• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zaki Mubarak

Dalam dokumen Menghalau Radikalisasi Kaum Muda Gagasan (Halaman 193-200)

Pemikiran dan Perilaku Keberagamaan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

M. Zaki Mubarak

• Sebagian besar data dalam tulisan ini diambil dari hasil penelitian FISIP 2010 tentang “Mahasiswa dan Arus Keberagamaan Radikal: Identiikasi Perkembangan Pemikiran dan Perilaku Keberagamaan di Kalangan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Penelitian sendiri di koordinasi oleh Prof.Dr. Bahtiar Efendi di mana penulis menjadi salah satu anggotanya. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Tim Peneliti yang telah mengijinkan untuk menggunakan beberapa data temuan penelitian untuk tulisan ini.

193

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013 Kata kunci: Islam, radikalisme agama, perguruan tinggi

Pendahuluan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dulunya Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dikenal luas sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang berperan penting dalam mengembangkan arus pemikiran Islam modern dan liberal. Dua tokoh penting dalam gerakan pembaruan Islam di tanah air, Harun Nasution

dan Nurcholish Madjid, muncul dari universitas Islam ini.1 Menginjak

reformasi 1998 hingga sekarang UIN Jakarta berkembang dengan pesat. Apabila sebelumnya hanya memiliki fakultas-fakultas keagamaan, maka dalam satu dasawarsa terakhir fakultas-fakultas umum mulai berdiri. Jumlah mahasiswa UIN Jakarta juga meningkat tajam, tercatat saat ini terdapat lebih 20.000 (dua puluh ribu) mahasiswa tersebar di 11 fakultas. Seiring dengan perkembangan pada segi kelembagaan, pada segi demografi sosial ekonomi mahasiswa juga terjadi pergeseran. Semakin banyak mahasiswa UIN Jakarta yang berlatarbelakang daerah perkotaan, keluarga ekonomi kelas menengah, lulusan sekolah umum, dan keluarga bukan santri.

Dinamika keagamaan di kalangan mahasiswa UIN Jakarta dalam beberapa tahun terakhir semakin menarik untuk diteliti. Salah satu perkembangan penting adalah munculnya berbagai kelompok-kelompok dengan kecenderungan paham radikal di lingkungan UIN Jakarta beberapa tahun terakhir. Kondisi ini terasakan betul karena selain mereka aktif melakukan kegiatan juga tampak semakin berhasil menanamkan

pengaruh di kalangan mahasiswa pegiat keagamaan di kampus.2

Meski belum jelas kaitannya dengan tren berkembangnya radikalisme keagamaan di kampus, kasus terorisme tahun 2009 dan 2011 yang

1 Lihat, Fuad Jabali dan Jamhari (Peny.), IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003, hal. 141-143.

2 Radikalisme dalam gerakan Islam di Indonesia, menurut penulis, harus dipilah dalam dua aspek, yakni pemikiran yang radikal dan tindakan yang radikal. Pemikiran yang radikal ditandai misalnya dengan gagasan perlunya Negara Islam atau Kekhalifahan Islam, gagasan tentang sistem atau ideologi apapun selain berdasarkan Islam adalah kufur, ide menjadikan Qur’an sebagai konstitusi atau undang-undang, dan sebagainya. Meski pemikiran keagamaannya radikal bisa saja tindakan keagamaannya tidak radikal, dalam hal ini berdakwah secara persuasif. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masuk dalam kategori ini. Sedangkan radikal sebagai sebuah tindakan mengarah kepada perilaku atau tindakan dengan motif keagamaan yang cenderung bersifat kekerasan atau melanggar hukum, meski ideologi keagamaannya konservatif. Front Pembela Islam (FPI) ada dalam kategoti ini. Organisasi seperti Jamaah Islamiah (JI) atau Al-Qaeda masuk dalam kategori radikal dalam hal pemikiran dan tindakan.

194

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013

melibatkan beberapa mahasiswa alumni, semakin mendorong perlunya perhatian yang serius terhadap berkembangnya pola-pola pemikiran dan perilaku keagamaan di kalangan mahasiswa UIN Jakarta.

Sejak 2009 setidaknya terdapat tujuh mahasiswa dan alumni UIN Jakarta telah tersangkut dalam tindak pidana terorisme. Tiga orang terlibat dalam kasus rangkaian terorisme Bom Mega Kuningan (bom bunuh diri di JW. Merriott dan Ritz Carlton), dan empat lainnya dalam kasus Bom Buku. Pada September 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim memvonis ketiga tersangka Bom Mega Kuningan, yang berinisial: AR, SJ dan FF, dengan 4 tahun enam bulan penjara. Awalnya,

ketiganya dituntut 7 tahun penjara.3 Mereka didakwa menyembunyikan

dua gembong teroris Bom Mega Kuningan: Syaifudin Zuhri dan Syahrir. AF dan SJ masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sedangkan FR telah lulus setahun

sebelumnya.4

Kemudian bulan April 2011, terkait peristiwa teror “Bom Buku” yang sempat menghebohkan tanah air beberapa waktu lalu, sejumlah teroris telah ditangkap. Dari 17 terduga teroris yang ditangkap kemudian diketahui 4 (empat) di antaranya ternyata merupakan alumni atau pernah menempuh kuliah di UIN Jakarta. Mereka adalah Pepi Fernando, M. Fadil. Hendi Suhartono alias Jokaw, dan Muhammad Maulani Sani. Pepi menjadi aktor utama aksi teror tersebut. Selain bom buku yang dikirimkan kepada beberapa orang: Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Dhani, Yapto Soerjoseomarno, dan Gorris Mere, Pepi dan jaringanya tengah

mempersiapkan pengeboman sebuah gereja.5

Dua peristiwa di atas sesungguhnya merupakan bagian kecil dari

serangkaian kasus terorisme di tanah air yang semakin massif sejak

dimulainya reformasi, akhir 1990-an. Hingga saat ini, hampir 600 orang telah ditahan dalam kasus tindak terorisme di tanah air. Dalam satu setengah tahun terakhir saja, awal 2010 hingga pertengahan 2011,

3 “Tiga Mahasiswa UIN Dituntut Tujuh Tahun Penjara” Media Indonesia, 6 Juli 2010.

4 Pada bulan November 2012 ketiganya sudah dalam status bebas bersyarat setelah menjalani 2/3 masa

hukuman.

5 Laporan rinci soal bom buku dan jaringan Pepi dapat dibaca dalam, “Generasi Baru Teroris” Majalah Tempo

Edisi 2-8 Mei 2011. Untuk proil 17 tersangka jaringan Pepi, lihat: “Tuduhan kepada 17 tersangka Bom Buku dan

195

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013 Densus 88 telah menembak mati 28 terduga teroris. Sebanyak 11 orang mati sebagai pelaku bom bunuh diri. Belum lagi jumlah korban yang ditimbulkan, ratusan orang meninggal dari berbagai aksi bom bunuh diri sejak tahun 2000 hingga 2009. Seringnya terjadi aksi-aksi terorisme di tanah air menjadikan Indonesia pasca Reformasi banyak dianggap sebagai pusat jaringan terorisme paling berbahaya di kawasan Asia Tenggara.

Gelombang terorisme yang terjadi di tanah air tentunya merupakan fenomena yang banyak dimensi, tidak saja didasari oleh faktor keagamaan tetapi juga banyak faktor lainnya. Namun sulit untuk dibantah bahwa meningkatnya serangkaian aksi terorisme atas nama agama ini merupakan

salah satu simpton dari berkembangnya arus pemahaman keberagamaan

radikal dalam masyarakat.6 Pada sisi institusi, dapat disaksikan

maraknya berdiri organisasi-organisasi Islam radikal di tanah air selama sepuluh tahun terakhir. Pada tataran pemikiran, semakin berkembang tuntutan bagi formalisasi syariat Islam, bahkan hingga aspirasi ke arah

pembentukan negara Islam.7 Tindakan-tindakan radikalisme keagamaan,

beberapa mengarah kepada aksi terorisme juga semakin masif, terutama bersamaan dengan semakin memanasnya konflik bernuansa keagamaan di Maluku dan Poso beberapa tahun lalu.

Terdapat indikasi dalam beberapa tahun terakhir pemahaman keagamaan ekstrem di tanah air semakin mendapatkan pengaruh di kalangan kelompok muda. Kelompok usia ini, sebagaimana fenomena yang ada di negara-negara Muslim lain, seperti Mesir, rentan untuk terlibat dalam pola pemikiran dan gerakan keagamaan yang ekstrem. Saad Eddin Ibrahim, sosiolog dan pengamat gerakan keagamaan, mencatat bahwa anggota 6 Radikalisme dapat dipahami sebagai cara berpikir dan bertindak secara ekstrem. Lihat, Leon

P. Baradath, Political Ideologies: Their Origins and Impact, London: Macmillan, 1994, h. 16. Seseorang yang dideinisikan sebagai ‘radikal’ bersikap menolak secara total apa yang telah ada, dan ingin menggantikan dengan sesuatu yang baru. Dalam konteks keberagamaan radikal di Indonesia, menurut penulis, harus dipilah dalam dua aspek, yakni pemikiran yang radikal dan tindakan yang radikal. Pemikiran yang radikal ditandai misalnya dengan gagasan perlunya Negara Islam atau Kekhalifahan Islam, gagasan tentang sistem atau ideologi apapun selain berdasarkan Islam adalah kufur, ide menjadikan Qur’an sebagai konstitusi atau undang-undang, dan sebagainya. Meski pemikiran keagamaannya radikal bisa saja tindakan keagamaannya tidak radikal, dalam hal ini berdakwah secara persuasive. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masuk dalam kategori ini. Sedangkan radikal sebagai sebuah tindakan mengarah kepada perilaku atau tindakan dengan motif keagamaan yang cenderung bersifat kekerasan atau melanggar hokum, meski ideology keagamaannya konservatif. Front Pembela Islam (FPI) ada dalam kategoti ini. Organisasi seperti Jamaah Islamiah (JI) atau Al-Qaeda masuk dalam kategori radikal dalam hal pemikiran dan tindakan.

7 Lihat, M. Zaki Mubarak, GenealogiIslam Radikal di Indonesia: Ideologi, Pemikiran dan Prospek Demokrasi,

196

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013

gerakan keagamaan ekstrem Takfir wal Hijra di Mesir umumnya mulai

terlibat dalam gerakan ini pada rentang usia 17-26 tahun.8 Gambaran ini

sepertinya tidak jauh berbeda dengan fenomena kelompok muda yang mendominasi aksi-aksi ekstrem atas nama agama. Tercatat 11 pelaku bom bunuh diri di Indonesia berada dalam jenjang usia 18 hingga 30-an tahun.9

Banyak yang menduga, jenjang usia muda yang merupakan fase pencarian jati diri, yang ditandai rasa penasaran serta hasrat tinggi mencoba berbagai pengalaman religiusitas, menjadi ruang mudah bagi masuknya berbagai faham keagamaan, tidak terkecuali yang beraliran ekstrem. Di banyak perguruan tinggi terutama pasca Reformasi, nuansa yang demikian dapat dirasakan adanya. Arus keagamaan radikal memiliki pengaruh (baik dari simpatisan maupun anggota) yang semakin signifikan. Ini sekurangnya dapat dilihat dari kegiatan keberagamaan yang berkembang semakin variatif, termasuk bagi gerakan-gerakan keagamaan yang menyuarakan aspirasi fundamentalisme Islam, seperti pembentukan Negara Islam atau Khilafah islamiah, dan sebagainya. Tidak terkecuali di lingkungan UIN Jakarta yang sejak akhir 1970-an hingga 1990-an (ketika itu masih IAIN Jakarta) dikenal luas sebagai penyuara pembaruan dan modernisasi Islam, gejala radikalisme keberagamaan di kalagan mahasiswa mulai terlihat. Selain beberapa kasus tindak pidana terorisme yang melibatkan beberapa alumni dan mahasiswa UIN Jakarta sebagaimana diuraikan di atas, kontestasi kegiatan keagamaan mahasiswa di kampus ini juga ditandai dengan makin intensnya kegiatan yang dilakukan kelompok keagamaan radikal.

Organisasi Keagamaan Radikal di UIN Jakarta

Terdapat beberapa perkumpulan keagamaan di UIN Jakarta yang mengembangkan ideologi radikal. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dikenal paling aktif dan cukup berpengaruh dikalangan mahasiswa.

Beberapa elemen keagamaan lain yang scop-nya lebih kecil juga eksis,

8 Saad Eddin Ibrahim, “Anatomy of Egypt’s Militan Islamic Groups: Methodological Note and Preliminary Findings”, dalam Syaiq Mughni (editor), An Anthology of Contemporary Middle Eastern History, Canada: McGill University & CIDA, tt, hal. 497.

9 Usia termuda, Dani Dwi Permana, pelaku Bom Bunuh diri Mega Kuningan usia 18 tahun, sedangkan M. Syarif

197

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013 misalnya jamaah mahasiswa yang berafiliasi dengan Jamaah Ansharut

Tauhid (JAT), dan Front Pembela Islam (FPI).10 Yang perlu dicatat pula,

selain kelompok-kelompok yang kasat mata aktivitasnya, merujuk kepada

penelitian FISIP UIN 2010, terdapat juga organisasi yang bergerak under

ground, sepertiNegara Islam Indonesia (NII).

Hizbut Tahrir di UIN Jakarta

Tidak dapat diketahui dengan persis kapan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mulai masuk di lingkungan UIN Jakarta. Sejak awal 1990-an telah muncul perkumpulan-perkumpulan kecil mahasiswa yang menyatakan diri bagian dari Hizbut Tahrir di IAIN Jakarta (ketika itu). Tetapi, kegiatan

yang sporadis dengan menggunakan nama Hizbut Tahrir baru terjadi

sejak tahun-tahun awal pasca Reformasi. Dibandingkan perkumpulan Islam radikal lain yang eksis di lingkungan UIN Jakarta, perkembangan Hizbut Tahrir adalah yang paling pesat. Di perguruan tinggi, pengaruh paling kuat gerakan Hizbut Tahrir ada di Institut Pertanian Bogor (IPB), serta beberapa kampus negeri lainnya, seperti Universitas Indonesia (UI). Entah kebetulan atau tidak, perkembangan Hizbut Tahrir di UIN Jakarta terutama sejak akhir 1990-an, bersamaan waktunya dengan dibukanya beberapa fakultas umum seiring transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) dan Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek), merupakan dua fakultas umum hasil transformasi menjadi UIN. Dibandingkan fakultas-fakultas lain yang ada di lingkungan UIN Jakarta, di FKIK dan Saintek kegiatan Hizbut Tahrir tercatat paling aktif. Beberapa dosen di kedua fakultas itu, di antaranya berasal dari UI dan IPB, tercatat menjadi simpatisan maupun pendukung aktif gerakan ini.

Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiuddin an-Nabhani tahun 1952 mengembangkan ideologi dan pola gerakan yang radikal. Menurut

mereka tidak ada kekuasaan politik apapun yang sah dan legitimate,

selain Kekhilafahan Islam. Segala konsep dan bentuk kenegaraan selain

Kekhilafahan Islam, mereka kategorikan sebagai kekuasaan kufur. Di

10 Semakin berpengaruhnya pemahaman keagamaan radikal di kalangan muda, termasuk di kalangan

mahasiswa, bukannya tidak disadari oleh pimpinan UIN Jakarta. Lihat, Komaruddin Hidayat, “Radikalisme Islam

Menyusup ke SMU” dalam www.uinjkt.ac.id, bagian Kolom Rektor 25 Oktober 2009. Pandangan pimpinan

UIN Jakarta setelah merebaknya kasus Pepi (alumni UIN) dengan Bom Bukunya, dapat dibaca dalam tulisan dalam kolom yang berjudul, “Mengurai Radikalisme di UIN” 6 Mei 2011.

198

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013

Indonesia, Hizbut Tahrir menyebarkan pengaruhnya melalui dakwah persuasif dan penataan kelembagaan organisasi yang rapi serta sentralistik. Di UIN Jakarta sendiri model dakwah yang dilakukan Hizbut Tahrir sejauh ini masih menggunakan cara-cara persuasif, antara lain melalui forum diskusi ilmiah, penyebaran pamflet dan juga aksi-aksi protes damai. Pada November 2010 misalnya, sehari menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama ke Indonesia, lebih seratus mahasiswa anggota Hizbut Tahrir dari UIN Jakarta dan perwakilan se- Jawa menggelar aksi protes menolak kedatangan Obama melalui orasi di

kampus UIN Jakarta serta menggelar spanduk anti-Amerika.11

Di UIN Jakarta, berbagai kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lebih sering dikemas dalam bentuk diskusi akademis. Forum tersebut sering juga dimanfaatkan untuk merekrut anggota. Di kalangan dosen mereka mengorganisasi forum diskusi ilmiah yang bernama ‘Kimlink’. Sedangkan kegiatan ilmiah untuk para mahasiswi berjalan menggunakan

LISMA (Lingkar Studi Muslimah).12 Penggunaan nama yang umum ini

dimungkinkan sebagai cara Hizbut Tahrir menghindari kecurigaan, sekaligus untuk menarik publik lebih luas, yang nantinya akan direkrut.

Negara Islam Indonesia (NII)

Bukan hal mudah untuk mengetahui lebih jauh tentang segi-segi gerakan yang terkait dengan Negara Islam Indonesia (NII) di lingkungan UIN Jakarta. Setahu penulis, belum ada dan belum pernah dilakukan penelitian yang serius perihal perkembangan gerakan NII di lingkungan UIN Jakarta, sehingga beberapa informasi yang berhasil didapatkan

bersifat sepenggal-sepenggal. Sifat kerahasiaan atau underground gerakan

dan jaringan organisasi ini tentunya juga merupakan faktor penting yang menyulitkan ekspos secara lebih luas.

Tertangkapnya Pepi Fernando dan kelompoknya April 2011 lalu telah sedikit menyingkapkan tabir bahwa sejak 1990-an, jaringan NII sudah melakukan kegiatan di lingkungan UIN Jakarta. Pepi sudah terlibat

11 Lihat, “Intelektual Muslim HTI Tolak Kedatangan Obama”, news.okezone.com, 8 November 2010. 12 Tim Peneliti FISIP 2010. Informasi disampaikan oleh Milla (nama samaran) dan Nunung (nama

samaran), dosen fakultas umum dan fakultas agama, yang pernah mengikuti forum kajian Kimlink, pada 17 September 2010. Informasi juga disampaikan oleh Luluk (nama samaran), mahasiswi fakultas agama, yang beberapa kali mengikuti kajian Lisma, pada 4 Januari 2011.

199

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013 dalam NII pada 1998 saat masih aktif sebagai mahasiswa. Sejak awal tahun 2000-an, informasi keterlibatan mahasiswa dalam jaringan NII umumnya muncul melalui laporan beberapa orang tua mahasiswa setelah menyelidiki perilaku janggal anak-anaknya yang kuliah, umumnya pangkal soalnya terkait dengan permintaan sejumlah uang yang terus menerus dengan dalih kegiatan akademik. Setelah diusut ternyata uang tersebut digunakan memenuhi kewajiban infaq ke organisasi.

Dalam beberapa kasus gerakan NII dapat mengarahkan mahasiswa yang terlibat didalamnya kepada tindakan kriminal. Salah satu pangkal soalnya, adalah keharusan menyarahkan biaya “hijrah” ketika menyatakan masuk organisasi ini, dan kemudian berlanjut kepada kewajiban menyerahkan dana setiap bulan dengan dalih infak. Uang setoran hijrah calon anggota tidak ditentukan berapa jumlah pastinya, tetapi perekrut umumnya telah dilatih untuk melakukan banyak trik supaya si korban menyerahkan uang dalam jumlah paling maksimal. Alasan yang seringkali digunakan salah satunya adalah untuk membersihan dosa-dosa besar selama hidup

dalam kondisi kekufuran.13 Setelah berhijrah ke NII, mereka masih juga

dibebani dengan target infak bulanan dan merekrut anggota-anggota baru dalam jumlah yang telah ditentukan. Tidaklah mengherankan, dengan beban yang demikian berat, beberapa anggota NII mencoba mengambil jalan pintas yang berujung pada perilaku kriminal, seperti

mencuri, berbohong untuk sejumlah uang, dan sebagainya.14

Cukup sulit untuk mengidentifikasi mereka yang aktif NII dari penampilan luarnya. Dari segi penampilan, tidak ada yang berbeda dengan gaya atau model mahasiswa umumnya. Berbeda dengan para anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, dimana para Muslimahnya mengenakan jilbab lebar, atau Muslimah anggota/ simpatisan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang bercadar, para Muslimah NII tidak mengenakan identitas yang mencolok. Bagi para anggota diyakinkan

karena karena NII saat ini berada dalam kondisi “fil kahfi” atau “dalam

gua”, dan belum saatnya tampil ke permukaan, maka para anggota tidak disyaratkan menggunakan identitas yang menjadikannya dikenali orang lain bahwa dirinya NII. Bagi wanita yang tidak berbusana muslim setelah

13 Wawancara dengan Yunus (nama samaran), mahasiswa UIN Jakarta yang menjabat lurah NII, 7 Oktober 2010. 14 Wawancara dengan salah seorang wakil dekan urusan kemahasiswaan fakultas umum di UIN Jakarta pada

Dalam dokumen Menghalau Radikalisasi Kaum Muda Gagasan (Halaman 193-200)