DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR
BUNGA CHRISTITHA ROSHA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur” adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 15 Agustus 2010
BUNGA CHRISTITHA ROSHA. Analysis of Nutritional Status Determinant of 0-23 Months Age’s Children among Poor Areas in Central and East Java. Supervised by HARDINSYAH and YAYUK FARIDA BALIWATI.
The aim of the study was to analyzed determinant factors of nutritional status children of 0-23 months in poor areas of Central and East Java. This study used Riskesdas 2007 data. Samples was 932 children 0-23 months. Nutritional status was measured by z-score of weight for age (W/A) and height for age (H/A). The data analyzed using a logistic regression. The results showed that 13,3 percent of the children were underweight (W/A), and 28.8 percent of the children were stunted (H/A). The determinant factors of underweight were number of toddlers in the family, environmental sanitation and nutrient adequacy; meanwhile determinant factors for stunting were child’s age, sex and urban-rural and mother education level.
BUNGA CHRISTITHA ROSHA. Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dibimbing oleh
HARDINSYAH dan YAYUK FARIDA BALIWATI.
Masalah underweight dan stunting merupakan masalah gizi yang serius di Indonesia. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi underweight sebesar 18,4 persen sedangkan stunting 36,8 persen. Bila prevalensi underweight
berdasarkan Riskesdas dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen dan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,2 persen, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di beberapa propinsi dan kabupaten kota. Masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, namun permasalahan gizi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti faktor determinan yang mempengaruhi status gizi anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai faktor determinan yang berisiko terhadap underweight dan stunting anak 0-23 bulan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data Riskesdas 2007 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sampel yang dipilih adalah anak usia 0-23 bulan yang berasal dari kabupaten kota dengan kategori miskin (>16,5 persen) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kriteria lainnya adalah sampel harus memiliki kelengkapan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Kemudian dari 2702 populasi anak usia 0-23 bulan yang tinggal di wilayah miskin yang memenuhi kriteria kelengkapan data yang dibutuhkan didapatkan 932 sampel yang berasal dari 40 kabupaten kota di Jawa tengah dan Jawa Timur. Underweight
dan stunting diukur berdasarkan indeks BB/U dan TB/U.
Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang antara masing-masing variabel bebas dan variable terikat dengan tujuan untuk memperoleh gambaran variable bebas yang mana yang diduga ada hubungannya dengan status gizi balita. Uji statistik yang digunakan dalam analisis bivariat ini adalah chi square, yaitu untuk menguji kemaknaan hubungan atau perbedaan dengan tingkat kepercayaan 95%, dengan kriteria nilai P : P > 0,05 menunjukan hubungan tidak bermakna, P < 0,05 menunjukkan hubungan bermakna. Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian dilakukan analisis regresi logistik binary. Melalui analisis regresi logistik akan dihitung odd ratio (OR) yaitu untuk memperkirakan besarnya risiko
underweight dan stunting yang disebabkan oleh faktor risiko.
Hasil penelitian menunjukkan kejadian gizi kurang sebesar 13,3 persen sedangkan stunting 28,8 persen. Prevalensi underweight dan stunting pada usia > 6 bulan lebih tinggi dibandingkan usia < 6 bulan. Analisis statistik mengunakan
chi square menujukkan faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan
underweight (p<0,05) adalah jumlah balita dalam keluarga dan sanitasi lingkungan sedangkan faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan stunting
adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin anak. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor determinan underweight adalah jumlah balita dalam keluarga, sanitasi lingkungan dan asupan gizi sedangkan faktor determinan stunting adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalah
sama melakukan perbaikan sarana dan prasarana kebersihan yang dapat mendukung terjadinya sanitasi lingkungan yang memadai. Ketiga, memperkuat kembali program keluarga berencana (KB) agar keluarga merencanakan anak dengan baik sehingga jarak kelahiran anak tidak terlalu dekat.
Upaya untuk menanggulangi permasalah stunting, antara lain : Pertama, pemerintah dan masyarakat fokus terhadap penanganan stunting pada usia dan jenis kelamin anak yang dianggap berisiko tinggi yaitu anak usia > 6 bulan dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk usia dan jenis kelamin anak yang berisiko rendah yaitu anak usia < 6 bulan dan berjenis kelamin perempuan dilakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari stunting. Kedua, peningkatan pendidikan ibu melalui program pemerintah kejar paket A agar ibu yang berpendidikan rendah dapat melek huruf sehingga dapat mengakses informasi mengenai gizi dan kesehatan yang kemudian informasi tersebut dipraktikan dalam keluarga. Ketiga, peningkatan sanitasi kebersihan diharapkan dapat mengurangi risiko penyakit infeksi di wilayah pedesaan dan dibukanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi di wilayah pedesaan diharapkan dapat berimbas pada pemenuhan kebutuhan gizi dan makanan keluarga. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya stunting di pedesaan.
Dalam rangka penyempurnaan pengembangan instrumen pengukuran dalam Riskesdas yang akan datang, kedepan perlu: ditentukan metode pengukuran konsumsi untuk anak usia 0-23 bulan yang sesuai dan lebih sensitif dari metode
recall 24 jam, sehingga konsumsi anak dapat menggambarkan status gizi anak baik berdasarkan indeks BB/U maupun TB/U. Metode recall 24 jam yang digunakan pada Riskesdas 2007 kurang sensitif untuk melihat status gizi berdasarkaan indeks TB/U. Terkait pengukuran penyakit infeksi yang diderita anak kiranya perlu dilakukan pemeriksaan secara klinis agar didapatkan kepastian penyakit yang diderita anak karena jika hanya berdasarkan diagnosis dan identifikasi gejala rentan terjadi kesalahan ketika mendiagnosis dan mengidentifikai gejala.
@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR
BUNGA CHRISTITHA ROSHA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R
Nama Mahasiswa : Bunga Christitha Rosha
NRP : I151080131
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H. Hardinsyah, M.S. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Gizi Masyarakat
Drh.M.Rizal M.Damanik,M.RepSc.Ph.D Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.
Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
dengan baik. Tesis ini berjudul “Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan
Pada Daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur”.
Tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan doa dan dukungan, semangat,
arahan, bimbingan dan kerjasama dengan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan
kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S dan
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S selaku komisi pembimbing yang telah
memberikan banyak masukan berupa arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga
tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga
penulis sampaikan kepada Ir. Eman Sumarna, MSc selaku Kasubid Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
yang bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis atas masukan dan
sarannya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada kedua
orangtua, suami, dan anak atas segala ridho, doa, pengorbanan dan limpahan kasih
sayang yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis haturkan
untuk teman-teman seangkatan Pasca Gizi Masyarakat (GMS) juga teman–teman di
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan atas bantuan dan doanya.
Penulis meyakini bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu
penulis menerima kritik dan masukan untuk peningkatan dan pengembangan
penelitian yang lebih luas. Atas segala perhatian dan masukannya penulis
mengucapkan terimakasih. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak.
Bogor, 15 Agustus 2010
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 26 Januari 1982. Penulis merupakan
putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Roeshadi Wijaya dan Ibu
Rosmala. Penulis juga merupakan istri dari Fauzi Rabani sekaligus ibu dari Hilya
Aisyah Rabani. Tahun 2004 penulis lulus dari Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto jurusan Sosiologi dengan menyandang gelar Sarjana Sosial. Pada tahun
2008 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis juga tercatat sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan
Halaman
DAFTAR TABEL……….. v
DAFTAR GAMBAR………. vi
DAFTAR LAMPIRAN……….. vii
PENDAHULUAN...……….. 1
Latar Belakang………... 1
Tujuan ………….……….. 4
Manfaat ………. 5
TINJAUAN PUSTAKA……… 6
Permasalahan Gizi Pada Balita……….………. 6
Status Gizi Balita………... 9
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita………. 11
KERANGKA PEMIKIRAN………..19
METODE………..……… 22
Sumber Data, Waktu dan Tempat………. 22
Cara Pengambilan Sampel………. 24
Pengolahan Data……… 27
Analisis Data………... 29
Definisi Operasional……….. 31
HASIL DAN PEMBAHASAN………. 34
Keadaan Umum Wilayah……….. 34
Karakteristik Keluarga..………. 35
Karakteristik Ibu……… 36
Karakteristik Anak………. 38
Sanitasi Lingkungan……….. 39
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)...……….. 39
Faktor yang berhubungan dengan Underweight Anak 0-23 Bulan... 43
Faktor yang berhubungan dengan Stunting Anak 0-23 Bulan………. 49
Faktor Determinan Underweight Anak Usia 0-23 Bulan………. 54
Faktor Determinan Stunting Anak Usia 0-23 Bulan ………. 57
KESIMPULAN DAN SARAN………. 61
Kesimpulan……… 61
Saran……….. 62
DAFTAR PUSTAKA……… 64
Nomor Halaman
1. Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di
Asia, 2001………. 7
2. Jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Susenas 1989-2003………...………... 8
3. Prevalensi stunting balita berdasarkan Survei Gizi dan Kesehatan HKI tahun 1999-2002 dan Riskesdas 2007………9
4. Angka kecukupan gizi anak usia 0-3 tahun ……….. 18
5. Daftar kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dijadikan wilayah penelitian……….. 22
6. Daftar data yang tidak lengkap………. 25
7. Daftar kabupaten/kota dan jumlah sampel di Jawa Tengah dan Jawa Timur……….26
8. Pengolahan data………. 27
9. Contoh tabel 2x2……… 29
10.Sebaran sampel berdasarkan karakteristik rumah tangga………. 35
11.Sebaran sampel berdasarkan karakteristik ibu……….. 38
12.Sebaran sampel berdasarkan karakteristik anak……… 39
13.Sebaran sampel berdasarkan sanitasi lingkungan……… 39
14.Sebaran sampel berdasarkan PHBS……….. 40
15.Sebaran sampel berdasarkan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan……….. 41
16.Sebaran sampel berdasarkan penyakit infeksi anak……….. 42
20.Faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting anak 0-23 bulan ..…….. 53
21. Faktor determinan underweight anak 0-23 bulan ………..…………. 56
Nomor Halaman
1. Kerangka konsep UNICEF dalam menanggulangi masalah gizi………….. 19
2. Kerangka pemikiran operasional……….. 21
Nomor Halaman
1. Daftar pertanyaan yang diambil dari quesioner Riskesdas 2007……… 68
2. Skoring sanitasi lingkungan………... 95
3. Skoring PHBS……….. 98
4. Skoring akses terhadap pelayanan kesehatan……….. 99
5. Skoring pemanfaatan pelayanan kesehatan……….……100
6. Skoring penyakit infeksi anak………...102
7. Hasil tabulasi silang antar variabel………..……....103
LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang memiliki lima tujuan pokok. Salah satu tujuan pokok dari RPJPN adalah terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera dengan salah satu indikasinya yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) (www.indonesia.go.id)
Sumber daya manusia adalah investasi berharga dalam pembangunan. Oleh karena itu SDM haruslah berkualitas yang dicirikan dengan fisik yang tangguh, mental yang kuat, sehat dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kualitas sumber daya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan status gizi masyarakat (Departemen Kesehatan 2006). Berdasarkan laporan UNDP, pada tahun 2007 pencapaian IPM Indonesia menempati rangking 111 dari 182 negara di dunia. (UNDP, 2009)
Rendahnya IPM di Indonesia disebabkan oleh permasalahan gizi dan kesehatan di masyarakat (Azwar, 2004). Permasalahan gizi masyarakat antara lain underweight (gizi kurang) dan stunting (anak pendek). Salah satu pencetus
permasalahan kurang gizi adalah kemiskinan. Proporsi anak underweight dan
anak stunting berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan
penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya. Hubungannya bersifat timbal balik, kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi (Soekirman, 2005).
Permasalahan underweight dan stunting berdampak terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan produktifitas. Bahkan stunting yang kronik tidak dapat lagi
dipulihkan. Ini artinya stunting pada anak membuat anak tidak mungkin lagi
anak dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, penyakit kronik, dan kematian anak serta menurunkan produktifitas kerja ketika dewasa. Masalah gizi jika tidak ditangani akan menimbulkan masalah yang lebih besar, bahkan kedepannya
Bangsa Indonesia akan mengalami lost generation (Soekirman 2005).
Anak usia 0-23 bulan merupakan anak yang termasuk dalam masa kehidupan yang sangat penting sehingga perlu perhatian yang serius. Pada masa ini berlangsung proses tumbuh kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan sosial. Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya perkembangan psikososial yang optimal. Pada masa ini anak perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah yang tepat dan kualitas yang baik. Oleh karena itu keterlambatan intervensi kesehatan, gizi dan psikososial mengakibatkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki dikemudian hari (Soekirman 2005).
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional underweight adalah
18,4 persen sedangkan prevalensi nasional stunting sebesar 36,8 persen. Bila
prevalensi underweight dibandingkan dengan target Millenium Development
Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5 persen maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui, namun pencapaian tersebut belum merata di
beberapa propinsi dan kabupaten kota. Prevalensi stunting jika dibandingkan
dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen maka target ini
belum tercapai dengan baik dan menunjukkan permasalahan stunting masih tinggi
di Indonesia (Depkes 2008).
Tidak meratanya pencapaian target penurunan prevalensi underweight dan
persen dan Jember 30,4 persen. Adapun wilayah kabupaten kota yang termasuk
dalam wilayah miskin yang memiliki prevalensi underweight yang rendah di
bawah prevalensi propinsi yaitu Banyumas 10,1 persen dan Bondowoso 8,7 persen. Wilayah kabupaten kota yang termasuk wilayah miskin dan memiliki
prevalensi stunting yang tinggi adalah Rembang 49,6 persen dan Pamekasan
51,8 persen. Adapun prevalensi stunting yang rendah adalah Grobogan 21,8
persen dan Tulung Agung 27,5 persen. (Depkes 2008)
Dalam RPJMN Kesehatan 2010-2014 disebutkan bahwa kebijakan dan program perbaikan gizi dan kesehatan diprioritaskan pada keluarga miskin. Pada tahun 2007 sebesar 16,5 persen atau lebih dar 37 juta penduduk Indonesia tergolong miskin (BPS, 2007). Kemiskinan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih tinggi karena Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan wilayah yang luas sehingga memiliki jumlah penduduk yang besar dan kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah sebesar 20,4 % sedangkan di Jawa Timur sebesar 19,9 % (BPS, 2007).
Permasalahan underweight dan stunting ditentukan oleh faktor yang
mempengaruhinya. Faktor tersebut pada tiap daerah bisa berbeda satu sama lain. Ada faktor yang mempengaruhi dan ada faktor yang kurang berpengaruh terhadap status gizi anak. UNICEF (1997) menyatakan faktor penyebab permasalahan gizi
pada anak terdiri dari faktor penyebab langsung (immediate cause) yaitu asupan
makanan yang tidak cukup dan penyakit yang diderita anak. Faktor penyebab
yang mendasari (underlying cause) yaitu tidak cukup akses terhadap pangan, pola
asuh anak yang tidak memadai, dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air
bersih yang tidak memadai. Faktor penyebab dasar (basic cause) adalah kuantitas
dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya : manusia, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi.
Penelitian Sandjaja (2001) yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Gunung Kidul menunjukan bahwa faktor yang berperan nyata dalam underweight anak antara lain adalah faktor ibu, pola asuh anak, keadaan kesehatan anak, dan konsumsi makanan anak. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya di
Afrika menunjukkan faktor yang mempengaruhi status underweight adalah jumlah
pendapatan. Alberto dan Francesco (2007) dalam penelitiannya mengenai underweight dan angka kematian di beberapa negara berkembang mengidentifikasi empat faktor terdekat yang mendasar yaitu kesehatan lingkungan, pendidikan perempuan, status relatif perempuan, dan produksi makanan perkapita.
Faber dan Benade (1998) melakukan penelitian di Afrika Selatan, hasilnya menunjukan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin banyak yang
mengalami stunting sejak bayi karena penyakit infeksi yang diderita dan
kurangnya asupan makanan yang bergizi. Semba et al (2008) dalam penelitiannya
di Indonesia dan Bangladesh menunjukan bahwa baik pendidikan ibu dan ayah
merupakan penentu kuat stunting. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Judith dan Stan (1996) di Metro Cebu, Filipina menunjukkan pendidikan ibu, kepemilikan televisi atau radio, status sosial ekonomi rumah
tangga mempengaruhi stunting.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisis faktor determinan status gizi anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini ditunjang dengan tersedianya data hasil Riskesdas 2007 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Tujuan Tujuan penelitian ini antara lain :
1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik keluarga, karakteristik ibu,
karakteristik anak, sanitasi lingkungan, PHBS, akses pelayanan kesehatan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, status penyakit infeksi dan asupan gizi.
2. Menganalisis underweight anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa
Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis bivariat.
3. Menganalisis stunting anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah
dan Jawa Timur berdasarkan analisis bivariat.
4. Menganalisis determinan underweight anak 0-23 bulan pada daerah miskin di
Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis multivariat.
5. Menganalisis determinan stunting anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa
Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain :
1. Diketahuinya faktor determinan underweight dan stunting anak 0-23 bulan pada
daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
2. Menjadi bahan pertimbangan bagi Kementerian Kesehatan dalam merumuskan
kebijakan dan program pencegahan underweight dan stunting.
3. Adanya publikasi hasil penelitian sehingga dapat memberikan informasi bagi
masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
Permasalahan Gizi Pada Balita
Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat karena tingginya produktifitas kerja. Sebaliknya jika masalah gizi banyak terdapat dalam suatu masyarakat hal ini dapat menghambat pembangunan dan menimbulkan kerugian yang tidak terhingga (Soekirman, 2005).
Permasalahan gizi sangat berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Peningkatan ekonomi masyarakat akan berdampak terhadap peningkatan status gizi. Peningkatan ekonomi masyarakat dapat menurunkan masalah gizi dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, mengurangi biaya kematian dan kesakitan, kedua melalui peningkatan produktifitas. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Soekirman (2005) yaitu kemiskinan memiliki hubungan timbal balik dengan permasalahan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi.
Tahun 2004 sekitar 50 persen penduduk Indonesia pada semua kelompok usia mengalami masalah kekurangan gizi baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Kejadian kekurangan gizi cenderung dikesampingkan, padahal secara perlahan dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita dan rendahnya umur harapan hidup (Atmarita, 2004). Pada tahun
2001, prevalensi underweight dan stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan
negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Tabel 1 menunjukkan pada tahun
2001 prevalensi underweight ( BB/U) <-2SD) pada balita di Indonesia sebesar
26,1 persen, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 18,3 persen dan 18,6 persen. Cina sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang
tinggi memiliki permasalahan underweight sebesar 9,6 persen. Negara-negara
miskin seperti Bangladesh dan India menghadapi permasalahan underweight yang
Tabel 1 Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di Asia, 2001
Negara Prevalensi Underweight
(%)
Prevalensi Stunting
(%)
Prevalensi BBLR
(%)
Bangladesh 47,8 44,8 30,0
India 47,0 45,6 25,5
Kamboja 45,9 46,0 8,9 Pakistan 38,2 - 21,4
Myanmar 36,0 37,2 16,0
Vietnam 33,1 36,4 18,9
Srilangka 33,0 17,0 17,0
Indonesia 26,1 42,6 7,7
Thailand 18,6 16,0 7,2
Malaysia 18,3 - -
Cina 9,6 16,7 5,9
Sumber : Atmarita (2004) Analisis Situasi Gizi dan KesehatanMasyarakat
Tabel 1 juga menunjukan prevalensi stunting pada balita di Indonesia
sebesar 42,6 persen. Ini menunjukkan Indonesia memiliki permasalahan stunting
yang cukup tinggi. Sama halnya dengan Indonesia, Bangladesh, India dan
Kamboja juga memiliki prevalensi stunting yang tinggi sebesar 44,8 persen, 45,6
persen dan 46,0 persen. Negara dengan prevalensi stunting yang rendah antara
lain Thailand sebesar 16,0 persen dan Cina sebesar 16,7 persen.
Tabel 2 Jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Susenas 1989-2003
Tahun Total Total Jumlah Prevalensi (%)
Penduduk Balita Gizi Buruk
Gizi Kurang
Total Gizi Buruk
Gizi Kurang
Total
1989 177,614,965 21,313,796 1,342,769 6,643,510 7,98,279 6.3 31.2 37.5 1992 185,323,458 22,238,815 1,607,866 6,302,480 7,910,346 7.2 28.3 35.6 1995 195,860,899 21,544,699 2,490,567 4,313,249 6,803,816 11.6 20.0 31.6 1998 206,398,340 20,639,834 2,169,247 3,921,568 6,090,815 10.5 19.0 29.5 1999 209,910,821 19,941,528 1,617,258 3,639,329 5,256,587 8.1 18.3 26.4 2000 203,456,005 17,904,128 1,348,181 3,066,977 4,415,158 7.5 17.1 24.7 2001 206,070,543 18,134,208 1,142,455 3,590,573 4,733,028 6.3 19.8 26.1 2002 208,749,460 18,369,952 1,469,596 3,545,401 5,014,997 8.0 19.3 27.3 2003 211,463,203 18,608,762 1,544,527 3,572,882 5,117,409 8.3 19.2 27.5
Sumber : Atmarita (2004) : Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat
Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula
dengan tingginya prevalensi stunting. Tabel 3 menunjukkan berdasarkan survey
gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita stunting dari tahun
1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan propinsi masih berkisar antara 30-40
persen begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh perkotaan
di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar
antara 27-40 persen.
Tabel 3 menunjukkan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan
propinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan
pada tahun 1999-2002 yaitu mencapai 48 persen. Pada tahun 2000 dan 2001
untuk wilayah perkotaan, Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting
tertinggi, masing masing mencapai 43,1 persen dan 42,6 persen.
Untuk membandingkan dengan hasil survey gizi kesehatan HKI tahun 1999-2001 di atas, maka pada tabel 3 juga ditampilkan hasil Riskesdas 2007 pada wilayah yang terdapat pada tabel 3. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi stunting di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 43,7 persen. Semarang merupakan kota dengan prevalensi tinggi yaitu 29,0 persen. Untuk lingkup
nasional, propinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi adalah Nusa
Tabel 3 Prevalensi stunting balita berdasarkan survei gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 dan Riskesdas 2007
Wilayah Tahun
1999 1) 2000 1) 2001 1) 2002 1) 2007 2)
Sumatera Barat 36,5 37,9 37,0 37,2 36,5
Lampung - 27,3 29,5 30,4 38,7
Banten 28,4 31,0 33,0 37,4 38,9
Jawa Barat 30,7 33,0 33,4 35,4 35,4
Jawa Tengah 36,0 30,8 29,5 29,0 36,4
Jawa Timur 34,5 34,9 33,5 31,2 34,8
NTB 44,0 46,9 48,2 48,8 43,7
Jakarta - 31,0 28,8 - 26,7
Semarang - 30,2 28,2 - 29,0
Surabaya - 27,7 27,9 - 24,8
Makasar - 43,1 42,6 - 26,9
Sumber : 1)Atmarita (2004)Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat
2) Riskesdas 2007
Menurut data Riskesdas 2007 prevalensi nasional underweight adalah
18,4 persen. Sedangkan prevalensi nasional stunting sebesar 36,8 persen. Bila
dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen
dan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5
persen, maka secara nasional target untuk underweight terlampaui, namun
pencapaian tersebut belum merata di 33 propinsi. Prevalensi stunting yang masih
tinggi di atas 20 persen menunjukkan adanya permasalahan di masyarakat yang harus segera ditangani.
Status Gizi Balita
Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungan. Disamping itu balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik dan proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat kekurangan gizi (Santoso dan Lies, 2004 ).
konsumsi, penyerapan (absorbs) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu.
Mengingat pentingnya status gizi pada masa bayi maka orang tua dalam hal ini ibu mempunyai peran penting untuk dapat mengendalikan agar status gizi anak dapat mencapai optimal serta mempertahankan status gizi yang sudah baik agar tetap di zona aman ( tidak kekurangan gizi atau kelebihan gizi). Oleh karena itu diperlukan penilaian status gizi anak yang dilakukan secara berkelanjutan. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara antropometri, konsumsi pangan, biokimia dan klinis. Cara mana yang akan digunakan sangat tergantung pada tahapan dan keadaan gizi seseorang yang akan dinilai status gizinya. Dari ketiga cara penilaian ini, antropometri merupakan cara yang paling sederhana dan praktis untuk penilaian status gizi (Riyadi, 1995). Hal ini disebabkan pada pengukuran dengan antropometri prosedur pemeriksaannya lebih mudah dan harga peralatannya juga relatif murah.
Menurut Riyadi (1995), pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri dapat memberikan gambaran tentang status konsumsi energi dan protein seseorang. Oleh karena itu, antropometri sering digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang energi-protein. Nyoman (2001) menyatakan indeks antropometri yang sering digunakan ada tiga yaitu :
1) Berat badan menurut umur (BB/U) untuk menilai underweight
2) Tinggi badan menurut umur (TB/U) untuk menilai stunting
Tinggi badan merupakan parameter yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu yang lama.
3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) untuk menilai wasting
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu.
Ketiga indeks ini dapat digunakan untuk melihat status gizi balita. Indeks
BB/U merupakan indeks untuk menilai status gizi anak akibat dari kekurangan asupan gizi. Oleh karena itu secara umum indeks BB/U mengindikasikan adanya gangguan gizi. Indeks TB/U merupakan indeks yang menggambarkan status gizi anak balita akibat keadaan yang berlangsung lama, misalnya kekurangan asupan gizi atau sakit dalam waktu lama. Oleh karena itu indeks TB/U mengindikasikan permasalahan gizi kronis. Indeks BB/TB merupakan indeks untuk menilai status gizi anak balita akibat kekurangan asupan gizi atau terkena penyakit infeksi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu indeks BB/TB mengindikasikan permasalahan gizi akut (Depkes, 2009).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita
Menurut UNICEF (1997) ada dua faktor yang menjadi penyebab langsung permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak di negara-negara berkembang yaitu asupan makanan yang tidak cukup dan penyakit yang diderita oleh anak. Faktor-faktor yang menjadi penyebab yang mendasari permasalahan gizi pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan, pola asuh anak yang tidak memadai dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air bersih yang
tidak memadai. Penyebab dasar permasalahan gizi di level masyarakat adalah
Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi status gizi yang akan dianalisis yaitu faktor karakteristik keluarga terdiri dari wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga dan jumlah balita dalam keluarga. Faktor karakteristik ibu meliputi usia ibu, pendidikan ibu dan status bekerja ibu. Faktor karakteristik anak yaitu umur dan jenis kelamin. Faktor lainnya yaitu faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), faktor akses pelayanan kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor penyakit infeksi anak, serta faktor asupan gizi anak.
Kaitan antara faktor yang akan dianalisis dalam penelitian ini dengan faktor penyebab permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak berdasarkan kerangka konsep Unicef (1997) adalah asupan gizi dan penyakit infeksi merupakan penyebab langsung. Sanitasi, PHBS, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan penyebab yang mendasari permasalahan gizi pada level keluarga. Faktor karakteristik keluarga, karakteristik ibu dan karakteristik anak merupakan penyebab dasar permasalahan gizi di level masyarakat yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di masyarakat.
Faktor Karakteristik Keluarga
Secara teoritis permasalahan gizi banyak terjadi pada rumah tangga miskin. Namun tidak menutup kemungkinan permasalahan gizi juga terjadi pada rumah tangga yang memiliki kemampuan ekonomi yang mapan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2005) di Indonesia menyatakan bahwa rumah tangga yang memiliki pengeluaran total lebih dari dua juta rupiah sebulan terdapat juga kasus gizi kurang pada balita, sebaliknya kasus gizi lebih juga terjadi pada rumah tangga miskin yang memiliki pengeluaran dibawah 500.000 rupiah sebulan sebesar 32 persen.
gizi. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya di Botswana menemukan sebesar 53,3 persen rumah tangga memiliki pendapatan bulanan di bawah 400 Pula (setara 87 US $) yang merupakan rentang terendah dalam penelitian. Hal ini menempatkan mereka berada pada golongan miskin dalam masyarakat. Seiring meningkatnya pendapatan pada rumah tangga ini, maka kejadian gizi buruk menurun secara signifikan sebesar 18,1 persen.
Suhardjo (2003) menyatakan bahwa hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut.
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak dari pada anak yang lebih tua. Dengan demikian
anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan. Selain anak-anak, wanita
yang sedang hamil dan menyusui juga merupakan kelompok yang rawan akan kekurangan gizi. Apabila mereka hidup dalam keluarga dengan jumlah yang besar dan kesulitan dalam persediaan pangan tentunya masalah gizi akan timbul (Suhardjo, 2003)
Penelitian yang dilakukan oleh Chaudury (1984) di Bangladesh menunjukan pertambahan jumlah keluarga akan memberikan dampak merugikan kepada status gizi anggota keluarga, termasuk anak berusia dibawah dua tahun, sebab hal tersebut akan menurunkan pendapatan perkapitanya. Dengan kata lain, alokasi makanan tiap anak akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Wray dan Aquire dalam Jus at (1991) di Guatemala menemukan bahwa status gizi anak berhubungan dengan ukuran keluarga dalam jumlah total anak-anak, tetapi hasil penelitian Megawangi (1991) di tiga propinsi di Indonesia menunjukan bahwa ukuran keluarga tidak berpengaruh pada status gizi anak balita walaupun jumlah anggota keluarga yang besar diperkirakan akan mempengaruhi status gizi.
Faktor karakteristik Ibu
Menurut Hurlock (1999) ibu yang berumur muda cenderung kurang memperhatikan kebutuhan anak. Ibu yang berusia muda masih miskin pengetahuan dan pengalaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengetahuan ibu muda umumnya diperoleh dari orang tua sehingga masih mengalami ketergantungan dalam hal perawatan dan dalam memperhatikan anak. Sebaliknya ibu yang berumur tua lebih dapat memainkan peran dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, untuk itu ibu perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ibu di samping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah (Moehji, 1995).
yang dilakukan Chaudury (1984) di Bangladesh yang menunjukan bahwa pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap asupan protein dan rasio kecukupan protein pada anak pra sekolah, terutama anak yang berusia muda (tahun pertama kehidupannya).
Wanita sebagai pekerja mempunyai potensi dan sudah dibuktikan dalam dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai pekerja, masalah yang dihadapi wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena dalam diri wanita lebih dahulu harus mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal lain yang menyangkut urusan rumah tangganya (Anoraga, 2005 ). Pada kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mengatasi masalah itu, sekalipun mempunyai kemampuan teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai menyeimbangkan peran ganda tersebut akhirnya balita akan terlantar (Anoraga, 2005).
Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan perhatian penuh terhadap anak balita, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun tidak semua ibu bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban kerja yang ditanggung ibu dapat menyebabkan berkurangnya perhatian ibu dalam menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara konsumsi zat gizi terutama energi dan protein dengan kebutuhan tubuh pada kelompok anak yang berusia diatas satu tahun (Moehji,1995)
Penelitian di wilayah kumuh Bostwana yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) menunjukkan bahwa anak yang tinggal bersama orang tua tunggal
(bersama ibunya saja) signifikan terkena wasting, stunting, dan underweight. Hal
ini dikarenakan ibu berperan ganda sebagai pencari nafkah juga sebagai ibu rumah tangga. Karena peran ganda ini ibu tidak dapat secara penuh dan fokus untuk mengurus anak sehingga anak lebih rentan terkena permasalahan gizi.
Faktor Karakteristik Anak
semua zat gizi pada anak rendah. Riwayat kelahiran juga berperan dalam risiko kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong persalinan (Sandjaja, 2001).
Penelitian pada keluarga-keluarga petani di pedesaan Bangladesh oleh Chen, Hug dan D’Souza (dalam Ai Nurhayati, 2000) menyimpulkan bahwa terdapat disparitas dalam konsumsi pangan diantara perempuan dan laki-laki pada setiap kelompok umur termasuk umur balita, dimana konsumsi pangan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan yang kemudian akibat dari dispritas pangan ini menyebabkan permasalahan gizi lebih besar terjadi pada anak perempuan. Berbeda dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) di Botswana, Afrika menunjukan tingkat permasalahan gizi di kalangan anak-anak
usia di bawah tiga tahun yaitu wasting, stunting dan underweight, semuanya
secara signifikan umum terjadi diantara anak laki-laki dibandingkan perempuan.
Faktor Sanitasi Lingkungan dan Akses Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit yang terjadi antara lain adalah diare dan infeksi saluran pernafasan. Apabila anak menderita penyakit tersebut, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan akhirnya mengakibatkan penurunan berat badan. Bila terjadi dalam waktu lama maka anak akan menderita kurang gizi (Supriasa, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Triska (2005) yang menyatakan bahwa akibat sanitasi yang tidak memadai menyebabkan semakin tingginya penyakit infeksi yang akan berpengaruh terhadap kesehatan.
Andersen (2005) melaporkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan di negara-negara berkembang berada pada kategori buruk. Kondisi sanitasi yang buruk mempertinggi kejadian penyakit infeksi. Keadaan ini menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang. Perilaku hidup yang tidak sehat memicu terjadinya sanitasi lingkungan yang buruk dan memudahkan anak mengalami penyakit infeksi.
memanfaatkan secara langsung pelayanan kesehatan yang tersedia adalah jarak pelayanan kesehata jauh, tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan. Hal ini berdampak terhadap status gizi anak (Sunarya, 2005)
Menurut Arimond dan Ruel (2004), keluarga dengan pendapatan yang memadai dapat memenuhi kebutuhan asupan makannya juga mempunyai akses yang baik terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki lingkungan yang sehat dapat terhindar dari gizi kurang.
Faktor Penyakit Infeksi Anak
Anak-anak di negara berkembang terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupan mereka sering menderita penyakit infeksi. Penyakit infeksi memiliki pengaruh yang besar terhadap pertambahan berat badan anak balita. Penelitian di Guatemala Amerika Tengah yang dilakukan oleh Rodhe (1979) menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara infeksi dan kegagalan untuk menambah berat badan. Infeksi yang sering terjadi pada anak balita adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan infeksi saluran pencernaan yaitu diare.
Berdasarkan data yang diambil dari berbagai kota dan kabupaten yang mewakili daerah ekonomi rendah, sedang dan tinggi ditemukan bahwa pola penyakit utama masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi. ISPA menempati urutan pertama di semua daerah baik kabupaten atau kota disusul oleh penyakit lain seperti malaria dan penyakit kulit. Data WHO menunjukan bahwa setiap tahun kurang lebih 11 juta balita di seluruh dunia meninggal karena penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, dan campak. Ironisnya, 54 persen dari kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang gizi (BAPPENAS, 2004).
Faktor Asupan Gizi
Gizi merupakan kebutuhan setiap mahluk hidup agar mampu melakukan proses tumbuh kembang. Kecukupan asupan gizi ditentukan dengan kecukupan energi dan protein yang dikonsumsi setiap orang per hari. Energi dan protein yang dibutuhkan tubuh setiap hari bergantung pada kualitas, kuantitas dan jenis makanan yang dikonsumsi. Sayogya (2006) menyatakan kuantitas menunjukan kuantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Apabila kekurangan akan menimbulkan kondisi gizi kurang dan sebaliknya apabila berlebihan akan menimbulkan gizi lebih. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004 menganjurkan kecukupan gizi rata-rata anak 0-3 tahun sebagai berikut : Tabel 4 Angka kecukupan gizi anak usia 0-3 tahun
No Kelompok Umur
Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan (cm)
Energi (Kkal)
Protein (g)
1 0-6 bulan 6 60 550 10
2 7-12 bulan 8,5 71 650 16
3 1-3 tahun 12 90 1000 25
Sumber : WNPG 2004
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Konsep
UNICEF (1997) telah mengembangkan kerangka konsep sebagai salah satu strategi dalam menanggulangi permasalahan gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan bahwa permasalahan gizi, ketidakmampuan, dan kematian anak
disebabkan oleh penyebab langsung (immediate cause), penyebab yang mendasari
(underlying cause) dan penyebab dasar (basic cause). Untuk lebih jelasnya dapat dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini :
Dampak
Penyebab langsung
Penyebab yang mendasari di level keluarga
Penyebab dasar di level
[image:41.595.105.547.165.737.2]masyarakat
Gambar 1 Kerangka konsep UNICEF dalam menanggulangi masalah gizi. Asupan
makanan Penyakit tidak cukup
Sumberdaya potensial : lingkungan, teknologi, manusia
Kuantitas dan kualitas sumberdaya masyarakat : manusia, ekonomi, organisasi
Permasalahan Gizi, Ketidakmampuan dan Kematian
Sanitasi dan pelayanan kesehatan dasar tidak memadai Pola asuh
anak tidak memadai Tidak cukup
Menurut UNICEF (1997) ada dua faktor yang menjadi penyebab langsung (immediate cause) permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak di negara-negara berkembang, yaitu asupan makanan yang tidak cukup dan penyakit
yang diderita anak. Faktor yang menjadi penyebab yang mendasari (underlying
cause) masalah kekurangan gizi pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan, pola asuh anak yang tidak memadai dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air bersih yang tidak memadai. Sedangkan penyebab dasar (basic cause) adalah kuantitas dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya manusia, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi.
Status gizi anak dipengaruhi oleh beberapa faktor determinan. Pada penelitian dengan menggunakan data Riskesdas 2007 ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita pada daerah dengan karakteristik kemiskinan tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adapun alurnya sebagai berikut :
Karakteristik keluarga pertama akan mempegaruhi asupan gizi dan penyakit infeksi kemudian faktor-faktor ini secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Kedua, karakteristik keluarga akan mempengaruhi sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta akses pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kemudian keempat faktor ini akan mempengaruhi penyakit infeksi anak secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Sama halnya dengan faktor karakteristik keluarga di atas, faktor ibu pertama akan mempegaruhi asupan gizi kemudian faktor ini secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Kedua, faktor ibu akan mempengaruhi sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta akses pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kemudian keempat faktor ini akan mempengaruhi penyakit infeksi anak secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Faktor anak akan mempengaruhi asupan gizi dan penyakit infeksi kemudian kedua faktor ini secara langsung akan mempengaruhi status gizi.
Kedua faktor ini bisa juga saling mempengaruhi misalnya asupan gizi mempengaruhi faktor penyakit infeksi kemudian faktor ini akan mempengaruhi status gizi dan sebaliknya faktor penyakit infeksi mempengaruhi asupan gizi kemudian faktor ini akan mempengaruhi status gizi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini :
[image:43.595.83.544.182.731.2]
Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional. STATUS
GIZI BALITA Karakteristik Keluarga: Wilayah tempat tinggal Jumlah anggota keluarga Jumlah balita
Sanitasi Lingkungan
Akses dan Pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan Perilaku
PHBS Ibu
Penyakit Infeksi
Karakteristik Anak : Usia
Jenis kelamin
Karakteristik Ibu: Usia ibu
Pendidikan ibu Pekerjaan ibu
METODE
Sumber Data, Waktu dan Tempat
[image:44.595.113.513.494.685.2]Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007. Data yang digunakan untuk dianalisis antara lain : faktor karakteristik keluarga (wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga), karakteristik ibu (usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu), faktor karakteristik anak (umur anak, jenis kelamin), faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), faktor akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor penyakit infeksi anak, faktor asupan gizi dengan status gizi balita pada daerah dengan karakteristik kemiskinan tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Februari - Mei 2010. Lokasi meliputi Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana akan diambil kabupaten kota yang memiliki karakteristik wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi yaitu persen kemiskinan kabupaten kota diatas persen kemiskinan nasional (> 16,5 %). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5 Daftar kabupaten kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dijadikan wilayah penelitian
No Kabupaten Kota
% Penduduk
Miskin
Prevalensi Underweight
Prevalensi Stunting
1 Temanggung 16.55 13.25 32,3
2 Magelang 17.37 13.35 35,4
3 Boyolali 18.06 16.59 25,8
4 Kab. Tegal 18.50 17.68 38,7
5 Pati 19.79 15.21 42,2
6 Pekalongan 20.31 21.07 42,2
7 Purworejo 20.49 11.60 40,8
8 Kendal 20.70 14.12 42,0
9 Batang 20.79 16.98 40,1
Lanjutan tabel 5
No Kabupaten Kota
% Penduduk
Miskin
Prevalensi Underweight
Prevalensi Stunting
10 Sragen 21.24 17.17 39,4
11 Klaten 22.27 21.22 41,1
12 Banyumas 22.46 10,03 26,8
13 Cilacap 22.59 12.64 26,2
14 Pemalang 22.79 21.49 40,3
15 Demak 23.50 21.49 42,9
16 Wonogiri 24.44 11.74 29,6
17 Grobogan 25.14 10.27 21,8
18 Brebes 27.93 21.04 48,7
19 Purbalingga 30.24 12.87 36,1
20 Kebumen 30.25 14.10 34,6
21 Rembang 30.71 18.47 49,6
22 Wonosobo 32.29 15.04 39,6
23 Magetan 16.87 9.65 45,0
24 Kediri 18.98 12.29 28,7
25 Pasuruan 19.88 19.34 28,9
26 Madiun 20.98 15.65 31,8
27 Jombang 21.21 19,42 39,6
28 Trenggalek 22.79 13.45 33,0
29 Ngawi 23.33 12.90 38,8
30 Nganjuk 23.79 20.99 34,5
31 Gresik 23.98 15.99 28,4
32 Bondowoso 24.23 8.70 33,2
33 Lamongan 25.79 16.01 39,7
34 Bojonegoro 26.37 13.23 33,5
35 Probolinggo 27.42 24.61 32,3
36 Tuban 28.51 18.69 37,7
37 Bangkalan 31.56 24.42 41,9
38 Pamekasan 32.43 27.06 51,8
39 Sumenep 32.98 29.38 47,9
40 Sampang 39,42 31,16 48,0
Cara Pengambilan Sampel
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara purposive sampling.
Kriteria inklusi penetapan sampel meliputi anak usia 0-23 bulan, wilayah kabupaten kota dengan karakteristik wilayah kemiskinan tinggi (> 16,5 %) dan memiliki kelengkapan data seperti : data konsumsi, data berat badan dan tinggi badan anak, serta data lain yang menjadi varibel penelitian ini. Berikut disajikan alur pengambilan sampel :
kriteria inklusi :
memiliki anak 0-23 bulan
kriteria inklusi :
tinggal di wilayah
kabupaten/kota miskin (>16,5%)
kriteria inklusi :
[image:46.595.102.536.176.771.2]kelengkapan data konsumsi, BB, TB dan data lain yang dijadikan variabel
Gambar 3 Alur pengambilan sampel. Anak Usia 0-23 bulan
di Jateng-Jatim = 4.737 anak (73 kabupaten/kota)
Æ populasi
Wilayah Jawa Tengah Wilayah Jawa Timur
Anak Usia 0-23 bulan di Jateng-Jatim = 2.702 anak (40 kabupaten/kota)
Æ populasi
Pada proses pengambilan sampel dalam penelitian ini terdapat anak usia 0-23 bulan yang akan dijadikan sampel tereliminasi karena tidak memenuhi kriteria inklusi yang disyaratkan dalam proses pengambilan sampel. Adapun kriteria inklusi dalam proses pengambilan sampel antara lain : keluarga yang memiliki anak usia 0-23 bulan, tinggal di wilayah kabupaten kota miskin (>16,5%) dan memiliki kelengkapan data seperti data berat badan, tinggi badan, data konsumsi, dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Tabel 6 menyajikan daftar data yang tidak lengkap besarta jumlahnya, sebagai berikut :
Tabel 6. Daftar data yang tidak lengkap
No. Data Tidak Lengkap Jumlah Keterangan
1 Berat badan 41 berat badan tidak ditimbang
2 Tinggi badan 72 tinggi badan anak tidak diukur
3 jumlah anggota keluarga 4 jumlah anggota tidak terdata
4 Umur ibu 199 umur ibu tidak terdata
5 Pendidikan ibu 199 pendidikan ibu tidak terdata
6 Pekerjaan ibu 199 pekerjaan ibu tidak terdata
7 Sanitasi lingkungan 3 *kualitas fisik air : keruh,
berwarna, berasa, berbau, berbusa tidak terdata =3
8 PHBS 190 *cuci tangan sebelum makan,
cuci tangan sebelum menyiapkan makanan, cuci tangan setelah menceboki bayi, cuci tangan setelah BAB yang tidak terdata = 190
9 Asupan gizi 1705 *usia 0-6 bulan yang tidak
memiliki data konsumsi sebesar 249 anak
*usia 7-23 bulan yang tidak memiliki data konsumsi sebesar 1456 anak
Setelah melewati beberapa tahap pengambilan sampel dengan memenuhi kriteria inklusi dari 2.702 populasi anak usia 0-23 bulan yang tinggal di 40 kabupaten kota yang tergolong miskin (>16,5%) di Jawa Tengah dan Jawa Timur didapatkan 932 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk lebih jelasnya
[image:48.595.104.511.212.772.2]dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini :
Tabel 7 Daftar kabupaten/kota dan jumlah sampel di Jawa Tengah dan Jawa Timur
No Kabupaten Kota
Jumlah Populasi
Jumlah Sampel
% Sampel
1 Temanggung 63 13 1,4
2 Magelang 58 24 2,6
3 Boyolali 69 14 1,5
4 Kab. Tegal 83 44 4,7
5 Pati 69 34 3,6
6 Pekalongan 110 34 3,6
7 Purworejo 53 17 1,8
8 Kendal 63 27 2,9
9 Batang 89 21 2,3
10 Sragen 63 20 2,1
11 Klaten 64 24 2,6
12 Banyumas 87 50 5,4
13 Cilacap 80 35 3,8
14 Pemalang 85 44 4,7
15 Demak 58 25 2,7
16 Wonogiri 55 16 1,7
17 Grobogan 72 10 1,1
18 Brebes 97 30 3,2
19 Purbalingga 86 30 3,2
20 Kebumen 73 47 5,0
21 Rembang 34 9 1,0
22 Wonosobo 66 29 3,1
23 Magetan 52 11 1,2
24 Kediri 86 11 1,2
25 Pasuruan 55 10 1,1
26 Madiun 45 13 1,4
27 Jombang 77 38 4,1
28 Trenggalek 59 4 0,4
29 Ngawi 19 11 1,2
30 Nganjuk 66 21 2,3
31 Gresik 95 59 6,3
Lanjutan tabel 7 No Kabupaten Kota Jumlah Populasi Jumlah Sampel % Sampel
33 Lamongan 67 13 1,4
34 Bojonegoro 71 25 2,7
35 Probolinggo 68 14 1,5
36 Tuban 47 11 1,2
37 Bangkalan 77 24 2,6
38 Pamekasan 80 24 2,6
39 Sumenep 40 7 0,8
40 Sampang 75 6 0,6
Jumlah 2702 932 100
Sumber : data Riskesdas 2007 diolah
Pengolahan Data
Status Gizi diukur dengan menggunakan indeks BB/U dan TB/U yang diinterpretasikan berdasarkan tabel baku WHO 2005. Sedangkan variabel wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, jumlah balita, usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, umur anak, jenis kelamin anak, faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih (PHBS), faktor akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, penyakit infeksi anak serta asupan gizi anak akan dianalisis sesuai jenis data yang digolongkan ke dalam variabel katagorik dengan skala pengukuran nominal dan ordinal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 8 Pengolahan data
NO Variabel Kode Kuesioner Kategori
1. Status Gizi
Anak
RKD07.IND Blok XI No. 1 dan 2a
(lampiran 1)
Underweight
0= gizi baik(≥-2SD)
1= gizi kurang (< -2SD)
Stunting
0 = normal (≥-2SD)
1 = stunting (< -2SD) Faktor Karakteristik Keluarga
2 Wilayah Tinggal
RKD07.RT Blok I No.5 (lampiran 1) 0 =desa 1= kota 3 Jumlah Anggota Keluarga
RKD07.RT Blok II No. 2 (lampiran 1)
0 = ≤ 4 orang
1 = >4 orang
4 Jumlah Balita
RKD07.RT Blok II No. 4 (lampiran 1)
Lanjutan tabel 8
Faktor Karakteristik Ibu
5 Usia RKD07.RT Blok IV
No. 5 (lampiran 1)
0 = 31-50 tahun 1 = 13-19 tahun 2 = 20-30 tahun
6 Pendidikan RKD07.RT Blok IV
No. 7 (lampiran 1)
0 = tinggi (jika ibu tamat SMA dan Perguruan Tinggi)
1 = rendah (jika ibu tidak pernah sekolah da tidak tamat SD, tamat SD dan tamat SMP) 7 Status
Bekerja Ibu
RKD07.RT Blok IV No. 8 (lampiran 1)
0 = tidak bekerja 1 = bekerja Faktor Karakteristik Anak
8 Usia anak RKD07.RT Blok IV
No. 5 (lampiran 1)
0 = 0-6 bulan 1 = 7-12 bulan 2 = 13- 18 bulan 4 = 19-23 bulan 9 Jenis
Kelamin
RKD07.RT Blok IV No. 4 (lampiran 1)
0 = laki-laki 1 = perempuan
10 Faktor Sanitasi
RKD07.RT Blok VII No.1-14 (lampiran 1)
0= baik (≥41)
1= kurang (<41) 11 Faktor
PHBS
RKD07.IND Blok X D08-D09 (lampiran 1)
0= baik (≥13)
1= kurang (<13) 12 Faktor
Akses Pelayanan Kesehatan
RKD07.RT Blok VI No. 1a-3 (lampiran 1)
0= mudah (≥13)
1= sulit (<13)
13 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
RKD07.RT Blok VI No. 4-11 (lampiran 1)
0= baik (≥24)
1= kurang (<24)
14 Faktor Penyakit Infeksi
RKD07.IND Blok X B03-B18 (lampiran 1)
0 = tidak infeksi (=18) 1 = infeksi (<18)
15 Faktor Asupan Gizi
RKD07.GIZI Blok VIII No. 3 (lampiran 1)
0 = baik (MAR 80%-100%) 1= kurang (MAR < 80%)
Analisis Data Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi data yaitu
frekuensi masing-masing variabel baik variabel dependent (status gizi balita)
maupun variabel independent yang meliputi wilayah tempat tinggal, jumlah
anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga, usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, umur anak, jenis kelamin anak, sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, penyakit infeksi serta asupan gizi anak.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang 2x2 antara masing-masing variabel bebas dan variabel terikat dengan tujuan untuk
menghitung nilai odd ratio (OR), yaitu resiko relatif antara kelompok
underweight dan stunting dengan kelompok gizi baik atau normal. Contoh tabel 2x2 seperti di bawah ini :
Tabel 9 Contoh tabel 2x2
Faktor Resiko Stunting Normal Jumlah
Kategori 1 a c a+b=n1
Kategori 2 b d c+d=n2
Jumlah a+c=m1 b+d=m2
Odds a/c b/d
Keterangan :
OR=1 Tidak ada hubungan antara faktor resiko dengan stunting
OR <1 Faktor resiko dapat menurunkan kejadian stunting
OR >1 Faktor resiko dapat menaikan stunting
Uji kemaknaan digunakan metode chi square. Dalam menentukan variabel yang dapat masuk ke dalam analisis logistik, maka kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan adalah p < 0,05. (Selvin, 1996)
Analisis Multivariat
Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian, akan dilakukan perhitungan
analisis multivariat. Pada studi ini dipergunakan analisis logistic regression
(regresi logistik) karena keluaran variabel data bersifat dikotomi. Adapun persamaan regresi logistiknya :
Y = Log
F = β0 + βFK+ βFI+ βFA+ βFPI+ βFAG+ βFAPK+ βFPPK+ βFS+ βFPHBS+€ 1-F
Keterangan :
F = Fungsi kumulatif β0 = Intercept
βFK = Faktor Keluarga
βFI = Faktor Ibu
βFA = Faktor Anak
βFPI = Faktor Penyakit Infeksi
βFAG = Faktor Asupan Gizi
βFAPK = Faktor Akses Pelayanan Kesehatan
βFPPK = Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
βFS = Faktor Sanitasi
βFPHBS = Faktor PHBS
Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : Daerah miskin adalah wilayah kabupaten/kota dengan karakteristik kemiskinan tinggi diatas persen kemiskinan nasional (>16,5%) menurut BPS, 2007.
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Indeks status gizi yang digunakan adalah BB/U dan TB/U
dengan kategori : BB/U yaitu gizi baik (≥-2SD) dan underweight (< -2SD)
sedangkan TB/U yaitu normal (≥-2SD)dan stunting (< -2SD).
Faktor karakteristik keluarga adalah karakteristik yang melekat pada keluarga yang dapat menggambarkan kondisi keluarga tersebut yang meliputi wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga dan jumlah anak balita dalam keluarga. Wilayah tempat tinggal adalah wilayah dimana keluarga menetap atau tinggal yang kemudian dikategorikan menjadi desa dan kota. Penetapan wilayah tinggal sampel ini didasarkan data BPS 2007.
Jumlah anggota keluarga adalah jumlah orang yang menjadi tanggungan dalam suatu keluarga. Pengkategorian jumlah anggota keluarga menjadi keluarga
dengan < 4 orang dan keluarga dengn ≥ 4 orang.
Jumlah balita dalam keluarga adalah jumlah balita yang menjadi tanggungan dalam suatu keluarga. Pengkategorian jumlah balita dalam keluarga menjadi keluarga dengan 1 balita dan keluarga dengan 2-3 balita.
Faktor karakteristik ibu adalah karakteristik yang melekat pada ibu yang meliputi usia ibu, pendidikan ibu dan status bekerja ibu.
Usia ibu adalah lama hidup ibu dalam tahun. Pengkategorian usia menjadi ibu usia 13-19 tahun, ibu usia 20-30 tahun, ibu usia 31-50 tahun.
Pendidikan ibu adalah tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh ibu. Pengkategorian pendidikan ibu menjadi pendidikan tinggi (jika ibu tamat SLTA dan Perguruan Tinggi) dan pendidikan rendah (jika ibu tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SLTP dan tamat SLTP)
Faktor karakteristik anak adalah karakteristik yang melekat pada anak yang meliputi usia dan jenis kelamin anak.
Usia anak adalah lama hidup anak dalam bulan. Pengkategorian usia anak menjadi anak usia 0-6 bulan, anak usia 7-12 bulan, anak usia 13-18 bulan dan anak usia 19-23 bulan.
Jenis kelamin anak adalah perbedaan organ seks anak. Jenis kelamin dikelompokan menjadi laki-laki dan perempuan.
Sanitasi lingkungan adalah keadaan yang berhubungan dengan kebersihan lingkungan misalnya akses air bersih, tempat pembuangan limbah, sumber pencemaran, ketersediaan sarana kebersihan, dan lain-lain yang kemudian
diskoring dan dikategorikan menjadi sanitasi lingkungan baik (≥ 41) dan sanitasi
lingkungan kurang (jika nilai < 41). (skoring dapat dilihat pada lampiran 2)
Perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) adalah perilaku yang dicerminkan dengan mencuci tangan : sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah BAB atau menceboki bayi dan setelah memegang binatang yang kemudian
diskoring dan dikategorikan menjadi PHBS baik (≥ 13) dan PHBS kurang (jika
nilai < 13). (skoring dapat dilihat pada lampiran 3)
Akses pelayanan kesehatan adalah akses yang dapat dijangkau dalam pelayanan kesehatan seperti jarak tempuh dan waktu tempuh sampel ke tempat pelayanan kesehatan serta ketersediaan angkutan umum menuju tempat pelayanan kesehatan
yang kemudian diskoring dan dikategorikan menjadi akses mudah (≥ 13) dan
akses sulit (jika nilai < 13). (skoring dapat dilihat pada lampiran 4)
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah perilaku memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti mengunjungi posyandu, memantau pertumbuhan anak, imunisasi, periksa kesehatan dan lain-lain kemudian diskoring dan dikategorikan
menjadi pemanfaatan pelayanan kesehatan baik (≥24) danpemanfaatan pelayanan
kesehatan kurang (jika nilai <24). (skoring dapat dilihat pada lampiran 5)
dan tidak infeksi (jika sampel didiagnosis tidak menderita penyakit infeksi apapun dengan nilai =18). (skoring dapat dilihat pada lampiran 6)
Asupan gizi adalah jumlah konsumsi makanan anak dalam 1 hari (24 jam) yang
kemudian dihitung Mean Adequacy Ratio (MAR). Hasil recall 1x24 jam anak
0-23 bulan menunjukkan kurang lebih terdapat 18 zat gizi yang terdiri dari energi, protein,Vit A, D, E, C, thiamin, riboflavin, niacin, folat, firidoksin, B12, kalsium, fosfor, magnesium, besi, seng dan mangan. Hasil MAR dikategorikan menjadi asupan baik (80%-100%) dan asupan kurang (<80%). Adapun tahapan penghitungannya sebagai berikut :
1. Menentukan AKG zat gizi sesuai usia
Stándar BB menurut AKG x AKG zat gizi BB anak
2. Menentukan NAR (Nutrient Adequacy Ratio)
Nilai zat gizi yang dikonsumsi Nilai AKG zat gizi
3. Setelah NAR setiap zat gizi diketahui, berlaku syarat truncated 1
Jika nilai NAR > 1 maka dianggap 1, misal : NAR Energi = 0,04 Æ 0,04
Jika nilai NAR = 1 maka tetap bernilai 1, misal: NAR Protein = 1,5Æ 1
Jika nilai NAR < 1 maka digunakan nilai NAR asli, misal: NAR Fe = 1Æ1
4. Kemudian menentukan MAR
NAR zat gizi yang sudah di turncated Jumlah zat gizi
Setelah ditemukan nilai MAR berlaku cut of point untuk MAR yaitu :
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah provinsi yang terletak di Pulau Jawa. Jawa Tengah terletak di bagian tengah Pulau Jawa dengan ibukotanya adalah
Semarang. Jawa Tengah berada pada 8º 30' - 5º 40' Lintang Selatan dan 108º 30' -
111º 30' Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah berjumlah 31.820.000 (2005) dengan kepadatan
977 jiwa/km². Masyarakat Jawa Tengah terdiri dari Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Tionghoa. Agama yang dianut masyarakatnya adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kejawen (sumber : www.jawatengah.go.id).
Karakteristik Keluarga Wilayah Tempat Tinggal
Wilayah tempat tinggal meliputi wilayah kota dan desa. Tabel 10 menunjukkan dari 932 sampel sebesar 63,7 persen tinggal di wilayah pedesaan sedangkan 36,3 persen tinggal di wilayah perkotaan.
Tabel 10 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik keluarga
No Peubah n %
1 Wilayah Tempat Tinggal
Desa Kota
594 338
63,7 36,3
Total 932 100
2 Jumlah anggota keluarga 4,95±1,56* 2-15**
<= 4 orang >4 orang
427 505
45,8 54,2
Total 932 100
3 Jumlah balita dalam keluarga 1,16±0,38* 1-3**
1 balita
2-3 anak balita
792 140
85,0 15,0
Total 932 100
*mean±std ** min-max
Jumlah Anggota Keluarga
Rata-rata jumlah anggota rumah tangga adalah 4,95±1,56 dengan kisaran antara 2–15 orang. Apabila jumlah anggota rumah tangga dikelompokan menjadi
keluarga dengan jumlah anggota ≤ 4 orang dan keluarga dengan jumlah anggota >
4 orang, maka lebih dari setengah jumlah sampel yaitu 54,2 persen berasal dari keluarga dengan jumlah anggota > 4 sedangkan 45,8 persen termasuk keluarga
dengan jumlah anggota ≤ 4 orang (Tabel 10). Masih adanya jumlah anggota
keluarga yang leb