x
26. Retribusi angkutan hasil hutan kayu rakyat tahun 2004 ... 96
27. Produksi kayu rakyat tahun 2004 ... 97
28. Permintaan antara dan permintaan akhir sektor-sektor
perekonomian Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ... 99
29. Konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah terhadap sektor
perekonomian di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ... 100
30. Kontribusi nilai tambah bruto sektor-sektor perekonomian
Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ... 101
31. Distribusi output sektoral perekonomian Kabupaten Sumedang
Tahun 2003 ... 103
32. Multiplier output sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Sumedang ... 104
33. Multiplier pendapatan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ... 5
2. Persentase wilayah berdasarkan ketinggian tempat ... 33
3. Padi sawah siap panen di lokasi penelitian ... 36
4. Perkembangan PDRB sektor pertanian periode tahun 1999-2003 ... 38
5. Perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang ... 47
6. Pemanfaatan lahan berbatu untuk penanaman hutan rakyat ... 56
7. Jumlah tegakan berdasarkan kelas umur: tegakan jati; (b) tegakan
mahoni; (c) tegakan seluruh jenis kayuan; dan (d) tegakan
kayu-kayuan dan buah-buahan ... 61
8. Proporsi penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan tanaman pangan
di hutan rakyat ... 66
9. Proporsi penggunaan tenaga kerja pada tanaman hutan pengusahaan
hutan rakyat ... 67
10. Proporsi penggunaan tenaga kerja untuk tanaman hortikultur pada
pengusahaan hutan rakyat ... 68
11. Proporsi penggunaan pupuk oleh masyarakat dalam pengelolaan
hutan rakyat ... 71
12. Proporsi kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh responden pada
pemeliharaan hutan rakyat ... 73
13. Obat pembasmi hama tradisional yang digunakan petani ; (a) ekstrak
daun mindi, (b) ekstrak daun suren, (c) ekstrak rebung ... 75
14. Alur tataniaga kayu mahoni dan kayu jati ... 77
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta administrasi kabupaten sumedang ... 112
2. Data pokok petani hutan rakyat di Desa Ciranggem dan Desa
Karedok Kecamatan Jatigede ... 113
3. Data pokok petani hutan rakyat di Desa Neglasari dan Desa
Karangpakuan Kecamatan Darmaraja ... 114
4. Data pokok petani hutan rakyat di Desa Jembarwangi dan Desa
Darmawangi Kecamatan Tomo ... 115
5. Rekapitulasi data pokok responden pedagang kayu rakyat di lokasi
penelitian ... 116
6. Rekapitulasi data pokok pemilik industri meubel ... 118
7. Jumlah dan jenis kayu rakyat yang dimiliki oleh petani hutan rakyat ... 120
8. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola I di Kab. Sumedang ... 122
9. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola I di
Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000-,) ... 123
10. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola I di Kab.
Sumedang ... 124
11. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
I (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 125
12. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola II di Kabupaten Sumedang ... 126
13. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola II di Kab.
Sumedang (x Rp. 1000,-) ... 127
14. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola II di Kabupaten
Sumedang ... 128
15. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
II (Df 18%) di Kab. Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 129
16. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola III di Kab. Sumedang ... 130
17. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola III di Kab.
Sumedang (x Rp 1.000-,) ... 131
18. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola III di Kab.
Sumedang ... 132
19. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
III (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 133
20. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola IV di Kab. Sumedang ... 134
21. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola IV
di Kab. Sumedang ... 135
22. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola IV di
Kab. Sumedang (x Rp 1.000-,) ... 136
23. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
24. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola V di Kab. Sumedang ... 138
25. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola V (x Rp
1.000-,) ... 139
26. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola V di
Kab. Sumedang ... 140
27. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
V (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 141
28. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola VI di Kab. Sumedang ... 142
29. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VI (x Rp
1.000-,) ... 143
30. Produksi dan hasil Penjualan tanaman hasil HR pola VI di Kab.
Sumedang ... 144
31. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
VI (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 145
32. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola VII di Kab. Sumedang ... 146
33. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VII (x Rp
1.000-,) ... 147
34. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola VII di Kab.
Sumedang ... 148
35. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian, khususnya sub-sektor kehutanan telah memberikan andil yang sangat besar dalam pembangunan nasional selama ini. Bahkan sub-sektor kehutanan pada awal pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru menjadi tulang punggung perekonomian nasional guna memperoleh dana lancar yang cepat sebagai modal awal pembangunan. Dana lancar tersebut diperoleh melalui pemanenan kayu dari hutan alam.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa kontinuitas pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu yang hanya mengandalkan pasokan dari hutan alam sulit diharapkan. Demikian pula pasokan dari HTI (Hutan Tanaman Industri) yang masih jauh dari target. Untuk mengatasi hal tersebut, alternatif lain yang bisa dikembangkan oleh pemerintah saat ini salahsatunya adalah dengan mengembangkan dan membangun Hutan Rakyat (HR).
Pengelolaan Hutan Rakyat pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat di daerah pedesaan telah lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang ada di Jawa maupun luar
Jawa. Misalnya di Jawa Barat ada yang dinamakan talun, tembawang di
Kalimantan Barat dan repong damar di Krui Lampung. Mereka umumnya
mengelola lahan milik tersebut dengan aneka tanaman keras dan biasanya dipadukan dengan tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput pakan ternak atau dengan tanaman pangan lainnya yang biasanya disebut sebagai pola
agroforestry. Pola ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi.
Jawa Barat merupakan daerah yang cukup potensial dalam upaya pembangunan dan pengembangan hutan rakyat. Demikian pula halnya dengan Kabupaten Sumedang, dimana sektor pertanian masih merupakan sektor andalan dalam memacu perekonomian wilayah. Berdasarkan nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Lapangan
Usaha pada tahun 2002 (BPS, 2002), untuk Kabupaten Sumedang sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan penyumbang terbesar dibanding dengan sektor-sektor lainnya yaitu Rp. 1.174.965 juta. Diurutan selanjutnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran Rp. 914.482 juta, sektor industri pengolahan Rp. 590.410 juta, sektor jasa Rp. 366.904 juta, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Rp. 141.408 juta. Dengan demikian, sebagai salah satu sektor andalan sektor pertanian tentunya sangat diharapkan
untuk terus berkembang dan mampu menjadi leading sektor (sektor pemimpin)
dalam pembangunan perekonomian wilayah.
Dalam kontribusinya sektor pertanian khususnya kehutanan di Kabupaten Sumedang telah memberikan peran yang cukup penting sebagai daerah penghasil kayu baik kayu dari kawasan hutan negara (Perum Perhutani Unit III) maupun kayu dari tanah milik (hutan rakyat) di Jawa Barat. Berdasarkan data BPS Kabupaten Sumedang (2002), jenis kayu yang selama ini menjadi produk utama dari wilayah Kabupaten Sumedang adalah kayu jati, mahoni, dan pinus. Produksi ketiga jenis kayu tersebut dari areal hutan rakyat mengalami peningkatan pada tahun 2002 dibanding tahun sebelumnya, sementara produksi dari Perum
Perhutani mengalami penurunan seiring dengan pelaksanaan moratorium logging.
Produksi kayu jati rakyat tahun 2001 sebesar 5.724,9 m3 meningkat pada tahun
2002 menjadi 10.367,4 m3. Demikian pula dengan jenis kayu mahoni, tahun 2001
sebesar 14.319 m3 meningkat menjadi 24.080,7 m3 pada tahun 2002. Sedangkan
untuk kayu pinus mengalami penurunan dimana pada tahun 2001 produksi kayu
pinus sebesar 1.907,6 m3 menjadi 1.165,7 m3 pada tahun 2002. Namun secara
keseluruhan produksi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Sumedang pada tahun 2002 mengalami peningkatan dimana tahun 2001 hanya menghasilkan kayu
3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Berapa besar peranan hutan rakyat terhadap total nilai produksi (output),
NTB (Nilai Tambah Bruto), struktur permintaan dan multiplier output dan
pendapatan terhadap sektor-sektor lainnya.
b. Berapa besar tingkat kelayakan secara finansial pengusahaan komoditas
kayu rakyat yang dikembangkan oleh petani.
c. Bagaimana peranan kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat di
Kabupaten Sumedang.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui praktek pengusahaan hutan rakyat dan tingkat kelayakan
secara finansial pengusahaan komoditas hutan rakyat jenis jati (Tectona
grandis) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang dikelola secara monokultur (murni) maupun campuran.
b. Mengetahui jaringan dan margin pemasaran kayu rakyat jenis jati dan
mahoni
c. Mengetahui peran sektor hutan rakyat dalam struktur perekonomian
wilayah Kabupaten Sumedang ditinjau dari total nilai produksi, Nilai
Tambah Bruto (NTB), struktur permintaan serta multiplier output dan
pendapatan.
Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Informasi dasar bagi para penentu kebijakan perekonomian wilayah
dalam membuat rumusan program pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan sektor kehutanan.
b. Landasan analisis untuk menggali sumber pertumbuhan ekonomi baru terutama untuk pengembangan hutan rakyat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama masyarakat pedesaan.
Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, potensi dan peranan hutan rakyat dalam struktur perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang perlu diungkap mengingat minimnya informasi mengenai dampak riil pembangunan hutan rakyat yang ada saat ini. Secara makro perkiraan peranan hutan rakyat terhadap perekonomian wilayah dilakukan dengan pendekatan analisis input output. Dengan demikian maka dapat dilakukan analisis pengaruh sektor hutan rakyat terhadap ekonomi regional juga terhadap sektor perekonomian lainnya.
Untuk mengetahui peranan hutan rakyat di tingkat petani dilakukan melalui analisis pengusahaan hutan rakyat secara mikro. Parameter yang digunakan antara lain tingkat kelayakan pengusahaan hutan rakyat dan saluran pemasaran. Pola-pola pengusahaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat perlu dianalisis dan dikembangkan agar dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. Demikian pula dengan pola pemasaran yang selama ini berlangsung perlu dikaji sehingga dapat memberikan manfaat yang berimbang bagi setiap pelaku pemasaran.
5 Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Lembaga Pemasaran PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT Makro Mikro Kontribusi komoditas hutan rakyat thd PDRB Keterkaitan thd sektor perekonomi-an lain Tingkat Kelayakan Wilayah Petani Analisis Input-Output Metode Non-Survey
Analisis Pengusahaan Hutan Rakyat jenis jati dan mahoni:
1. Analisis Finansial dan Sensitivitas (NPV, BCR, IRR)
2. Margin Pemasaran
3. Lembaga Pemasaran: (Saluran Tata Niaga)
Harga
Dampak pengusahaan hutan rakyat terhadap:
1. Nilai Produksi/Output Wilayah
2. Nilai Tambah Bruto 3. Permintaan Akhir 4. Multiplier Effect
Analisis Pengusahaan Hutan Rakyat jenis jati dan mahoni :
1. Tingkat Kelayakan dan Sensitivitas 2. Pola Pemasaran
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat
Dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dinyatakan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya hutan terdiri dari hutan hak dan hutan negara dimana hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak tersebut sering disebut dengan hutan rakyat.
Awang (2003) menyatakan ciri dari hutan rakyat adalah bahwa kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat. Walaupun demikian kegiatan ini dapat juga dilaksanakan di atas lahan negara yang diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon, dan manfaatnya untuk masyarakat. Hutan rakyat ini ada yang bersifat subsisten dan ada yang dengan tujuan komersial. Program hutan rakyat biasanya diawali dengan satu kampanye dari pihak pemerintah kepada rakyat yang sebagian lahannya terlantar karena kritis. Lahan kritis ini bisa saja terjadi di lahan petani kecil maupun petani besar.
Berdasarkan UU Kehutanan No.41 tahun 1999 pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara. Pengelolaan hutan rakyat tersebut sangat layak untuk dioptimalkan jika mengingat adanya tantangan berat bagi rehabilitasi hutan kita yang semakin hancur dewasa ini.
Di Indonesia kegiatan pengembangan hutan rakyat pada dasarnya ada dua bentuk: 1) penanaman pohon yang bersifat swadaya, 2) penanaman pohon di atas lahan milik yang karena ada stimulasi dari program pemerintah seperti
7 penghijauan dan gerakan sejuta pohon. Hutan rakyat swadaya dapat dijumpai di daerah Gunung Kidul, pengembangan sengon di Purworejo, Wonosobo, Sukabumi, Garut, Sleman dan masih banyak tempat lainnya.
Dephut (1990) mengemukakan bahwa berdasarkan jenis dan pola penanamannya hutan rakyat digolongkan ke dalam bentuk-bentuk hutan rakyat murni, hutan rakyat campuran, dan hutan rakyat dengan sistem wanatani atau tumpang sari. Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara monokultur. Hutan rakyat murni lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya namun dari segi silvikultur bentuk hutan rakyat murni memiliki beberapa kelemahan, diantaranya mudah dan peka terhadap serangan hama dan penyakit dan gangguan alam seperti angin. Dari segi ekonomi hutan rakyat murni kurang fleksibel, tidak ada diversifikasi komoditas, sehingga ketahanan ekonominya kurang karena tergantung hanya pada satu jenis komoditas dan resiko yang besar.
Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran. Dari segi silvikultur bentuk hutan ini lebih baik daripada hutan rakyat murni. Hutan rakyat campuran lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan gangguan alam (angin). Selain itu dapat mengurangi terjadinya persaingan penggunaan zat hara oleh akar dan penggunaan cahaya matahari. Dari segi ekonomi, hutan rakyat campuran memiliki ketahanan dan fleksibilitas yang lebih tinggi, karena terdapat diversifikasi komoditas secara horizontal dan resiko yang lebih kecil sehingga tidak tergantung pada satu komoditas saja.
Hutan rakyat dengan sistem wanatani merupakan hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usahatani lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada suatu lokasi. Hutan rakyat dengan sistem wanatani berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologi. Bentuk hutan seperti ini mempunyai daya tahan terhadap hama penyakit dan angin. Secara ekonomi, bentuk hutan ini memberikan keuntungan ganda melalui pemanenan bertahap yang berkesinambungan. Adanya diversifikasi komoditas secara vertikal dan
horizontal mengakibatkan nilai ekonomi diperoleh semakin tinggi dan penyerapan tenaga kerja semakin banyak dan berkelanjutan.
Biaya Produksi Pengusahaan Hutan Rakyat
Biaya adalah satuan-satuan nilai yang dikorbankan untuk proses produksi. Pengorbanan ini hanya merupakan biaya, jika nilai yang dikorbankan mempunyai nilai ekonomis yang bertujuan untuk memprodusir barang-barang atau jasa (Adikoesoemah, 1982).
Dalam pengusahaan hutan rakyat untuk jenis sengon, petani hutan rakyat umumnya menjual hasil hutannya berupa kayu dalam bentuk pohon berdiri kepada pedagang perantara (tengkulak). Oleh karena itu maka biaya pemanenan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran tidak ditanggung oleh petani melainkan ditanggung oleh pembeli (Wahyuningsih, 1993). Dengan demikian, biaya produksi yang ditanggung oleh petani hanyalah biaya pembangunan pengelolaan hutan mulai dari biaya sewa tanah, pengadaan barang modal (peralatan), pengadaan bibit, tenaga kerja, pupuk, obat-obatan pembasmi hama dan penyakit, bunga modal dan pajak.
Pendapatan Pengusahaan Hutan Rakyat
Pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari penjualan hasil hutan rakyat berupa kayu pertukangan maupun kayu bakar. Besarnya pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat dapat dihitung berdasarkan kepada banyaknya rata-rata panen dari bentuk produk pohon berdiri per satuan luas dikalikan dengan harga yang berlaku saat itu.
Menurut Sumarta (1963), besarnya pendapatan/penerimaan dari pengusahaan hutan rakyat belum merupakan indikator bagi besarnya keuntungan yang diperoleh petani pemilik karena masih tergantung kepada besar kecilnya ongkos produksi yang dikeluarkan. Besarnya keuntungan pengusahaan hutan rakyat tergantung pada faktor-faktor lokasi (ekonomi) dan kesuburan tanah, cara pembinaan, jenis tanaman campuran, dan harga hasil produksi.
9 Saluran Pemasaran dan Margin Pemasaran
Saluran pemasaran adalah saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan produknya kepada konsumen. Dalam proses penyaluran produk dari petani hingga ke tangan konsumen memiliki banyak alternatif saluran pemasaran dan melibatkan lembaga-lembaga pemasaran yang merupakan badan yang meyelenggarakan kegiatan dan fungsi pemasaran. Produk-produk yang melalui beberapa lembaga pemasaran akan mengalami peningkatan harga. Peningkatan harga ini terjadi karena adanya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pendistribusian dan keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga pemasaran. Biaya-biaya yang digunakan oleh lembaga pemasaran ditujukan untuk melakukan fungsi pemasaran yang akan dapat meningkatkan kegunaan, bentuk, waktu dan tempat dari produk yang didistribusikan.
Hanafiah dan Saefudin (1986), mengemukakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran suatu barang niaga ditandai dengan berapa banyaknya pedagang perantara yang dilalui oleh barang niaga tersebut sejak dari produsen hingga konsumen akhir. Bila pedagang perantara yang dilaluinya banyak maka dikatakan bahwa saluran pemasaran dari barang niaga tersebut panjang.
Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses barang dari produsen ke konsumen akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut diantara tingkat produsen dan konsumen akhir dan semakin besar pula harga yang harus dibayar oleh konsumen akhir. Perbedaan harga tersebut disebut margin pemasaran.
Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah
Wilayah merupakan suatu nodal atau polarisasi yang terdiri atas satuan-satuan homogen, seperti kota dan desa yang secara fungsional saling terkait (Sukirno, 1976). Atas dasar pengertian tersebut, wilayah diklasifikasikan menjadi tiga tipe wilayah yaitu, (1) wilayah formal, (2) wilayah fungsional, dan (3) wilayah perencanaan. Wilayah formal diartikan sebagai bagian dari permukaan bumi atau wilayah geografis yang seragam menurut kriteria tertentu. Pada awalnya digunakan keseragaman fisik (topografi, iklim, dan vegetasi), kemudian berkembang menjadi kriteria sosial politik. Sedangkan wilayah fungsional
diartikan sebagai wilayah geografis yang memperlihatkan suatu koherensi fungsional tertentu, sementara wilayah perencanaan merupakan kombinasi antara wilayah formal dan wilayah fungsional.
Selanjutnya Glasson (1977) menyatakan bahwa wilayah perencanaan tersebut antara lain haruslah cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi berskala ekonomi dan harus mampu memasok industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang diperlukan. Disamping itu, sekurang-kurangnya harus mempunyai satu titik pertumbuhan dengan menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan dimana masyarakat mempunyai kesadaran bersama terhadap semua persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, pembangunan atau pengembangan wilayah dalam arti sempit dapat diturunkan dari pengertian
regional development, sedangkan dalam arti luas dikembangkan dari pengertian
regional planning yang lebih menekankan analisisnya pada aspek-aspek tata ruang, tataguna lahan dan perencanaan.
Menurut Todaro (1983), keberhasilan pembangunan suatu negara harus didasarkan pada empat kriteria yaitu: (1) pendayagunaan tenaga kerja, (2) pengurangan tingkat kemiskinan, (3) kebijakan untuk distribusi pendapatan, dan (4) peningkatan produktivitas tenaga kerja. Keempat kriteria tersebut harus berjalan secara simultan, sehingga di dalam proses pembangunan yang sedang berjalan terlihat adanya perubahan struktur masyarakat, keuntungan untuk seluruh masyarakat melalui distribusi pendapatan, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan efisiensi.
Pengertian Perencanaan Ekonomi
Perencanaan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari waktu ke
waktu dengan melibatkan kebijaksanaan (policy) dari pembuat keputusan
berdasarkan sifat sumberdaya yang tersedia dan disusun secara sistematis (Soekartawi, 1990). Dalam prakteknya dibedakan menurut skala jangkauan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Oleh karena itu suatu perencanaan akan selalu berkesinambungan dan bertahap serta saling berkait antara satu tahap dengan tahapan lainnya.
11
Ardani dan Iswara dalam Soekartawi (1990) menyatakan bahwa
perencanaan biasanya mengandung beberapa elemen, antara lain:
a. Perencanaan yang diartikan sebagai pemilihan alternatif
b. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai pengalokasian berbagai sumberdaya
yang tersedia
c. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai sasaran, dan
d. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai target
sasaran yang dikaitkan dengan waktu masa depan.
Menurut Dalton dalam Jhingan (1999), perencanaan ekonomi dalam
pengertian yang paling luas adalah pengaturan dengan sengaja oleh orang yang berwenang mengenai sumber-sumber kegiatan ekonomi ke arah tujuan yang
ditetapkan. Selanjutnya Lewis dalam Jhingan (1999) mengartikan perencanaan
ekonomi sebagai suatu rencana pengorganisasian perekonomian di mana pabrik, perusahaan, dan industri yang terpisah-pisah dianggap sebagai unit-unit terpadu dari satu sistem tunggal dalam rangka memanfaatkan sumber yang tersedia untuk mencapai kepuasan maksimum kebutuhan rakyat dalam waktu yang telah ditentukan.
Dalam perencanaan pembangunan regional terdapat beberapa teknik analisis regional yang dapat dipergunakan untuk menentukan atau memilih aktivitas ekonomi yang dikembangkan dalam suatu daerah atau menentukan lokasi yang sesuai dengan aktivitas ekonomi. Teknik-teknik yang dimaksud ini antara lain Basis Ekonomi, Multiplier Regional, Model Gravitasi, Analisis Titik Pertumbuhan dan Analisis Input-Output (Richardson, 1972).
Analisis dan Model Tabel Input-Output Pendekatan
Analisis input-output untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Wassily Leontief pada tahun 1930 yang didasarkan pada pendekatan bahwa hubungan