Membangun Keberagamaan Inklusif Dialogis di SMA PIRI I Yogyakarta
HASIL REFLEKSI SISWA NOMOR KODE SISWA
A. Minat belajar siswa terhaadap mata
pelajaran PAI.
1 Saya jadi termotivasi untuk belajar agama karena dapat bertukar pengalaman
1, 2, 5, 6, 8, 13, 19, 35
2 Kita jadi lebih senang belajar agama 20, 25, 26, 30, 34, 38, 39, 44, 47. 3 Saya jadi bersemangat karena dapat
mendengarkan pengalaman orang lain.
4, 11, 13, 37., 42, 49
4 Gairah belajar dan rasa ingin tahu saya menjadi lebih tinggi.
11, 15, 18, 21, 24, 28,47
5 Pelajaran di kelas tidak membosankan dan tidak membuat ngantuk
16, 41, 36, 37 6 Menarik karena bisa mengembangkan
materi dari pikiran kita tanpa terlalu terpaku pada materi di buku.
5
7 Saya lebih terpacu untuk belajar bicara dan menyampaikan pendapat
7 8 Oke banget bisa mendewasakan dan
memancing berikir. 10
9 Senang karena saya dapat belajar dari kesalahan saya.
17 10 Bagus, lebih mengena dan saya jadi
lebih tertarik dari pada sebelumnya
23
B Perubahan pola pikir dan pemahaman siswa.
1 Pola pikir saya menjadi berkembang lebih baik dan positif
4, 10, 15, 27, 34, 40, 42, 47.
127
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013
2 Belajar dari pengalaman membuat saya menjadi lebih bisa memahami
13, 23, 30 3 Saya jadi bisa melihat masalah dari sudut
pandang yang berbeda
5, 6, 23
4 Bagus, lebih mengena 5, 6, 8
5 Wawasan keagamaan saya menjadi lebih luas dan tahu cara meraih prestasi.
1, 2, 6, 11, 30
6 Saya lebih bisa berikir kritis dan logis. 1, 2, 6, 30
7 Saya lebih bisa memperbaiki pola pikir saya yang selama ini kurang pengetahuan.
3
8 Saya jadi merasa jauh dari agama dan berusaha mendekatinya
14 9 Saya menjadi lebih paham, ternyata
belajar agama lebih mudah dari yang dibayangkan
46
10 Saya menjadi lebih mengenal Allah dan bisa memahami arti hidup.
22, 31
C Perubahan perilaku siswa
1 Sikap dan perilaku saya menjadi bertambah dewasa, tidak mudah menghakimi orang lain yang berbeda dengan saya
1, 8, 9, 12, 14, 15, 16, 20, 21, 22,31, 36, 38, 39, 40, 41, 44, 46.
2 Saya menjadi bisa introspeksi. 17
3 Saya menjadi lebih bisa menghargai orang lain yang berbedab pendapat dengan saya.
5,43
4 Saya lebih bisa mengontrol diri, berhati hati dalam bertindak dan tidak emosional.
7, 19 5 Saya menjadi lebih semangat hidup dan
tidak mudah putus asa.
29 6 Saya menjadi lebih positif melihat orang
lain yang berbeda dengan saya.
15, 16, 18, 19, 23, 24, 25, 29, 31, 42, 43, 46.
7 Saya merasa menjadi lebih bersyukur, dapat menerima keadaan apa adanya.
26, 27, 34, 39, 40 8 Saya merasa menjadi lebih rajin
beribadah
128
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 20139 Saya menjadi lebih bisa menghargai 6 10 Perilaku saya sepertinya belum
sepenuhnya berubah.Saya belum bisa mengontrol emosi, tapi akan terus berusaha.
7, 19
11 Sudah berubah meskipun sedikit, tapi saya berkeinginan kuat untuk menjadi lebih baik.
10, 113,18, 37, 45, 47
12 Saya sedang berusaha menjadi orang yang percaya diri
5 13 Saya lebih bisa memilih mana yang
pantas dan mana yang tidak pantas.
2 14 Saya belum banyak berubah, masih suka
berprasangka buruk pada kelompok garis keras. Karena pengalaman saya dengan kakak saya yang ikut golongan mereka
11
V. Penutup
Radikalisme merupakan paham keagamaan yang fanatik dan eksklusif, revolusioner, dan cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Menguatnya radikalisme di kalangan generasi muda usia sekolah merupakan salah satu indikator gagalnya pendidikan agama yang dalam pembelajarannya dinilai lebih menekankan aspek teologis- normatif – teoritis.
Peran guru agama menjadi sangat strategis dalam menanamkan pemahaman agama yang lebih terbuka melalui pendekatan Teologis Inklusif- Dialogis. Hal ini meniscayakan adanya perubahan paradigma dan performa guru agama. Perubahan tersebut diperlukan baik dari segi orientasi, isi maupun metodologi.
Kemampuan guru dalam mengenal dan membangun paradigma keberagamaannya sendiri merupakan tahapan penting sebelum mengembangkan pembelajaran. Selain itu kemampuan guru dalam menjalin kerjasama, baik di tingkat internal maupun eksternal sekolah juga merupakan faktor yang menentukan
129
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013 Belajar dengan mengenal realitas langsung melalui silaturrahim dan dialog memberi pengaruh positif terhadap guru dan juga siswa. Pengaruh positif tersebut meliputi: minat belajar siswa, perubahan pola pikir dan pemahaman siswa maupun perubahan perilaku siswa dalam menyikapi orang lain yang berbeda.
Kegiatan yang penulis lakukan ini masih sebatas pada level ko-eksistensi (co-existence), yaitu memahami perbedaan keagamaan, dan belum
mencapai level pro-eksistensi (pro-existence) dimana antarumat beragama
menyadari adanya persoalan bersama yang perlu dipecahkan bersama. Meskipun kegiatan ini baru pada tingkat ko-eksistensi, namun sudah
cukup mampu mengeliminir prasangka, stigma maupun stereotipe yang
selama ini mudah melekat pada benak umat beragama. Silaturrahim dan dialog dapat meluruskan kesalahpahaman dan meretas tali persahabatan. Oleh karena itu, perjuangan tidak cukup berhenti di sini, masih harus diupayakan agar umat berbagai agama, khususnya dari generasi mudanya saling bergandeng-tangan memerangi musuh agama yang sesungguhnya, seperti: ketidakadilan, HIV AID, korupsi, krisis ekologi,dan lain-lain.
130
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013Daftar Pustaka
Azizy, A. Qodri. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial . Semarang: Aneka Ilmu, 2002.
Departemen Agama. Membiasakan Tradisi Agama: Arah Baru Pengembangan Pendidikan Agama Islam (PAI) Pada Sekolah Umum. Jakarta: Direktorat Kelembagaan Agama Islam, 2004.
Dzikri, Burhandin, S Th.I (ed), Memahami Hubungan Antar Agama, Yogyakarta: eLSAQ PRESS, 2007.
Hidayat, Komarudin & Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Hidayat, Komarudin. “Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam” (Kata
Pengantar), dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Basri, Dinamika Pemikiran Islam. Jakarta: Logos, 1999.
Maksum, Ali. Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, cet pertama, 2011.
Muhaimin, “Urgensi Pendidikan Islam Multikultural untuk Menciptakan Toleransi dan Perdamaian di Indonesia” (Kata Pengantar) dalam Ali Maksum, Pluralisme Dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Yogyakarta, Aditya Media, 2011
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011
Muhajir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987
Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Na’im, Ngainun & Achmad Sauqi, (2010). Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Qodir, Zuly. Nabi-Nabi Baru di Indonesia, Aliran Aliran Agama Yang Disesatkan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Rachman, Budhy Munawar. Reorientasi Pembaharuan Islam, Sekularisme. Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 2010
131
MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013
Rahman, Abd., H.A. Sholeh Dimyati, Hj. Iim Halimah, Aditiana Dewi Eridani. Panduan Integrasi Nilai Multikultur Pendidikan Agama Islam Pada SMA Dan SMK. Jakarta: PT Kirana Cakra Buana, 2010.
Sabirin, Rahimi, Islam & Radikalisme, Jakarta, Ar Rasyid, 2004
Sarapung, Elga & Tri Widiyanto,(Eds). . Pluralisme, Konflik, Dan Pendidikan Agama Di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/ Interfidei, 2005.
132
Abstrak
Studi mengenai radikalisme di kalangan anak muda belum banyak dilakukan. Padahal, gejala tren yang terjadi saat ini, virus radikalisme kini mewabah anak muda yang baru saja lulus dari bangku SMU. Dalam artikel ini, kami tidak berambisi memetakan gerakan radikalisme kaum muda di Indonesia dan secara mendalam memahami artikulasi dan tindakan mereka. Melalui tinjauan buku dan artikel yang terkait dengan anak muda, Islam dan radikalisme, kami ingin mendiskusikan kembali definisi, posisi, dan sejarah singkat anak muda di Indonesia. Setelah itu, kami ingin melihat gejala Islamisasi di ruang publik, dengan melihat tiga aspek (gerakan, regulasi, dan budaya populer) yang sekiranya dapat memengaruhi sikap radikalisme anak muda. Terakhir, kami menjelaskan mengenai pengalaman MAARIF Institute yang memproduksi film Mata Tertutup dalam berinteraksi dan berdiskusi bersama di kalangan anak- anak muda, khususnya siswa-siswi SMU di Jakarta dan beberapa daerah, dalam menonton film tersebut. Kami melihat film yang dikampanyekan tersebut bisa menjadi alat dan ruang dialog terkait dengan isu radikalisme serta upaya meluruhkannya.
Kata Kunci: Anak Muda, Radikalisme, Terorisme, Budaya Populer, Negoisasi