• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabulasi silang antara usia anak dengan jenis kelamin

Usia anak Jenis kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % 0-6 bulan 102 20,4 80 18,6 182 19,5 7-12 bulan 181 36,1 186 43,2 367 39,4 13-18 bulan 137 27,3 100 23,2 237 25,4 19-23 bulan 81 16,2 65 15,1 146 15,7 Total 501 100 431 100 932 100

Tabulasi silang antara usia anak dengan penyakit infeksi

Usia anak Penyakit infeksi Total Tidak infeksi Infeksi

n % n % n % 0-6 bulan 120 20,2 62 18,3 182 19,5 7-12 bulan 229 38,6 138 40,8 367 39,4 13-18 bulan 145 24,4 92 27,2 237 25,4 19-23 bulan 100 16,8 46 13,6 146 15,7 Total 594 100 338 100 932 100

Tabulasi silang antara usia anak dengan asupan gizi

Usia anak Asupan gizi Total Baik Kurang n % n % n % 0-6 bulan 25 27,2 157 18,7 182 19,5 7-12 bulan 35 38,0 332 39,5 367 39,4 13-18 bulan 23 25,0 214 25,5 237 25,4 19-23 bulan 9 9,8 137 16,3 146 15,7 Total 92 100 840 100 932 100

Tabulasi silang antara wilayah tempat tinggal dengan sanitasi lingkungan Wilayah

tempat tinggal

Sanitasi lingkungan Total Baik Kurang baik

n % n % n %

Desa 186 52,2 408 70,8 594 63,7

Kota 170 47,8 168 29,2 338 36,3

Tabulasi silang antara wilayah tempat tinggal dengan penyakit infeksi Wilayah

tempat tinggal

Penyakit infeksi Total Tidak infeksi Infeksi

n % n % n %

Desa 391 65,8 203 60,1 594 63,7

Kota 203 34,2 135 39,9 338 36,3

Total 594 100 338 100 932 100

Tabulasi silang antara wilayah tempat tinggal dengan asupan gizi Wilayah

tempat tinggal

Asupan Gizi Total Baik Kurang baik

n % n % n %

Desa 53 57,6 541 64,4 594 63,7

Kota 39 42,4 299 35,6 338 36,3

Total 92 100 840 100 932 100

Tabulasi silang antara status bekerja ibu dengan sanitasi lingkungan

Status bekerja ibu

Sanitasi lingkungan Total

Baik Kurang baik

n % n % n % Tidak bekerja 252 70,8 375 65,1 627 67,3

Bekerja 104 29,2 201 34,9 305 32,7

Tabulasi silang antara status bekerja ibu dengan penyakit infeksi Status bekerja

ibu

Penyakit infeksi Total Tidak infeksi Infeksi

n % n % n % Tidak bekerja 396 66,7 231 68,3 627 67,3 Bekerja 198 33,3 107 31,7 305 32,7

Total 594 100 338 100 932 100

Tabulasi silang antara status bekerja ibu dengan asupan gizi Status bekerja

ibu

Asupan gizi Total Baik Kurang baik

n % n % n % Tidak bekerja 55 59,8 572 68,1 627 67,3

Bekerja 37 40,2 268 31,9 305 32,7

Tabulasi silang antara usia anak dengan sanitasi lingkungan Usia anak Sanitasi lingkungan Total

Baik Kurang baik

n % n % n % 0-6 bulan 61 17,1 121 21,0 182 19,5 7-12 bulan 140 39,3 227 39,4 367 39,4 13-18 bulan 96 27,0 141 24,5 237 25,4 19-23 bulan 59 16,6 87 15,1 146 15,7 Total 356 100 576 100 932 100

Tabulasi silang antara akses yankes dengan pemanfaatan yankes Akses Yankes Manfaat Yankes Total

Baik Kurang baik

n % n % n % Mudah 344 88,2 463 85,4 807 86,6 Tidak mudah 46 11,8 79 14,6 125 13,4

Tabulasi silang antara penyakit infeksi dengan asupan gizi Penyakit

Infeksi

Asupan gizi Total Baik Kurang baik

n % n % n % Tidak infeksi 57 62,0 537 63,9 594 63,7

Infeksi 35 38,0 303 36,1 338 36,3

Total 92 100 840 100 932 100

Tabulasi silang antara jumlah balita dengan sanitasi lingkungan Jumlah balita

dalam keluarga

Sanitasi lingkungan Total Baik Kurang baik

n % n % n % 1 balita 301 84,6 491 85,2 792 85,0 2-3 balita 55 15,4 85 14,8 140 15,0

Total 356 100 576 100 932 100

Tabulasi silang antara jumlah balita dengan penyakit infeksi Jumlah balita

dalam keluarga

Penyakit infeksi Total Tidak infeksi Infeksi

n % n % n % 1 balita 500 84,2 292 86,4 792 85,0 2-3 balita 94 15,8 46 13,6 140 15,0

Tabulasi silang antara jumlah balita dengan asupan gizi Jumlah balita

dalam keluarga

Asupan gizi Total Baik Kurang baik

n % n % n % 1 balita 74 80,4 718 85,5 792 85,0 2-3 balita 18 19,6 122 14,5 140 15,0

Total 92 100 840 100 932 100

Tabulasi silang antara usia ibu dengan PHBS

Usia ibu PHBS Total

Baik Kurang baik

n % n % n % 13-19 tahun 9 4,0 38 5,4 47 5,0 20-30 tahun 135 59,2 412 58,5 547 58,7 31-50 tahun 84 36,8 254 36,1 338 36,3

Tabulasi silang antara usia ibu dengan sanitasi lingkungan Usia ibu Sanitasi lingkungan Total

Baik Kurang baik

n % n % n % 13-19 tahun 15 4,2 32 5,6 47 5,0 20-30 tahun 202 56,7 345 59,9 547 58,7 31-50 tahun 139 39,1 199 34,5 338 36,3

Total 356 100 576 100 932 100

Tabulasi silang antara usia ibu dengan penyakit infeksi

Usia ibu Penyakit infeksi Total Tidak infeksi Infeksi

n % n % n % 13-19 tahun 26 4,4 21 6,2 47 5,0 20-30 tahun 349 58,7 198 58,6 547 58,7 31-50 tahun 219 36,9 119 35,2 338 36,3

Tabulasi silang antara usia ibu dengan asupan gizi

Usia ibu Asupan gizi Total Baik Kurang baik

n % n % n % 13-19 tahun 2 2,2 45 5,3 47 5,0 20-30 tahun 58 63,0 489 58,2 547 58,7 31-50 tahun 32 34,8 306 36,5 338 36,3

Total 92 100 840 100 932 100

Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan penyakit infeksi Jenis kelamin Penyakit infeksi Total

Tidak infeksi Infeksi

n % n % n % Laki-laki 56 60,9 445 53,0 501 53,8 Perempuan 36 39,1 395 46,2 431 46,2

Total 92 100 840 100 932 100

Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan asupan gizi

Jenis kelamin Asupan gizi Total

Baik Kurang baik

n % n % n %

Laki-laki 307 51,7 194 57,4 501 53,8

Perempuan 287 48,3 144 42,6 431 46,2

BUNGA CHRISTITHA ROSHA. Analysis of Nutritional Status Determinant of 0-23 Months Age’s Children among Poor Areas in Central and East Java. Supervised by HARDINSYAH and YAYUK FARIDA BALIWATI.

The aim of the study was to analyzed determinant factors of nutritional status children of 0-23 months in poor areas of Central and East Java. This study used Riskesdas 2007 data. Samples was 932 children 0-23 months. Nutritional status was measured by z-score of weight for age (W/A) and height for age (H/A). The data analyzed using a logistic regression. The results showed that 13,3 percent of the children were underweight (W/A), and 28.8 percent of the children were stunted (H/A). The determinant factors of underweight were number of toddlers in the family, environmental sanitation and nutrient adequacy; meanwhile determinant factors for stunting were child’s age, sex and urban-rural and mother education level.

BUNGA CHRISTITHA ROSHA. Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dibimbing oleh

HARDINSYAH dan YAYUK FARIDA BALIWATI.

Masalah underweight dan stunting merupakan masalah gizi yang serius di Indonesia. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi underweight sebesar 18,4 persen sedangkan stunting 36,8 persen. Bila prevalensi underweight

berdasarkan Riskesdas dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen dan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,2 persen, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di beberapa propinsi dan kabupaten kota. Masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, namun permasalahan gizi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti faktor determinan yang mempengaruhi status gizi anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai faktor determinan yang berisiko terhadap underweight dan stunting anak 0-23 bulan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data Riskesdas 2007 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sampel yang dipilih adalah anak usia 0-23 bulan yang berasal dari kabupaten kota dengan kategori miskin (>16,5 persen) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kriteria lainnya adalah sampel harus memiliki kelengkapan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Kemudian dari 2702 populasi anak usia 0-23 bulan yang tinggal di wilayah miskin yang memenuhi kriteria kelengkapan data yang dibutuhkan didapatkan 932 sampel yang berasal dari 40 kabupaten kota di Jawa tengah dan Jawa Timur. Underweight

dan stunting diukur berdasarkan indeks BB/U dan TB/U.

Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi data yaitu frekuensi masing-masing variabel baik variabel dependent (status gizi balita) maupun variabel independent (karakteristik keluarga, karakteristik ibu,

Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang antara masing-masing variabel bebas dan variable terikat dengan tujuan untuk memperoleh gambaran variable bebas yang mana yang diduga ada hubungannya dengan status gizi balita. Uji statistik yang digunakan dalam analisis bivariat ini adalah chi square, yaitu untuk menguji kemaknaan hubungan atau perbedaan dengan tingkat kepercayaan 95%, dengan kriteria nilai P : P > 0,05 menunjukan hubungan tidak bermakna, P < 0,05 menunjukkan hubungan bermakna. Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian dilakukan analisis regresi logistik binary. Melalui analisis regresi logistik akan dihitung odd ratio (OR) yaitu untuk memperkirakan besarnya risiko

underweight dan stunting yang disebabkan oleh faktor risiko.

Hasil penelitian menunjukkan kejadian gizi kurang sebesar 13,3 persen sedangkan stunting 28,8 persen. Prevalensi underweight dan stunting pada usia > 6 bulan lebih tinggi dibandingkan usia < 6 bulan. Analisis statistik mengunakan

chi square menujukkan faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan

underweight (p<0,05) adalah jumlah balita dalam keluarga dan sanitasi lingkungan sedangkan faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan stunting

adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin anak. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor determinan underweight adalah jumlah balita dalam keluarga, sanitasi lingkungan dan asupan gizi sedangkan faktor determinan stunting adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalah

underweight antara lain : Pertama, peningkatan ketersediaan pangan dalam rumah tangga sehingga anak mendapatkan makanan sesuai dengan kebutuhanya. Anak usia > 6 bulan diberikan makanan tambahan selain ASI (PMT-ASI) sedangkan untuk anak usia 0-6 bulan cukup diberikan ASI eksklusif. Selain itu dibutuhkan peran pemerintah dalam meningkatkan komunikasi informasi eduksi (KIE) masyarakat mengenai pangan dan gizi melalui melalui penyuluhan, konseling, dan sebagainya yang dapat dilakukan di ruang-ruang publik seperti puskesmas, posyandu, perkumpulan warga, pengajian dan lain-lain. Kedua, meningkatkan

sama melakukan perbaikan sarana dan prasarana kebersihan yang dapat mendukung terjadinya sanitasi lingkungan yang memadai. Ketiga, memperkuat kembali program keluarga berencana (KB) agar keluarga merencanakan anak dengan baik sehingga jarak kelahiran anak tidak terlalu dekat.

Upaya untuk menanggulangi permasalah stunting, antara lain : Pertama, pemerintah dan masyarakat fokus terhadap penanganan stunting pada usia dan jenis kelamin anak yang dianggap berisiko tinggi yaitu anak usia > 6 bulan dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk usia dan jenis kelamin anak yang berisiko rendah yaitu anak usia < 6 bulan dan berjenis kelamin perempuan dilakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari stunting. Kedua, peningkatan pendidikan ibu melalui program pemerintah kejar paket A agar ibu yang berpendidikan rendah dapat melek huruf sehingga dapat mengakses informasi mengenai gizi dan kesehatan yang kemudian informasi tersebut dipraktikan dalam keluarga. Ketiga, peningkatan sanitasi kebersihan diharapkan dapat mengurangi risiko penyakit infeksi di wilayah pedesaan dan dibukanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi di wilayah pedesaan diharapkan dapat berimbas pada pemenuhan kebutuhan gizi dan makanan keluarga. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya stunting di pedesaan.

Dalam rangka penyempurnaan pengembangan instrumen pengukuran dalam Riskesdas yang akan datang, kedepan perlu: ditentukan metode pengukuran konsumsi untuk anak usia 0-23 bulan yang sesuai dan lebih sensitif dari metode

recall 24 jam, sehingga konsumsi anak dapat menggambarkan status gizi anak baik berdasarkan indeks BB/U maupun TB/U. Metode recall 24 jam yang digunakan pada Riskesdas 2007 kurang sensitif untuk melihat status gizi berdasarkaan indeks TB/U. Terkait pengukuran penyakit infeksi yang diderita anak kiranya perlu dilakukan pemeriksaan secara klinis agar didapatkan kepastian penyakit yang diderita anak karena jika hanya berdasarkan diagnosis dan identifikasi gejala rentan terjadi kesalahan ketika mendiagnosis dan mengidentifikai gejala.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang memiliki lima tujuan pokok. Salah satu tujuan pokok dari RPJPN adalah terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera dengan salah satu indikasinya yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) (www.indonesia.go.id)

Sumber daya manusia adalah investasi berharga dalam pembangunan. Oleh karena itu SDM haruslah berkualitas yang dicirikan dengan fisik yang tangguh, mental yang kuat, sehat dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kualitas sumber daya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan status gizi masyarakat (Departemen Kesehatan 2006). Berdasarkan laporan UNDP, pada tahun 2007 pencapaian IPM Indonesia menempati rangking 111 dari 182 negara di dunia. (UNDP, 2009)

Rendahnya IPM di Indonesia disebabkan oleh permasalahan gizi dan kesehatan di masyarakat (Azwar, 2004). Permasalahan gizi masyarakat antara lain underweight (gizi kurang) dan stunting (anak pendek). Salah satu pencetus

permasalahan kurang gizi adalah kemiskinan. Proporsi anak underweight dan

anak stunting berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan

penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya. Hubungannya bersifat timbal balik, kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi (Soekirman, 2005).

Permasalahan underweight dan stunting berdampak terhadap pertumbuhan,

perkembangan dan produktifitas. Bahkan stunting yang kronik tidak dapat lagi

dipulihkan. Ini artinya stunting pada anak membuat anak tidak mungkin lagi

anak dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, penyakit kronik, dan kematian anak serta menurunkan produktifitas kerja ketika dewasa. Masalah gizi jika tidak ditangani akan menimbulkan masalah yang lebih besar, bahkan kedepannya

Bangsa Indonesia akan mengalami lost generation (Soekirman 2005).

Anak usia 0-23 bulan merupakan anak yang termasuk dalam masa kehidupan yang sangat penting sehingga perlu perhatian yang serius. Pada masa ini berlangsung proses tumbuh kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan sosial. Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya perkembangan psikososial yang optimal. Pada masa ini anak perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah yang tepat dan kualitas yang baik. Oleh karena itu keterlambatan intervensi kesehatan, gizi dan psikososial mengakibatkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki dikemudian hari (Soekirman 2005).

Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional underweight adalah

18,4 persen sedangkan prevalensi nasional stunting sebesar 36,8 persen. Bila

prevalensi underweight dibandingkan dengan target Millenium Development

Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5 persen maka secara nasional target- target tersebut sudah terlampaui, namun pencapaian tersebut belum merata di

beberapa propinsi dan kabupaten kota. Prevalensi stunting jika dibandingkan

dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen maka target ini

belum tercapai dengan baik dan menunjukkan permasalahan stunting masih tinggi

di Indonesia (Depkes 2008).

Tidak meratanya pencapaian target penurunan prevalensi underweight dan

stunting tersebut terlihat dari data Riskesdas 2007 yang menunjukan prevalensi underweight dan stunting di Jawa Tengah sebesar 16,0 persen dan 36,4 persen sedangkan di Jawa Timur 17,4 persen dan 34,8 persen. Walaupun prevalensi di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah prevalensi nasional tetapi pencapaian ini tidak merata di beberapa kabupaten kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pencapaian yang tidak merata ini bisa dilihat di beberapa wilayah kabupaten kota yang termasuk kedalam wilayah miskin tetapi memiliki prevalensi underweight yang tinggi di atas prevalensi propinsi, misalnya Demak 21,5

persen dan Jember 30,4 persen. Adapun wilayah kabupaten kota yang termasuk

dalam wilayah miskin yang memiliki prevalensi underweight yang rendah di

bawah prevalensi propinsi yaitu Banyumas 10,1 persen dan Bondowoso 8,7 persen. Wilayah kabupaten kota yang termasuk wilayah miskin dan memiliki

prevalensi stunting yang tinggi adalah Rembang 49,6 persen dan Pamekasan

51,8 persen. Adapun prevalensi stunting yang rendah adalah Grobogan 21,8

persen dan Tulung Agung 27,5 persen. (Depkes 2008)

Dalam RPJMN Kesehatan 2010-2014 disebutkan bahwa kebijakan dan program perbaikan gizi dan kesehatan diprioritaskan pada keluarga miskin. Pada tahun 2007 sebesar 16,5 persen atau lebih dar 37 juta penduduk Indonesia tergolong miskin (BPS, 2007). Kemiskinan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih tinggi karena Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan wilayah yang luas sehingga memiliki jumlah penduduk yang besar dan kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah sebesar 20,4 % sedangkan di Jawa Timur sebesar 19,9 % (BPS, 2007).

Permasalahan underweight dan stunting ditentukan oleh faktor yang

mempengaruhinya. Faktor tersebut pada tiap daerah bisa berbeda satu sama lain. Ada faktor yang mempengaruhi dan ada faktor yang kurang berpengaruh terhadap status gizi anak. UNICEF (1997) menyatakan faktor penyebab permasalahan gizi

pada anak terdiri dari faktor penyebab langsung (immediate cause) yaitu asupan

makanan yang tidak cukup dan penyakit yang diderita anak. Faktor penyebab

yang mendasari (underlying cause) yaitu tidak cukup akses terhadap pangan, pola

asuh anak yang tidak memadai, dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air

bersih yang tidak memadai. Faktor penyebab dasar (basic cause) adalah kuantitas

dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya : manusia, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi.

Penelitian Sandjaja (2001) yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Gunung Kidul menunjukan bahwa faktor yang berperan nyata dalam underweight anak antara lain adalah faktor ibu, pola asuh anak, keadaan kesehatan anak, dan konsumsi makanan anak. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya di

Afrika menunjukkan faktor yang mempengaruhi status underweight adalah jumlah

pendapatan. Alberto dan Francesco (2007) dalam penelitiannya mengenai underweight dan angka kematian di beberapa negara berkembang mengidentifikasi empat faktor terdekat yang mendasar yaitu kesehatan lingkungan, pendidikan perempuan, status relatif perempuan, dan produksi makanan perkapita.

Faber dan Benade (1998) melakukan penelitian di Afrika Selatan, hasilnya menunjukan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin banyak yang

mengalami stunting sejak bayi karena penyakit infeksi yang diderita dan

kurangnya asupan makanan yang bergizi. Semba et al (2008) dalam penelitiannya

di Indonesia dan Bangladesh menunjukan bahwa baik pendidikan ibu dan ayah

merupakan penentu kuat stunting. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Judith dan Stan (1996) di Metro Cebu, Filipina menunjukkan pendidikan ibu, kepemilikan televisi atau radio, status sosial ekonomi rumah

tangga mempengaruhi stunting.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisis faktor determinan status gizi anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini ditunjang dengan tersedianya data hasil Riskesdas 2007 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Tujuan Tujuan penelitian ini antara lain :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik keluarga, karakteristik ibu,

karakteristik anak, sanitasi lingkungan, PHBS, akses pelayanan kesehatan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, status penyakit infeksi dan asupan gizi.

2. Menganalisis underweight anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa

Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis bivariat.

3. Menganalisis stunting anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah

dan Jawa Timur berdasarkan analisis bivariat.

4. Menganalisis determinan underweight anak 0-23 bulan pada daerah miskin di

Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis multivariat.

5. Menganalisis determinan stunting anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa

Manfaat

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain :

1. Diketahuinya faktor determinan underweight dan stunting anak 0-23 bulan pada

daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

2. Menjadi bahan pertimbangan bagi Kementerian Kesehatan dalam merumuskan

kebijakan dan program pencegahan underweight dan stunting.

3. Adanya publikasi hasil penelitian sehingga dapat memberikan informasi bagi

masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA

Permasalahan Gizi Pada Balita

Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat karena tingginya produktifitas kerja. Sebaliknya jika masalah gizi banyak terdapat dalam suatu masyarakat hal ini dapat menghambat pembangunan dan menimbulkan kerugian yang tidak terhingga (Soekirman, 2005).

Permasalahan gizi sangat berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Peningkatan ekonomi masyarakat akan berdampak terhadap peningkatan status gizi. Peningkatan ekonomi masyarakat dapat menurunkan masalah gizi dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, mengurangi biaya kematian dan kesakitan, kedua melalui peningkatan produktifitas. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Soekirman (2005) yaitu kemiskinan memiliki hubungan timbal balik dengan permasalahan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi.

Tahun 2004 sekitar 50 persen penduduk Indonesia pada semua kelompok usia mengalami masalah kekurangan gizi baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Kejadian kekurangan gizi cenderung dikesampingkan, padahal secara perlahan dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita dan rendahnya umur harapan hidup (Atmarita, 2004). Pada tahun

2001, prevalensi underweight dan stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan

negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Tabel 1 menunjukkan pada tahun

2001 prevalensi underweight ( BB/U) <-2SD) pada balita di Indonesia sebesar

26,1 persen, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 18,3 persen dan 18,6 persen. Cina sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang

tinggi memiliki permasalahan underweight sebesar 9,6 persen. Negara-negara

miskin seperti Bangladesh dan India menghadapi permasalahan underweight yang

Tabel 1 Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di Asia, 2001 Negara Prevalensi Underweight (%) Prevalensi Stunting (%) Prevalensi BBLR (%) Bangladesh 47,8 44,8 30,0 India 47,0 45,6 25,5 Kamboja 45,9 46,0 8,9 Pakistan 38,2 - 21,4 Myanmar 36,0 37,2 16,0 Vietnam 33,1 36,4 18,9 Srilangka 33,0 17,0 17,0 Indonesia 26,1 42,6 7,7 Thailand 18,6 16,0 7,2 Malaysia 18,3 - - Cina 9,6 16,7 5,9

Sumber : Atmarita (2004) Analisis Situasi Gizi dan KesehatanMasyarakat

Tabel 1 juga menunjukan prevalensi stunting pada balita di Indonesia

sebesar 42,6 persen. Ini menunjukkan Indonesia memiliki permasalahan stunting

yang cukup tinggi. Sama halnya dengan Indonesia, Bangladesh, India dan

Kamboja juga memiliki prevalensi stunting yang tinggi sebesar 44,8 persen, 45,6

persen dan 46,0 persen. Negara dengan prevalensi stunting yang rendah antara

lain Thailand sebesar 16,0 persen dan Cina sebesar 16,7 persen.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) prevalensi balita gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003 (Tabel 2). Sedangkan prevalensi balita gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000 mengalami penurunan, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Untuk prevalensi balita yang mengalami status gizi buruk dan gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000 mengalami penurunan, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Tahun 2003 prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang mencapai 27,5 persen.

Tabel 2 Jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Susenas 1989-2003

Tahun Total Total Jumlah Prevalensi (%)

Penduduk Balita Gizi Buruk Gizi Kurang Total Gizi Buruk Gizi Kurang Total 1989 177,614,965 21,313,796 1,342,769 6,643,510 7,98,279 6.3 31.2 37.5 1992 185,323,458 22,238,815 1,607,866 6,302,480 7,910,346 7.2 28.3 35.6 1995 195,860,899 21,544,699 2,490,567 4,313,249 6,803,816 11.6 20.0 31.6 1998 206,398,340 20,639,834 2,169,247 3,921,568 6,090,815 10.5 19.0 29.5 1999 209,910,821 19,941,528 1,617,258 3,639,329 5,256,587 8.1 18.3 26.4 2000 203,456,005 17,904,128 1,348,181 3,066,977 4,415,158 7.5 17.1 24.7 2001 206,070,543 18,134,208 1,142,455 3,590,573 4,733,028 6.3 19.8 26.1 2002 208,749,460 18,369,952 1,469,596 3,545,401 5,014,997 8.0 19.3 27.3 2003 211,463,203 18,608,762 1,544,527 3,572,882 5,117,409 8.3 19.2 27.5

Sumber : Atmarita (2004) : Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat

Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula

dengan tingginya prevalensi stunting. Tabel 3 menunjukkan berdasarkan survey

gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita stunting dari tahun

1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan propinsi masih berkisar antara 30-40

persen begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh perkotaan

Dokumen terkait