• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Sirkulasi Darah Neonatus

2.3. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan

Hematologi adalah ilmu yang berkenaan dengan darah, jaringan yang menghasilkan darah, dan kelainan, penyakit, serta gangguan yang

berkaitan dengan darah. Sistem hematologi terdiri dari semua sel-sel darah, sumsum tulang tempat sel tumbuh matang, dan jaringan lomfoid tempat sel darah disimpan jika tidak bersirkulasi (Corwin, 2009).

Komponen sel dan plasma darah mengalami perubahan yang dramatis dari janin ke bayi. Hal ini terutama berlaku di beberapa bulan kehidupan pertamanya sebagai bayi dalam masa transisi dari lingkungan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin (Elzouki, 2012).

Nilai darah pada bayi baru lahir lebih bervariasi daripada nilai pada orang dewasa atau anak yang lebih tua. Bidan harus menyadari rentang nilai untuk keadaan normal terhadap perawatan bayi baru lahir (Varney, 2009).

2.3.1 Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu bahan yang penting sekali dalam eritrosit dan dibentuk dalam sumsum tulang. Hemoglobin ini dibentuk dari hem dan globin. Hem sendiri terdiri dari 4 struktur pirol dengan atom Fe di tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida.

Jenis hemoglobin normal yang ditemukan pada manusia ialah HbA yang kadarnya kira-kira 98% dari keseluruhan hemoglobin, HbF yang kadarnya tidak lebih dari 2% pada anak berumur lebih dari 1 tahun dan HbA2 yang kadarnya tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir kadar HbF masih sangat tinggi yaitu kira-kira 90% dari seluruh hemoglobin bayi tersebut. Pada perkembangan selanjutnya kadar HbF ini akan berkurang hingga pada umur 1 tahun dan kadarnya tidak lebih dari 2% (Hassan, 1985).

Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan bagian penting dari hemoglobin tetapi juga merupakan bagian dari sitokrom dan enzim pernafasan yang penting. Persenyawaannya terdiri dari cincin porifirin dengan atom Fe di tengahnya (Elzouki, 2012).

Hemoglobin dapat mengikat oksigen (O2) atau karbonmonoksida (CO) dalam keadaan besi tereduksi (ferro), sedangkan dalam bentuk teroksidasi (ferri), hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen, tapi mudah mengikat anion. Fungsi hemoglobin ialah mengangkut oksigen (O2) ke jaringan tubuh dan CO2 dari jaringan ke paru (Wahidiyat I, 2005).

Bayi baru lahir dilahirkan dengan nilai hemoglobin yang tinggi. Konsentrasi hemoglobin normal memiliki rentang dari 13,7 sampai 20,0 g/dL. Gomella (2004) memberikan batasan, pada saat lahir nilai normal Hb bayi baru lahir dengan usia kehamilan > 34 minggu adalah 14 – 20 g/dL, dengan nilai rata-rata 17 g/dL.

Hemoglobin janin memiliki afinitas yang tinggi terhadap oksigen, suatu efek yang menguntungkan bagi janin. Selama beberapa hari pertama kehidupan, nilai hemoglobin sedikit meningkat, sedangkan volume plasma menurun. Hemoglobin kemudian turun perlahan tetapi terus-menerus pada 7 sampai 9 minggu pertama setelah bayi lahir, disebut anemia fisiologis (Varney, 2009).

Nelson (2000) menyebutkan bahwa anemia fisiologis adalah penurunan Hb hingga 9,5-11 g/dL pada bayi baru cukup bulan usia

2-3 bulan. Anemia fisiologis merupakan adaptasi dari bayi baru lahir akibat peningkatan tekanan O2 dari 25-30 mmHg saat janin menjadi 90-95 mmHg, yang menyebabkan serum eritropoitin menurun sehingga produksi eritrosit juga menurun (Chapman, 2010).

Anemia fisiologis jika tidak diperhatikan dan diatasi, dengan tidak memberikan asupan nutrisi yang cukup, akan terus berlangsung hingga bayi usia 6 bulan dan bukan lagi menjadi hal yang fisiologis (Chaparro, 2006).

Sedangkan untuk anemia selama masa neonatus (0-28 hari kehidupan) pada bayi dengan umur kehamilan > 34 minggu ditentukan berdasar kadar Hb < 13 g/dL (darah vena sentral) atau 14,5 g/dL (darah arteri). Menurut Varney (2009) nilai hemoglobin awal pada bayi baru lahir sangat dipengaruhi oleh waktu pemotongan tali pusat dan posisi bayi baru lahir segera setelah lahir.

2.3.2 Hematokrit

Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan perbandingan persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati, 2003). Berdasarkan beberapa penelitian nilai normal hematokrit bayi baru lahir berkisar antara 51,3-56,0% (Oski, 1996). Sumber lain menyebutkan nilai hematokrit bayi baru lahir antara 45 dan 65% (Linderkamp O, 2004).

Rata-rata hematokrit tali pusat 52,3%, kemudian pada hari pertama kehidupan menjadi 58,2%, sementara pada hari ketiga 54,5% dan pada akhir hari ke-7 sekitar 54,9%. Penelitian terhadap 629 bayi baru lahir normal, hematokrit (darah kapiler) hari pertama kehidupan adalah 62,9 ± 3,2% (Oski, 1996). Kadar hematokrit darah vena pada tali pusat 40% diartikan sebagai batas anemia pada neonatus, namun karena kadar hematokrit meningkat kurang lebih 10% pada jam-jam pertama kehidupan, sehingga secara pendekatan klinis lebih tepat mendefinisikan anemia neonatus berdasar kadar hematokrit adalah pada batas 45% pada 6 jam setelah lahir (Cernadas, 2006) dan bila

kadar hematokrit meningkat > 65%, disebut polisitemia.

Polisitemia pada bayi baru lahir didefinisikan sebagai peningkatan kadar hematokrit > 65%. Polisitemia dihubungkan dengan peningkatan jumlah eritrosit dalam pembuluh darah dan sering dihubungkan dengan kelainan/gangguan pada neonatus. Gangguan akibat polisitemia yang dihubungkan dengan peningkatan viskositas darah yaitu terjadinya gangguan kinetika aliran darah. Hal tersebut bermanifestasi aliran darah yang lambat dan terjadi endapan darah dan merupakan predisposisi terjadinya mikrotrombi dan penurunan oksigenasi jaringan (Susilowati, 2009). Risiko polisitemia meningkat pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu dengan diabetes dan bayi kembar serta yang mengalami twin to twin transfusi (Aziz, 2006).

Faktor faktor yang mempengaruhi hemoglobin dan hematokrit bayi baru lahir :

A. Asal sampel darah

Darah kapiler mempunyai hemoglobin lebih tinggi dibanding dengan darah vena, namun antar peneliti tidak sama nila perbedaannya. Beberapa jam setelah lahir, terdapat perbedaan ± 5% antara kadar Hb kapiler dibanding dengan darah vena (Oski, 1996).

B. Waktu pengambilan sampel darah

Selama beberapa jam pertama kehidupan terjadi peningkatan konsentrasi Hb. Peningkatan ini terutama terjadi akibat transfusi plasental selama proses persalinan. Pada jam-jam pertama kehidupan, tampaknya plasma meninggalkan sirkulasi. Total volume darah pada bayi menyesuaikan segera setelah lahir, terjadi penurunan volume plasma, sementara eritrosit tetap. Sehingga sebagai hasil akhir, terjadi peningkatan jumlah eritrosit, Ht dan Hb (Oski, 1996). Gomella (2004) berpendapat, nilai hemoglobin bayi sehat aterm tidak berubah secara signifikan sampai minggu ke-3 kehidupan, kemudian turun sampai 11 g/dL pada usia 8 – 12 minggu.

C. Kadar hemoglobin ibu

Pengaruh ibu anemia pada kadar besi bayi tidak begitu besar. Pada ibu hamil, besi ditransport melalui plasenta secara efisien sehingga bayi yang cukup bulan dan sehat mempunyai cadangan besi yang cukup. Telah banyak diketahui kekurangan besi pada ibu hamil hanya mempunyai efek yang ringan pada besi di dalam janin dan neonatus, sebab transfer besi dari ibu ke janin cukup baik, kecuali ibu hamil mengalami kekurangan besi yang berat. D. Waktu pemotongan tali pusat

Di dalam plasenta diperkiraan mengandung sejumlah 75-125 cc darah saat lahir, atau kurang lebih 1/4 sampai 1/3 volume darah fetus. Kurang lebih 1/3 darah plasenta ditransfusikan dalam waktu 15 detik pertama setelah lahir dan setengahnya dalam 1 menit pertama setelah lahir (Oski, 1996). Sebagian besar bayi sehat mendapatkan transfusi plasental dengan jumlah yang besar dalam 45 detik setelah lahir (Philip 2004).

Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali pusat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata volume darah saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan penjepitan dini 78 ml/kgBB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat.

Sumber: Sloan (2012)

Gambar di atas memperlihatkan terjadinya aliran darah dari plasenta sebelum dilahirkan ke bayi dan sebelum dilakukan pemotongan tali pusat. Semakin lama pemotongan tali pusat dilakukan maka aliran darah yang terlihat semakin berkurang.

Penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 1 menit dapat menambah volume darah bayi baru lahir sebesar 80 ml dan sebesar 100 ml pada penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 3 menit (Varney, 2009).

E. Faktor lain

Faktor lain yang mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir adalah umur kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan ibu diabetes melitus, berat lahir, bayi kecil masa kehamilan (KMK) (Philip, 2004), hipertensi, pre-eklamsi/eklamsi (Prawirohardjo, 2010).

Setiap faktor yang mempengaruhi proses terjadinya transfusi plasenta akan mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir, seperti durasi respirasi, asfiksia intrauterin, pengaruh gravitasi/posisi bayi, kontraksi uterus dan kelainan plasenta lainnya seperti infark, hematom dan solutio plasenta (Santosa, 2008).

2.3.3 Fe (Zat Besi)

Jumlah Fe pada bayi kira kira 400 mg yang terbagi sebagai berikut: masa eritrosit 60%, feritin dan hemosiderin 30%, mioglobin 5-10%, hemenzim 1% dan besi plasma 0,1%. Pengangkutan Fe dari rongga usus hingga menjadi transferin, yaitu suatu ikatan Fe dan protein di dalam darah terjadi di dalam beberapa tingkat.

Fe dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di dalam lambung Fe akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam lambung (HCL). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian

diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang disebut transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makanan mengandung Fe yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitrat menghambat absorpsi Fe (Hassan, 1985).

Eksresi Fe dari tubuh sangat sedikit. Fe yang dilepaksan pada pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin, jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan Fe sangat sedikit, namun pada bayi baru lahir, dalam bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi menggunakan Fe dalam jumlah besar dan cepat untuk mengimbangi kecepatan tumbuh dan bertambahnya volume darah tubuh.

Menjelang usia 4 bulan cadangan Fe bayi berkurang 50% (Santosa, 2008). Cadangan Fe tubuh dalam 2 bentuk, yaitu feritin dan hemosiderin. Cadangan Fe disimpan terutama di hepar, sel retikuloendotelial dan sumsum tulang. Di hepar sebagian besar Fe disimpan di parenkim (hepatosit) dan sebagian kecil di sel-sel retikuloendotelial (sel Kupffer).

Di sumsum tulang dan limpa Fe disimpan terutama di sel-sel retikuloendotelial. Cadangan Fe berfungsi sebagai reservoir untuk memberi Fe pada sel-sel yang sangat membutuhkan, terutama pada pembentukan hemoglobin (Fleming RE, 2005).

Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi normal lebih tinggi dibandingkan jumlah zat besi yang dimiliki ibu. Rata-rata nilainya sekitar 150 µg/dl. Bayi yang mendapatkan suplemen zat besi memiliki nilai rata-rata zat besi sebanyak 125 µg/dl dalam 1 bulan pertama dan 75 µg/dl dalam usia 6 bulan. Kapasitas total penyimpanan zat besi meningkat selama 1 tahun pertama

kehidupannya. Batas rata-rata penyebaran zat ini menurun hampir 65% dalam setengah bulan menjadi 25% dalam 1 tahun. Anemia berdasarkan kadar zat besi adalah < 100 µg/dl (Kee, 1995).

Nilai rata-rata serum feritin dalam kandungan zat besi yang cukup pada bayi sangat tinggi saat kelahiran, yaitu 160 µg/dl dan meningkat selama 1 bulan pertama, kemudian menurun menjadi 30 µg/dl dalam 1 tahun pertama kehidupannya (Segel, 2011).

2.3.4 Bilirubin

Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo, yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dan sirkulasi sangat terbatas. Begitupun dengan kesanggupannya untuk mengkonjugasi sehingga hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan dieksresi oleh hepar ibunya. Pada keadaan fisiologis tanpa gejala, hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg/dL. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin

sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg/dL pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai (Hassan, 1985). Diketahui bahwa pada setiap bayi baru lahir akan terjadi peningkatan kadar bilirubin indirek dalam serum secara fisiologis, timbul dalam minggu pertama kehidupannya, biasanya dimulai pada hari kedua atau hari ketiga, dengan kadar puncak 5-6 mg/dL pada hari ke 4-5 dan akan menurun secara spontan.

Ikterus atau hiperbilirubinemia adalah peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dL atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin serum sewaktu 12,5 mg/dL pada bayi cukup bulan (Prawirohardjo, 2010).

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir, disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar dapat dibagi sebagai berikut : a. Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses „uptake‟ dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase.

c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat dan sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang

Bagan 2.1 Peta Teori

Bayi Baru Lahir Aterm FaktorPlasenta

Besarnya diameter Solutio Plasenta Plasenta Preria Morfololgi Infark, Hematom Faktor Ibu Usia Kehamilan Kontraksi Uterus IMT (Status Gizi)

Tekun Darah Gula Darah TranfusiPlasenta Faktor Bayi BB Gemelli Asfiksi Durasi Respirasi Posisi setelah lahir

Penundaan Penjepitan Tali Pusat Haematologi Bayi Kadar Hb Kadar Ht Zat Besi Bilirubin bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. d. Gangguan dalam eksresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain (Hassan, 1985).

Dokumen terkait