• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3. Hasil Tambahan Penelitian

a. Gambaran Mean pada 7 faktor resiliensi

Tabel 12. Gambaran Mean 7 Aspek Resiliensi Descriptive Statistics N Mean Std. Deviation Regulasi Emosi 60 9,03 2,822 Pengendalian Impuls 60 6,42 1,942 Optimisme 60 9,62 3,604 Analsis Penyebab Masalah 60 6,17 2,323 Empati 60 17,77 4,760 Efikasi Diri 60 10,53 2,943 Pencapaian 60 6,33 1,684

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur resiliensi dalam penelitian ini adalah The Resilence Quotient (RQ), yang disusun oleh Reivich & Shatte (2002). RQ tes ini merupakan alat tes yang telah baku. Alat ukur resiliensi ini didasarkan pada 7 faktor, yang terdiri dari, yaitu: Regulas Emosi, Pengendalian Impuls, Optimisme, Analisis Penyebab Masalah, Empati, Efikasi diri dan Pencapaian.

Berdasarkan pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean masing-masing faktor resiliensi sebagai berikut; regulasi emosi sebesar 9,03, Pengendalian Impuls sebesar 6,42, Optimisme sebesar 9,62, Analisis Penyebab Masalah sebesar 6,17, Empati sebesar 17,77, Efikasi Diri sebesar 10,53 dan Pencapaian sebesar 6,33.

72

b. Gambaran Mean pada 4 jenis Social Support

Tabel 13. Gambaran Mean 4 jenis Social Support Descriptive Statistics N Mean Std. Deviation Emotional Support 60 31,07 3,267 Instrumental Support 60 5,47 1,200 Informational Support 60 10,00 1,484 Companionship Support 60 27,48 3,202

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur social support dalam penelitian ini disusun berdasarkan 4 dimensi yang dikemukakan oleh Cohen, Mc. Kay (dalam Sarafino. 1990). Alat ukur ini didasarkan pada 4 jenis social support, yaitu ; Emotional support, Instrumental Support, Informational Support dan Companionship Support. Berdasarkan pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean masing-masing jenis social support sebagai berikut; Emotional support sebesar 31,07, Instrumental Support sebesar 5,47, Informational Support sebesar 10,00 dan Companionship Support sebesar 27,48.

73

c. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support pada pada masing-masing desa.

Tabel 14. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support pada masing-masing desa

Descriptive Statistics N Mean Resiliensi Mean Social Support Std. Deviation R Std Deviation SS Desa Gamber Desa Kutagugung Desa Simacem Desa Sukanalu Desa Tiga Pancur 14 6 15 13 12 70,36 62,33 61,80 65,92 67,42 73, 36 79,33 70,67 75,69 74,50 8,261 8,756 16,900 65,92 67,42 4,199 6,653 9,447 8,097 7,787

Berdasarkan pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean resiliensi pada masing-masing desa sebagai berikut; Gamber

sebesar 70,36, Kutagugung sebesar 62,33, Simacem sebesar 61,80, Sukanalu sebesar 65,92 dan Tiga Pancur sebesar 67,42. Untuk nilai mean

social support pada masing-masing desa, diperoleh hasil sebagai berikut;

Gamber sebesar 73,36, Kutagugung sebesar 79,33, Simacem sebesar 70,67, Sukanalu sebesar75,69 dan Tiga Pancur sebesar 74,50.

74

d. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan usia.

Tabel 15. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan usia

N Mean Resiliensi Mean Social Support Std. Deviation Resiliensi Std. Deviation Social Support Dewasa Dini Dewasa Madya 26 34 63,27 67,85 72,62 75,09 13,575 67,85 7,884 7,608

Dari pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean resiliensi Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan usia sebagai berikut; Dewasa Dini sebesar 63,27 dan Dewasa Madya sebesar 67,85. Dari pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean social support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan usia sebagai berikut; Dewasa Dini sebesar 72,62 dan Dewasa Madya sebesar 75,09.

75

e. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan Tingkat Pendidikan.

Tabel 16. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung Tingkat Pendidikan

N Mean Resiliensi Mean Social Support Std. Deviation Resiliensi Std. Deviation Social Suppot SD SMP SMA S1 21 20 16 3 66,52 69,55 61,44 60,33 74,67 74,70 71,94 76,00 10,221 11,985 17,907 1,528 6,740 7,519 9,719 4,359 Dari pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean resiliensi Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan tingkat pendidikan sebagai berikut; SD sebesar 66,52, SMP sebesar 69,55, SMA sebesar 61,44 dan S1 sebesar 60,33. Dari pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean social support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan tingkat pendidikan sebagai berikut; SD sebesar 74,67, SMP sebesar 74,70, SMA sebesar 71,94 dan S1 sebesar 76,00.

D. Pembahasan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa resiliensi pada Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung memiliki hubungan dengan social support. Adapun nilai korelasi (R) nya adalah sebesar 0,314; dengan p = 0,014. Nilai R yang positif menandakan bahwa arah hubungan

76

social support dan resiliensi bernilai positif, yang berarti semakin tinggi tingkat social support yang diterima dan diberikan Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung maka akan semakin tinggi juga tingkat resiliensi yang dimilikinya, demikian juga sebaliknya.

Untuk dapat menjadi individu yang resilien dalam situasi bencana seperti saat ini, Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung membutuhkan dukungan dari sekitarnya. Dukungan ini dapat berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Dipengungsian, kaum Perempuan Karo dapat memperoleh dukungan dalam bentuk emotional support jenis dukungan ini melibatkan rasa empati dan peduli terhadap seseorang yang akan memberikan perasan nyaman dan dapat membuat individu merasa lebih baik. Perempuan Karo dipengungsian saling menyemangati, saling membantu dan saling mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian dan dapat melewati bencana ini bersama-sama. Mereka percaya, ada keluarga yang masih akan berjuang bersama mereka dan ada Tuhan yang akan meringankan segala beban. Instrumental support meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata seperti memberikan barang bantuan kepada pengungsi,mereka beberapa kali mendapatkan bantuan dari pemerintah dan relawan. Prinsip adat yang dipegang erat oleh masyarakat Karo yang menyatakan bahwa orang Karo bersaudara karena marga dan prinsip kekerabatan yang ditanamkan sejak kecil menjadikan mereka tidak sulit

77

untuk berbagi kebutuhan dan barang-barang bantuan yang ada dipengungsian. Ada kalanya mereka akan mendapatkan bantuan secara personal, tetapi ketika bantuan itu tidak untuk semua orang, maka mereka tidak akan segan untuk berbagi dengan sesama pengungsi yang membutuhkan.

Informational support merupakan bentuk dukungan berupa pemberian nasehat, petunjuk ataupun informasi baru. Di pengungsian, kegiatan sharing dan kegiatan kegamaan menunjukkan adanya dukungan sosial yang terjadi antar sesama perempuan pengungsi. Bentuk social support yang selanjutnya adalah Companionship support adalah jenis dukungan yang diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok.

Kehidupan masyarakat Karo berpusat di Kuta (desa), disanalah sebagian besar mereka tinggal (Prints, 1996). Pada umumnya masyarakat desa yang mengungsi akibat erupsi gunung Sinabung merupakan penduduk dari Kuta yang sama. Kuta masyarakat Karo mempunyai tata susunan yang berdasarkan adat. Setelah terjadi erupsi Gunung Sinabung dan mengharuskan mereka untuk tinggal dipengungsian, mereka tetap menjalankan kehidupan sesuai dengan peraturan adat seperti rakut sitelu dan beberapa peraturan adat tentang desa, hal inilah yang menjadikan mereka tetap merasakan dukungan dari kelompoknya.

Perbedaan budaya menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat resiliensi seseorang. Perempuan Karo pada umumnya

78

dibesarkan dengan budaya yang mengajarkan mereka untuk menjadi sosok yang tangguh. Perempuan Karo sejak kecil sudah terbiasa dengan pekerjaan yang berat seperti membantu orang tua mengurus rumah tangga dan mencari nafkah tetapi tidak dijadikan sebagai kaum yang dominan di dalam adat, bahkan cenderung tidak diperhitungkan keberadaannya.

Dalam budaya Karo, perempuan secara tradisional kedudukannya adalah sebagai pelengkap yang dalam istilah Karo disebut Sirukatnakan

(penyendok nasi). Sirukatnakan berarti, perempuan harus membantu suami, dalam hal seperti mencari nafkah dan mengurus rumah tangga, tetapi perempuan tidak memiliki hak waris dan hak berbicara dalam adat. Urusan rumah tangga seperti memasak, menganyam tikar sampai mencari kayu bakar dan membantu suami mencari nafkahlah yang menjadi bagian dari tanggung jawab perempuan Karo. Hal ini membuat mereka dapat menghadapi masa-masa sulit selama di pengungsian dan menjadikan mereka orang yang resilien. Mereka beradaptasi dalam menjalani kehidupannya dan proses untuk kembali beradaptasi seperti semula. Resiliensi adalah kapasitas untuk melambung dari kesukaran hidup. Walsh (2006) mengungkapkan ini adalah proses aktif dari ketahanan, perbaikan diri dan pertumbuhan dalam merespon tantangan. Hal ini menolong kaum perempuan di pengungsian untuk tetap kuat dan bertahan meskipun ada banyak kesulitan yang mereka rasakan sebagai penyintas erupsi Gunung Sinabung.

79

Perempuan-perempuan Karo merupakan kaum yang resilien, mereka tidak hanya akan bertahan dan berdiam diri meratapi nasib di pengungsian tetapi mereka juga berjuang untuk mendapatkan hasil yang positif dengan berbagai cara seperti tetap menghadapi tantangan dan tetap berfikiran positif. Mereka juga kembali menyelaraskan diri dan beradaptasi di pengungsian. Sesuai dengan pernyataan Walsh (2006) bahwa individu yang resilien percaya bahwa akan membuang waktu jika hanya menyesak dan mengobati luka, akan lebih baik jika melihat kembali apa yang sudah terjadi dan mencoba mengambil pelajaran. Sejalan dengan teori, perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung tidak membuang-buang waktu mereka dengan meratapi musibah yang terjadi, mereka menyadari mereka tidak sendirian. Berdasarkan pertalian adat dan persaudaraan yang kuat, mereka menghadapi kehidupan dipengungsian dengan saling mendukung dan mencoba mengambil pelajaran bahwa musibah bukanlah hal yang harus diratapi tetapi harus di jadikan pelajaran kehidupan yang berharga.

Individu yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada orang-orang di sekitarnya. Dalam hal ini kaum Perempuan Karo di pengungsian mulai bergerak dan bangkit dengan menunjukkan dukungan terhadap satu sama lain, mereka saling menyemangati, saling membantu dan saling mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian dan dapat menghadapi bencana ini bersama-sama. Reiveich & Shatte (2002) menyatakan kurangnya dukungan orang lain lain akan menghambat

80

penyembuhan. Dukungan sosial juga dikaitkan dengan kemampuan yang membantu seseorang ketahanan menghadapi stress. Lazarus dan Folkman mendefinisikannya dukungan sosial sebagai sumber dari personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan coping. Untuk bertahan di pengungsian akibat bencana dan ketika berhadapan dengan kondisi-kondisi yang menekan diperlukan 3 aspek yang disebut sebagai protective factor. Istilah protective factor merupakan faktor-faktor yang membantu dan mendukung untuk bangkit dan pulih dari kesulitan yang dihadapi. Tiga aspek yang termasuk dalam dalam protective factors (Everall, dkk) yaitu : individu, keluarga dan faktor eksternal atau komunitas.

Sejalan dengan teori diatas, keberadaan keluarga dan faktor dukungan lingkungan menjadi hal yang mempengaruhi kekuatan perempuan Karo untuk bangkit dan bertahan menghadapi tekanan akibat bencana erupsi Gunung Sinabung. Posko pengungsian yang dibagi berdasarkan desa tempat mereka tinggal menjadikan dukungan antara sesama pengungsi terjadi secara alami. Perasaan persaudaraan yang kuat dan keadaan yang mengharuskan mereka untuk berbagi, berinteraksi dan menjalani keseharian bersama memberikan ketenagan pada perempuan Karo bahwa walaupun harta dan ladang mereka terkena abu erupsi, bencana ini akan segera terlewati dan mereka tidak mengalaminya sendirian. Penerimaan yang diberikan lingkungan pengungsian juga menjadi salah satu faktor yang memberikan kekuatan.

81

Bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah, kegiatan sharing, menghabiskan waktu bersama dan kegiatan keagamaan menunjukkan adanya dukungan sosial yang terjadi antar sesama perempuan pengungsi. peran significant others juga dapat memotivasi untuk melakukan hal yang terbaik. Melalui afiliasi dan identifikasi dengan lingkungan sosial, individu dapat meningkatkan kualitas ketahanannya terhadap guncangan dan stress sehingga menjadi lebih resilien (Warner, dalam Everall, dkk, 2006).

Social support yang tinggi yang dimiliki perempuan Karo berperan penting dalam membantu mereka untuk bangkit memulai kembali dari titik nol kehidupan mereka sebagai penyintas erupsi Gunung Sinabung. Hubungan kekeluargaan, bantuan dari pemerintah, kehadiran relawan menambah semangat mereka dan membantu mereka untuk tetap optimis berharap keadaan Gunung Sinabung akan semakin membaik dan mereka akan segera mendapatkan bantuan berupa ladang ataupun sumber penghasilan yamg lain.

Reivich dan Shatte (2002) dalam bukunya The Resilience Factor: Seven Essential Skills For Overcoming Life's Obstacles menjelaskan ada tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu emotion regulation

(regulasi emosi), impuls control (pengendalian impuls), optimism

(optimisme), empathy (empati), causal analysis (analisis penyebab masalah), Self-Efficacy (efikasi diri) dan reaching out. Berkaitan dengan pendapat diatas, rata-rata perempuan Karo Penyintas erupsi Gunung Sinabung adalah kaum yang resilien. Sebahagian besar dari mereka

82

mampu untuk berfikir positif ketika menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung. Dalam menghadapi setiap bencana alam seperti erupsi Gunung Sinabung dan konflik yang terjadi pasca mengungsi, perempuan Karo akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi masalah, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Berdasarkan pengataman peneliti di lokasi pengungsian adalah perempuan Karo gemar bertukar pikiran dan bercerita ketika ada hal yang mengganjal di hatinya. Mereka tidak menyimpannya sebagai beban, mereka melihatnya sebagai sebuah jalan lain menuju pengembangan yang lebih baik lagi dalam kehidupan.

Bencana erupsi Gunung Sinabung merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stress yang tinggi sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi dan mengendalikan diri. Dampak yang dirasakan begitu ekstrim, menguras emosional dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik yaitu (1) mereka menunjukkan task oriented coping style mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan, yang pada perempuan Karo ditunjukkan dengan kegiatan menonton tv bersama, bercerita antar sesama pengungsi dan memasak bersama. (2) mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka. Pada perempuan Karo, hal ini dapat dilihat dari

83

orang lain) dari pagi hari bersama kelompok aron (tani) mereka, kemudian pada malam harinya barulah mereka kembali kepengungsian. (3) individu yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma dan mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan. Pasca erupsi Gunung Sinabung perempuan Karo yang telah tinggal dipengungsian selama lebih kurang selama 3 tahun, secara bertahap mampu untuk kembali menjalani kehidupan mereka secara normal. Mereka berkegiatan bersama pengungsi lainnya seperti memasak bersama, mengurus anak, berladang, berdiskusi hingga menonton tv. Hal ini termasuk kedalam interaksi sosial yang berhubungan dengan social support yang bermanfaat untuk mengatasi kesedihan trauma atas pengalaman bencana erupsi dan kerugian berupa moril dan material yang mereka alami.

Berdasarkan klasifikasi usia yang diperoleh dari data penelitian, ditemukan bahwa Perempuan Karo yang berada pada kategori dewasa madya memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dari Perempuan Karo yang berada pada kategori dewasa muda. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mean sebesar 67,85 untuk kategori perempuan Karo dalam usia dewasa madya sementara untuk perempuan Karo dalam kategori dewasa dini, diperoleh nilai mean sebesar 63,27. Sesuai dengan faktor-faktor resiliensi yang dikemukakan oleh Grotberg (2004) Usia mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Individu dengan usia dewasa muda (20-40 tahun keatas) dan individu dengan usia dewasa madya (40 tahun keatas-60

84

tahun) merupakan golongan individu yang mempunyai pengalaman hidup berbeda dan lebih kaya daripada kelompok usia anak dan dewasa. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, kemampuan individu akan semakin bertambah untuk menjadi seseorang yang resilien.

Informasi tambahan yang dilihat peneliti dilapangan, penyintas dari beberapa desa telah mendapatkan rumah relokasi di daerah Siosar dan sepetak tanah untuk mengganti ladang mereka yang terkena erupsi Gunung Sinabung . Pemerintah menghimbau mereka untuk menanam kentang karena sebagian besar masyarakat Karo mencari nafkah sebagai petani.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran untuk pengembangan penelitian ini.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan positif antara resiliensi dengan social support pada perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung.

2. Kebudayaan Karo yang berintikan Daliken Sitelu berfungi sebagai sistem kekerabatan pada masyarakat Karo dan memiliki hubungan yang positif terhadap resiliensi dan social support pada Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung.

3. Berdasarkan pengolahan data hasil penelitian, diperoleh bahwa nilai mean tertinggi pada variabel resiliensi adalah faktor empati dan nilai mean terendah

diperoleh faktor analisis penyebab masalah Sedangkan untuk variabel social

support nilai mean tertinggi adalah emotional support dan nilai mean terendah

adalah instrumental support. Selanjutnya, dari hasil penelitian tambahan

diperoleh data sebagai berikut :

a. Berdasarkan usia, diperoleh bahwa Perempuan Karo usia dewasa

madya memiliki tingkat resiliensi dan social support yang lebih tinggi

daripada Perempuan Karo yang berusia dewasa muda.

b. Berdasarkan asal desa, diperoleh data bahwa, tingkat resiliensi tertinggi pada Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung

86

berasal dari Desa Gamber dan yang terendah berasal dari Desa Simacem. c. Berdasarkan tingkat pendidikan, Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung dengan tingkat pendidikan S1 memperoleh nilai mean tertinggi sementara Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung dengan tingkat pendidikan SMA memperoleh nilai mean yang terendah.

B. SARAN

Adapun saran-saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:

1. Saran Metodologis

a. Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan alat ukur resiliensi yang lebih sesuai dengan masyarakat Karo

b. Untuk penelitian selanjutnya, yang akan melibatkan masyarakat Karo, diharapkan untuk menggunakan bahasa setempat yaitu Bahasa Karo agar lebih dipahami oleh responden.

c. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat berfokus pada desa-desa lain tempat tinggal penyintas erupsi Gunung Sinabung yang telah direlokasi oleh pemerintah.

d. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode Focus Group Discussion jikaingin melakukan penelitian mengenai perempuan ataupun masyarakat Karo. Metode ini akan menjadikan penelitian lebih praktis dan data yang diperoleh akan lebih banyak.

87

2. Saran Praktis

Adapun saran-saran yang dapat diberikan kepada perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung adalah agar mereka dapat mempertahankan budaya saling mendukung dan tetap kuat dalam menghadapi situasi apapun dalam kehidupan. Rasa persaudaraan dan saling dukung yang didapatkan dipengungsian menjadi aspek positif yang akan berdampak pada ketahanan mereka menghadapi bencana. Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga-lembaga dan perempuan Karo serta penyintas pada umumnya untuk menyadari bahwa social support dapat menjadi modal dasar untuk menjadi insan yang resilien, dan pada akhirnya ketangguhan kaum perempuan Karo dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat luas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk tidak hanya bertahan melainkan juga tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih baik setelah mengalami keadaan hidup yang sulit (Eisendrath,1996). Resiliensi memungkinkan individu untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sukses dalam menghadapi keadaan hidup yang sulit. Kesuksesan dalam menghadapi kesulitan hidu tersebut dapat dilihat dari tumbuhnya kepercayaan diri individu untuk menghadapi berbagai rintangan yang mungkin muncul dalam kehidupan mendatang.

Pelling (2011) menyatakan bahwa resiliensi secara umum dimengerti sebagai derajat elastisitas dalam sistem, kemampuan untuk rebound (memantul) atau bounce back (melambung kembali) setelah merasakan stress atau goncangan.

Kata resiliensi sendiri berasal dari kata “resilience” yang artinya daya pegas, daya

kenyal. Gotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan indvidu untuk mengatasi, menghadapi, dan menjadikan suatu rintangan sebagai kekuatan diri dan tetap melaksanakan perubahan dalam ujian kehidupan Kapastitas itulah yang membuat seseorang bisa bertahan dan mampu beradaptasi dalam masa kesukaran.

Lebih lanjut, Reivich dan Shatte dalam bukunya The Resiliency Factors

17

terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam kehidupannya dan orang yang resilien itu akan mengalami pencapaian-pencapaian dalam hidup (Reivich dan Shatte, 2002). Sejalan dengan definisi tersebut, Connor dan Davidson (2003) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah kualitas personal seseorang yang memungkinkannya untuk berkembang dalam menghadapi menghadapi kesulitan dalam hidup. Dengan kualitas personalnya yang dimilikinya, diharapkan individu yang mengalami kesulitan dalam hidup dapat bangkit dan tidak kalah dengan keadaan.

Walsh (2006) menyatakan resiliensi adalah lebih dari berjuang, melewati tantangan atau menghindar dari cobaan yang berat. Orang yang berjuang bisa tidak resilien beberapa bisa terjebak sebagai korban, merawat luka mereka dan terhambat dari perkembangan karena kemarahan dan rasa bersalah. Setiap individu memiliki stress kehidupan dalam dirinya, beberapa memiliki trauma, yang lain memiliki luka-luka, ada juga yang mengalami peristiwa yang menggoncangkan. Walsh (2006) menambahkan bahwa resiliensi berbicara mengenai kemampuan untuk menangani kesukaran: apakah trauma bisa tidak terselesaikan atau tidak atau apakah pengalaman kesukaran akan menghancurkan diri seseorang atau tidak. Hal serupa dinyatakan oleh Cougle, dkk (2008) resiliensi membuat seseorang bisa bertahan dan bebas secara emosional terhadap sebuah trauma. Kaplan dalam Vambreda (2001) mengemukakan bahwa resiliensi adalah sebuah konstruk psikologis yang didefinisikan dalam hal kehadiran faktor

18

protektif (personal, sosial, keluarga dan jaringan institusi) yang membuat individu bertahan dalam stress kehidupan.

Berdasarkan definisi-definsi yang telah disebukan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan dan kapasitas individu untuk beradaptasi dan bangkit kembali setelah mengalami peristiwa sulit dalam hidupnya, kemampuan ini bahkan membuat individu mengalami pencapaian-pencapaian kehidupan.

2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002) dalam bukunya The Resilience Factor: Seven Essential Skills For Overcoming Life's Obstacles menjelaskan ada tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu emotion regulation (regulasi emosi), impuls control (pengendalian impuls), optimism (optimisme), empathy

(empati), causal analysis (analisis penyebab masalah), self-efficacy (efikasi diri) dan reaching out.

Dokumen terkait