• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Hepatotoksisitas

Kerusakan hati dapat terjadi karena beberapa hal, seperti kekurangan oksigen, infeksi, cedera imunologi, ketidakseimbangan metabolisme, kelainan genetik, dan pemejanan bahan kimia serta obat baik sengaja maupun tidak sengaja yang disebut dengan hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi karena inhalasi, ingesti, atau pemberian parenteral sejumlah zat farmakologis dan kimiawi.

Berbagai zat tersebut mencakup toksin industri, pestisida dan yang lebih sering adalah zat farmakologis yang digunakan dalam terapi medis (Longo dan Fauci, 2010).

Jenis-jenis kerusakan hati : 1. Perlemakan hati (Steatosis)

Steatosis pada dasarnya merupakan manifestasi dari sindrom metabolik lipid di hati. Steatosis adalah suatu keadaan terjadinya akumulasi lemak yang sebagian besar berupa droplet trigliserida di dalam hepatosit melebihi 5-10% dari berat hati. Pada keadaan normal hati tidak menyimpan lemak, melainkan akan dikeluarkan ke sirkulasi darah. Perlemakan hati dibagi menjadi dua, yaitu perlemakan hati yang disebabkan oleh alkohol dan perlemakan hati yang tidak disebabkan oleh alkohol atau biasa dikenal dengan Non-alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). Tingkat steatosis didasarkan pada proporsi jumlah hepatosit yang mengandung droplet lemak, yaitu <10% ringan, 10-30% sedang, dan >30% berat (Tirosh, 2015). Steatosis yang terjadi karena terdapat beberapa droplet lemak kecil yang tidak menggantikan nukleus di dalam hepatosit dikenal dengan Microvesicular steatosis, hal ini muncul seperti pada keadaan perlemakan hati akut masa kehamilan dan toksisitas asam valproic, sedangkan yang terjadi karena terdapat satu droplet besar yang menggantikan nukleus di dalam hepatosit dikenal dengan Macrovesicular steatosis, hal ini dapat terjadi karena toksisitas etanol (Burt, Portmann, dan Ferrel, 2012).

Terdapat beragam faktor penyebab terjadinya steatosis, secara garis besar dibedakan atas faktor primer, yakni obesitas, hiperlipidemia, dan

resistensi insulin, serta faktor sekunder yang meliputi diet yang tidak seimbang, malabsorbsi, kehamilan, alkohol, serta obat-obatan (Panjaitan dkk., 2007). Karbon tetraklorida menyebabkan steatosis melalui penghambatan sintesis satuan protein dari lipoprotein dan penekanan konjugasi trigliserida dengan lipoprotein (Lu dan Kacew, 2002).

2. Kolestasis

Kolestasis merupakan jenis kerusakan hati yang bersifat akut dan jarang ditemukan dibandingkan steatosis dan nekrosis, serta lebih sulit diinduksi pada hewan percobaan, kecuali mungkin dengan steroid (Lu dan Kacew, 2002). Empedu merupakan jalur utama untuk eliminasi bilirubin, kelebihan kolesterol, dan xenobiotik yang kurang larut dalam air untuk dibuang melalui urin. Empedu diproduksi oleh hepatosit. Secara fisiologis, pada keadaan kolestasis hati menunjukkan adanya penurunan aliran empedu dan kegagalan untuk mengeluarkan konstituen anorganik dan organik empedu. Secara khusus, keadaan kolestasis timbul dari perubahan molekuler dan ultrastruktural yang mengganggu masuknya molekul organik kecil, garam inorganik, protein, dan air ke dalam ruang empedu. Hal ini menyebabkan terjadinya jaundice disertai dengan peningkatan kadar bilirubin, garam empedu, dan ALP (Burt dkk., 2012). Secara morfologis kolestasis didefinisikan sebagai akumulasi pigmen empedu dalam kanlikuli dan hepatosit, pelebaran ruang kanalikular dengan pengurangan mikrovili, dan akumulasi tembaga. Kolestasis dapat disebabkan baik kegagalan untuk mengeluarkan empedu (intrahepatik) atau obstruksi mekanik (kolestasis ekstrahepatik) dari saluran-saluran empedu (Watkins dan Klaassen, 1996).

3. Nekrosis hati

Nekrosis hati berkaitan dengan kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (berpusat, mid-zonal, periferal) maupun massif, dan biasanya bersifat akut. Sejumlah bahan kimia dapat menyebabkan nekrosis hati. Hal ini merupakan manifestasi toksisitas yang serius namun tidak sangat penting karena hati memiliki kemampuan regenerasi yang sangat baik. Kematian sel terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma (Gambar 3) dan tidak terjadi perubahan ultrastruktural pada membran sel sebelum pecah. Terdapat sejumlah perubahan yang mendahului kematian sel seperti perubahan morfologi awal yakni berupa edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, dan

Gambar 3. Nekrosis hepatoselular (kiri atas) proses regenerasi (kanan bawah) (Cameron dan Blendis, 1996)

disagregasi polisom. Perubahan akhirnya adalah pembengkakan yang progesif pada mitokondria, pembengkakan sitoplasma, disolusi organel dan nukleus, dan pecahnya membran plasma (Lu dan Kacew, 2002). 

4. Fibrosis

Fibrosis merupakan kerusakan pada sel hepatosit, yang ditandai oleh deposisi kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein. Regenerasi merupakan proses yang bermanfaat untuk penyembuhan, namun pada proses tersebut juga mungkin sedang terjadi proses merugikan yaitu munculnya penyakit hati kronis progesif yang dikenal dengan fibrosis. Fibrosis dapat dianggap sebagai respon penyembuhan luka yang berulang pada hati. Setelah terjadi cedera hati akut, elemen seluler yang selamat dapat beregenerasi, dengan disertai respon inflamasi untuk membersihkan sisa-sisa sel yang rusak, dan remodeling matriks ekstraselular. Apabila kerusakan hati berlanjut maka regenerasi hati mungkin gagal untuk mengembalikan jaringan yang rusak dan deposisi matriks menjadi lebih luas.. Fibrosis yang meluas dapat menyebabkan perubahan bentuk hati dan mengganggu aliran darah (Burt dkk., 2012).

5. Sirosis

Sirosis merupakan kondisi fibrosis dan pembentukan jaringan parut. Jaringan hati normal digantikan oleh nodus-nodus fibrosa keras serta pita-pita fibrosa yang mengerut dan mengelilingi hepatosit. Struktur permanen hati berubah karena kerusakan sel yang berkepanjangan yaitu penyakit hati kronis > 6 bulan. Sirosis terjadi di hati sebagai respon terhadap cedera sel berulang dan reaksi peradangan yang ditimbulkannya. Penyebab sirosis antara lain adalah

infeksi misalnya hepatitis, obstruksi saluran empedu, yang menyebabkan penimbunan empedu di kanalikulus dan pecahnya kanalikulus, dan cedera hepatosit akibat toksin (Corwin, 2007). Dalam sebagian besar kasus, tampaknya sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal terkait dengan defiensi mekanisme perbaikan. Kondisi ini menyebabkan aktivitas fibroblastik dan pembentukan jaringan parut. Tidak kuatnya aliran darah di dalam hati juga mugkin menjadi faktor pendukung. Penyebab sirosis yang paling umum adalah paparan hepatotoksin seperti alkohol. Alkohol dapat menyebabkan kerusakan mitokondria (Lu dan Kacew, 2002).

C. Hepatotoksin

Senyawa kimia yang dapat menyebabkan kerusakan hati dikenal dengan hepatotoksin atau hepatotoksikan. Hepatotoksin merupakan senyawa eksogen yang dapat berupa obat-obatan, bahan kimia industri, bahan kimia alami seperti microcystins, obat herbal, maupun suplemen makanan. Kerusakan hati dapat timbul dari senyawa utama, metabolit reaktif, atau respon imunologi yang mempengaruhi hepatosit, sel epitel empedu dan/atau pembuluh darah di hati (Singh, Bhat, dan Sharma, 2011).

Senyawa dan obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan hati dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Hepatotoksin teramalkan

Hepatotoksin teramalkan merupakan senyawa atau obat-obatan yang dapat memberikan efek hepatotoksik pada sebagian besar orang yang menelan

obat atau senyawa tersebut dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan efek. Hepatotoksin teramalkan bergantung pada dosis pemberian. Contoh hepatotoksin teramalkan adalah acetaminophen, karbon tetraklorida, fosfor, dan kloroform (Navarro dan Senior, 2006).

2. Hepatotoksin tak teramalkan

Hepatotoksin tak teramalkan merupakan obat-obatan atau senyawa yang dapat menimbulkan efek hepatotoksik tanpa adanya peringatan dan hanya terjadi pada orang tertentu, serta memiliki periode latensi yang sangat bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga 12 bulan. Hepatotoksin tak teramalkan tidak bergantung pada dosis (Navarro dan Senior, 2006).

D. Karbon Tetraklorida

Karbon tetraklorida merupakan cairan jernih tidak berwarna, memiliki bau yang khas dan mudah menguap. Karbon tetrakloridamemiliki berat molekul 153,8 dengan titik didih 76,72oC dan titik leleh 22,92oC. Senyawa ini sukar larut di dalam air (Gambar 4). Karbon tetrakloridamerupakan senyawa model hepatotoksin yang sering digunakan sebagai penginduksi kerusakan sel hati tikus di dalam suatu

Gambar 4. Struktur molekul karbon tetraklorida (World Health Organization, 1999)

penelitian. Karbon tetraklorida diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan dan pernafasan pada hewan dan manusia (WHO, 1999).

Karbon tetraklorida memiliki struktur molekul yang sangat sederhana, ketika dipejankan pada berbagai hewan uji dapat menyebabkan nekrosis hepatik sentrilobular dan perlemakan hati. Senyawa ini terdistribusi ke seluruh tubuh namun efek toksik utamanya di hati. Hati menjadi target utama karena toksisitas karbon tetraklorida bergantung pada aktivasi metabolit oleh sitokrom P4502E1 (CYP2E1). Hati memiliki sitokrom P450 dengan konsentrasi tertinggi di dalam tubuh, terutama pada bagian sentrilobular (Trimbell, 2008). Metabolisme karbon tetraklorida dimulai dari sitokrom P4502E1 (CYP2E1) yang memediasi transfer elektron ke ikatan C-Cl, membentuk radikal anion yang mengeliminasi Cl sehingga membentuk radikal triklorometil (CCl3• ) yang reaktif. Radikal triklorometil dengan oksigen membentuk radikal triklorometil peroksi (CCl3O2• ) (WHO, 1999).

Radikal triklorometil (CCl3• ) dan radikal triklorometil peroksi (CCl3O2• ) ini dapat menyebabkan terjadinya steatosis. Luasnya steatosis yang terjadi bergantung pada jumlah metabolit rekaktif yang dihasilkan oleh karbon tetraklorida. Steatosis terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi lipid, dan kegagalan trigliserida untuk berpindah sebagai Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dari hati ke sirkulasi darah. Laju sintesis dari trigliserida bergantung pada ketersediaan substrat dan pada aktivitas enzim yang terlibat. Suplai dari asam lemak memiliki peranan penting dalam akumulasi trigliserida. Asam lemak bebas dikeluarkan dari plasma melalui difusi pasif atau melalui sistem transport spesifik lainnya. Asam lemak endogen dan eksogen dimetabolisme melalui 2 proses di

dalam hati, yaitu esterifikasi untuk membentuk trigliserida, fosfolipid dan ester asam lemak lainnya, dan beta-oksidasi untuk membentuk CO2 dan badan keton. Karbon tetraklorida dapat meningkatkan sintesis asam lemak dan trigliserida dari asetat, dan juga meningkatkan kecepatan esterifikasi lipid dan sintesis kolesterol. Selain itu, karbon tetraklorida juga dapat menghambat beta-oksidasi dan menurunkan sekresi lipid seluler. Hal ini mengakibatkan ketersediaan substrat meningkat sehingga sintesis trigliserida juga meningkat, karena produksi trigliserida semakin meningkat dan hati tidak dapat untuk mengeluarkan trigliserida ke sirkulasi darah menyebabkan trigliserida terakumulasi di dalam hepatosit (Weber, Boll, dan Stampfl, 2003).

Radikal triklorometil peroksi (CCl3O2• ) juga dapat berikatan dengan lipid mikrosomal dan protein secara kovalen dan bereaksi secara langsung dengan membran fosfolipid dan kolesterol menghasilkan fosgen dan klorin elektrofilik yang akan memberikan efek toksik (Gambar 5). Adapun mekanisme lainnya adalah lipid peroksidasi yang menghasilkan senyawa-senyawa yang akan menghambat sintesis protein. Beberapa efek dari peroksidasi lipid antara lain terpengaruhinya integritas struktur lipid pada membran yang menyebabkan kerusakan beberapa struktur, kerusakan membran lisosom hingga pecah dan hilangnya isi organela

Setalah satu sampai tiga jam setelah pemejanan, trigliserida akan terakumulasi di hepatosit, terdeteksi sebagai droplet lemak (Trimbell, 2008). Kerusakan pada hepatosit akan mempengaruhi kadar enzim AST, ALT, ALP, bilirubin total, dan albumin. Pemejanan karbon tetraklorida dapat meningkatkan

kadar enzim AST, ALT, ALP, dan bilirubin total, sebaliknya kadar albumin dalam serum akan menurun (Panjaitan dkk., 2007).

E. Alkaline Phospatase

Metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan hepatoseluler salah satunya adalah dengan tes enzim serum. Tes-tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit hati, membedakan berbagai jenis gangguan hati, dan

Gambar 5. Mekanisme biotransformasi dan oksidasi karbon tetraklorida (Timbrell, 2008)

memperkirakan luas kerusakan hati yang diketahui. Hati mengandung ribuan enzim, sebagian diantaranya terdapat di dalam serum darah. Enzim yang sering digunakan sebagai indikator kerusakan hati selain aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) adalah Alkaline phosphatase (ALP).

ALP merupakan kelompok enzim yang menghidrolisis fosfat ester pada pH basa, dapat ditemukan selain di dalam hati juga di dalam tulang, ginjal, usus, dan plasenta pada masa kehamilan. ALP yang terdapat di dalam hati, tulang, dan usus dianggap berasal dari gen yang sama, berbeda dengan ALP yang terdapat di dalam usus dan plasenta. Di dalam hati ALP secara histokimia ditemukan dalam mikrovili kanalikuli empedu dan pada permukaan sinusoidal hepatosit (Thapa dan Walia, 2007).

Nilai normal serum ALP adalah 55-105 U/l pada wanita dewasa, 40-130 U/l pada pria dewasa, dan 100-400U/l pada remaja (Kuntz, 2008). Nilai rata-rata ALP bervariasi bergantung usia, dan relatif tinggi pada anak-anak dan remaja, kemudian relatif rendah di usia dewasa, dan kembali tinggi di usia tua. Pada pria biasanya nilai ALP lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Nilai ALP juga bergantung pada berat badan dan berbanding terbalik dengan tinggi badan (Thapa dan Walia, 2007). Peningkatan aktivitas ALP dapat digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Peningkatan aktivitas ALP pada kerusakan atau penyakit hati merupakan akibat dari peningkatan sintesis enzim oleh sel-sel yang melapisi kanalikuli empedu, biasanya sebagai respon adanya kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik (Gaw, Murphy, Srivastava, Cowan, dan O’Reilly, 2013). Aktivitas ALP yang meningkat 20 kali dari nilai normal menunjukkan adanya sirosis hati,

sedangkan peningkatan 10 kali dari nilai normal menunjukkan adanya obstruksi biliaris (Lawrence dan Amadeon, 1996). Aktivitas ALP yang meningkat 2 kali dari nilai normal menunjukkan bahwa telah terjadi NAFLD (Bayard, Holt, dan Boroughs, 2006). F. Macaranga tanarius L. 1. Taksonomi Kingdom : Plantae Subkingdom : Viridiplantae Infrakingdom : Streptophyta Divisi : Tracheophyta Subdivisi : Spermatophytina Kelas : Magnoliopsida Superordo : Rosanae Ordo : Malpighiales Famili : Euphorbiaceae

Genus : Macaranga Thouars

Spesies : Macaranga tanarius L.

(Integrated Taxonomic Information System, 2015).

2. Nama lain

a. Indonesia : Tutup ancur, Hanuwa, Mara, Mapu b. Malaysia : Kalo, Kundoh, Mahang puteh, Tampu c. Filipina : Kuyunon, Himindang, Binunga d. Inggris : Hairy mahang

e. Thailand : Hu chang lek, Mek, Pang, Lo khao

(Orwa, Mutua, Kindt, dan Jamnadass, 2009). 3. Morfologi

Macaranga tanarius L. merupakan tanaman dengan ukuran pohon kecil sampai sedang, tinggi pohon dapat mencapai 20-25 meter, memiliki dahan agak besar. Daun berwarna hijau, berseling, agak membundar, dengan spatula besar yang luruh (Gambar 6). Kulit tangkai daun jika dikupas atau dipotong dapat mengeluarkan cairan berwarna coklat bening dan lekat. Perbungaan bermalai di

ketiak, bunga ditutupi oleh daun gagang. Buah kapsul berkokus dua dan terdapat kelenjar kekuningan di luarnya. Biji membulat dan menggelembur. Jenis ini juga mengandung tanin yang cukup untuk menyamak jala dan kulit (Wardiyono, 2015).

4. Kandungan

Pada penelitian Matsunami dkk. (2006) ditemukan kandungan megastigmane glucoside pada ekstrak metanol daun Macaranga tanarius L. yaitu macarangioside A, macarangioside B, macarangioside C, dan macarangioside D, serta senyawa lainnya yaitu mallophenol B, lauroside E, methyl brevifolin carboxylate, hyperin, dan isoquercitrin (Gambar 7).

Gambar 7. Struktur kandungan senyawa daun Macaranga tanarius L. (Matsunami dkk., 2006)

Pada tahun 2009, Matsunami dkk. menemukan tiga kandungan glukosida baru yaitu (+)-Pionoresinol 4-0-[6”-0-gallolyl]-β-D- glocopyranoside, Macarangioside E, dan Macaragioside F. Senyawa-senyawa hasil kedua penelitian ini menunjukkan aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap 2,2-diphenyl-picrylhydrazyl (DPPH).

Kawakami dkk. (2008), menemukan tujuh senyawa prenylflavonone pada fraksi etil asetat ekstrak metanol daun Macaranga tanarius L. yaitu macaflavonone A-G, tanariflavone B, dan bersama dengan senyawa lainnya yaitu nymphaeol C, serta senyawa diterpen yaitu kolavenol. Kumazawa, Murase, Momose, dan Fukomoto (2014) melaporkan bahwa terdapat kandungan prenyflavonoids pada daun Macaranga tanarius L. dan terbukti memiliki aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap 2,2-diphenyl- picrylhydrazyl (DPPH).

Gambar 8. Isolasi senyawa ellagitannins dari fraksi EtOAc daun Macaranga tanarius L. : mallotinic acid (1) corilagin (2) macatannin A (3) chebulagic acid

Pada penelitian Gunawan-Puteri dan Kawabata (2010) ditemukan lima senyawa ellagitannins (Gambar 8) pada fraksi etil asetat (EtOAc) ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L., yaitu mallotinic acid, corilagin, macatannin A, chebulagic acid, dan macatannin B.

5. Khasiat dan kegunaan

Pengobatan tradisional Malaysia dan Thailand menggunakan dekok akar tanaman Macaranga tanarius L. sebagai obat antipiretik dan antitusif. Akar kering Macaranga tanarius L. sebagai agen emetik, sedangkan daun segar Macaranga tanarius L. digunakan untuk menutupi luka untuk mencegah peradangan. Di China tanaman Macaranga tanarius L. secara komersial ditanam dan dipanen untuk memproduksi minuman kesehatan, dan ekstraknya ditambahkan ke dalam pasta gigi, serta daun kering dari Macaranga tanarius L. dimanfaatkan sebagai teh herbal. Tunas muda Macaranga tanarius L. dijadikan sebagai sumber sayuran di Thailand, Filipina, Indonesia dan juga Afrika tengah (Lim, Lim dan Yule, 2009).

6. Penyebaran

Macaranga tanarius L. merupakan tanaman pionir yang dapat tumbuh dengan sangat cepat. Tanaman ini secara umum sering tumbuh di hutan sekunder, terutama untuk hutan-hutan logging serta semak-semak belukar dan kebun-kebun (World Agroforestry Centre, 2002). Macaranga tanarius L. berasal dari daerah tropis yaitu Afrika, Madagaskar, Australia, Pasifik, dan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina (Lim dkk., 2009).

Dokumen terkait