PERBANDINGAN POLA MAKAN DAN TINGGI BADAN IBU PADA ANAK STUNTING DAN TIDAK STUNTING
USIA 2-5 TAHUN DI KABUPATEN LANGKAT
TESIS
Oleh
DINDA DWI KHAIRANI JAYUSMAN NIM. 177032105
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
COMPARISON OF FOOD PATTERNS AND MOTHERS HEIGHT BETWEEN STUNTING AND NON
STUNTING CHILDREN AGED 2-5 YEARS IN LANGKAT REGENCY
THESIS
By
DINDA DWI KHAIRANI JAYUSMAN ID Number. 177032105
MASTER IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDI PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
2021
PERBANDINGAN POLA MAKAN DAN TINGGI BADAN IBU PADA ANAK STUNTING DAN TIDAK STUNTING
USIA 2-5 TAHUN DI KABUPATEN LANGKAT
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
DINDA DWI KHAIRANI JAYUSMAN NIM. 177032105
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
Telah diuji dan dipertahankan Pada tanggal : 30 April 2020
TIM PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si.
Anggota : 1. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes.
2. Dr. Dra. Jumirah, Apt., M.Kes.
3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D.
Pernyataan Keaslian Tesis
Saya menyatakan dengan ini bahwa tesis saya yang berjudul
“Perbandingan Pola Makan dan Tinggi Badan Ibu pada Anak Stunting dan Tidak Stunting Usia 2-5 Tahun di Kabupaten Langkat” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, April 2020
Dinda Dwi Khairani Jayusman
Abstrak
Stunting pada anak usia dibawah lima tahun masih kurang disadari karena perbedaan anak yang stunting dengan anak yang normal pada usia tersebut tidak terlalu dilihat. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stunting pada anak balita salah satunya pola makan dan tinggi badan ibu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pola makan dan tinggi badan ibu pada anak stunting dan tidak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Langkat. Penelitian ini merupakan penelitian survei menggunakan desain cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 60 anak, yang terdiri dari 30 anak stunting dan 30 anak tidak stunting. Data pola makan yang terdiri dari asupan, jenis, dan frekuensi makanan diperoleh menggunakan Formulir Food Recall 24 jam dan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pola makan pada anak stunting dan tidak stunting berdasarkan jumlah asupan zat gizi energi (p = 0,000), karbohidrat (p = 0,000), protein (p = 0,000), vitamin A (p = 0,014), besi (p = 0,001), seng (p = 0,000), magnesium (p = 0,000) dan kalsium (p = 0,000), kecuali vitamin C (p = 0,092). Menurut jenis makanan rata-rata yang dikonsumsi anak kurang dari 4 jenis per hari dan frekuensi makan cenderung sering mengonsumsi makanan pokok, lauk- pauk, dan makanan jajanan. Ada perbedaan tinggi badan ibu pada anak stunting dan tidak stunting yang memiliki nilai (p = 0,022). Petugas diharapkan untuk lebih meningkatkan pengetahuan ibu melalui penyebaran informasi tentang pentingnya gizi seimbang bagi balita agar pemberian makan anak bervariasi, dan sosialisasi ASI eksklusif serta upaya menurunkan stunting melalui dana desa.
Kata kunci: Stunting, pola makan, tinggi ibu
Abstract
Stunting in balita (under five years-old children) is often neglected since it is difficult to distinguish stunting from non-stunting in the age. One of the factors which influences the incidence of stunting in children is food pattern and mother's height. The objective of the research was to analyze the difference between food pattern and mother height concerning 2-5 year-old stunting and non stunting children in Langkat Regency. The research use a survey with cross sectional design. The sample were 60 children, 30 of them were stunting and the other 30 of them were non-stunting. Data of food pattern were obtained from intake, food type, and eating frequency getting from the form of Food Recall 24 hours and Food Frequency Questionnaire (FFQ) and analyzed by using Mann Whitney statistical test. The results of the research showed that there was the difference in food pattern between stunting children and non stunting children based on the amount of energy intake (p= 0,000), carbohydrate (p = 0,000), protein (p = 0,000), vitamin A (p = 0,014), iron (p = 0,001 ), zinc (p = 0,000), magnesium (p = 0,000) and calcium (p = 0,000), except vitamin C (p = 0,092). Based on the type of food, it was found that children consumed fewer than 4 of food a day; they often consumed staple food, side dishes, and snacks. There was the differences in mother’s height between stunting and non-stunting children (p = 0,022). It is recommended that health care providers increase mother’s knowledge by giving information about the importance of balanced nutrition for under 5 year-old children and so that the feeding of children varies, and then to socialize exclusive breastfeeding and efforts to reduce stunting through village funds.
Keywords: Stunting, food pattern, mother’s height
Kata Pengantar
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Perbandingan Pola Makan dan Tinggi Badan Ibu pada Anak Stunting dan Tidak Stunting Usia 2-5 Tahun di Kabupaten Langkat”.
Tesis ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D. selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dosen Penguji II yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna menyempurnakan tesis ini.
4. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si. dan Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes.
selaku Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang selama ini dengan
penuh perhatian, kesabaran, dan ketelitian memberikan bimbingan, arahan, dan petunjuk sehingga tesis ini selesai.
5. Dr. Dra. Jumirah, Apt., M.Kes. selaku Dosen Penguji I yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini.
6. Para dosen, staf, dan semua pihak yang terkait di Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan menyediakan fasilitas selama penulis mengikuti pendidikan.
7. Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, Kepala Puskesmas Tanjung Langkat, Kepala Puskesmas Besitang, Kepala Puskesmas Stabat, Kepala Puskesmas Karang Rejo serta petugas gizi dan bidan desa yang telah berkenan memberikan izin, bersedia membantu dan memberikan data-data yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat selesai.
8. Teristimewa untuk ayahanda Drs. Tukiman M.K.M. dan ibunda Dra. Yuspa Hanum, M.S. yang telah memberikan kasih sayang yang begitu besar dan kesabaran dalam mendidik dan memberi dukungan kepada penulis.
9. Seluruh teman-teman satu angkatan serta sahabat terbaik kakanda sri henny siregar, eka, adellina, desty, sarah, mayang, novita dan adit beserta teman- teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah menyumbangkan masukan, saran, serta kritikan untuk kesempurnaan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis
berharap tesis ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi pembaca.
Medan, April 2020
Dinda Dwi Khairani Jayusman
Daftar Isi
Halaman
Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Tesis iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xiii
Daftar Lampiran xiv
Daftar Istilah xv
Riwayat Hidup xvi
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 8
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
Tinjauan Pustaka 9
Stunting 9
Klasifikasi stunting pada anak 2-5 tahun 9
Dampak stunting 10
Faktor yang memengaruhi stunting 10
Pola Makan 12
Kebutuhan zat gizi pada anak 12
Riwayat ASI eksklusif 13
Jumlah makanan 14
Jenis makanan 16
Frekuensi makan 16
Kebutuhan zat gizi pada anak 17
Karbohidrat 17
Protein 17
Mineral 18
Vitamin 18
Faktor-faktor yang memengaruhi pola makan 19
Tinggi Badan Ibu 20
Landasan Teori 21
Kerangka Konsep 22
Hipotesis Penelitian 23
Metode Penelitian 24
Jenis Penelitian 24
Lokasi dan Waktu Penelitian 24
Populasi dan Sampel 25
Variabel dan Definisi Operasional 27
Metode Pengumpulan Data 28
Metode Pengukuran 29
Metode Analisis Data 31
Hasil Penelitian 32
Deskripsi Lokasi Penelitian 32
Analisis Univariat 34
Karakteristik responden 34
Tinggi badan ibu 36
Karakteristik anak 36
Tinggi badan anak 37
Pola makan 38
Analisis Bivariat 48
Tinggi badan ibu pada anak stunting dan tidak stunting 49 Asupan gizi anak stunting dan tidak stunting 49
Pembahasan 51
Perbandingan Pola Makan pada Anak Stunting dan Tidak Stunting 51 Asupan energi pada anak stunting dan tidak stunting 51 Asupan karbohidrat pada anak stunting dan tidak stunting 56 Asupan protein pada anak stunting dan tidak stunting 58 Asupan vitamin A pada anak stunting dan tidak stunting 63 Asupan vitamin C pada anak stunting dan tidak stunting 67 Asupan zat besi pada anak stunting dan tidak stunting 69 Asupan zinc pada anak stunting dan tidak stunting 71 Asupan magnesium pada anak stunting dan tidak stunting 75 Asupan kalsium pada anak stunting dan tidak stunting 76 Jenis makanan pada anak stunting dan tidak stunting 80 Frekuensi konsumsi makan pada anak stunting dan tidak stunting 84 Perbandingan Tinggi Badan Ibu pada Anak Stunting dan Tidak Stunting 89
Implikasi Penelitian 93
Keterbatasan Penelitian 94
Kesimpulan dan Saran 95
Kesimpulan 95
Saran 96
Daftar Pustaka 97
Lampiran 113
Daftar Tabel
No Judul Halaman
1 Klasifikasi Status Gizi Stunting berdasarkan Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
10
2 Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata per Hari
14
3 Jumlah Bahan Makanan Anak Rata-Rata Sehari 15
4 Pola Pemberian Makanan Anak 15
5 Besar Sampel Penelitian 26
6 Jarak Wilayah Penelitian dengan Kota Kecamatan dan Kota Kabupaten
34
7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden 35
8 Distribusi Frekuensi Tinggi Badan Ibu pada Anak Stunting dan Tidak Stunting
36
9 Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak 37
10 Distribusi Perbandingan Tinggi Badan Anak Stunting dan Tidak Stunting
38
11 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Asupan Zat Gizi Makro
39
12 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Asupan Zat Gizi Mikro
40
13 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Jenis Makanan
41
14 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Jenis dan Frekuensi Makanan Sumber Karbohidrat yang Dikonsumsi
42
15 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Jenis dan Frekuensi Bahan Makanan Lauk Hewani yang Dikonsumsi
43
16 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Jenis dan Frekuensi Makanan Sumber Protein Nabati yang Dikonsumsi
44
17 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Jenis dan Frekuensi Bahan Makanan Sayuran yang Dikonsumsi
45
18 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting Berdasarkan Jenis dan Frekuensi Bahan Makanan Buah-Buahan yang Dikonsumsi
46
19 Distribusi Anak Balita Stunting dan Tidak Stunting berdasarkan Jenis dan Frekuensi Makanan Jajanan yang Dikonsumsi
48
20 Hasil Analisis Perbandingan Rata-rata Tinggi Badan Ibu pada Anak Stunting dan Tidak Stunting
49
21 Hasil Analisis Perbandingan Asupan Gizi Anak Stunting dan Tidak Stunting
49
Daftar Gambar
No Judul Halaman 1 Kerangka teori stunting dimodifikasi dari Logical Framework of
The Nutritional Problem (UNICEF, 2013) dan H.L Blum
22
2 Kerangka konsep penelitian 23
Daftar Lampiran
Lampiran Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian 113
2 Riwayat ASI Eksklusif 114
3 Formulir Food Frequency Questionary (FFQ) 115
4 Formulir Food Recall 24 jam 116
5 Master Data 117
6 Output SPSS 121
7 Surat Izin Survei Pendahuluan 152
8 Surat Izin Penelitian 153
9 Surat Selesai Penelitian 154
10 Dokumentasi Penelitian 156
Daftar Istilah
AKG Angka Kecukupan Gizi
EPPGBM Elektronik Pencacatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat FAO Food and Agriculture Organization
FFQ Food Frequency Questionnaire
NCD-RisC Non-communicable Diseases Risk Factor Collaboration
SD Standar Deviasi
SDT Survei Diet Total
SPSS Statistical Product and Service Solutions
TB Tinggi Badan
TB/U Tinggi Badan menurut Umur
URT Ukuran Rumah Tangga
WHO World Health Organization
Riwayat Hidup
Penulis bernama Dinda Dwi Khairani Jayusman berumur 23 tahun dilahirkan di Medan pada tanggal 13 Mei 1996 beragama Islam. Penulis anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Drs. Tukiman, M.K.M. dan Dra. Yuspa Hanum, M.S. Penulis berstatus belum menikah.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di SD Swasta Budisatrya Medan dan lulus Pada tahun 2007, SMP Al-Ulum Medan dan lulus pada Tahun 2010, SMA Swasta Dharma Pancasila Medan dan lulus pada Tahun 2013. Penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan dan lulus pada tahun 2017. Pada Tahun 2017, penulis melanjutkan kuliah di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Medan, April 2020
Dinda Dwi Khairani Jayusman
Indonesia masa sekarang ini butuh perhatian khusus untuk mengatasi masalah stunting karena banyaknya anak-anak yang mengalami kejadian ini.
Stunting adalah pertumbuhan tubuh anak yang tidak sesuai antara tinggi badan dengan usia yang dikarenakan kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Stunting terjadi dimulai dari dalam kandungan sampai usia dua tahun pertama. Kekurangan gizi berlanjut hingga di masa balita dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan sehingga berdampak pada hilangnya generasi yang berkualitas (Mita & Rita, 2019).
Laju pertumbuhan dan perkembangan anak sangat cepat terutama di masa balita. Masa ini disebut periode emas (golden age periode) dimana pada usia ini menentukan pembentukan fisik, intelegensi dan psikis. Jika dalam masa ini per- hatian, pengawasan, dan merawat anak kurang memadai, maka proses pertumbuh- an anak akan terganggu walaupun proses tersebut dapat berlangsung secara alami- ah. Proses tersebut membutuhkan bantuan dari orang tua untuk menjadikan anak sehat dan cerdas (Maryam, 2013).
Kasus stunting pada tahun 2018 khususnya pada anak balita berjumlah 149 juta (WHO, 2019). WHO menetapkan bahwa jika prevalensi stunting lebih dari 20 persen maka dianggap tinggi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Mulai dari tahun 2010-2018 diketahui prevalensi balita stunting mempunyai gambaran fluktuatif yaitu 35,6 persen (2010), meningkat menjadi 37,2 persen (2013), dan menurun menjadi 30,8 persen (2018) (Kementerian Kesehatan RI,
2
2018). Provinsi Sumatera Utara termasuk salah satu yang memiliki anak stunting yang tinggi di Indonesia dimana di tahun 2017 ditemukan prevalensi balita stunting sebesar 28,5 persen (sangat pendek sebesar 12,5% dan pendek sebesar 16,0%). Salah satu kabupaten dengan angka stunting tertinggi yaitu Kabupaten Langkat sebesar 55 persen (2013) dan 23,3 persen (2018). Data ini memperlihat- kan bahwa stunting sulit untuk di cegah atau dihilangkan. Melalui pengkajian per- masalahan stunting diharapkan kejadian gizi stunting tidak semakin bertambah.
Berbagai faktor dapat memengaruhi terjadinya stunting. Menurut Monteiro et al. (2010), faktor penyebab terjadinya stunting yaitu faktor genetik, pola makan, lingkungan, dan sosial ekonomi. Anak yang kurang asupan gizi dapat menyebab- kan peningkatan anak dengan gangguan pertumbuhan (Kusharisupeni, 2011).
Pola makan anak usia 2-5 tahun meliputi riwayat pemberian ASI Eksklusif dan pola pemberian makanan biasa kepada anak usia lebih dari dua tahun. ASI adalah makanan utama bayi yang kaya akan zat gizi. ASI mengandung antibodi dan kalsium yang dapat membantu pertumbuhan dan mencegah untuk terjadinya penyakit infeksi (Almatsier, 2009). Penelitian Damayanti, Muniroh dan Farapti (2017), menyebutkan pada anak stunting banyak ditemukan tidak ASI Eksklusif dan terdapat perbedaan yang signifikan (p= 0,001) dan berisiko 16,5 kali terhadap kejadian stunting. Balita lebih berisiko stunting apabila memiliki riwayat tidak ASI Eksklusif karena pada saat anak berusia 0-6 bulan hanya mendapat ASI dan apabila tidak diberikan secara eksklusif akan memudahkan anak terkena penyakit infeksi dan infeksi menyebabkan menurunnya nafsu makan sehingga memperlambat laju pertumbuhannya.
Ketika anak berusia dua tahun ke atas kebutuhan zat gizi anak akan me- ningkat seperti energi, protein, vitamin dan mineral yang dapat menunjang tumbuh kembang anak. Pada masa ini, pola makan anak akan menjadi kebiasaan makan yang dikonsumsi menurut jumlah, jenis dan frekuensi yang memainkan peran penting dalam kesehatannya.
Pergeseran bentuk, jenis, jumlah makanan yang dimakan anak balita seringkali menjadi permasalahan sehingga kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi.
Selain itu, pola asuh yang salah, akses pelayanan kesehatan kurang memadai dan pola pemberian makan yang tidak tepat secara tidak langsung dapat memengaruhi status gizi anak (Nadiyah, Briawan & Martianto, 2014).
Kekurangan gizi di usia 2- 5 tahun sangat rawan terjadi karena anak sudah tidak mendapat ASI dan kebutuhan gizi yang diterima berasal dari diet saja. Me- minta makanan atau minuman yang diinginkan sudah dapat dilakukan anak pada usia tersebut, misalnya susu, biskuit, atau snack yang disukai. Membiasakan pola makan yang baik dan benar sejak dini harus mendapat perhatian lebih dari orang tua untuk mencegah terjadinya kekurangan zat gizi. Selain itu, makanan yang lebih bervariasi juga dibutuhkan untuk mengenalkan berbagai bentuk, jenis dan rasa makanan yang berbeda pada anak sehingga anak tidak meminta makanan yang itu-itu saja serta untuk memenuhi kebutuhan gizi yang semakin meningkat dibanding usia 0-2 tahun.
Anak umur tiga tahun ke atas memiliki kecenderungan mengonsumsi ma- kanan berisiko. Data Kemenkes RI (2018) menunjukkan bahwa kelompok umur 3-4 tahun mengonsumsi lebih atau sama dengan satu kali perhari makanan manis
4
sebesar 59,6 persen, minuman manis sebesar 68,57 persen, makanan asin sebesar 31,1 persen, makanan berlemak/gorengan sebesar 35 persen, konsumsi bumbu penyedap sebesar 76 persen, dan frekuensi makan 1-6 kali perminggu mengon- sumsi makanan yang di bakar sebesar 33,5 persen, makanan daging/ayam/ikan olahan dengan pengawet sebesar 32,5 persen, mi instan/ makanan instan sebesar 58,7 persen serta lebih kecil atau sama dengan tiga kali perbulan mengonsumsi soft drink sebesar 92,7 persen dan minuman berenergi sebesar 97,3 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa anak menyukai makanan dan minuman yang manis, berbumbu penyedap, dan mi instan/makanan instan.
Rendahnya konsumsi energi dan protein balita di Indonesia dibuktikan dengan adanya Survei Diet Total (SDT) 2014 yang menunjukkan bahwa 55,7 persen balita kekurangan asupan energi dan dibawah dari Angka Kecukupan Energi (AKE) dan 17,1 persen balita mendapatkan asupan energi melebihi Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, yaitu lebih atau sama dengan 130 persen AKE. Hasil penelitian Hermina dan Prihatini (2011) menyebutkan anak balita (24- 59 bulan) lebih banyak mengalami stunting dengan kekurangan energi sebesar 31,5 persen dari pada anak balita normal (24,9%). Kondisi ini menggambarkan bahwa asupan energi balita stunting berbeda signifikan dengan anak balita normal (p= 0,000), dan balita stunting cenderung lebih banyak yang defisit energi.
Memenuhi asupan protein pada masa balita dapat membantu proses tum- buh kembang anak karena protein memiliki fungsi utama sebagai zat pembangun.
Penelitian Hanum, Khomsan, dan Heryatno (2014) menunjukkan bahwa 78,8 persen stunting lebih banyak di temukan pada balita yang mengalami kekurangan
protein. Penelitian Solihin, Anwar dan Sukanda (2013) memperlihatkan hubungan erat antara asupan protein dan stunting dilihat dari setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan protein balita, akan menambah Z-score TB/U balita sebesar 0,024 satuan.
Gizi mikro dinilai mampu mencegah terjadinya stunting terutama vitamin A, Fe, Zn, dan Iodin (Souganidis, 2012). Seiring berkembangnya zaman, ditemu- kan zat gizi lainnya yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan linear anak yakni Ca dan P (Stuijvenberg, et.al. 2015). Penelitian Sari, Mohammad, Neti dan Mei (2016) memperlihatkan bahwa risiko stunting lebih tinggi pada kelompok yang asupan kalsium rendah yaitu 3,625 kali daripada yang asupannya telah terpenuhi, dan fosfor rendah lebih besar 2,29 kali pada anak kelompok stunting.
Penelitian Dewi dan Kadek (2016) menunjuk-kan bahwa konsumsi seng lebih rendah pada kelompok balita stunting umur 48-59 bulan memenuhi sekitar 93,64 persen AKG. Anak kekurangan konsumsi seng berisiko 9,94 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting. Penilitian Damayanti, Muniroh, dan Farapti (2017) menyebutkan bahwa kekurangan zat besi berisiko 3,2 kali dapat menye-babkan anak stunting.
Penelitian di atas menggambarkan bahwa tingkat kecukupan konsumsi zat gizi anak balita di Indonesia masih cukup rendah. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi anak Indonesia yang mengonsumsi zat gizi dalam jumlah yang tidak memadai (di bawah AKG) masih tinggi.
Pendapatan rendah dan pengetahuan yang kurang mengenai nilai gizi yang terdapat dalam suatu makanan sering menjadi pangkal masalah gizi. Pola makan
6
merupakan perilaku paling penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi. Pola makan yang baik dapat menjaga tubuh selalu sehat dan mencegah terjadinya pe- nyakit akibat kelebihan atau kekurangan gizi, maka pola makan masyarakat perlu ditingkatkan. Pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasaan anak dapat dioptimalkan apabila kebutuhan gizi perhari terpenuhi.
Anak dengan kondisi tubuh sehat dan normal mengikuti genetik dari orang tuanya. Status gizi orangtua terutama ibu dapat memberikan dampak terhadap terjadinya anak pendek. Menurut Departemen Kesehatan (2011), ibu yang pendek dengan ayah yang tinggi normal memiliki kecenderungan balita stunting pasti tinggi, sebaliknya prevalensi lebih rendah terjadi pada ayah pendek ibu normal.
Jadi status gizi ibu hamil menentukan status gizi bayi yang akan dilahirkan.
Martorell dan Young (2012) dalam penelitiannya menyatakan risiko terjadi stunting tinggi di India pada ibu yang tinggi lebih rendah 150 cm (OR= 1,83; p <
0,001) dan Guatemala (OR= 3,42; p < 0,001). Menurut NCD-RisC (2016), tinggi badan wanita di Indonesia rata-rata yaitu 152,8 cm.
Menurut Hoddinott et al. (2013), dampak dari stunting ini menyebabkan hasil belajar yang rendah, ukuran tubuh yang lebih pendek, kemampuan motorik rendah, sulit mendapat pekerjaan dan risiko penyakit degeneratif ketika dewasa.
Hasil dari tinggi badan yang kurang saat dewasa merupakan akibat dari stunting di usia belia sehingga kehilangan produktivitas sebesar 1,4 persen serta menurunkan IQ sebesar 5-11 poin (World Bank, 2006). Produktivitas yang rendah akan sulit bersaing mencari pekerjaan, tidak mendapat pekerjaan berdampak terhadap ren- dahnya penghasilan dan kelak akan menjadi beban negara. Kusuma & Nuryanto
(2013) menyatakan bahwa stunting pada anak balita berisiko mengalami penurunan kemampuan intelektual, produktivitas dan dapat menyebabkan penyakit degeneratif di masa mendatang.
Berdasarkan penjelasan dari petugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, bahwa Langkat menjadi satu dari 100 kab/kota terpilih dalam penang- gulangan stunting. Desa yang menjadi lokus program penanggulangan stunting adalah Sematar, Kebun Kelapa, Secanggang, Pematang Serai, Sei Meran, Perlis, Paluh Manis, Securai Selatan, Securai Utara, dan Padang Tualang. Hasil data entry EPPGBM Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat menunjukkan jumlah anak stunting di kabupaten Langkat tahun 2018 yaitu 207 orang. Mayoritas anak stunting terdapat di desa Sematar sebesar 32,7 persen. Selain itu, hasil survei awal yang dilakukan pada 10 anak usia 2-5 tahun di desa Kebun Kelapa menunjukkan bahwa anak tidak ada yang ASI Eksklusif dan sudah diberikan makan sejak usia kurang dari 4 bulan dengan alasan anak sering menangis dan akan langsung diberi makan. Hasil pengukuran tinggi badan ibu yang dilakukan juga menunjukkan bahwa 9 dari 10 ibu terindikasi pendek dengan tinggi badan lebih rendah 150 cm.
Pengukuran konsumsi makanan juga dilakukan pada anak dan hasilnya menunjukkan 80,0 persen kekurangan kalori, 50,0 persen mengalami kekurangan protein dan 80,0 persen kekurangan kalsium. Ibu yang ditanya mengenai kebiasa- an makan anak diperoleh ibu jarang memberikan sarapan pada anak dengan alasan anak tidak suka sarapan, anak sarapan biasanya di atas jam sembilan pagi mengikut jam makan keluarganya, dan menyukai makan jajanan. Pada usia ini ibu juga sudah tidak memberikan susu pada anak serta semua ibu sepakat bahwa anak
8
yang gemuk merupakan anak yang sehat.
Pemaparan di atas menjadikan alasan bagi penulis untuk meneliti tentang perbandingan pola makan dan tinggi badan ibu pada anak stunting dan tidak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Langkat.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah apakah terdapat perbedaan pola makan dan tinggi badan ibu pada anak stunting dan tidak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Langkat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yakni mengetahui perbedaan pola makan dan tinggi badan ibu pada subyek anak stunting dan tidak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Langkat.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahanomasukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat terhadap pelaksanaan program dalamopengembangan program penanggulangan masalah gizi terutamaostunting pada anak usia 2-5 tahun.
2. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang pola makan dan tinggi badan ibu terhadap kejadian stunting.
Stunting merupakan kurang gizi kronis dilihat dari riwayat kurang gizi dalam jangka waktu yang lama. Pengukurannya menggunakan indikator PB/U atau TB/U dan hasil antropometri berada diantara ZScore kurang dari -2 SD sampai dengan -3 SD (pendek) dan kurang dari -3 SD (sangat pendek) (Kementerian Kesehatan R.I, 2013).
Anak stunting mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari terutama ketika saat dewasa dalam mencari pekerjaan. Menurut Gibney (2009), anak stunting memiliki kemampuan motorik dan kognitif lebih rendah. Hal ini didasari bahwa anak yang mengalami stunting memiliki gangguan pertumbuhan yang dapat mengindikasikan adanya gangguan pada organ‐organ tubuh. Gangguan pada organ tubuh termasuk otak yang paling mudah rusak akibat kekurangan gizi. Picauly dan Sarci (2013) dalam penelitiannya menunjuk-kan bahwa stunting sangat berpengaruh terhadap hasil belajar dibuktikan dari setiap kenaikan status gizi TB/U anak sebesar 1 SD maka prestasi belajar juga naik sebesar 0,444 dan sebaliknya.
Stunting menggambarkan gejala kronis dari dampak yang timbulkan akibat pendapatan rendah, pengetahuan ibu tentang gizi kurang, pola makan kurang baik, kebiasaan hidup sehat masih kurang sehingga mengakibatkan anak tumbuh tidak sesuai usia (pendek).
Klasifikasi stunting pada anak 2-5 tahun. Stunting dilihat dari hasil penyesuaian tinggi badan dengan umur yang berada di bawah standar yang
10
ditentukan. Berikut klasifikasi stunting berdasarkan TB/U:
Tabel 1
Klasifikasi Status Gizi Stunting Berdasarkan Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Umur Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-score) TB/U
24-60 bulan
Sangat Pendek < -3 SD
Pendek -3 SD s/d < -2 SD
Normal -2 SD s/d 2 SD
Sumber: Kementerian Kesehatan RI Tahun 2011
Dampak stunting. Stunting menyebabkan peningkatan risiko penyakit khususnya dalam perkembangan fisik dan mental serta pertumbuhan motorik yang akhirnya dapat menyebabkan kematian (Purwandini & Kartasurya, 2013). Anak stunting ber-isiko terhadap terjadinya penurunan kemampuan berfikir, keahlian dan kreativitas, dan risiko penyakit degeneratif (Anugraheni & Kartasurya, 2012).
Anak stunting mudah terkena penyakit infeksi sehingga sering tertinggal dalam pelajaran yang berakibat pada prestasi belajarnya (Yunitasari, Margawati, &
Nuryanto, 2012). Stunting memiliki efek berkepanjangan untuk anak terutama terhadap perkembangannya, oleh karena itu kesadaran ma-syarakat harus segera ditumbuhkan.
Faktor yang memengaruhi stunting. Beberapa faktor yang memengaru- hi terjadinya stunting diantaranya faktor pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang gizi, tinggi dan umur ibu, sosial ekonomi, besarnya anggota keluarga, jumlah anak terlalu banyak, jarak anak yang terlalu dekat, pemberian ASI Eksklusif dan BBLR (Darteh, Acquah, & Kumi-Kyereme, 2014).
Menurut Eka dan Nuryanto (2013), faktor yang menyebabkan stunting yaitu panjang badan lahir, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan dan tinggi badan orang tua. Anak yang lahir dengan Panjang badan pendek bisa disebabkan faktor genetik yang dibawa dari orangtua seperti tinggi badan, atau kurangnya pemenuhan zatogizi pada masa kehamilan. Kekurangan zat gizi selama masa kehamilan dapat menyebabkan pertumbuhan janin tidak optimal yang berakibat bayi yang lahir memiliki panjang badan lahir pendek (Anugraheni &Kartasurya, 2012). Pene-litian di India dan Guatemala oleh Martorell dan Young (2012) menyatakan bahwa tinggi ibu yang lebih rendah dari 150 cm berisiko memiliki anak yang stunting. Penelitian lainnya oleh Angkat (2015) di Simpang Kiri Kota Subulussalam menunjukkan bahwa sebanyak 79,2 persen anak kelompok stunting tinggi badan orang tuanya pendek dimana tinggi badan ibu lebih rendah dari 147 cm dan tinggi badan ayah lebih rendah dari 158 cm (p= 0,000; OR= 25,09).
Selain panjang badan lahir dan tinggi badan orang tua, pendapatan keluar- ga dan pendidikan orang tua juga merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak. Pendapatan rendah berdampak pada kemampuan membeli pangan ataupun pelayanan kesehatan. Daya beli bahan makanan memengaruhi kebutuhan gizi keluarga terutama anak. Keluarga dengan ekonomi rendah biasanya akan lebih memberi perhatian lebih pada orang yang mencari nafkah atau dengan aktivitas tinggi sehingga anak sering menjadi orang terakhir mendapat makan dan porsi yang tidak sesuai kebutuhan gizinya. Jenjang sekolah orang tua yang rendah ber- dampak pada wawasan tentang gizi dan cara mengasuh anak yang sering salah yang dapat mempermudah anak berisiko stunting (Chaudhury, 2013).
12
Pergeseran makan juga menjadi salah satu faktor penghambat pertum- buhan. Pergeseran makanan terjadi dari usia dari 0 - 2 tahun dimulai dari ASI Eks- klusif, MP-ASI, hingga ke makanan biasa. Pergeseran pola makan ini sering di anggap remeh oleh ibu sehingga anak kehilangan atau kekurangan zat gizi tertentu yang dapat memperlambat tumbuh kembang anak.
Pola Makan
Pola makan merupakan usaha mengatur porsi dan berbagai macam makanan yang dapat menstabilkan kondisi tubuh agar tetap sehat, gizi terpenuhi, mengurangi risiko sakit dan mempercepat penyembuhan penyakit (Adriani &
Bambang, 2012). Kualitas makanan masyarakat diukur dari menu sehari-hari (Suparlan, 2010). Pola makan seseorang dapat dilihat dari kebiasaan makan yang dikonsumsi menurut jumlah, jenis, dan frekuensi setiap harinya. Konsumsi makanan pokok untuk orang Indonesia tiga kali sehari ditambah dengan dua kali kudapan (pagi dan sore) dapat membantu proses tumbuh kembang anak, untuk itu dibutuhkan perhatian orang tua agar membentuk pola makan yang baik.
Globalisasi berpengaruh terhadap gaya hidup termasuk pola makan yang salah. Masa sekarang ini, banyak orang mengkonsumsi makanan tanpa pertim- bangan dan lebih mengutamakan kesenangan dan kepuasan. Kesadaran yang tinggi diperlukan untuk menganut pola makan sehat agar dapat mengaturan jumlah dan jenis makanan yang tepat. Akibat pola konsumsi makan yang salah ini cenderung meningkat, masalah gizi semakin rentan terhadap tingginya kejadian obesitas, kurang gizi atau stunting (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Kebiasaan makan yang baik hendaknya dilaksanakan sedini mungkin, hal tersebut akan
membentuk pola makan yang baik.
Ibu harus menanamkan pola makan anak dengan membiasakan anak mak- an tiga kali sehari dan dua kali kudapan. Hal yang harus dipikirkan adalah jika sarapan tidak dilaksanakan akan berakibat pada hilangnya rangkaian porsi makan sehari-hari (Adriani & Bambang, 2013).
Pola makan anak harus disesuaikan dengan kecukupan gizi dan kualitas pangan yang baik agar anak tetap sehat. Pola makan anak dapat dilihat dari riwa- yat ASI Eksklusif dan makanan yang akan di konsumsi berdasarkan jumlah, jenis dan frekuensi makan. Berikut penjelasan pola makanan anak:
Riwayat ASI eksklusif. Air susu ibu (ASI) mengandung kolostrum tinggi yang tidak dimiliki oleh susu formula lainnya dan antibodi yang dibutuhkan untuk kecukupan gizi dan mengandung protein, antibodi serta immunoglobulin dan dapat menjaga kesehatan bayi (Maryunani, 2012). Kolostrum memiliki kemam- puan yang dapat membantu kerja ginjal agar tidak bekerja keras karena mampu menyeimbangkan cairan dalam tubuhnya (Hoddinott et al., 2013). Menurut WHO (2019), bayi usia enambulan dianjurkan hanya mengonsumsi ASI dan tidak boleh diberikan MP-ASI. Menurut Roesli (2013), manfaat ASI yaitu:
a). ASI merupakan makanan yang cocok untuk anak berusia 0-6 bulan karena memiliki kandungan yang mampu memenuhi dan menyesuaikan kebutuhan pertumbuhannya;
b). ASI memiliki antibodi yang dapat menjaga tubuh bayi agar terlindungi dari spenyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit;
c). ASI memiliki nutrien seperti taurin, laktosa, dan asam lemak yang diperlukan untuk perkembangan otak bayi yang dapat menambah kepintarannya;
14
d). ASI dapat mempererat hubungan ibu dan bayi karena selama proses menyusui anak merasa aman dan nyaman sehingga meningkatkan emosi diantara keduanya.
Jumlah makanan. Usia 2-5 tahun merupakan usia yang tumbuh kem- bangnya sangat pesat dan anak sedang lincah-lincahnya, ini harus diimbangi de- ngan jumlah makanan yang cukup dan tidak memaksakan anak makan dengan porsi yang banyak mengingat perut nya masih kecil. Jumlah yang dimakan anak biasanya tidak seperti orang dewasa, cukup sepertiga sampai setengah porsi orang dewasa (Adriani & Bambang, 2013).
AKG merupakan ukuran yang dipakai untuk menilai kebutuhan gizi per individu. Konsumsi makan perhari anak dapat dilihat sudah terpenuhi dengan menggunakan AKG tahun 2019.
Tabel 2
Kebutuhan Zat Gizi Anak Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari
Jenis Zat Gizi Kelompok Umur
1-3 tahun 4-6 tahun
Energi (kkal) 1350 1400
Karbohidrat (g) 215 220
Protein (g) 20 25
Vitamin A (mcg) 400 450
Vitamin C (mg) 40 45
Besi (mg) 7 10
Seng (mg) 3 5
Magnesium (mg) 65 95
Kalsium (mg) 650 1000
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2018
Pengukuran ini perlu dilakukan untuk mengetahui kenyataan makanan yang dimakan oleh anak. Berikut jumlah bahan makanan anak rata-rata perhari
yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan RI:
Tabel 3
Jumlah Bahan Makanan Anak Rata-rata Sehari
Bahan Makanan Anak Usia 1-3 Tahun Anak Usia 4-6 Tahun
Nasi/ Pengganti 2 1/4 gelas 3 gelas
Daging / Pengganti 1 potong 2 potong
Tempe/ Pengganti 2 potong 2 potong
Sayuran 1 1/2 mangkuk 2 mangkuk
Buah 3 potong 3 potong
Susu 1 gelas 1 gelas
Minyak 1 1/2 sdm 2 sdm
Gula 2 sdm 2 sdm
Sumber : Kementrian Kesehatan RI, 2011: Brosur Makanan Sehat Anak Balita Anak yang tidak cukup mengonsumsi makanan utama sesuai dengan porsinya maka makanan selingan sebagai makanan yang dianjurkan untuk dikon- sumsi. Makanan selingan diberikan antara makan pagi dan makan siang (jam 9:00-10:00), atau jam makan siang dan makan malam (jam 15:00-16:00). Fungsi nya bagi anak untuk mencukupi kekurangan dari makanan pokok dan melengkapi kebutuhan gizi anak (Damanik, 2015). Berikut adalah contoh pola menu makanan anak dalam satu hari:
Tabel 4
Pola Pemberian Makanan Anak
Pagi Selingan
(jam 10:00)
Siang Selingan (jam 16:00)
Malam Nasi/Tim/
Bubur nasi, semur bola- bola, Daging giling, Tahu isi (wortel, jagung, bayam)
Bubur kacang hijau
Nasi/ Tim/
Bubur nasi Sop baso
ikan +
wortel + buncis + Tempe Jeruk
Puding buah
Nasi/ Tim/ Bubur nasi
Opor telur
Perkedel tahu + sayuran
Tumis kacang pajang
Pisang
Sumber: Kementrian Kesehatan RI, 2011. Brosur Makanan Sehat Anak Balita
16
Jenis makanan. Kementerian Kesehatan RI (2014a) menyatakan bahwa terdapat lima kelompok pangan yang biasa di konsumsi setiap hari yang dikenal dengan gizi seimbang atau makanan empat sehat lima sempurna. Makanan beragam memudahkan anak untuk memenuhi kebutuhan gizi dan mendapat berbagai zat lainnya yang bermanfaat bagi kesehatan.
Menurut Khomsan (2010), ibu yang cerdas dengan wawasan yang luas dapat mengasuh dan memberikan makanan yang beragam dan bergizi seimbang sesuai kebutuhan gizi anak. Penelitian Aidina, Lubis, & Ardiani (2015) memperlihatkan pada anak keluarga miskin sebanyak 56,9 persen pola makan yang tidak beragam dan konsumsi zat gizi pada kategori kurang sebagian besar pada umur 37-60 bulan.
Keragaman makanan di Indonesia diterapkan dalam pedoman gizi seimbang melalui “Piring Makanku” untuk menanamkan pentingnya makanan beragam dan bergizi yang kemudian diharapkan dapat merubah perilaku konsumsi masyarakat. Pedoman gizi seimbang diyakini mampu mengatasi beban ganda masalah gizi baik kekurangan maupun kelebihan gizi. Jenis makanan yang terdapat dalam isi piringku terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, buah- buahan pada setiap hari atau setiap kali makan (Kementerian Kesehatan, 2014b).
Frekuensi makan. Pemberian makan pada anak usia 2-5 tahun memerlu- kan penyesuaian yaitu tiga kali makan utama dan memberikan makanan kudapan serta susu. Menvariasikan makanan dan mengatur jadwal makan akan meningkat- kan disiplin makan yang baik bagi anak (Marimbi, 2010).
Menurut Supariasa (2002) dikatakan sering bila (4-6 kali/minggu), kadang-kadang (1-3 kali/minggu) dan jarang (1 kali dalam sebulan). Menurut
Damanik (2015), frekuensi makan kurang dari tiga kali dapat membuat anak kekurangan gizi ditandai dengan penurunan berat badan.
Kebutuhan zat gizi pada anak. Kebutuhan gizi anak akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Menurut Grober (2013) asupan mikronutrien merupakan hal yang sangat penting untuk proses perkembangan fisik, pematangan sosial dan intelektual.
Mikronutrien merupakan kofaktor dan substrat penting untuk perkembangan dan pematangan sistem saraf pusat, sistem imun, dan sistem hormone. Mikronutrien yang dibutuhkan seperti kalsium (perkembangan tulang), besi (perkembangan inteligensi), zink (sistem imun), magnesium (pembentukan matriks tulang, sintesis hormone dan protein, produksi energi dan metabolisme vitamin), Vitamin A (imunitas, fertilitas, pertumbuhan dan perkembangan), Vitamin B (suplemen mineral yang baik), Vitamin C (antioksidan, antikanker, metabolisme besi).
Karbohidrat. Karbohidrat sebagai sumber energi penting untuk masa pertumbuhan. Fungsi karbohidrat selain sumber energi juga sebagai bahan pem- bentuk asam amino esensial, metabolisme normal lemak serta menghemat protein (Khomsan, 2010). Masukan yang dianggap optimal berkisar 40-60 persen dari jumlah energi. Karbohidrat yang dikonsumsi lebih baik bervariasi dari jenis bahan pangan seperti, jagung, ubi, kentang, roti, mi dan lain sebagainya (Irianto, 2014).
Protein. Protein merupakan zat terpenting khususnya untuk pertumbuhan anak terutama pada pembentukan sel-sel otak, memperbaiki jaringan yang rusak, pertumbuhan tulang, gigi, rambut dan kuku, dan jaringan lainnya. Proses pertumbuhan akan meningkatkan protein yaitu dari 14,6 persen menjadi 18-19
18
persen di usia empat tahun, yang sama dengan kadar protein orang dewasa (Khomsan, 2010).
Mineral. Mineral tidak dapat dihasilkan dari tubuh dan hanya dapat diperoleh dari makanan yang dikonsumsi. Mineral terbagi menjadi dua yaitu (Cakrawati & Mustika, 2012) :
Mineral makro. Mineral makro yang terdiri dari natrium, klor, kalsium,
fosfor, magnesium dan belerang merupakan jumlah yang cukup besar di dalam tubuh.
Mineral mikro. Mineral mikro yang terdiri dari besi, tembaga, selenium,
seng dan fosfor merupakan jumlah yang kecil di dalam tubuh.
Kekurangan mineral mikro dapat mengakibatkan gangguan fungsi fisiologis, karena itu kebutuhannya harus selalu terpenuhi. Beberapa mineral yang penting bagi pertumbuhan anak diantaranya Zat Besi (Fe) membantu pembentu- kan haemoglobin untuk mengantar oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Sumber zat besi terdapat pada hati, daging sapi, kuning telur, dan buah-buahan.
Seng (Zn) bermanfaat dalam proses pembentukan sel dan membantu otak meng- hantarkan informasi genetik dalam sel. Jika kekurangan akan terjadi kerusa-kan saraf secara permanen. Sumber Seng bisa didapat dari daging sapi, kacang- kacangan dan bahan makanan tiram (Khomsan, 2010).
Vitamin. Vitamin adalah salah satu yang diperlukan tubuh dengan jumlah yang paling sedikit. Vitamin terdiri dari vitamin larut lemak seperti vitamin A, D, E, K dan vitamin larut dalam air seperti vitamin B dan C. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pada proses metabolisme dalam tubuh dan pemeliharaan
jaringan tubuh (Adriani & Bambang, 2014).
Faktor-faktor yang memengaruhi pola makan. Pola makan yang baik harus ditanamkan sejak dini agar terbawa ketika dewasa. Menurut Adriani dan Bambang (2012), berbagai macam faktor yang memengaruhi pola makan sese- orang adalah sebagai berikut:
Ekonomi. Ekonomi merupakan faktor yang paling besar memberikan
pengaruh pola makan. Faktor ekonomi ini meliputi penghasilan rumah tangga dan harga. Besarnya penghasilan akan memudahkan untuk membeli pangan dengan mutu yang baik dan jumlah yang cukup sehingga anggota keluarga tidak akan kekurangan makan.
Budaya. Budaya menjadi unsur yang kuat dalam memilih dan mengon-
sumsi makanan. Budaya mampu mengarahkan kebiasaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari terutama kebiasan makan seperti kebiasaan makan nasi di Indonesia.
Agama dan kepercayaan. Kepercayaan seseorang terhadap agama yang
dianut mengikat kuat terhadap kebiasaan makan melalui larangan atau pantangan makanan, seperti agama islam degan konsep halal dan haram.
Personal preference. Memilih makanan yang disukai atau tidak akan
menggambarkan kebiasaan makan sehari-harinya. Misalnya orang tua yang tidak suka makan sayur sehingga anak juga tidak menyukainya. Perasaan suka atau tidak tergantung dari gambaran orang tersebut dalam menilai makanan dan adanya dorongan dari luar yang berperan dalam mengambil keputusan ketika akan makan.
20
Rasa lapar, nafsu makan, dan rasa kenyang. Lapar adalah rasa yang
sangat tidak menyenangkan dikarenakan tubuh mengalami kekurangan asupan makan. Sedangkan nafsu makan merupakan keadaan yang sebaliknya, sangat menyenangkan karena berhubungan dengan kemauan seseorang untuk mengon- sumsi makanan. Adapun rasa kenyang adalah kondisi puas dikarenakan nafsu makan sudah terpenuhi.
Kesehatan. Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan
makan, seperti orang yang diare akan memilih makan bubur karena kesulitan dalam mencerna makanan.
Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan merupakan indikator untuk mengukur tubuh dan panjang tulang. Alat tersebut biasanya menggunakan stadiometer (Supariasa, 2002).
Tinggi badan merupakan parameter yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal dan tidak sensitif untuk mendeteksi permasalahan gizi dalam waktu singkat.
Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki dan aksesoris kepala, kedua tangan tergantung rileks di samping badan, tumit dan pantat menempel di dinding, pandangan mata mengarah ke depan. Bagian alat yang dapat digeser diturunkan hingga menyentuh kepala.
Tinggi badan orang tua terutama ibu berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak seperti kejadian stunting. Pada anak tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan selama periode pertumbuhan. Penelitian Hanum, Khomsan, dan Heryatno (2014) menunjukkan bahwa 74,5 persen anak pendek pada ibu dengan tinggi badan di lebih rendah dari 150 cm. Penelitian lain oleh
Yang X (2010) menunjukkan ibu dengan tinggi badan lebih rendah dari 150 cm sebesar 3,4 kali berisiko memiliki anak yang pendek dan tinggi badan ayah lebih rendah dari 162 cm risiko memiliki anak pendek sebesar 3,2 kali.
Menurut Barker (2008) bahwa ukuran fisik tubuh dan beberapa Penyakit Tidak Menular (PTM) disebabkan terutama oleh faktor genetik. Setelah dilakukan penelitian lanjutan, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia dua tahun yang dapat dirubah dan diperbaiki.
Landasan Teori
UNICEF tahun 2013, faktor-faktor yang memengaruhi masalah gizi stunting pada anak secara langsung terdiri dari asupan makanan yang kurang dan penyakit infeksi; penyebab tidak langsungnya terdiri dari ketersediaan pangan, pola asuh, kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan; dan faktor-faktor mendasar lain yang juga berpengaruh dalam timbulnya masalah gizi seperti faktor pendapatan, pekerjaan, pendidikan, linkungan, sosial budaya, ekonomi dan politik.
Berdasarkan teori H.L Blum, faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan masyarakat atau individu adalah faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Lingkungan dibagi menjadi dua aspek, yaitu aspek fisik dan sosial.
Kedua aspek tersebut sangat memengaruhi kesehatan seseorang. Aspek fisik lingkungan dapat berupa sampah, air, tanah, iklim, pemukiman, dan lainnya.
Untuk lingkungan sosial adalah hubungan antar masyarakat seperti budaya, pendidikan, ekonomi, dan lain-lainnya. Faktor kedua setelah lingkungan adalah perilaku. Seseorang sehat atau sakit bergantung pada perilaku masyarakat
22
tersebut. Pelayanan kesehatan adalah faktor ketiga dalam memengaruhi kesehatan masyarakat. Lengkap tidaknya fasilitas kesehatan sangat berpengaruh dalam pelayanan pemulihan kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, serta untuk pengobatan dan asuhan keperawatan. Untuk faktor terakhir dalam memengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah keturunan. Faktor genetik merupakan faktor yang sudah ada dalam diri manusia sejak dia dilahirkan, misalnya kelompok penyakit keturunan seperti DM dan stunting.
Faktor keturunan dan lingkungan sangat berhubungan dengan pertumbuh- an fisik seseorang. Faktor keturuan contohnya adalah tinggi badan orang tua dan jenis kelamin. Tinggi badan adalah indikator pertumbuhan yang langsung dapat terlihat. Berdasarkan UNICEF (2013) dan H.L Blum, faktor penyebab stunting pada anak usia 2-5 tahun dapat dilihat dari skema sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka teori stunting dimodifikasi dari Logical Framework of The Nutritional Problems (UNICEF, 2013) dan H.L Blum
Anak Stunting pendapatan,
pekerjaan, pendidikan, linkungan, sosial budaya, ekonomi
dan politik
Ketersediaan Pangan Keluarga
Kurang Asupan Gizi
Pola Asuh dan Pola
Makan Kesehatan Lingkungan dan
Pelayanan Kesehatan Keturunan
Penyakit Infeksi
Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep, variabel independennya adalah tinggi badan ibu dan pola makan dilihat dari cara ibu dalam memberi dan memilih jenis makanan untuk anak usia 2-5 tahun berdasarkan jumlah, jenis dan frekuensinya.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat adanya perbedaan antara pola makan dan tinggi badan ibu terhadap kejadian stunting.
Gambar 2. Kerangka konsep penelitian
Hipotesis Penelitian
1. Ada perbedaan pola makan pada anak stunting dan tidak stunting di Kabupaten Langkat
2. Ada perbedaan tinggi badan ibu pada anak stunting dan tidak stunting di Kabupaten Langkat
Pola Makan: Pola konsumsianakusia 2-5 tahun (jumlah, jenis dan
frekuensi) Tinggi Badan
Ibu
KejadianStunting
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian survei dengan rancangan cross sectional study yang bertujuan untuk menjelaskan perbedaan pola makan dan tinggi badan ibu pada subyek anak stunting dan tidak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Langkat.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan di Kabupaten Langkat.
Kabupaten Langkat terdiri dari 23 kecamatan dan peneliti memfokuskan penelitian di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Salapian, Kecamatan Stabat, dan Kecamatan Besitang. Menurut Arikunto (2010), pemilihan lokasi penelitian dapat dilakukan dengan teknik sampel wilayah yaitu dengan memilih perwakilan dari setiap wilayah. Lokasi ini dipilih menjadi tempat penelitian dengan alasan bahwa di kecamatan tersebut merupakan daerah perbatasan wilayah sehingga mayoritas penduduk yang ditinggal di wilayah tersebut dari golongan penduduk yang kurang mampu dalam kehidupan sosial ekonominya. Selain itu, jarak lokasi penelitian ditinjau dari yang terdekat dengan pusat kota hingga yang terjauh akan memiliki akses dalam memperoleh pangan dan ketersediaan pangan yang berbeda.
Ketidakmampuan memperoleh pangan akan berdampak pada kurangnya konsumsi pangan dan gizi yang diasup terutama pada anak sehingga menyebabkan anak kurang gizi. Penelitian dilaksanakan mulai dari Maret hingga April 2020 dengan tahapan pra survei sampai komprehensif.
Populasi dan Sampel
Populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 2-5 tahun di tiga kecamatan terpilih yaitu Kecamatan Stabat, Kecamatan Salapian, Kecamat- an Besitang, yaitu anak, dengan perincian anak stunting sebanyak 73 anak dan tidak stunting sebanyak 4.525 anak (Dinkes Langkat, 2019).
Sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah anak stunting dan tidak stunting usia 2-5 tahun yang tinggal di tiga kecamatan terpilih. Teknik pengambil- an sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sampel Wilayah atau Area Probability Sampel yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil wakil dari setiap wilayah yang terdapat dalam populasi (Arikunto, 2010).
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus (Lemeshow, 1997) dengan dua populasi dan dengan desain cross sectional di peroleh sampel sebanyak:
𝑛 = 𝑍1−𝛼/22 [𝑃1(1 − 𝑃1) + P2 (1 − P2)]
𝑑2
= 1,962 [0,98(1 − 0,98) + 0,02 (1 − 0,02)]
0,052
= 3,84 [0,98(0,02) + 0,02 (0,98)]
0,0025
= 3,84 [0,02 + 0,02 ] 0,0025
= 3,84 [0,04 ] 0,0025
= 0,15
0,0025 = 60
26
Keterangan:
n = Besar sampel
𝒁𝟏−𝜶/𝟐𝟐 = Tingkat kepercayaan yang diinginkan yaitu 95%
P1 = perkiraan proporsi pada populasi 1 (Anak tidak Stunting) P2 = perkiraan proporsi pada populasi 2 (Anak Stunting) d = kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir 95% atau 0,05
Berdasarkan rumus tersebut maka diperoleh sampel untuk anak stunting dan anak tidak stunting sebesar 60 orang, dengan rincian 30 orang anak stunting dan 30 orang anak tidak stunting. Pembagian besar sampel didistribusikan secara proporsional di tiga kecamatan sehingga jumlah sampel pada setiap kecamatan adalah sebagai berikut:
Tabel 5
Besar Sampel Penelitian
Wilayah
∑ anak usia 2-5 tahun
n Stunting Tidak
stunting
Stunting Tidak stunting Langkat Hulu :
Kecamatan Salapian
14 972 14
73 𝑥 30 = 6 972
4.525 𝑥 30 = 6 Langkat Hilir :
Kecamatan Stabat
50 1.889 50
73 𝑥 30 = 20 1.889
4.525 𝑥 30 = 13 Teluk Haru :
Kecamatan Besitang
9 1.664 9
73 𝑥 30 = 4 1.664
4.525 𝑥 30 = 11
Total 73 4.525 30 30
Adapun kriteria sampel sebagai berikut:
1) Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun;
2) Bertempat tinggal di kecamatan yang menjadi penelitian;
3) Apabila dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu balita maka diambil balita
yang usianya paling kecil;
4) Bersedia diwawancara.
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel. Variabel merupakan konsep yang mempunyai variasi nilai-nilai.
Penelitian ini memiliki dua variabel yakni variabel dependent dan independent.
Variabel dependent atau bisa disebut variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau disebabkan adanya variabel independent sedangkan variabel independent adalah varibel yang memengaruhi variabel dependent. Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah variabel independent adalah pola makan dan tinggi badan ibu. Variabel dependent adalah stunting.
Definisi operasional. Definisi oprasional merupakan penjelasan mengenai variabel-variabel penelitian agar lebih mudah dipahami dan mudah untuk dilakukan pengukuran. Definisi Operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Pola makan adalah gambaran penilaian konsumsi makan berdasarkan asupan gizi, jenis dan frekuensi makanan.
a) Asupan gizi: Banyaknya asupan zat gizi makro (energi, karbohidrat, dan protein) dan zat gizi mikro (vitamin A, vitamin C, zat besi, seng, magnesium dan kalsium) yang dikonsumsi dalam satu hari dibandingkan dengan angka kecukupan gizinya;
b) Jenis makanan: Berbagai macam makanan yang dikonsumsi dalam satu hari yaitu makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan;
c) Frekuensi makan: Berapa kali setiap jenis makanan dikonsumsi pada waktu tertentu.
28
2) Riwayat ASI Eksklusif adalah gambaran pemberian ASI pada saat usia 0-6 bulan.
3) Tinggi badan ibu adalah ukuran fisik ibu yang diukur dalam posisi berdiri sikap sempurna tanpa alas kaki.
4) Anak stunting adalah anak yang tinggi badannya tidak sesuai umur dan hasil pengukuran antropometri menunjukkan ZScore kurang dari -2 SD sampai dengan -3 SD (pendek) dan kurang dari -3 SD (sangat pendek).
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer. Data primer dalam penelitian ini adalah:
1. Data karakteristik ibu (nama, umur, alamat, pendidikan terakhir, pekerjaan ibu dan suami, pendapatan rumah tangga, jumlah anggota keluarga) dan data karakteristik balita (nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, jumlah bersaudara) diperoleh dengan wawancara langsung dengan alat bantu kuesioner.
2. Riwayat ASI Eksklusif diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner.
3. Pola makan anak usia 2-5 tahun diperoleh dengan menggunakan Formulir Food Recall 24 jam untuk mengetahui jumlah asupan energi, karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin C, asupan besi, seng, magnesium, dan kalsium dalam ukuran rumah tangga lalu dikonversi dalam ukuran berat (gram).
Selanjutnya dari food recall tersebut dihitung keragaman jenis makanan anak
berdasarkan anjuran dari Kementerian Kesehatan (2014a) dalam isi piringku meliputi kelompok makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan dalam sehari makan. Food Frquency Questionnaire (FFQ) digunakan untuk melihat frekuensi makanan. Pengumpulan data pola makan dibantu oleh 4 orang enumerator dari mahasiswa FKM USU.
4. Data tinggi badan balita dan ibu diukur menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm.
Data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi data jumlah balita per kecamatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat.
Metode Pengukuran
Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: pola makan anak usia 2-5 tahun, tinggi badan ibu, dan status gizi anak (stunting dan tidak stunting).
Pengukuran pola makan. Pola makan terdiri dari pengukuran asupan gizi, jenis makanan, frekuensi makanan, riwayat ASI eksklusif. Riwayat pemberian ASI eksklusif menggunakan kuesioner dimana diberikan 5 pertanyaan dengan perincian sebagai berikut: jika menjawab ya diberi skor 1 dan tidak diberi skor 0, sehingga diperoleh skor 1x5=5. Hasil pengukuran riwayat ASI dikategori- kan menjadi dua yaitu ASI eksklusif: 5 (skor 100%) dan tidak ASI Eksklusif: 0-4 (skor <100%).
Data asupan gizi diperoleh dengan menggunakan Formulir Food Recall 24 jam dimana sampel akan menuliskan makanan yang dikonsumsi selama satu
hari beserta jumlahnya selanjutnya jumlah makanan yang dikonsumsi dikonversi-
30
kan dalam gram kemudian dihitung asupan zat gizi (energi, karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, seng, magnesium dan kalsium) harian yang dikon- sumsi menggunakan software Nutri Survey.
Setelah dihitung rata-rata seharinya dan dibandingkan dengan daftar angka kecukupan gizi yang dianjurkan, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan tingkat kecukupan gizi menurut WNPG (2004). Tingkat konsumsi energi, karbohidrat dan protein dikategorikan asupan lebih (>110% AKG), asupan baik (80-110% AKG), dan asupan kurang (<80% AKG). Vitamin dan mineral dikate- gorikan baik (> 77% AKG) dan kurang (≤ 77% AKG).
Pengukuran jenis makanan diperoleh dengan mencatat jenis-jenis makan yang dikonsumsi individu selama satu hari terakhir dengan menggunakan formulir
Food Recall 24 jam. Selanjutnya jenis makanan dikategorikan menjadi 1) Lengkap : 4 jenis makanan (makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-
buahan dalam sehari); dan 2) Tidak lengkap: < 4 jenis makanan dalam sehari.
Pengukuran frekuensi makanan diperoleh melalui Metode Food Frquency Questionnaire (FFQ) dimana dari metode ini dapat dilihat jenis dan frekuensi konsumsi makanan. Melalui metode ini hasil ukur dikategorikan sebagai berikut:
1) Sering (4-6 kali/minggu); 2) Kadang-kadang (1-3 kali/minggu); 3) Jarang (1-2 kali/bulan).
Tinggi badan ibu. Tinggi badan ibu diukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Setelah di ukur kemudian di hitung rata-rata tinggi badan ibu.
Stunting. Stunting diukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Kategori stunting dikategorikan menjadi tiga yakni Sangat
Pendek (TB/U < -3 SD); Pendek (TB/U -3SD s/d < -2 SD) dan Normal (TB/U -2 SD s/d 2 SD).
Metode Analisis Data
Setelah pengolahan data, tahap selanjutnya adalah menganalisa data dengan menggunakan aplikasi perangkat analisis statistik. Analisis yang dilaku- kan pada penelitian ini terbagi dua analisa yaitu analisis univariat dan bivariat.
Analisis univariat. Analisa ini digunakan untuk melihat proporsi pada variabel-variabel data penelitian seperti umur dan pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan suami, pendapatan, jumlah anggota keluarga, umur balita, jenis kelamin, urutan kelahiran anak, pola makan meliputi riwayat ASI, jenis makanan, jumlah asupan gizi dan frekuensi makan.
Analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui per- bedaan tinggi badan ibu dan pola makan pada anak stunting dan tidak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Langkat. Sebelumnya dilakukan uji Kolmogorov- Smirnov untuk melihat normalitas data. Apabila data berdistribusi secara normal maka digunakan uji T tidak berpasangan (Independent Sample T-Test). Sebalik- nya, bila data tidak berdistribusi normal, maka akan digunakan uji Mann- Whitney. Dari setiap variabel penilitian memiliki derajat kemaknaan dimana α=
5% (p<0,05), jika nilai p< 0,05 maka hipotesis (Ha) diterima sehingga dua variabel memiliki perbedaan yang bermakna sebaliknya p> 0,05 maka hipotesis (Ha) ditolak.
Hasil Penelitian
Deskripsi Lokasi Penelitian
Kabupaten Langkat merupakan salah satu dari 33 kabupaten/kota yang ada saat ini di Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis letak Kabupaten Langkat di- apit atau berbatasan langsung dengan empat kabupaten dan Selat Sumatera yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumatera dan Kabupaten Aceh Timur (Provinsi Nangroe Aceh Darussalam), di sebelah Timur berbatasan dengan Kabu- paten Deli Serdang, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sumatera dan Kabupaten Aceh Tenggara (Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Secara administratif Kabupaten Langkat terdiri dari 23 kecamatan, 37 kelurahan dan 240 desa, dengan luas wilayah 626.329 Ha (6.263,29 Km2).
Topografi wilayah Kabupaten Langkat bervariasi mulai dari datar untuk daerah sekitar pesisir pantai, bergelombang dan berbukit sampai bergunung untuk daerah hulu sungai, dengan ketinggian antara 0 - 1.200 m dpl, dengan garis pantai sepanjang 110 km dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah serta daerah yang berbatasan dengan Karo, Aceh Tenggara dan Gayo Lues merupakan daerah wisata karena merupakan Hutan Lindung kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Jumlah penduduk Kabupaten Langkat pada tahun 2019 menunjukkan bahwa persentase penduduk menurut kelompok umur 0-9 tahun sebanyak 20,01 persen, persentase penduduk berumur lima tahun ke atas yang tidak bersekolah lagi sebanyak 67,92 persen dan rata-rata penduduk menempuh sekolah paling