• Tidak ada hasil yang ditemukan

HERMENEUTIKA KARYA DJAGA DEPARI

3.1.Kolonialisme di Tanah Karo

Pada zaman sebelum kemerdekaan perkembangan seni drama di Sumatera Utara, boleh dikatakan lahan yang subur bagi kegiatan seni teater ini. Hal ini dapat dilihat dalam peta seni Direktorat Pembinaan Kesenian Dirjen Kebudayaan RI, bahwa Medan – Sumatera Utara adalah daerah teater ketiga setelah Jakarta dan Surabaya. Kita dapat pula mencatat perkembagannya, mulai dari teater tradiosional, klasik dan modern (kontemporer). Seperti teater tradisional Tembut- tembut yang terdapt di Seberaya, teater ini tiak mempunyai dialog yang banyak, tetapi melalui gerakan seluruh tubuh yang ditutupi dengan topeng yang menggambarkan perwatakan para pemainnya. Pementasan di lakukan seperti teater rakyat lainnya yang ada di Sumatera Utara seperti : makyong di Tanah Deli, Hola-hola di daerah Dairi yaitu teater rakyat suku Pakpak dan Mangkudai-kudai dari daerah Simalungen.

Kemudian teater tradisional ini, mengalami pergeseran ke masa teater transisi. Perbedaannya terletak pada adanya pemisahan unsur-unsur tari, musik dan lawakannya. Teater dalam bentuk inilah disebut dengan “tonil” yang lebih popular dikenal dengan sebutan Sandiwara. Perkembangan sandiwara atau Komedi Bangsawan di Sumatera Utara cukup pesat. Didalam brosur “Garuda” yang diterbitkan secara khusus oleh organisasi sandiwara “Penggemar Pegawai Negeri” tahun 1954, dapat dibaca satu tulisan yang berjudul “ “Dari Bangsawan ke Sandiwara” disebutkan bahwa setengah abad yang lalu kita di Sumatera Utara

ini tidak mengenal sandiwara dalam bentuk sekarang ini. Bahkan perkataan sandiwara pun tidak pernah di dengar. Dimasa itu yang paling memegang peranan adalah Bangsawan, Stambul atau Wayang yang penuh dengan Bidadari dan Jin Ifridnya. Ataupun Raja dengan para Wazirnya.

Di kalangan penonton dan outsiders terkenal nama Bangsawan, tetapi mereka yang ada sangkut pautnya dengan bangsawan itu, lebih suka memakai istilah Wayang. Mereka menyebut namanya sebagai “anak Wayang” bukan “anak bangsawan” atau “anak stambul”. Dalam beberapa catatan lama ditemukan : beberapa rombongan “bangsawan” yang terkenal datang ke Medan, atau Sumatera Utara ini. Diantara group bangsawan yang pernah berkunjung ke daerah ini adalah : “Indian Ratu”, “Mahaya Opera Of Selangor”, “Malaya Opera Of Johor”. Pertunjukan-pertunjukan group ini senantiasa mendapat perhatiuan yang berlimpah-limpah dari penonton. Di samping itu, tak kalah meriahnya pertunjukan yang dilakukan para bangsawan Medan yang dikenal dengan nama “Juli-Juli”, “Bintang Tiga”, atau pun “Alibaba dengan 40 Penyamun”.

Bangsawan atau stambul ini mendapat kunjungan ramai hanya di daerah- daerah yang penduduknya mayoritas “Suku Melayu”. Di Pulau Jawa pertunjukan dalam bentuk “Bangsawan” ini tidak begitu digemari. Hanya Jakarta yang memberi sedikit perhatian kepada pertunjukan “Bangsawan”. Menurut catatan lama pada masa itu tidak ada lagi group Bangsawan. Hal ini tidak lainkarena ketika itu orang telah mulai paham, bahwa pertunjukan-pertunjukan Bangsawan, bukan kosong semata-mata, tetap ada pesan yang disampaikan, baik soal penderitaan hidup, atau pun cita-cita ingin bahagia. Karena itu tidak heran sedikit

Pasaran drama dan teater mulai direbut oleh sandiwara pun mendapat kemajuan pesat dimasa pendudukan Jepang. Karena Pemerintah Dai Toa Jepang banyak sekali mempergunakan group-group sandiwara sebagai alat propogandanya.

Setelah dua minggu masa pendudukannya Jepang segala sesuatu berubah dengan cepat. Jepang yang diharapkan dapat membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman Belanda, malah sebaliknya membuat bangsa Indonesia semakin menderita, mereka menunjukkan sikap yang sebenarnya sebenarnya disertai pula menghapus semua pengaruh Belanda sekaligus membangun hegemoni baru dalam kehidupan rakyat. Patung Jan Pieterszoon Coen, sebagai simbol kekuasaan kolonial di Indonesia, dibongkar. Semua nama jalan yang memakai bahasa Belanda diganti. Gubernur Jendral beserta istri, para pegawai pemerintah kolonial, direktur perusahaan serta pimpinan beberapa lembaga dijebloskan ke kamp-kamp tawanan perang. Sejumlah kamp didirikan khusus untuk kaum perempuan dan anak-anak di bawah usia 16 tahun. Penanggalan masehi diganti menjadi kigenreki, kalender Jepang. Negeri Matahari Terbit harus disebut dengan Nippon atau Dai Nippon, bukan Japan. Setiap warga Indonesia wajib menghormati Kaisar Jepang dengan cara membungkukan badan kearah Tokyo. Satu-satunya bendera yang bisa dikibarkan hanya Hinomaru. Semua toko, resstoran, bioskop, perusahaan, perkumpulan dan lain-lain harus mengganti papan nama berbahasa Belanda dengan bahasa Jepang. Semua sekolah harus memberikan mata pelajaran bahasa Jepang. Di beberapa kota , atau kantor, diadakan sekolah atau kursus bahasa Jepang. Semua kebijakan tersebut dilandasi oleh gagasan hakko Ichiu (Kemakmuran bersama Asia Timur Raya).

Demikian pula, aimbol-simbol keindonesiaan seperti bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya dilarang dikibarkan dan dinyanyikan. Partai-partai politik dibubarkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan sebuah peraturan pada tanggal 20 Maret 1942 yang intinya, “Segala bentuk kegiatan dalam pembicaraan, aktivitas dan propoganda yang berkaitan dengan organisasi dan struktur pemerintahan dianggap illegal. Di Sumatera Utara pun demikian. Akibatnya, semua harus merobah diri, termasuk dalam kegiatan sandiwara. Perobahan antara lain kelompok-kelompok teater yang masih bisa bergerak, kendatipun keadaan dimasa itu mulai sulit, namun pekerja-pekerja teater itu ada juga yang meneruskan aktivitasnya. Tentu tidak bisa lagi memakai nama lama, bisa dianggap berbau Belanda, mau tak mau group teater itu merubah namanya. Misalnya kelompok teater itu merubah namanya. Misalnya kelompok teater “Nirwana” diganti namanya menjadi “Sakura Gekidan” atau “Gin Sei Gekidan”. Di samping itu timbul pula beberapa perhimpunan baru bersifat separuh penggemar drama dan separuh lagi bersifat kesenian. Kelompok yang lain dimasa pendudukan Jepang itu adalah “Perhimpunan Teater Rakyat” yang dipimpin oleh Datuk H. Wan Umaruddin Barus, yang didalamnya terdapat nama Djaga Depari sebagai pemain biola. Teater Rakyat ini, pun harus pula menukar namanya menjadi “Dai Toa Gekidan”, mereka kerap kali manggung di tempat umum, dan t entu saja diselingi dengan propoganda penuh dengan puja-puji “ketimuran”.

3.2.Djaga Depari di Masa Kemerdekaan

Kreativitas Djaga Depari di bidang penciptaan lagu pada zaman itu mulai berkembang. Namun, ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa dia baru

kemerdekaan. Pendapat itu ada juga benarnya, karena karya-karyanya justru mengalir cukup deras sejak pertengahan tahun 1940-an. Pada Medio 1942, tahun pertama Jepang menduduki Indonesia, Djaga Depari mencipta sejumlah lagu, diantaranya Tanah Ersuki, Ranting Jabi-Jabi, Anak U-we, Naki-naki, Kanam- kanam, Regi-regi, Jolah Jemole, Tetapken ukur, Perudang Mayang, Perbaju Joe, Berngi Singongo, Persentabin, Sada Kata, Pergawah dan Agin Si lumang.

Pada tahun itu, Djaga Depari juga mengubah beberapa syair lagu “milik” orang lain, di antaranya Nahkoda yang penciptanya tidak dikenal. Syair sebagian lagu ciptaan Djaga Depari pada masa itu berbentuk puisi lembut bersifat menghibur yang cenderung mengarah pada bentuk musik sentimental.

Hampir semua lagu yang diciptakan Djaga Depari mengandung makna tidak langsung. Lagu Taneh Karo Simalem, misalnya, merupakan simbol bahwa Tanah Karo memiliki aliran alam yang indah nan elok yang tiada bandingnya dengan daerah lain. Dari lagu itu kita bisa mengetahui jiwa penciptanya, dalam hal ini Djaga Depari, yang tenang, tenteram, dalam hal ini Djaga Depari, yang tenang, tenteram dan cinta kan tanah kelahirannya.

Menjalanmi kehidupan bersama walaupun dalam relatif singkat dalam “Lingkungan Kemakmuran Asia Timur Raya” dengan “Saudara tua” yang lebih mementingkan cara bagaimana memenangkan perang agaknya tidak bersesuaian dengan kenyataan sehari-hari. Hal tersebut dirasakan oleh Djaga Depari dan kebanyak rakyat Indonesia. Djaga Depari menggugat dan melakukan perlawanan terselubung dengan caranya tersendiri melalui melodi dan syair-syair lagu. Dia beserta sejumlah kawan harus mengikuti kemauan atau perintah Jepang, keterpaksaan itu juga merupkan bagian dari “skenario” yang harus dipatuhi oleh

para pejuang kemerdekaan diberbagai bidang. Sejatinya karakter dasar pejuang kemerdekaan itu tidak berubah, walaupun pada akhirnya, Beliau berkecimpung dalam organisasi BOMPA (Badan Organisasi Pertahanan Asia) Ranting Suka Piring yang berkedudukan di Seberaya, terpaksa tunduk kepada kemauan “sutradara” Jepang. Tapi buan berarti kemudian melepas atau melupakan cita-cita luhur meraih kemerdekaan. Sebagian orang boleh saja mencaci maki dan mencap mereka sebagai kolaborator, kooperator, dan sebagainya. Namun, jelas Djaga Depari seorang pelawan politik penjajah dan pendudukan.

Ketika tiba, dan “skenario kemerdekaan dituliskan” Soekarno-Hatta, Djaga Depari dan kawan-kawan mampu keluar dari skenrio Jepang dan naik ke atas panggung kemerdekaan. Seumpamanya sandiwara, Djaga depari boleh dikata “bermain” dalam tiga babak : Penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang, dan Indonesia Merdeka. Dia terus menerus berperan seabgai pemusik-pejuang. Artinya, Djaga Depari tetap menggeluti dunia musik, mencipta lagu dan memainkan dalam panggung-panggung sandiwara.

3.3.Hermeneutika Karya Djaga Depari

Perjuangan kaum nasionalis Indonesia mencapai titik puncak saat Soekarno- Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. kemerdekaan yang diproleh jelas bukan hadiah dari bangsa lain, tetapi hasil dari perjuangan panjang bangsa Indonesia sendiri. Kendari telah menyatakan diri menjadi bangsa yang merdeka, kehidupan politik, sosial dan ekonomi saat itu terlihat belum merdeka 100 persen. Balantentara Jepang masih berckol dan tengah

kerusuhan mulai terjadi diberbagai tempat. Tentara Inggris yang datang mewakili pihak sekutu ternyata diboncengi Netherlands Indie Civil Administration (NICA) yang hendak mengembalikan bumi Indonesia kepada Vaterland (Kerajaan Belanda). Pertempuran antara rakyat Indonesia dengan pasukan sekutu mulai merebak di sejumlah kota. Pertempuran sengit terjadi di Surabaya dan Jakarta.

Begitu pula suasana Medan yang dicekam teror, intrik, dan desas-desus, merupakan kota yang penuh dengan kekejaman bagi perjuangan-perjuangan kemerdekaan. Serdadu-serdadu Belanda dengan membonceng pada Serdadu Sekuitu Royal artelery 26 Th Indian Division dibantu oleh barisan Pengawal Cina Poh An Tui, melakukan pemeriksaan, penangkapan, pengeniayaan, dan pemerkosaan. Alasan pokok mereka karena Extrimistent (kaki tangan) banyak berkeliaran dalam kita maupun pinggiran kota dengan senjata-senjata gelap hasil rampasan dari tangan sedadu-sedadu Jepang. Pasukan Poh Ai Tui ini sangat kejam dan ganas terhadap pejuang-pejuang republik pun merambah ke daerah-daerah disertai dengan sejumlah aksi kekerasan yang sulit dicegah.

Dalam situasi demikian, beberapa tokoh pemuda di Medan, mengambil sejumlah langkah. Pada tanggal 21 September 1945, diprakarsai oleh Achmad Tahir, B.H. Hutajulu, dan Amir Bahrun Nasution, bertempat di asrama pemuda Jalan Fuzi, berkumpul 53 pemuda yang berasal dari Gyugun, Heibo, Tokobetsu, Seinen Renseisyo, Talapetta, Surya Wirawan, Golongan Pers, Nelayan dan lain- lain. Dalam rapat itu diputuskan untuk membentuk satu organisasi pemuda yang dapat memegang pimpinan gerakan pemuda dihari-hari mendatang. Kepengurusan organisasi pemuda ini pun ditetapkan dengan ketua Sugondo Kartoprodjo dari

Taman Siswa, dibantu oleh pengurus lain seperti Achmad Tahir. Organisasi ini kemudian diberi nama Barisan Pemuda Indonesia (BPI).

Setelah terbentuk, maka pada tanggal 30 September 1945, berlangsunglah rapat pemuda di Taman Siswa, Jalan Amplas Medan yang antara lain dihadiri Mr. T. Mohamad Hasan. Pada waktu itulah Mr. T. Mohamad Hasan, secara resmi mengumumkan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa pertemuan para pemuda di Taman Siswa itu benar-benar menggemparkan sekaligus melegakan para pemuda dan masyarakat luas pada umumnya. Apalagi berita Verslag rapat diumumkan oleh surat kabar Perwarta Deli Medan yang dipimpin oleh Moh. Said dan A.O. Lubis.

Tugas pengurus Barisan Pemuda Indonesia sudah semakin padar yaitu untuk membentuk kepengurusan di daerah-daerah sekalian menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan dan mengobarkan semangat Kemerdekaan. Seruan pengurus BPI Medan, termasuk anjuran Selamat Ginting kepada Matang Sitepu untuk secepatnya membentuk BPI Tanah Karo, maka pada 29 September 1945, di Kabanjahe dibentuklah BPI Tanah Karo yang dipimpin oleh Matang Sitepu dibantu Ulung Sitepu, Sekretaris R.M. Pandia, Bendahara Koran Karo-karo dan ketua Penerangan Keterangan Sebayang. Tugas pengurus BPI ini cukup berat. Pertama menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan ke Desa-desa Tanah Karo, Kedua membentuk ranting-ranting BPI di Desa-desa, Ketiga mencari senjata untuk memperkut barisan.

Pada mulanya semua potensi pemimpin pemuda di Tanah Karo dengan barisan-barisan perjuangan mereka, tergabung kedalam BPI sepeti pada bekas

Talapetta : Payung Bangun, Gandil Bangun, Meriam Ginting, T.M Sinulingga. Dari N.V Maspersada : Koran Karo-karo. Dari Pusera Medan : Selamat Ginting, Rakutta Sembiring. Desemikian pula dari berbagai potensi pemuda yang ada seperti : Matang Sitepu, Ulung Sitepu, Tama Ginting, R.M. Pandia, Batas Perangin-angin, Turah Perangin-angin dan banyak lainnya. Namun pada proses sejarah selanjutnya, di Tanah Karo pun dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibawah pimpinan Djamin Ginting dibantu Nelang Sembiring, Bom Ginting. Anggota-anggota TKR ini diambil dari pemuda-pemuda bekas Gyugun dan Heiho yang telah mendapat latihan militer dari tentara Jepang. Barisan- barisan rakyat yang tergabung dalam kesatuan laskar rakyat Tanah Karo juga mengalami penyusunan organisasi. Semula laskar-laskar rakya berada dibawah Pesido, pecah menjadi beberapa kekuatan, sehingga pada bulan Desember 1945 lahir dan terbentuklah laskar bersenjata di Tanah karo yakni : Barisan laskar rakyat Napindo Tanah Karo dipimpin oleh Selamat Ginting dan Matang dibantu oleh Ulung Sitepu, Koran Karo-karo, Tama Ginting, T.M. Sinulingga, Turah Perangin-angin, Batas Perangin-angin. Barisan Harimau Liar (BHL) dibawah pimpinan Netap Bukit. Barisan Merah, Barisan Semut dan lain-lain.

Dalam perkembangan berikutnya, Djaga Depari yang berpangkat Sersan Mayor, bergabung menjadi anggota tentara Sektor III yang berkedudukan di Sidikalang, pimpinan Mayor Selamat Ginting dengan jabatan seksi penyiaran Radio dan sandiwara. Tugas utamanya adalah menginformasikan berita-beritea pimpinan kepada laskar-laskar di pedalaman. Di samping itu, Djaga Depari juga menghibur laskar dan masyarakat melalui sandiwara yang dilakoninya. Kenyataan di atas kian mempertegas keberadaan Djaga Depari selaku pemusik pejuang. Di

saat itulah, Dia mulai mengarah pada penciptaan lagu-lagu perjuangan, betema cita sepasang manusia, alam dan keindahan tempat-tempat tertentu di Tanah Karo. Lagu yang diciptanya pada masa perang Kemerdekaan itu antara lain pada masa perang Kemerdekaan itu antara lain Famili Taksi, Padang Sambo, Sora Mido, Tanah Karo Simalem, Rudang Mejile, Roti Manis, Tiga Sibolangit, Lasam-lasam, Make Ajar, Pecat-pecat Seberaya, Didong-didong Padang Sambo, Io-io Lau Beringin, Andiko Alena, Sue-sue dan Rudang-rudang.

Sementara Erkata Bedil judul sebuah lagu yang digubahnya pada Agresi pertama akibat ditentukannuya Fixed Boundaris Medan Area oleh Inggris. Dia melihat sendiri seorang anak gadis yang penuh harap dan sendu melepas sang kekasih berperang ke Medan juang untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Kejadian itulah diterjemahkannya ke dalam syair-syair lagu yang membangkitkan semangat para pemuda pejuang agar tetap percaya diri walaupun apa yang terjadi. Lagu Erkata Bedil sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat dan pejuang pada waktu itu.

Erkata bedil

Erkata bedil i kota Medan ari o turang Ngataken kami maju ngelawan ari o turang Tading i jenda si turang besan turang la megogo Rajin ku juma si muat nakan turang la megogo O turang la megogo

Kai nindu ari turang Uga sibahan arihta Uga sibahan arihta Arih-arihta

Tetap ersada ari o turang

Adina lawes kena ku Medan perang ari o turang Petetap ukur ola melantar ari o turang

O turang la megogo Kai nindu ari turang Uga sibahan arihta Arih-arihta

Tetap ersada ari o turang

Berbunyi Bedil

Berbunyi bedil di kota Medan wahai saying Menjuruh kami maju melawan wahai saying Tinggal di sini adinda saying adinda manis Rajin ke ladang mencari makan adinda manis Wahai adinda manis

Apa katamu wahai saying Bagaimana kita buat janji kita Janji dan tekat kita

Tetap bersatu wahai sayang

Kalau pergi dikau ke medan perang wahai saying Tetapkanlah hati jangan main-main wahai saying Kalau memang sudah suaratan kelak wahai saying Sempat juga kelak kita bersenang hati wahai saying Wahai adinda manis

Apa katamu wahai saying Bagaimana kita buat janji kita Janji dan tekat kita

Tetap bersatu wahai sayang

Satu tonggak penting lainnya, ketika dia mencipta Tanah Karo Simalem, sebuah lagu dengan syair-syair yang penuh berisi tentang keindahan alam Tanah kelahirnya. Pemuda Karo berusia 25 tahun itu juga mencipta dan mengubah sejumlah lagu pada tahun yang sama, diantaranya Padang Sambo, Sora Mido, Simulih Karaben, Bintang Marondang, Mejuah-juah, Rudang Mayang, Sundut- sundut Bulan, Nangkih Deleng Sibayak, Bentan-bentan dan Membas-embas.

Tanah Karo Simalem

Kutatap ras kutulihken Taneh ingan kemulihen Kujamu kuema-ema bage Taneh Karo mejile

O Taneh Karo simalem Ingan cio cilinggem Meganjang kal beritana Sebelangg-belang Donia

Mehamat kal kap jelmana kerina La kal lit si jegirna

O Taneh Karo simalem Ingan cio cilinggem Reff:

I kepar lawit si apai kin ndia Kecibalku kin gia

Keleng ateku ia Lalap la erleka

O Taneh Karo simalem Ingan cio cilinggem Tanah Karo Tercinta Kutatap dan kutoleh Tanah tempat kelahiran Kuelus kucium-cium nian Tanah Karo tercinta Tempat berteduh bernaung Ref:

Di seberang laut yang mana gerangan Tempatku berada nian

Namun cintaku padamya Tetap tiada berkurang Tanah Karo tercinta Tempat berteduh bernaung

Salah satu peristiwa sejarah yang menentukan perjalanan bangsa Indonesia terpancang di akhir tahun 1949, tepatnya pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakanlah upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia. Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de jure di seluruh bekas Hindia Belanda (kecuali Papua dan Timor Leste).

Serdang, Medan dilangsungkan upacara kekuasaan Komando Sumatera Utara dari Jenderal Mayor P.Scholten, Commandant Tropen en Territorial Commando Noord Sumatera (Panglima Tentara dan Territorial Komando Sumatera Utara ) kepada Kolonel A.E. Kawilarang, Komandan Tentara dan Teritorium Sumatera Utara.

Setelah itu, bendera Belanda berganti dengan bendera Indonesia. Para pejuang mnengalir memasuki kota dan desa. Hampir semua gedung dan berbagai prasarana vital dikembalikan Belanda kepada Indoenesia. Djaga Depari dan istri termasuk diantara para pendatang yang berduyun-duyun memasuki kota Kabanjahe. Untuk itu, Djaga Depari mencipta sebuah lagu khusus berjudul Sora Mido. Tentang lagu ini Profesor Masri Singarimbun pernah mengatakan, “Sebagai seorang pencipta lagu, Djaga Depari telah mempu menyeret-menghanyutkan perasaan para pendengarnya , karena beliau juga ikut sebagai pelaku pejuang. Kekuatan lagu ini tergantung pada pesanya. Jalan melodi dan harmoninya penuh perasaan sehinga mudah ditangkap telinga pendengarnya”.

Masih tentang lagu Sora Mido ini, tokoh budaya Karo Nempel Tarigan, pernah mengatakan, bahwa terciptanya lau tersebut dilator belakangi oleh kepedihan hatinya melihat keadaan keluarga pejuang yang merana akibat kehilangan anggota keluarganya. Antara lain katanya:

“Setelah pulang dari mengungsi, keadaan saat itu tidak menentu banyak orang kehilangan anggota keluarganya, apakah mati ditembak musuh, mati dimakan binatan buas di hutan, tersesat, cacat dan lain-lain. Melihat keadaan tersebut, inspirasi Djaga Depari pun timbulk ketika ia melintas makam pahlawan dan mendengar suara tangisan sendu dihadapan pusara orang yang dikasihinya. Hatinya sungguh pilu bercampur sedih mendengar suara tangisan itu. Jiwa seninya pun meronta, memaksa kalbunya melakukan penghiburan terhadap mereka. Dari kejauhan terbayang rasa pilu yang menimpa teman-temannya. Ia termenung, hatinya sedih, kepada siapakah dia

mengadu, akhirnya semua itu dituangkannya kedalam sebuah lagu yang diberi judul Sora Mido, yang berarti Suara Himbauan”.

Sora Mido

Terbegi sora bulung-bulung erdeso I babo makan pahlawan si lino Bagina sora serko medodo Cawir-cere soranan mido-ido

Terawih dipul meseng kutanta ndube Iluh si lumang ras balu-balu erdire-erdire Sora ndehereng perenge-renge ate

Kinata ngayak merdeka ndube

Makana tangarlah si nggelem layar-layar Ula kal merangap ula dage jagar-jagar Kesah ras dareh ndube tukurna merdeka enda Ula kal lasam kahul bangsanta

Enggom megara lawit ban dareh simbisanta Enggom megersing paya ban iluh tangista Enggom megelap langit ban cimber meseng kuta Ngayak-ngayak merdeka kal kita

Tegu me dage temanta si enggo cempang Didong kal dage anak-anak tading melumang Keleng ate ras dame si sada karang

E me pertangisen kalak si erjuang Terbegi sora bulung-bulung erdeso I babo makan pahlawan si lino Bagina sora serko medodo Cawir-cere soranan mido-ido

Suara Himbauan

Terdengar suara daun-daunan berdesau Di atas makam pahlawan nan sepi

Seperti suara menjerit yang memilukan hati Terang jelas suaranya menghimbau-himbau Mengepul asap kampung kita yang terbakar dulu Air mata anak yatim dan para janda jatuh berderai Bunyi meraung menyayat memilukan hati

Nyawa dan darah dulu pembeli kemerdekaan ini Janganlah sia-sia kaul bangsa kita

Sudahlah merah laut karena darah pahlawan kita

Sudahlah kuning rawa-rawa karena air mata tangisan kita

Dokumen terkait