• Tidak ada hasil yang ditemukan

 

tempat budidaya. Komposisi kimia fillet skinless ikan patin pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia fillet ikan patin skinless

Senyawa Jumlah (%) Air 78,45 ± 0,16 Abu 0,39 ± 0,05 Lemak 2,97 ± 0,03 Protein 16,56 ± 0,07 Karbohidrat (by different) 1,63 ± 0,4

Komposisi kimia steak ikan patin pada penelitian Viji et al. (2012) adalah kadar air 77%, kadar protein 16,5%, kadar lemak 4% dan kadar abu 0,97%. Sedjati et al. (2007) menyatakan ikan memiliki kadar air yang tinggi. Kadar air merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan. Air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan media yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan aktivtas mikroorganisme. Yanti et al. (2009) menyatakan bahwa kandungan air yang tinggi pada bahan pangan mengakibatkan proses perubahan protein secara mikrobiologis menghasilkan senyawa-senyawa nitrogen yang lebih sederhana dan merupakan substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga mempercepat proses kemunduran mutu ikan.

Proses pengolahan fillet ikan patin menghasilkan daging fillet sebagai hasil utama dan bagian kepala, tulang ekor, kulit, daging belly flap (daging pada bagian perut), dan isi perut sebagai sisa ataupun limbah. Kadar lemak pada fillet ikan yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2,97%. Orban et al. (2008) menyatakankan bahwa fillet patin untuk pasar Uni Eropa kadar lemaknya harus berkisar antara 1,1-3%. Ikan patin memiliki kandungan lemak yang tinggi pada bagian isi perut, yaitu mencapai 35,32%. Hal ini dikarenakan ikan patin memiliki bagian lemak abdomen yang tersimpan di bagian isi perut sehingga menyumbang kadar lemak yang cukup tinggi untuk ikan patin (Hastarini et al. 2012).

Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin Skinless pada Penyimpanan Suhu Chilling Organoleptik

Tahapan kemunduran mutu fillet skinless ikan patin ditentukan melalui pengamatan organoleptik. Pengamatan fillet ikan patin skinless dilakukan pada hari ke 0, 2, dan 5. Kenampakan fillet ikan pada penyimpanan awal masih berwarna sangat cemerlang dan menarik karena belum mengalami perubahan secara fisik, biokimia, maupun mikrobiologi. Lama perendaman dan konsentrasi kitosan berpengaruh terhadap kenampakan dari fillet ikan patin skinless. Hasil uji Kruskal Walis menunjukkan bahwa fillet ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% pada penyimpanan hari ke 2 dan 5 memiliki nilai organoleptik yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Fillet ikan patin skinless

kontrol memiliki nilai organoleptik terendah dan berbeda nyata dengan fillet yang direndam selama 1 dan 3 menit (Lampiran 5 dan 6). Hasil pengamatan organoleptik kenampakan fillet skinless ikan patin pada penyimpanan hari ke 0, 2, dan 5 disajikan pada Gambar 4.

17  

Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

(a)

Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

(b)

Gambar 4 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu kenampakan fillet ikan patin skinless

Hasil pengamatan organoleptik akan berkolerasi dengan pertumbuhan mikroorganisme dan juga analisis kimia dari fillet ikan patin skinless. Nilai organoleptik fillet ikan cenderung menurun untuk setiap perlakuan seiring dengan makin lamanya penyimpanan, namun kerusakan terjadi lebih lambat pada sampel yang dilapisi dengan kitosan dibandingkan sampel fillet ikan kontrol. Hal ini menandakan adanya penghambatan kemunduran mutu organoleptik kenampakan oleh larutan kitosan. Mohan et al. (2012) menyatakan kemunduran nilai kenampakan diakibatkan oleh proses kemunduran mutu fillet ikan yang terjadi akibat adanya aktivitas mikroorganisme, sehingga pigmen pada daging kehilangan kecerahan dan daging menjadi kusam. Kitosan memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat mengurangi jumlah mikroorganisme dan memperpanjang daya simpan fillet ikan (Ojagh et al. 2010). Edible coating kitosan bersifat sebagai pelindung sehingga dapat memperlambat kemunduran mutu kenampakan fillet.

a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H0 H2 H5 N il a i Org a no le pt ik Kenam p ak an Hari ke Kontrol 1 Menit 3 Menit a a a a a a a b b a b b 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H0 H2 H5 N il a i Organ ole p tik Ke namp akan Hari ke kontrol 0% 1% 2%

18  

Krochta et al. (1994) menyatakan kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat bersifat sebagai penghalang yang baik antara lingkungan dan daging sehingga dapat meminimalkan kontaminasi, karena coating polimer kitosan dapat membentuk matriks yang kuat dan kompak. Mohan et al. (2012) menyatakan bahwa edible coating kitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter sensori dari fillet ikan Sardinella longiceps. Fillet ikan Sardinella longiceps yang dilapisi dengan kitosan 2% mengalami penurunan nilai kenampakan yang lebih lambat dibandingkan fillet tanpa pelapisan kitosan. Hasil pengamatan organoleptik bau fillet skinless ikan patin disajikan pada Gambar 5.

Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

(a)

Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

(b)

Gambar 5 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu bau fillet ikan patin skinless

Fillet ikan segar memiliki bau yang sangat segar dan spesifik jenis sedangkan bau fillet ikan yang sudah busuk memiliki bau amoniak yang keras dan busuk (BSN 2006a). Lama perendaman dan konsentrasi kitosan berpengaruh pada

a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H0 H2 H5 N il a i Organ ole p tik B a u Hari ke kontrol 1 menit 3 menit a b b a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H0 H2 H5 Nil a i Organ ol eptik B a u Hari ke kontrol 0% 1% 2%

19  

bau dari fillet ikan patin skinless. Fillet ikan yang disimpan selama 2 hari mengalami penurunan nilai organoleptik bau (p<0,05) (Lampiran 7) pada fillet

kontrol dan fillet yang direndam dalam larutan asam asetat (konsentrasi kitosan 0%). Penurunan nilai bau fillet masih terus terjadi hingga penyimpanan selama 5 hari. Nilai bau terendah terdapat pada fillet dengan perlakuan kontrol (p<0,05) (Lampiran 8), sementara fillet yang dilapisi dengan kitosan 1 dan 2% memiliki bau yang tidak berbeda. Fillet ikan patin skinless kontrol memiliki nilai organoleptik bau terendah dan berbeda nyata dengan fillet yang direndam selama 1 dan 3 menit. Hal ini menandakan adanya penghambatan kemunduran mutu bau oleh larutan coating kitosan.

Bau busuk pada ikan disebabkan oleh kandungan asam lemak tidak jenuh yang mengalami proses oksidasi serta terbentuknya senyawa amonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa hasil metabolisme dari mikroorganisme (Ridwansyah 2002). Oksigen merupakan salah satu faktor kunci yang dapat menyebabkan oksidasi, sehingga terjadi perubahan bau, warna, dan rasa yang tidak diinginkan serta terjadinya penurunan nutrisi makanan. Edible coating dapat berperan sebagai penghalang oksigen yang baik sehingga dapat mempertahankan kualitas makanan (Elsabee dan Abdou 2013). Kitosan sebagai polimer karbohidrat memiliki sifat selektif permeabel terhadap gas, sehingga selektif dalam mengontrol difusi berbagai gas dan dapat memodifikasi atmosfer dengan menurunkan laju transpirasi. Edible coating kitosan yang diaplikasikan pada fillet

ikan dapat memperlambat perubahan biokimia pada makanan sehingga menghambat timbulnya bau yang tidak disukai panelis (Dutta et al. 2009).

Kitosan sebagai bahan aditif pada makanan memiliki aktivitas antioksidan karena berkaitan dengan sifat kitosan sebagai agen pengkelat. Kitosan bertindak sebagai antioksidan sekunder dengan berikatan dengan logam dan mencegah terjadinya oksidasi lipid (Rhazi et al. 2002) dan dapat bertindak sebagai antioksidan primer dengan mendonorkan elektron atau atom hidrogen kepada radikal bebas (Georgantelis et al. 2007). Hasil penelitian mengenai edible coating

kitosan yang dilakukan oleh Mohan et al. (2012) menunjukkan bahwa mutu bau

fillet ikan Sardinella longiceps yang dilapisi dengan kitosan dapat dipertahankan hingga 5 hari penyimpanan, sedangkan fillet tanpa coating hanya bertahan selama 3 hari penyimpanan.

Tekstur daging fillet ikan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kesegaran ikan. Fillet ikan patin pada penyimpanan awal memiliki tekstur elastis, padat, dan kompak, terlihat jika fillet ikan patin ditekan dengan jari, maka akan kembali seperti semula. Lama perendaman dan konsentrasi kitosan berpengaruh pada tekstur dari fillet ikan patin skinless. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa fillet ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% pada penyimpanan hari ke 2 dan 5 memiliki nilai organoleptik tekstur yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Fillet ikan patin

skinless kontrol memiliki nilai organoleptik terendah dan berbeda nyata (p<0,05) dengan fillet yang direndam selama 1 dan 3 menit (Lampiran 9 dan 10). Hal ini menandakan adanya penghambatan kemunduran mutu tekstur fillet ikan patin

skinless oleh larutan coating kitosan. Hasil pengamatan organoleptik tekstur fillet skinless ikan patin disajikan pada Gambar 6.

20  

  Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)  

(a)

Keterangan: Huruf yang berbeda pada diagram batang dengan hari yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

(b)

Gambar 6 Pengaruh lama perendaman (a) dan konsentrasi kitosan (b) terhadap kemunduran mutu tekstur fillet ikan patin skinless

Proses kemunduran mutu dapat menyebabkan tekstur daging ikan menjadi lunak karena adanya proses autolisis oleh enzim (Suptijah et al. 2008). Kitosan dapat berperan untuk mengimobilisasi enzim, sehingga pembusukan yang terjadi karena autolisis dapat dihambat (Hirano 1988). Penurunan nilai tekstur juga dapat disebabkan oleh kerusakan struktur jaringan daging ikan. Kerusakan jaringan ikan dapat menyebabkan daging kehilangan sifat kelunturannya dan kelihatan menjadi lunak. Kerusakan jaringan disebabkan oleh perubahan biokimia dan aktivitas mikroba (Renur 2014). Kitosan memiliki struktur khusus dengan kelompok amino reaktif sehingga kitosan menjadi senyawa bioaktif yang memperlihatkan fungsi antimikrobial (Kumar et al. 2004) dan dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroorganisme antara lain bakteri, jamur, dan ragi (Sagoo et al. 2002).

Ojagh et al. (2010) menyatakan bahwa fillet ikan trout (Oncorhynchus mykiss) yang dilapisi dengan kitosan 2% mampu bertahan hingga 16 hari pada penyimpanan suhu chilling (4ºC) sementara tanpa perlakuan coating kitosan

a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H0 H2 H5 Ni lai Or ganol ep ti k T e k stu r Hari ke Kontrol 1 menit 3 menit a b b a b b a a a a a a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H0 H2 H5 N ila i O rg a n o le p ti k T e kst u r Hari ke kontrol 0% 1% 2%

21  

hanya bertahan selama 8 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian coating

kitosan dapat menambah umur simpan ikan. Penggunaan kitosan dapat menghambat kemunduran mutu ikan sehingga dapat mempertahankan tekstur daging selama penyimpanan.

Perubahan nilai organoleptik fillet ikan sangat berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan tersebut (Viji et al. 2014). Nilai organoleptik untuk ikan segar adalah 7-9 (BSN 2006), oleh karena itu fillet ikan patin pada penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-2 tergolong ikan segar untuk semua perlakuan. Nilai organoleptik 5 merupakan ambang batas dari kesegaran ikan, sehingga fillet ikan dengan perlakuan kontrol dan kitosan 0% tergolong tidak segar pada penyimpanan hari ke-5. Fillet ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% masih memiliki nilai organoleptik 5,5-7 pada penyimpanan hari ke-5.

Fillet ikan dengan perendaman antara 1 dan 3 menit dalam larutan kitosan 1 dan 2% menghasilkan nilai tidak berbeda. Kurnianingrum (2008) mengatakan bahwa perlakuan perendaman udang dengan menggunakan kitosan selama 3 menit memiliki nilai organoleptik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perendaman dengan waktu yang lebih lama. Hal ini diduga karena asam pada larutan kitosan memiliki efek yang dapat mengubah penampakan produk, sehinggadapat menurunkan nilai organoleptik.

Mohan et al. (2012) menyatakan nilai organoleptik ikan Sardinella longiceps yang dilapisi larutan kitosan mengalami nilai yang cenderung menurun sering dengan lamanya penyimpanan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa ikan yang dilapisi kitosan 1 dan 2% memiliki nilai organoleptik kenampakan, warna, dan bau yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol. Deskripsi hasil organoleptik fillet ikan patin skinless dengan pelapisan kitosan dengan konsentrasi 1 dan 2% dapat dilihat pada Tabel 5.

 

Tabel 5 Deskripsi hasil organoleptik kemunduran mutu fillet ikan patin skinless

Kenampakan Bau Tekstur

Hari ke-0

Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi, menarik dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun

linea lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah. Bau sangat segar, spesifik jenis Elastis, padat dan kompak Hari ke-2

Daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun

linea lateralis berwarna merah dan tidak terbelah. Bau segar, spesifik jenis Cukup elastis dan agak Lunak Hari ke-5

Daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang dan garis yang terbentuk dari

tulang belakang maupun linea lateralis

merah kecoklatan dan sedikit terbelah.

Bau kurang segar, sedikit bau amoniak Kurang elastis dan lunak Derajat Keasaman (pH)

Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan pH pada fillet ikan selama proses penyimpanan. Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan. Perubahan nilai pH fillet

22  

Tabel 6 Perubahan nilai pH fillet ikan patin skinless

Nilai pH pada penyimpanan hari ke

Perlakuan 0 2 5 Kontrol 6,38 ± 0,02a 6,24 ± 0,21a 6,68 ± 0,11bc Kitosan 0% 1 Menit 6,44 ± 0,02a 6,24 ± 0,00a 6,53 ± 0,00a Kitosan 0% 3 Menit 6,43 ± 0,16a 6,13 ± 0,11a 6,87 ± 0,01a Kitosan 1% 1 Menit 6,55 ± 0,09a 6,39 ± 0,16a 6,86 ± 0,01a Kitosan 1% 3 Menit 6,51 ± 0,10a 6,46 ± 0,08a 6,74 ± 0,02ab Kitosan 2% 1 Menit 6,55 ± 0,00a 6,47 ± 0,01a 6,59 ± 0,06bc Kitosan 2% 3 Menit 6,49 ± 0,11a 6,36 ± 0,04a 6,49 ± 0,01d

Keterangan: Angka yang disertai huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

Nilai pH fillet ikan cenderung menurun pada penyimpanan hari ke-2, namun meningkat pada penyimpanan hari ke-5. Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa pH fillet ikan pada awal penyimpanan dan setelah penyimpanan dua hari memiliki nilai yang tidak berbeda (p>0,05) (Lampiran 11 dan 12). Hal ini disebabkan oleh cara pematian ikan patin yang sama sehingga kadar glikogen awal pada daging fillet ikan tidak berbeda. Nilai pH setelah ikan mati umumnya mendekati netral, yaitu sekitar 6,8 hingga netral (Eskin 1990).

Nilai pH ikan pada penyimpanan hari ke-2 mengalami penurunan. Kadar glikogen awal yang tidak berbeda menyebabkan penurunan pH pada hari kedua tidak berbeda (p>0,05). Proses glikolisis tetap berlangsung setelah ikan mati, karena enzim-enzim dalam ikan masih aktif. Oleh karena tidak ada lagi pasokan oksigen, maka tidak lagi terjadi pembentukan glikogen melainkan justru terjadi pembongkaran glikogen yang merupakan sumber energi menjadi asam laktat dalam kondisi anaerob, sehingga terjadi penumpukan asam laktat dalam daging ikan. Arannilewa et al. (2005) menyatakan adanya penumpukan asam laktat akan menyebabkan pH ikan menjadi turun.

Fillet ikan yang disimpan selama 5 hari mengalami peningkatan nilai pH. Lama perendaman, konsentrasi kitosan dan interaksi antara lama perendaman dan konsentrasi kitosan mempengaruhi nilai pH dari fillet ikan patin skinless pada penyimpanan hari ke-5. Berdasarkan analisis ragam, diketahui bahwa nilai pH

fillet ikan mengalami peningkatan nilai terkecil pada fillet ikan yang dilapisi dengan kitosan 2% selama 3 menit (p<0,05) (Lampiran 13). Peningkatan nilai pH pada fillet ikan mengindikasikan telah terjadi penurunan mutu pada fillet ikan. Waktu penyimpanan yang semakin lama akan cenderung meningkatkan nilai pH karena adanya produksi senyawa-senyawa basa volatil akibat aktivitas bakteri (Arannilewa et al. 2005) dan dapat juga disebabkan oleh proses autolisis yang mengakibatkan terjadinya penguraian protein pada daging ikan oleh enzim menjadi senyawa-senyawa yang sederhana (Li et al. 2013). Buckle et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa mikroorganisme dapat memecah senyawa sumber energi bagi kehidupan, biasanya senyawa organik, misalnya protein, lemak, gula, atau senyawa anorganik yang secara ilmiah ada dalam bahan pangan.

Hasil penelitian Mohan et al. (2012) menunjukkan bahwa nilai pH fillet

ikan Sardinella longiceps tanpa coating kitosan meningkat lebih cepat bila dibandingkan dengan pH fillet ikan yang dilapisi dengan kitosan. Peningkatan nilai pH pada fillet ikan dapat dihambat dengan coating kitosan. Hal ini disebabkan oleh kitosan yang memiliki sifat sebagai antimikroba dengan sasaran

23  

target mikroba yang luas (Aider 2010) dan dapat berperan untuk mengimobilisasi enzim (Hirano 1988), sehingga proses kemunduran mutu yang terjadi karena aktivitas mikroba dan autolisis dapat dihambat.

Mikrobiologi

Aktivitas mikroba menjadi penyebab utama untuk pembusukan pada bahan pangan segar, terutama seafood. Hal ini menyebabkan perhitungan jumlah total mikroorganisme dalam bahan pangan menjadi standar wajib (Li et al. 2013). Salah satu metode untuk menentukan jumlah mikroorganisme pada ikan adalah dengan analisis TPC. Hasil analisis TPC fillet ikan patin skinless dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Perubahan nilai TPC fillet ikan patin skinless

Perlakuan Nilai TPC (log CFU/g) pada penyimpanan hari ke

0 2 5 Kontrol 3,53 ± 0,29a 6,79 ± 0,08a 8,05 ± 0,14a Kitosan 0% 1 Menit 3,78 ± 0,47a 5,33 ± 0,07a 8,15 ± 0,00a Kitosan 0% 3 Menit 2,94 ± 0,19ab 4,78 ± 0,13a 7,99 ± 0,01a Kitosan 1% 1 Menit 3,34 ± 0,37a 4,96 ± 0,17a 7,91 ± 0,12a Kitosan 1% 3 Menit 2,93 ± 0,10ab 5,33 ± 0,50a 7,37 ± 0,09b Kitosan 2% 1 Menit 2,65 ± 0,04ab 4,74 ± 0,09a 7,24 ± 0,02bc Kitosan 2% 3 Menit 2,53 ± 0,02b 3,86 ± 1,16a 7,03 ± 0,07c

Kterangan: Angka yang disertai huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

Lama perendaman berpengaruh terhadap nilai TPC dari fillet ikan patin

skinless pada penyimpanan hari ke-2. Konsentrasi kitosan, lama perendaman, dan interaksi antara konsentrasi kitosan dan lama perendaman mempengaruhi nilai TPC pada penyimpanan hari ke-5. Hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah bakteri seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan

fillet ikan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai log TPC terkecil fillet

ikan pada awal penyimpanan terdapat pada fillet yangdilapisidengan kitosan 2% dan direndam selama 3 menit (p<0,05). Nilai log TPC fillet ikan patin skinless

mengalami peningkatan pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-5. Berdasarkan analisis ragam, nilai log TPC fillet ikan mengalami peningkatan tertinggi pada perlakuan fillet kontrol, sementara nilai log TPC fillet ikan yang dilapisi dengan kitosan 2% dan direndam selama 3 menit mengalami peningkatan terkecil (p<0,05) (Lampiran 15 dan 16).

Fillet ikan yang yang direndam dalam larutan asam asetat (konsentrasi kitosan 0%) memiliki jumlah log TPC yang lebih kecil dibandingkan fillet

kontrol. Larutan asam asetat memiliki pH yang rendah. Nilai pH mempengaruhi jumlah bakteri karena pada ikan terdapat bakteri yang sifatnya tidak tahan asam. Volk dan Wheeler (1998) menyatakan larutan asam menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi inaktivasi enzim bakteri, sistem metabolisme bakteri terganggu dan akhirnya tidak ada aktivitas sel mikroba.

Edible coating kitosan mampu menghambat pertumbuhan mikroba, hal ini terbukti dari nilai log TPC fillet ikan yang dilapisi dengan kitosan 2% memiliki nilai terkecil dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05). Beberapa peneliti menunjukkan bahwa kitosan memiliki sifat antibakteri dengan target

24  

mikroorganisme yang luas dan penggunaan coating kitosan dapat mempertahankan kesegaran mutu ikan (Ojagh et al. 2010). Mekanisme antimikroba dari kitosan belum diketahui secara tepat (Dutta et al. 2009) tetapi melalui pengamatan TEM (Trasnmission Electron Microphotograph), diketahui bahwa adanya interaksi antara kitosan dengan membran sel, yaitu kitosan merupakan polikation yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan mengakibatkan terjadinya kebocoran bahan-bahan intraseluler yakni enzim, protein, materi genetik, dan lain-lain (Goy et al. 2009). Aktivitas antibakteri kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, konsentrasi kitosan dalam larutan, dan pH medium (Liu et al. 2001).

Kitosan pada konsentrasi yang rendah (0,2 mg/mL), memiliki sifat polikation yang dapat mengikat muatan-muatan negatif pada permukaan bakteri hingga menyebabkan aglutinasi (Dutta el at. 2009). Mohan et al. (2012) menyatakan bahwa kitosan dengan konsentrasi 2% memiliki efektivitas yang baik sebagai antimikroba. Konsetrasi yang tepat dibutuhkan dalam pembuatan edible coating, karena semakin tinggi konsentrasi kitosan yang digunakan, maka viskositas larutan coating juga akan semakin tinggi. Hal ini dapat menyebabkan penetrasi larutan coating kedalam tubuh ikan menjadi semakin sulit, sehingga efektivitasnya segabai antimikroba dapat menurun (Renur 2014). Lama perendaman juga akan mempengaruhi mutu fillet ikan patin. Kemampuan kitosan dalam mereduksi bakteri (Pseudomonas) juga meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi kitosan dan lama perendaman (Kurnianingrum 2008).

Jumlah TPC berdasarkan standar mutu untuk ikan segar adalah sebesar 5,0x105 koloni/gram atau 5,7 log CFU/gram (BSN 2006c). Fillet ikan patin

skinless dengan perlakuan kontrol sudah tidak memenuhi standar mutu SNI pada penyimpanan hari ke-2 karena memiliki nilai TPC diatas standar mutu SNI. Fillet

ikan yang dilapisi dengan kitosan 2% masih memenuhi persyaratan SNI pada penyimpanan hari ke-2.

Total Volatile Base (TVB)

 

Kemunduran mutu dari produk perikanan disebabkan oleh proses autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri pembusuk yang menguraikan protein menjadi senyawa-senyawa volatil. Total Volatile Base merupakan salah satu indikator utama dalam menentukan tingkat kesegaran ikan. Perubahan nilai TVB pada fillet

ikan patin skinless dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Perubahan nilai TVB fillet ikan patin skinless

Perlakuan Nilai TVB (mg N/100 g) pada penyimpanan hari ke

0 2 5 Kontrol 17,37 ± 3,54a 20,56 ± 0,06a 35,33 ± 1,61a Kitosan 0% 1 Menit 10,42 ± 0,72a 18,22 ± 2,09ab 29,54 ± 1,39b Kitosan 0% 3 Menit 13,89 ± 0,01a 16,69 ± 0,01bc 22,04 ± 0,64c Kitosan 1% 1 Menit 10,41 ± 0,70a 14,75 ± 0,02cd 19,61 ± 1,40cd Kitosan 1% 3 Menit 8,44 ± 0,69a 11,80 ± 1,44de 16,73 ± 1,35de Kitosan 2% 1 Menit 9,43 ± 2,12a 12,79 ± 2,82de 16,29 ± 2,21de Kitosan 2% 3 Menit 5,46 ± 0,69a 9,80 ± 1,41e 14,83 ± 1,52e

Keterangan: Angka yang disertai huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p=0,05)

25  

Konsentrasi kitosan, lama perendaman, dan interaksi antara konsentrasi kitosan dan lama perendaman mempengaruhi nilai TVB yang dihasilkan. Edible coating kitosan mampu melindungi produk dari terbentuknya basa volatil yang tidak diinginkan. Hal ini terbukti dari perlakuan kontrol (tanpa penambahan edible coating) memiliki nilai TVB yang paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05) (Lampiran 17, 18, dan 19) sementara nilai TVB terendah terdapat pada fillet yang dilapisi dengan kitosan 2% dan direndam selama 3 menit. Nilai TVB 30 mgN/100g merupakan batas aman produk ikan segar dapat diterima oleh konsumen (Connell 1995) sehingga fillet ikan patin dengan perlakuan kontrol sudah tidak dapat diterima oleh konsumen pada penyimpanan hari ke-5. Hal ini sesuai dengan penelitian Mohan et al. (2012), yaitu nilai TVB dari ikan Sardinella longiceps pada penyimpanan hari ke-5 dengan perlakuan tanpa kitosan memiliki nilai TVB 34,63 mgN/100g dan merupakan nilai TVB tertinggi, sedangkan nilai TVB terendah terdapat pada ikan yang dilapisikitosan 2% dengan nilai TVB 22,32 mgN/100g.

Hal ini menandakan bahwa edible coating kitosan dapat menjadi pelindung dan menghambat kemunduran mutu TVB fillet ikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Viji et al. (2014) menyatakan TVB terbentuk dari dekomposisi protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (amonia, trimetilamin, kreatin, basa purin, dan asam amino bebas). Chamidah et al. (2002) menyatakan bahwa nilai TVB mengalami peningkatan selama penyimpanan disebabkan penguraian senyawa makromolekul kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang mudah menguap. Peningkatan kadar TVB selama penyimpanan seiring dengan peningkatan jumlah mikroba. Aktivitas mikroba akan memecah

Dokumen terkait