• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV – TEMUAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN

4.3. Analisis Uji Statistik Korelasi Product Moment Pearson

4.3.1. Hasil Uji Statistik

Berdasarkan penghitungan yang dilakukan melalui aplikasi SPSS Statistics 22 diperoleh hasil korelasi antara variabel X (Status Membership Group) dengan variabel Y (Perilaku Konsumtif) yakni:

Tabel 4.82 Correlations Pearson Status Membership Group Perilaku Konsumtif

Status Membership Group Pearson Correlation 1 -.100

Sig. (2-tailed) .379

N 79 79

Perilaku Konsumtif Pearson Correlation -.100 1

Sig. (2-tailed) .379

N 79 79

Sumber: Penghitungan Korelasi Berdasarkan Data Kuesioner, Agustus 2016

Berdasarkan hasil pada tabel penghitungan korelasi Pearson tersebut menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara variabel X (Status Membership Group) dengan variabel Y (Perilaku Konsumtif) adalah -0,100. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak adanya korelasi yang signifikan atas perilaku konsumtif yang disebabkan oleh status Membership Group.

Jika diuji dengan cara lain untuk mengukur ada atau tidaknya hubungan diantara kedua variabel tersebut dapat menggunakan 2 cara yang berbeda, yakni:

1. Membandingkan Nilai r Hitung Dengan Nilai r Tabel Adapun yang menjadi persyaratan dalam perbandingan ini ialah:

a. Apabila r hitung > r tabel, maka terdapat korelasi yang signifikan (Ha diterima) b. Apabila r hitung < r tabel, maka tidak terdapat korelasi yang signifikan (Ha

ditolak)

Pada penghitungan penelitian ini nilai r tabel nya ialah 0,2213. Sedangkan nilai r hitung nya ialah 0,1. Maka dari itu jelas terlihat bahwa r hitung < r tabel sehingga hipotesis Ha ditolak. Hipotesis alternatif dalam penelitian ini ialah adanya hubungan pengaruh status Membership Group pada perusahaan kosmetik berbasis

multi level marketing terhadap perilaku konsumtif di jaringan Imaginer Oriflame Indonesia cabang Medan. Namun hipotesis tersebut terbantahkan atau dengan kata lain ditolak kebenarannya berdasarkan uji perbandingan nilai r hitung dengan nilai r tabel.

2. Melihat Nilai Signifikansi

Adapun yang menjadi persyaratan dalam hal ini ialah:

a. Apabila nilai sig < 0,05 maka terdapat korelasi yang signifikan (Ha diterima). b. Apabila nilai sig > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan (Ha

ditolak).

Berdasarkan tabel korelasi 4.82 dapat dilihat bahwa diantara variabel X (Status Membership Group) dengan variabel Y (Perilaku Konsumtif) memiliki nilai signifikansi sebesar 0,379. Maka dari itu sesuai persyaratan dari uji korelasi dengan cara melihat nilai signifikansi hasilnya ialah 0,379 > 0,05 sehingga kembali terbukti bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Dengan kata lain hipotesis alternatif pun ditolak atas dasar penghitungan ini.

Dari hasil uji hipotesis melalui korelasi Product Moment Pearson ini kita dapat melihat bahwa tidak adanya hubungan antara status Membership Group terhadap perilaku konsumtif di jaringan Imaginer Oriflame Indonesia cabang Medan. Adapun tanda negatif dalam nilai r menunjukkan arah hubungan negatif sempurna. Hal ini lah yang menegaskan bahwa diantara kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.

4.3.2. Analisis Hasil Pengujian Dengan Teori yang Digunakan

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan teori konsumerisme dan teori fungsionalisme taraf – menengah mengenai kepribadian birokratis. Dimana yang dimaksud dengan konsumerisme sendiri merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang – barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk. Teori konsumerisme juga membahas tentang perilaku konsumen dalam membuat keputusan yang pada akhirnya menciptakan masyarakat konsumsi. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Baudrillard yang menilai bahwa keputusan konsumen yang diambil oleh masyarakat konsumsi sesungguhnya hanyalah sebuah tiruan berdasarkan status dan status inilah yang menyebabkan orang menjadi “tergila – gila” pada objek tertentu. Sehingga membeli dan mengkonsumsi barang pada masyarakat konsumsi bukanlah berdasarkan nilai guna dan manfaat dari barang tersebut, melainkan berdasarkan gaya hidup dan makna yang melekat dari suatu produk.

Namun pada hasil dari penelitian ini ternyata status keanggotaan yang dimiliki oleh para responden di jaringan Imaginer Oriflame Indonesia cabang Medan tidak mempengaruhi keputusan mereka dalam berbelanja produk Oriflame. Sehingga hal tersebut tidak menjadi pemicu ataupun pendorong dari terbentuknya masyarakat konsumsi seperti yang telah dijelaskan oleh teori konsumerisme. Mereka menggunakan rasionalitas dalam status keanggotaannya untuk berbelanja barang – barang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang mereka miliki dalam melakukan proses konsumsi.

Mereka tidak menjadi pecandu produk dan terbuai oleh segala penawaran yang ada dikarenakan kesadaran dan pemahaman ataupun wawasan mereka atas orientasi dasar mereka dalam melakukan bisnis bersama Oriflame. Disamping itu, faktor pendidikan yang responden miliki turut menjadi dasar acuan yang baik dalam berpikir dan melakukan tindakan agar memperhatikan nilai guna dari suatu produk dalam membeli produk – produk Oriflame.

Sehingga para responden yang dalam hal ini mewakili seluruh komponen di jaringan Imaginer Oriflame Indonesia cabang Medan tidak mencerminkan gaya hidup konsumsi yang berlebihan dan mengarah kepada masyarakat konsumsi. Mereka mempergunakan status keanggotaannya secara bijak dalam membina anggota dan membangun karir bisnis bersama Oriflame sesuai dengan kode etik perusahaan yang berlaku kepada seluruh anggota.

Selanjutnya, pada teori Merton tentang kepribadian birokratis dijelaskan bahwa pada dasarnya aturan – aturan serta segala ketentuan dan kewajiban yang diterapkan merupakan salah satu cara yang bersifat baik dan tepat dalam upaya menjaga keberlangsungan untuk mencapai tujuan serta keuntungan bersama. Namun dalam proses pengimplementasiannya, tidak jarang terjadi disfungsional dari aturan itu sendiri yang dikarenakan oleh kepatuhan yang terlampau besar dan kekakuan atas aturan dan kewajiban tersebut sehingga dapat berubah menjadi fungsi laten yang tidak baik. Hingga pada akhirnya membuat seseorang atau kelompok menjadi terfokus pada setiap aturan untuk dijalankan dan dipatuhi dengan baik, sehingga mengabaikan dan mengesampingkan keuntungan dan tujuan bersama yang telah menjadi orientasi awal mereka, maka pergeseran orientasi itulah yang dapat merujuk pada fungsi manifest.

Pada jaringan Imaginer sendiri para anggota telah membuktikan bahwa mereka tidak terpaku pada aturan persyaratan dalam setiap tingkatan jenjang karir yang ditawarkan oleh pihak manajemen Oriflame. Mereka menyadari dan mematuhi segala peraturan dan persyaratan tersebut secara bijaksana. Sehingga disfungsional dari aturan itu sendiri yang disebabkan oleh kepatuhan yang terlampau besar dan kekakuan atas aturan dan kewajiban tersebut tidak terjadi pada seluruh komponen Member Oriflame di jaringan Imaginer.

Mereka menerima dan menjalankan segala aturan sebagai suatu patokan dan kontrol untuk mencapai tujuan bersama yakni sukses menjalankan bisnis tersebut dan meraih tingkat jenjang karir yang mereka inginkan. Para pimpinan di jaringan Imaginer juga selalu mengingatkan kepada para anggota Imaginer untuk patuh pada aturan dan kode etik perusahaan Oriflame. Karena dengan begitu hak – hak mereka sebagai Member yang independen akan terjaga dan tidak terjerumus kepada perilaku konsumtif. Karena sesungguhnya pada kode etik Oriflame sendiri melarang para anggotanya untuk membeli barang secara berlebih dan menyimpan barang tersebut untuk diperjual belikan di masa mendatang. Para Member hanya diperkenankan membeli barang sesuai kebutuhan dan kemampuan untuk diperjual belikan secara langsung. Dengan memahami dan mematuhi segala peraturan yang ada justru Oriflame menjaga kenyamanan dan kesejahteraan para Membernya dalam melakukan bisnis.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait