• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan dan burung adalah dua buah kata yang sering terdengar dalam bahasa sehari-hari tetapi kadang-kadang terlupakan oleh kita dalam menjaga dan melestarikannya. Sangat disayangkan kalau terlupakan karena orang hanya melihat hutan tanpa melihat pohon, daun dan akar, dan orang hanya melihat pohon saja tidak bisa menikmati keindahan sebuah ekosistem yang kompleks. Padahal, semua itu dijadikan oleh Tuhan Maha Pencipta untuk menghiasi keindahan alam semesta ini. Alangkah beruntungnya kita memiliki seorang seniman seperti Djaga Depari yang selalu mengungkan keindahan alam beserta isinya menjadi bahan Renungan dan Inspirasi untuk menghasilkan buah-karya yang dituangkan melalui goresan penanya menjadi sebuah lagu.

Lagu Piso Surit adalah salah satu gubahan beliau yang diinpirasikan oleh seekor burung. Inspirasinya mengalir ketika selesai mengadakan suatu pertunjukan, dia menginap bersama teman-temannya di satu desa di daerah Karo. Di tengah keheningan dinginnya malam, mereka mendengar kicauan burung Piso Serit saling bersahut-sahutan bertengger diatas pohon sana dalam sepi dan sunyi. Seolah-olah burung itu memangil-mangil kekasihnya entah bila datang untuk menemuinya. Burung itu diibaratkan seorang pemuda yang sedang menanti dan mencari dimana gerangan sang kekasih berada rindu dapat berjumpa.

Sebagai seorang seniman, Djaga Depari beada sejajar dengan rekan-rekannya yang lain dalam mengembangkan seni musik serta mempopulerkan algu-lagu daerahnya kepada masyarakat Sumatera Utara maupun masyarakat Indonesia.

kepada seni tarik suara ini disaat-saat apa yang diperjuangkan tersebut telah menjadi kenyataan. Dunia tarik suara dikalangan masyarakat Karo telah banyak diminati oleh kalangan generasi muda, tanpa terkecuali yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Itu terbukti, sampai sekarang lagu-lagu karya ciptanya tetap lestari bahkan mendapat tempat tersendiri dalam peta musik Indonesia khususnya Sumatera Utara tempat beliau berasal.

Bagian ini merupakan rangkuman dari bab-bab sebelumnya, menjadi satu- kesatuan utuh yang memperlihatkan benang merah perjalanan karier Djaga Depari. Hal ini teramat penting dikemukakan. Sebagian orang mengakui bahwa dia termasuk dalam salah satu dari seniman musik Indonesia yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu. Pengakuan ini diperjelas lagi setelah Presiden Republik Indonesia memberikan “Piagam Hadiah Seni”kepada beliau sabagai Seniman dan Pembina musik yang diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daud Yoesoef kepada keluarganya pada tanggal 2 Mei 1979. Demikian jufa, pada tahun yang sama, Gubernur Sumatera Utara EWP Tambunan memberikan Piagam Seni kepada Beliau.

Sebagian lagi, terutama para kritikus musik, “mengecam” bahkan menyebutkan “penciplak,” mencipta musik bukan “asli ciptaannya”. Kami disini berupaya membeberkannya seobjektif mungkin sehingga akan didapat suatu “tempat yang khas” bagi Djaga Depari.

Untuk meneliti suatu peristiwa setidak-tidaknya kita harus melihat, antara lain, keunikan (uniqueness) yang membedakan peristiwa ini dengan peristiwa yang lain. Begitu pula dengan riwayat hidup seseorang. Merekonstruksi riwayat hidup seorang “tokoh” memang bukan suatu pekerjaan yang mudah. Kita akan

selalu dihadapkan pada disiplin dan kaidah keilmuan yang memilah, sampai menggunakan informasi dengan cerma. Rekontruksi suatu peristiwa, atau riwayat hidu seseorang, ibarat merapikan kembali potongan-potongan kecil potret lama dalam sebuah bingkai secara utuh. Kita tidak akan mungkin menemukan seluruh potongan tersebut. Kita hanya bisa menysusunnya kembali menjadi sebuah potret yang “kira-kira” mendekati bentuk aslinya.

Suatu pengerjaan sejarah sebagai usaha rekontruksi masa lampau hanya mungkin dilaksanakan apabila pertanyaan pokok telah di rumuskan. Di samping menjadi ukuran penting tidaknya suatu tindakan, pertanyaan pokok itu juga merupakan alat untuk menentukan hal-hal yang bisa dijadikan “fakta sejarah” sehingga, secara teoritis, dapat dikatakan bahwa “fakta sejarah” belum ada sebelum pertanyaan pokok itu dirumuskan. Si sisi lain, penulisan adalah usaha rekontruksi hari lampau untuk menjawab pertanyaan pokok yang telah dirumuskan. Penulisan adalah penting dalam historigrafi, namun penulisan tanpa disertai penelitian sama artinya dengan rekontruksi tanpa pembuktian; mengembalikan kita kepada mitologi. Mencari, menemukan dan menguji bahan- bahan sumber, sehingga bisa diaggap “fakta sejarah” yang benar, secara historis, adalah hal yang sangat diperlukan dalam penelitian. Kemampuan menyusun fakta- fakta fragmentasi ke dalam suatu yang amat diperlukan dalam penulsisan. Kedua proses tersebut membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi serta imajinasi historis yang menarik, sehingga sejarah dihasilkan bukan hanya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer “apa, siapa, dimana, dan apabila,” tetapi juga “bagaimana” serta “mengapa dan apa jadinya.”

Mengkaji seorang tokoh yang diriewayatkan, kemudian menuangkannya kedalam bentuk tulisan, juga menghadapi hal serupa. Pertama, berkaitan dengan soal ketokohan. Apakah benar sumber sejarah menyatakan demikian ataukah semata-mata fantasi orang tertentu yang hendak menokohkannya sesuai dengan kepentingannya. Kesulitan ini terutama terjadi saat kita mulai menyeleksi data yang berkaitan dengan tokoh itu. Kedua, berkaitan dengan metode. Salah satu jawaban yang cukup baik adalah oral history; metode wawancara untuk menggali keterangan lebih dalam tentang tokoh yang diteliti. Wawancara dilakukan dengan mereka yang hidup se zaman dengan tokoh itu sehingga bisa diperoleh gambaran cukup jelas. Kesulitannya, tidak semua nara sumber mau mengungkap masa lalunya entah karena alasan pribadi atau politis. Ketiga, keaslian (validity) sumber. Pengunaan bahan-bahan sumber yang sezaman menjadi penting bila kita sulit mengerjakan check and recheck terhadap sumber lisan (wawancara) dila diharapkan dengan sumber-sumber tertulis. Dari berbagai kendala yang ada, kami berusaha mencari kesinambungan fakata mengenai tokoh Djaga Depari yang kami sebut sebagai pemusik-pejuang.

Djaga Depari mengenal musik sejak kecil. Saat itu, hingga sekarang, masyarakat Karo, sangat menggemari lagu karya ciptanya. Dengna latar sosial- ekonomi keluarga yang pas-pasan, Djaga Depari menempuh pendidikan formal di sekolah umum di Kabanjahe, Ibu Kota Kabupaten Karo. Melalui media radio, minat Djaga Depari untuk mendengarkan dan mempelajari musik semakin besar. Pada awalnya dia belajar musik secara otodidak. Kemampuang di bidang bahasa, khususnya Belanda dan Inggris, memudahkan Djaga Depari dalam membaca

“bahasa asli” musik-musik itu. Dia bukan blinde muizen yang tidak bisa memahami istilah-istilah musik.

Minat Djaga Depari yang sangat besar terhadap dunia musik mendapatkan wadah yang tepat ketika dia masuk dan menjadi salah satu anggota orkes Melati Putih sekitar tahun 1960-an. Pada mulanya perkumpulan musik itu hanya sebuah orkes keroncong biasa. Musik keroncong sebenarnya berkembang meluas seiring dengan kemunculan berbagai group sandiwara komedi stambul, dan lain-lain yang senantiasa membawakan pelbagai cerita di atas panggung diiringi lagu-lagu keroncong. Namun, dunia Djaga Depari bukan hanya orkes musik, dia juga menaruh minat pada panggung sandiwara yang berkembang pesat di Indonesia sejak penjajaghan Belanda, ditandai dengan kemunculan grup-grup sandiwaea di Kota Medan.

Selain konsisten menekuni bidang musik, Djaga Depari juga menyentuh dunia kemiliteran. Setelah Indonesia merdeka, dia bergabung dengan pasukan TNI sektor III pimpinan Mayor Selamat Ginting, di Sidikalang dengna pangkat tereakhir Sersan Mayor. Pada msa itu, dia menjabat wakil penerangan dan propoganda berbentuk lukisan-lukisan, berita-berita radio dan sandiwara. Memang, tidak layak sumber riwayat yang memang, pengalamannya sabagai tentara luput dari perhatian saat kita membicaraklan tentang “siapa Djaga Depari”. Situasi dunia menjelang pengakuan kedaulatan Republik Indinesia turut mempengaruhi perkembangan sosial-politik Indonesia. Pada awalnya pemerintah kolonial masih bisa menampik berbagai mosi dan petisi yang diajukan oleh pihak pergerakan, yang menuntut perbaikan kondisi hidup rakyat tanah jajahan dan

internasional serta desakan PBB yang sulit diredam akhirnya memaksa pemerintahan Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. beberapa “konsesi” segera diberikan kepada semua pemerintah Indonesia yang baru termasuk rasionalisasi semua perusahaan- perusahaan milik Belanda.

Pada awal pengakuan kedaulatan Djaga Depari, diangkat seabgai pegawai Jawatan Penerangan Kabupaten Karo. Posisi itu sangat mendukung aktivitasnya sebagai pemain musik karena dia berkesempatan pula mengembangkan baka seninya dengna mengadakan siaran keliling disertai pertunjukan panggung sandiwara yang dipimpinnya. Dia mulai menciptakan beberapa lagu yang dibuatnya Tanah karo Simalem. Syair-syair lagu yang dibuatnya selama revolusi, banyak menggugah semangat para pejuang untuk rela berkjorban demi mempertahankan Kemerdekaan “membumi” dan nyata isinya sesuai dengna suasana revolusi. Selain menyanyi dan mencipta lagu, dia juga menghibur para pejuang yang berada digaris depan melalui siaran-siaran radio. Dia sendiri mengalami langsung dan menjadi saksi mata dari berbagai peristiwa selama periode revolusi. Walaupun waktu telah berlalu, lagu-lagu indah yang berisi pesan-pesan perjuangan tetap menyentuh dan senantiasa dilantunkan oleh generasi-generasi sesudahnya. Lagu-lagu yang diciptakan pada masa itu tetap bertahan sampai sekarang.

Di penghujung akhir hayatnya Januari 1963, Djaga Depari dipenuhi keinginan kuat memajukan kebudayaan Karo. Bersama-sama dengan temannya antara lain : Nuhit Bukit, Ngukumi Barus, Dolah Sembiring, dan Bujur Sitepu, Dia membentuk suatu lembaga Kebudayaan Karo seabgai wadah-tempat berdikusi

tentang peningkatan seni sastra Karo dan aspek-aspek budaya lainnya. Lembaga ini diberi nama Badan Musyawarah Kebudayaan karo (BMKK) beranggotakan semua para seniman-budayawan Karo yang berdomisili di Tanah Karo, Deli Serdang, Langkat, Dairi, dan Simalungun. Pada waktu itu, kendati dalam keadaan serba kurang, mereka berhasil menerbitkan almanak kebudayaan Karo, tapi sayang, almanak ini hanya sampai dua nomor penerbitan.

Pemikiran mengenai musik dengan ciri khas Karo meski pun tidak keluar dalam bentuk tulisan, dimajukannya lewat karya-karya musik. Syair lagu-lagunya cukup puitis, memiliki arti khusus, berupa kata-kata mutiara yang dipetik dari bahasa Karo lama dan asli. Pemikiran Djaga Depari tentang hal itu sangat sedikit dipublikasikan baik di media cetak maupun dalam bentuk buku. Namun demikian, dari sedikit orang yang sempat mewawancarainya jelas terungkap bahwa Djaga Depari akan tetap menjadikan musiknya sebagai typisch Karo. Dan tugas setiap generasi sesudah Djaga Depari, utamanya para insan musik, adalah melanjutkan perjuangannya, agar tetap dikenang didalam hati penggemarnya sebagai seorang Pahlawan Seni.

Saran

1. Agar Hermenutika lagu-lagu Djaga Depari bisa disosialisasikan ke masyarakat khususnya generasi muda, agar bisa memahami arti sebuah karya Djaga Depari.

2. Generasi muda bisa meneruskan untuk melestarikan karya-karya Djaga Depari agar masyarakat terus mengingat karya-karya Djaga Depari

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bina Aksara, 1998.

Almond, Gabriel A. Dan Powel,Bringham G, Compartive Politics, Boston: Litle, Brow and Company, 1978.

Almond, Gabriel A. Dan Verba Sidney, terj. Sahat Simamora, Budaya Politik, Tingkah Laku Demokrasi Lima Negara, 1990.

Barents. J, Ilmu Politika : Suatu Perkenalan Lapangan, Jakarta : PT Pembangunan, 1965.

Birowo,Antonius, Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta : Gintanyali, 2004. Budiardjo, Mariam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama, 1972.

Dkk, Kusmanto, Heri, Pengantar Ilmu Politik, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2006.

Faisal, Sanafiah, Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Gie , Liang, The, Ilmu politik, Yogyakarta : UGM Press, 1969.

Haviland,William A. Terj. Soekadijo. Antropologi Jilid 4, Jakarta: Erlangga,1985. H. A. R., Tilaar, Mengindonesakan Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia,

Jakarta : Rineka Cipta, 2007.

Indrawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jombang : Lintas Media, 2002.

Kahin,George MC Turnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj. Ismail bin Muhammad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajar Malaysia, 1980.

Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosutanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1990.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994.

Namawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press,1987.

Nasir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983. Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Medan : Dwipa, 1965.

Purwanto, Ngalim M, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remadja Karya, 1985. Sabri, Alisuf M, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Sastroatmodjo, Sudijono, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995.

Sastrosupono, Suprihadi M., Menghampiri Kebudayaan, Salatiga : Penerbit alumni, 1981.

Setiadi, Elli M. dkk, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, Bandung : Kencana Perdana Media Group, 2005.

Simajuntak, Bungaran, Antonius, Konflik Ststus dan Kekuasaan Orang Batak, Medan : Buku Obor, 2009.

Simanjuntak, Posman, Berkenalan Dengan Antropologi, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2000.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian, Metode penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.

Situs Internet

http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK diakses

tanggal 3 maret 2010

Peraturan dan Perundang-undangan

Dokumen terkait