algoritma Quasi Newton BFGS Dan Levenberg-Marquardt. Jurnal Presipitasi Vol. 3 No. 2 September 2007, ISSN 1907-187X.
Wigena AH. 2006. Pemodelan Statistical Downscaling dengan Regresi Projection Persuit untuk Peramalan Curah Hujan. Disertasi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 2 Plot hasil prediksi dan observasi curah hujan bulanan berdasarkan luaran GCM untuk model JST-1 dan JST-2.
Gambar 21 Perbandingan antara pola observasi dan prediksi curah hujan untuk seluruh luaran GCM (rataan, minimum, dan maksimum) untuk model JST-1
Gambar 22 Perbandingan antara pola observasi dan prediksi curah hujan untuk seluruh luaran GCM (rataan, minimum, dan maksimum) untuk model JST-1.
ABSTRACT
MUHAMMAD RAFI MUTTAQIN. Downscaling Methodology Development
Using Arftificial Neyral Network (Case Study of Indramayu’s Rainfall). Under direction of AGUS BUONO as chairman and AZIZ KUSTIYO as member of advisory commitee.
The unexpected climate change results a long period wet and dry so it makes many agricultural areas damage. This is cause the farmers failed to harvest so the production of food will be decreased. To solve this problem, we need a model that can estimate the climate and rainfall so it can determine the suitable cropping pattern with the climate. Statistical downscaling modeling commonly used to model the changes of the weather. This study develops a statistical downscaling model that use artificial neural network with some of GCM data as an input in training. In this study, the GCM data is input for training. Before training this data is grouped into 5 groups. The results obtained indicate that some of the GCM can approach the average of monthly rainfall. However, in some extreme point, the result have not managed to reach and close to results of observation. The best results obtained with the correlation Bondan station at 0.4976 and the worst results obtained Krangkeng station with a correlation of 0.3704. In this study also can be seen that the estimators can be influenced by the location of the observation. The location is adjacent to the sea tend to have the results of a relatively lower correlation compared with the location that far from the sea.
Keywords : statistical downscaling, general circulation model, artificial neural network
Peristiwa iklim ekstrim terkait El Niño-Southern Oscillation (ENSO) telah menimbulkan dampak yang signifikan pada sektor pertanian di Indonesia. Pada peristiwa ENSO hangat atau biasa dikenal dengan istilah El Niño, biasanya terjadi penundaan awal musim hujan dan bertambah panjangnya musim kemarau (Kirono et al. 1999; Moron et al. 2009). Peristiwa El Niño seringkali dikaitkan dengan meluasnya kekeringan di berbagai daerah yang menyebabkan turunnya produksi pertanian karena kurangnya persediaan air. Sebaliknya, pada periode ENSO dingin, atau dikenal dengan istilah La Niña, kejadian hujan meningkat melebihi kondisi rata-rata sehingga meningkatkan peluang terjadinya banjir di berbagai daerah di Indonesia. Implikasinya pada sektor pertanian ialah semakin meningkatnya wilayah persawahan yang tergenang banjir dan merusak tanaman, sehingga menyebabkan meningkatnya kemungkinan gagal panen.
Akibat perubahan iklim ekstrim di bidang pertanian, maka harus dihadapi dengan penuh perencanaan dan melibatkan berbagai pihak terkait, baik pemerintah setempat sampai masyarakatnya. Sayangnya, hingga saat ini penggunaan informasi iklim dalam mengelola resiko iklim masih belum umum. Dalam hal ini, penyediaan informasi iklim yang efektif dan tepat guna sangat perlu untuk terus dievaluasi dan dikembangkan, sebab peruabahan iklim dapat memberikan dampak yang lebih besar dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, perencanaan yang menyeluruh baik jangka pendek maupun jangka panjang sangat diperlukan. Hal ini merupakan tantangan yang cukup besar terutama dalam konteks aplikasi pengelolaan resiko iklim (climate risk management, CRM).
Pendekatan statistik maupun dinamik dapat dilakukan dalam membangun model hubungan antara data iklim observasi dan data luaran dari berbagai model iklim. Penggunaan data suhu permukaan laut (SPL) biasanya juga cukup umum dan relevan digunakan untuk prediksi musiman dan digunakan pada kedua metode, baik statistik maupun dinamik. Hal ini dikarenakan sifat lautan yang memiliki memori penyimpanan panas lebih lama dibandingkan unsur-unsur iklim di atmosfer sehingga dapat digunakan untuk menduga kondisi iklim beberapa bulan ke depan. Jika dibandingkan kedua pendekatan statistik dan dinamik
tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dan juga memiliki tingkat kemampuan prediksi yang mungkin berbeda pada suatu wilayah tertentu.
Perubahan iklim di masa yang akan datang akibat peningkatan suhu global diproyeksikan dapat menciptakan pergeseran pola iklim sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan peluang resiko khususnya di sektor pertanian. Untuk mengatasi hal ini diperlukan perencanaan jangka panjang melibatkan analisis iklim berdasarkan pilihan-pilihan skenario yang mungkin terjadi di masa depan. Perubahan iklim juga diantisipasi dapat mengubah rentang iklim, meningkatkan frekuensi dan amplitudo kejadian iklim ekstrim, dan pergeseran kondisi iklim regional hingga lokal. Perubahan iklim regional/lokal ini bisa bersifat spesifik antar daerah sehingga membutuhkan data dengan resolusi cukup tinggi yang tidak bisa didapat dari data luaran general circulation model (GCM) yang memiliki resolusi horizontal yang sangat rendah. Oleh karena itu untuk mendapatkan informasi dengan resolusi yang cukup tinggi, diperlukan pemanfaatan teknik downscaling. Metode downscaling dengan pendekatan dinamik dapat dilakukan dengan menggunakan simulasi model iklim regional (regional climate model, RCM) yang disimulasi berdasarkan informasi data GCM.
Pelaksanaan pengelolaan resiko iklim dapat berjalan dengan efektif dengan didukung berbagai informasi yang memadai yang berguna untuk perencanaan ke depan. Pada penelitian terdahulu, Buono (2010), menggunakan metode statistical downscaling menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) untuk pemodelan curah hujan daerah Indramayu. Penelitian tersebut menghasilkan data prediksi yang kurang dapat mewakili data observasi meskipun pola yang dihasilkan oleh prediksi sudah dapat mengikuti data observasi. Akan tetapi, ketika data observasi mencapai nilai maksimum dan minimum, hasil prediksi tidak pernah mencapainya. Oleh karena itu, dalam studi ini akan dikembangkan metodologi downscaling menggunakan JST dengan pengelompokan data terlebih dahulu sebelum dilakukan pelatihan. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki pola yang dihasilkan oleh penelitian sebelumnya.