• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstrak Kasar. Waktu inkubasi semua perlakuan ekstrak kasar tanaman menunjukkan nyata lebih panjang dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, kecuali perlakuan ekstrak manggis (Tabel 2). Waktu inkubasi terpanjang ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak pukul empat (19.1 hari setelah inokulasi (HSI)) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan ekstrak kasar manggis (12.7 HSI) dan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan.

Ekstrak Protein. Waktu inkubasi semua perlakuan ekstrak tanaman menunjukkan nyata lebih panjang dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan kecuali perlakuan ekstrak temulawak (Tabel 2). Perlakuan yang menunjukkan waktu inkubasi terpanjang adalah perlakuan ekstrak pagoda (19.1 HSI) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali perlakuan ekstrak temulawak (13.0 HSI) dan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan.

Kejadian Penyakit

Ekstrak Kasar. Kejadian penyakit semua perlakuan ekstrak kasar tanaman menunjukkan nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 2). Perlakuan ekstrak bogenvil, pagoda dan pukul empat efektif menurunkan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata dengan kontrol sehat. Kejadian penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak jahe merah (58.7%) dan bogenvil (10.3%).

Ekstrak Protein. Kejadian penyakit semua perlakuan ekstrak protein tanaman menunjukkan nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan kecuali perlakuan kunyit putih (Tabel 2). Kejadian penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak kunyit putih (86.6%) dan pagoda (45.0%). Kejadian penyakit perlakuan ekstrak protein lebih tinggi dibandingkan perlakuan ekstrak kasar.

Gejala Infeksi BCMV

Ekstrak Kasar. Kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan menunjukkan gejala gejala mosaik berat (MB) diikuti dengan malformasi daun (MD). Perlakuan ekstrak bogenvil dan pukul empat hanya menunjukkan gejala pemucatan tulang daun (Pm) dan mosaik ringan (MR). Sedangkan perlakuan ekstrak jahe merah, manggis, mimba, tempuyung, dan temulawak menunjukkan gejala gejala mosaik berat (MB) tanpa malformasi daun (Gambar 3e - h).

Ekstrak Protein. Semua perlakuan ekstrak protein tanaman menunjukkan gejala mosaik berat (MB) diikuti malformasi daun. Namun perlakuan ekstrak tempuyung dan kecubung hanya menunjukkan gejala pemucatan tulang daun (Pm), mosaik ringan (MR) hingga mosaik sedang (MS) (Gambar 3i-k). Gejala tanaman perlakuan ekstrak protein menunjukkan gejala mosaik ringan, mosaik sedang dan mosaik berat diikuti malformasi daun. Sedangkan tanaman perlakuan ekstrak kasar masih menunjukkan gejala yang lebih ringan (Gambar 3i-k).

9 Tabel 2 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap waktu inkubasi dan

kejadian penyakit

No Tanaman Waktu inkubasi

(HSI1)2 Kejadian penyakit (%) 3

Ekstrak Kasar

1 Pagoda 18.6 ± 3.0 c 21.0 ± 11.0 abc

2 Pukul Empat 19.1 ± 5.4 c 24.7 ± 12.3 abcd 3 Jambu Biji 15.0 ± 1.6 bc 31.5 ± 0.8 bcd 4 Mimba 15.5 ± 2.5 bc 57.7 ± 31.9 cd 5 Tempuyung 15.9 ± 3.3 bc 49.5 ± 18.6 cd 6 Temulawak 16.7 ± 0.6 bc 54.3 ± 31.7 cd 7 Bogenvil 17.5 ± 1.7 bc 10.3 ± 2.5 ab 8 Jengger Ayam 16.9 ± 0.3 bc 40.9 ± 26.9 bcd 9 Jahe Merah 14.4 ± 0.9 bc 58.7 ± 9.7 d 10 Kulit Manggis 12.7 ± 3.8 ab 41.4 ± 31.3 bcd 11 K+4 8.9 ± 0.9 a 100.0 ± 0.0 e 12 K-4 - 0.0 ± 0.0 a Ekstrak Protein 1 Pagoda 19.1 ± 6.2 c 45.0 ± 32.5 b 2 Pukul Empat 17.1 ± 3.3 bc 46.5 ± 28.8 b 3 Jambu Biji 14.7 ± 3.3 bc 52.0 ± 21.6 b 4 Mimba 18.0 ± 2.4 bc 47.2 ± 23.6 b 5 Tempuyung 16.3 ± 1.3 bc 49.1 ± 21.2 bc 6 Temulawak 13.0 ± 0.3 ab 60.4 ± 17.5 bc 7 Kecubung 16.0 ± 2.8 bc 48.0 ± 20.2 b 8 Kunyit Putih 14.5 ± 3.1 bc 86.6 ± 7.6 cd 9 Patah Tulang 17.1 ± 3.5 bc 68.9 ± 23.1 bc 10 Sambiloto 18.1 ± 2.7 bc 47.5 ± 21.8 b 11 K+4 8.5 ± 0.4 a 100.0 ± 0.0 d 12 K-4 - 0.0 ± 0.0 a

1HSI: hari setelah inokulasi; 2Untuk setiap kelompok ekstrak, angka yang diikuti huruf yang

berbeda pada lajur yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda

Duncan α = 0.05; - = tidak bergejala; 3

Kejadian penyakit berdasarkan gejala visual dan

dikonfirmasi dengan dot-blot immunobinding assay (DIBA); 4K+ = kontrol terinfeksi BCMV

10

Tabel 3 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap gejala

No Tanaman Gejala1 Ekstrak Kasar 1 Pagoda Pm, MR, MS 2 Pukul Empat Pm, MR 3 Jambu Biji Pm, MR, MS 4 Mimba MR, MS, MB 5 Tempuyung MR, MS, MB 6 Temulawak MR, MS, MB 7 Bogenvil Pm, MR 8 Jengger Ayam Pm, MR, MS 9 Jahe Merah MR, MS, MB 10 Manggis MR, MS, MB 11 K+2 MS, MB, MD, Pb, K 12 K-2 - Ekstrak Protein 1 Pagoda MR, MS, MB 2 Pukul Empat MR, MS, MB 3 Jambu Biji MR, MS, MB 4 Mimba MR, MS, MB 5 Tempuyung Pm, MR, MS 6 Temulawak MR ,MS, MB 7 Kecubung Pm, MR, MS 8 Kunyit Putih MR, MS, MB 9 Patah Tulang MR, MS, MB 10 Sambiloto MR, MS, MB 11 K+2 MS, MB, MD, Pb, K 12 K-2 -

1Pm= pemucatan tulang daun, MR= mosaik ringan, MS= mosaik sedang, MB= mosaik berat, MD=

mosaik berat yang diikuti malformasi daun Pb= penebalan tulang daun, K= klorosis, - = tidak

11

Gambar 3 Gejala infeksi BCMV di lapangan. Tanaman kontrol sehat (a) dan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (b-d), gejala perlakuan ekstrak kasar (e-h), gejala perlakuan ekstrak protein (i-k). (a) tidak bergejala; (b, e, i) pemucatan tulang daun; (f, j) mosaik ringan;(g) mosaik sedang; (c, h, k) mosaik berat; (d) mosaik berat diikuti klorosis Keparahan Penyakit dan Tingkat Hambatan Relatif Keparahan

Ekstrak Kasar. Keparahan penyakit semua perlakuan ekstrak kasar menunjukkan nyata lebih rendah dibanding kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). Keparahan penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak mimba (35.1%) dan bogenvil (6.6%).

Semua perlakuan ekstrak tanaman menunjukkan THR keparahan yang nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). THR keparahan tertinggi dan terendah ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak bogenvil (89.8%) dan tempuyung (48.4%) serta mimba (48.4%).

Ekstrak Protein. Semua perlakuan ekstrak protein menunjukkan keparahan penyakit yang nyata lebih rendah dengan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). Keparahan penyakit tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak kunyit putih (33.0%) dan tempuyung (15.8%). Semua perlakuan ekstrak tanaman menunjukkan THR keparahan yang nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 4). THR keparahan tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak tempuyung (74.4%) dan kunyit putih (43.2%).

a b c d

e f g h

12

Titer dan Tingkat Hambatan Relatif BCMV

Ekstrak Kasar. Semua perlakuan ekstrak kasar menunjukkan NAE nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 5). Hanya perlakuan ekstrak bogenvil yang negatif terdeteksi BCMV diantara perlakuan lainnya. NAE tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak pagoda (0.515) dan bogenvil (0.171).

Semua perlakuan ekstrak kasar menunjukkan THR BCMV yang nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 5). THR BCMV tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak bogenvil (99.1%) dan pagoda (59.8%). Perlakuan ekstrak bogenvil menunjukkan THR BCMV paling tinggi diantara perlakuan lainnya tetapi tidak berbeda nyata antar perlakuan ekstrak tanaman.

Ekstrak Protein. Semua perlakuan ekstrak protein menunjukkan NAE yang tidak berbeda nyata dengan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Tabel 5). Diantara ekstrak yang diuji, ada delapan perlakuan ekstrak protein tanaman yang memiliki NAE lebih tinggi daripada kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, yaitu perlakuan jambu biji, temulawak, kecubung, kunyit putih, sambiloto, mimba, pukul empat, dan pagoda, sehingga THR virusnya negatif.

Semua perlakuan ekstrak protein menunjukkan THR BCMV dibawah 50% (Tabel 5). THR BCMV perlakuan ekstrak tanaman tertinggi dan terendah berturut-turut ditunjukkan oleh tempuyung (42.7%) dan jambu biji (-55.1%).

13 Tabel 4 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap keparahan dan tingkat

hambatan relatif penyakit

No Tanaman Keparahan penyakit (%)1 THR keparahan (%)1 Ekstrak Kasar 1 Pagoda 10.4 ± 3.2 abc 83.2 ± 7.1 bcd 2 Pukul Empat 7.5 ± 5.3 ab 87.0 ± 10.8 bcd 3 Jambu Biji 18.6 ± 1.1 abc 69.6 ± 8.8 bcd

4 Mimba 35.1 ± 24.4 c 48.4 ± 33.8 b

5 Tempuyung 29.8 ± 13.7 bc 48.4 ± 31.5 b 6 Temulawak 28.6 ± 24.9 bc 52.6 ± 48.6 bc

7 Bogenvil 6.6 ± 1.9 ab 89.8 ± 2.2 cd

8 Jengger Ayam 15.6 ± 15.3 abc 79.1 ± 15.6 bcd 9 Jahe Merah 27.5 ± 14.4 bc 53.4 ± 31.2 bc 10 Kulit Manggis 29.5 ± 24.1 bc 59.4 ± 19.8 bc 11 K+2 65.5 ± 22.0 d 0.0 ± 0.0 a 12 K-2 0.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 d Ekstrak Protein 1 Pagoda 21.6 ± 16.9 ab 62.2 ± 29.9 b 2 Pukul Empat 19.9 ± 18.1 ab 64.5 ± 35.5 b 3 Jambu Biji 21.5 ± 17.8 ab 61.9 ± 33.6 b 4 Mimba 20.3 ± 14.9 ab 65.0 ± 26.2 b 5 Tempuyung 15.8 ± 8.4 ab 74.4 ± 14.9 bc 6 Temulawak 31.0 ± 7.8 b 48.3 ± 18.9 b 7 Kecubung 17.5 ± 3.8 ab 72.1 ± 3.2 bc 8 Kunyit Putih 33.0 ± 17.0 b 43.2 ± 34.5 b 9 Patah Tulang 23.3 ± 9.8 b 61.0 ± 21.7 b 10 Sambiloto 24.4 ± 19.5 b 56.8 ± 37.7 b 11 K+2 62.5 ± 10.7 c 0.0 ± 0.0 a 12 K-2 0.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 c

1Untuk setiap kelompok ekstrak, angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama

menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan α = 0.05; 2K+ =

14

Tabel 5 Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap titer BCMV

No Tanaman NAE1, 2 THR5 virus1

Ekstrak Kasar3 1 Pagoda 0.515 ± 0.323 b 59.8 ± 36.0 b 2 Pukul Empat 0.413 ± 0.236 ab 72.5 ± 27.5 b 3 Jambu Biji 0.328 ± 0.138 ab 81.2 ± 17.5 bc 4 Mimba 0.509 ± 0.289 b 60.3 ± 32.1 b 5 Tempuyung 0.472 ± 0.234 ab 64.9 ± 27.5 b 6 Temulawak 0.441 ± 0.216 ab 68.6 ± 25.5 b 7 Bogenvil 0.171 ± 0.033 a 99.1 ± 1.2 c 8 Jengger Ayam 0.428 ± 0.253 ab 70.6 ± 29.2 b 9 Jahe Merah 0.496 ± 0.274 ab 62.3 ± 30.6 b 10 Kulit Manggis 0.479 ± 0.224 ab 64.1 ± 26.7 b 11 K+6 1.181 ± 0.256 c 0.0 ± 0.0 a 12 K-6 0.159 ± 0.065 a 100.0 ± 0.0 c Ekstrak Protein4 1 Pagoda 1.315 ± 0.525 bcd -15.6 ± 64.9 abc 2 Pukul Empat 1.329 ± 0.450 bcd -3.5 ± 4.5 abc 3 Jambu Biji 1.715 ± 0.495 d -55.1 ± 78.3 a 4 Mimba 1.363 ± 0.565 bcd -5.7 ± 17.9 abc 5 Tempuyung 0.832 ± 0.334 b 42.7 ± 17.7 c 6 Temulawak 1.714 ± 0.903 d -35.5 ± 40.8 ab 7 Kecubung 1.552 ± 0.350 cd -30.0 ± 26.4 ab 8 Kunyit Putih 1.450 ± 0.373 cd -17.9 ± 11.9 abc 9 Patah Tulang 1.067 ± 0.494 bc 15.4 ± 34.0 bc 10 Sambiloto 1.445 ± 0.592 cd -11.7 ± 15.5 abc

11 K+6 1.280 ± 0.395 bcd 0.0 ± 0.0 abc

12 K-6 0.151 ± 0.046 a 100.0 ± 0.0 d

1Untuk setiap kelompok ekstrak, angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama

menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan α= 0.05; 2NAE = nilai

absorbansi ELISA; 3NAE K- ELISA = 0.131. Uji dinyatakan positif jika NAE perlakuan > 2 x

NAE K- ELISA (NAE perlakuan > 0.262); 4NAE K- ELISA = 0.121. Uji dinyatakan positif jika

NAE perlakuan > 2 x NAE K- ELISA (NAE perlakuan > 0.242); 5THR = tingkat hambatan relatif;

6K+ = kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, K- = kontrol sehat.

Secara umum, perlakuan ekstrak kasar dan ekstrak protein tidak menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman. Produktivitas polong perlakuan ekstrak kasar cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan. Bahkan produktivitas polong tanaman perlakuan pagoda, pukul empat, jambu biji, mimba, tempuyung, bogenvil, jengger ayam dan jahe merah tidak berbeda nyata dengan produktivitas polong tanaman kontrol sehat. Hanya perlakuan temulawak yang terendah dibandingkan perlakuan lainnya, termasuk kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (Lampiran 17).

Produktivitas polong perlakuan ekstrak protein cenderung tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan. Hanya perlakuan pagoda yang menunjukkan produktivitas polong yang tidak berbeda nyata dengan kontrol sehat. Perlakuan tempuyung menunjukkan produktivitas polong terendah

15 (Lampiran 17). Produktivitas tanaman juga sangat dipengaruhi oleh banyaknya tanaman yang mati karena serangan penyakit dan kondisi cuaca yang buruk.

PEMBAHASAN

Penggunaan ekstrak tanaman untuk mengendalikan virus berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Ekstrak tanaman mudah dibiodegradasi, kurang fitotoksik dan lebih sistemik serta aman dan spesifik target (Deepthi et al. 2007). Secara umum, ekstrak tanaman mampu secara nyata memperpanjang waktu inkubasi dan menurunkan kejadian dan keparahan penyakit oleh BCMV di lapangan. Baik pengujian di lapangan maupun di rumah kaca (Damayanti dan Megasari 2013, data tidak dipublikasikan; Panjaitan 2013), perlakuan ekstrak kasar menunjukkan lebih efektif menekan kejadian dan keparahan penyakit, serta titer BCMV dibandingkan perlakuan ekstrak protein.

Pada uji efikasi ekstrak kasar di rumah kaca, NAE perlakuan beberapa ekstrak kasar seperti bogenvil, jambu biji, jahe merah, kulit manggis, mimba, tempuyung, dan temulawak menunjukkan lebih tinggi (Panjaitan 2013) dibandingkan NAE pengujian di lapangan. Hal ini diduga karena suhu di rumah kaca lebih tinggi dan konstan yang mendukung ekspresi gejala dan perkembangan BCMV di dalam jaringan tanaman. Saat pengujian lapangan dilakukan (Mei – September) curah hujan tinggi berkisar antara 110 mm – 290 mm, dengan kelembaban nisbi 28.0 % - 85.4% dan suhu rata-rata 25.1 oC – 26.3 oC (Lampiran 18). Kondisi lingkungan ini kemungkinan kurang mendukung ekspresi gejala tanaman perlakuan (keparahan penyakit) sehingga NAE pengujian di lapangan lebih rendah dibandingkan di rumah kaca. Pada perlakuan ekstrak kasar bogenvil menunjukkan adanya gejala infeksi virus ringan, namun secara serologi tidak terdeteksi BCMV. Hal ini menunjukkan gejala tersebut bukan disebabkan oleh BCMV, namun kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor abiotik atau virus lain yang menginfeksi secara alami di lapangan. Infeksi campuran virus atau mikroorganisme lainnya merupakan hal yang umum terjadi di alam (Syller 2012).

Sebagian besar tanaman perlakuan ekstrak protein di lapangan menunjukkan gejala berkedok (masking); diduga karena terhambatnya translokasi virus tetapi proses replikasi virus di dalam sel tanaman tidak terhambat (Wahyuni 2005). Hal ini dibuktikan oleh keparahan penyakit yang nyata lebih rendah dibandingkan kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, namun titer virus tinggi. Rendahnya THR BCMV oleh perlakuan ekstrak protein diduga karena jenis pelarut yang digunakan. Pada berbagai uji ekstrak tanaman, perbedaan pelarut memberikan hasil yang bervariasi terhadap kandungan senyawa aktif yang dihasilkan dan juga terhadap aktivitas ekstrak tanaman tersebut (Baranwal dan Verma 1997; Vivanco

et al. 1999; Sanches et al. 2005; Umamaheswari et al. 2008; Porwal et al. 2012;

Velmurugan et al. 2012). Namun penggunaan aseton sebagai pelarut pada beberapa ekstrak tanaman diantaranya ekstrak daun jambu biji dilaporkan efektif menekan infeksi Tobamovirus (Tobacco mosaic virus dan Tomato mosaic virus) (Deepthi et al. 2007). Dalam penelitian ini semua perlakuan ekstrak kasar termasuk daun jambi biji justru lebih efektif menekan titer BCMV dibandingkan perlakuan ekstrak protein dengan pelarut aseton. Hal ini menunjukkan bahwa

16

keefektifan ekstrak tanaman dalam menekan virus tergantung dari inang, spesies virus dan pelarut yang digunakan.

Mekanisme penekanan ekstrak tanaman terhadap infeksi BCMV pada percobaan ini belum diketahui. Namun beberapa ekstrak tanaman diketahui mengandung protein antivirus yang tergolong ke dalam ribosome-inactivating

proteins (RIPs) dan memiliki sifat menginduksi ketahanan sistemik (induced systemic resistance, ISR). ISR tidak secara langsung menghambat perkembangan

virus, melainkan meningkatkan ketahanan tanaman itu sendiri dengan menginduksi tanaman untuk memproduksi suatu senyawa yang dapat menghambat perkembangan patogen (Prasad et al. 1995; Verma et al. 1998).

Kandungan Bougainvillea Antiviral Protein (BAP) pada bogenvil, Mirabilis

Antiviral Protein (MAP) pada pukul empat dan Celosia Cristata Protein (CCP)

pada jengger ayam (Kataoka et al. 1991; Balasaraswathi et al. 1998; Balasubrahmanyam et al. 2000; Rajesh et al. 2005; Begam et al. 2006) diduga berperan dalam penekanan infeksi BCMV. Kandungan substansi antivirus ekstrak tanaman lainnya belum diketahui. Pada Clerodendrum inerme dilaporkan memiliki substansi antivirus yang disebut sebagai single chain

ribosome-inactivating proteins (Jassim dan Naji 2003), namun pada Clerodendrum japonicum yang digunakan dalam penelitian ini kandungan substansi antivirusnya

belum diketahui.

Selain protein antivirus, kandungan senyawa aktif dalam tanaman dilaporkan mampu menekanan infeksi suatu virus. Senyawa aktif tersebut antara lain flavonoid, terpenoid, coumarin, tannin, quercetin, saponin dan fenol. Senyawa flavonoid dan coumarin bekerja dengan cara menghalangi sintesis RNA. Senyawa terpenoid dan saponin mampu menghambat sintesis DNA virus. Senyawa tannin dan fenol bekerja dengan cara menghambat replikasi RNA dan DNA virus. Sedangkan senyawa quercentin mampu menghambat enzim reverse transcriptase (RT) dan polymerase (Jassim dan Naji 2003).

Beberapa ekstrak tanaman pernah dilaporkan efektif mengendalikan

Cucumber mosaic virus (CMV) (Mahdy et al. 2010; Hersanti 2004), Tobacco mosaic virus (TMV), Cowpea aphid-borne mosaic virus (CAbMV) (Rajesh et al.

2005), Tomato mosaic virus (ToMV) (Deepthi et al. 2007; Madhusudhan et al. 2011), Tomato spotted wilt virus (TSWV), Turnip mosaic virus (TuMV) (Balasaraswathi et al. 1998), (Sunnhemp rosette virus (SRV), Citrus ring spot

virus (CRSV) (Balasubrahmanyam et al. 2000), Potato virus Y (PVY), Cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV) (Kubo et al. 1990), Potato virus X (PVX), Potato spindle tuber viroid (PSRVd) dan Potato leaf roll virus (PLRV) (Vivanco et al. 1999).

Penekanan infeksi BCMV pada penelitian ini selain substansi antivirus dalam ekstrak tanaman diduga juga karena adanya induksi ketahanan oleh ekstrak tanaman yang digunakan. Induksi ketahanan sistemik oleh ekstrak tanaman bersifat non-spesifik dan efektif terhadap virus yang kisaran inangnya luas (Verma et al. 1998). Hasil penelitian ini juga memperkaya hasil penelitian sebelumnya tentang keefektifan ekstrak tanaman tersebut dalam mengendalikan virus. Namun perlu diteliti lebih lanjut mekanisme penekanan BCMV oleh ekstrak tanaman potensial yang didapatkan penelitian ini.

17

Dokumen terkait