CURRICULUM CONTENTS:
2. Hernia Diafragmatika
Hernia diafragmatika adalah kelainan yang terjadi akibat adanya penonjolan organ perut ke dalam rongga thoraks melalui suatu defek (lubang) pada diafragma. Diafragma adalah sekat yang membatasi rongga dada dan rongga perut. Lubang Hernia dapat terjadi di peritoneal (tipe Bochdalek) yang sering di temukan, anterolateral (tipe morgagni) atau di esophageal hiatus hernia.
Penyebab pasti hernia masih belum diketahui. Gejala dapat berupa :
- Gangguan pernafasan berat - Sianosis
- Takipneu
- Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris) - Takikardia.
Pemeriksaan fisik didapatkan gerakan pernafasan yang tertinggal, perkusi pekak, fremitus menghilang, suara pernafasan menghilang dan mungkin terdengar bising usus pada hemitoraks yang mengalami gangguan.
Kesulitan untuk menegakkan diagnosis hernia diafragmatika preoperative menyebabkan sering terjadinya kesalahan diagnosis dan untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosisi hernia diafragmatika.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah dilakukannya pemeriksaan radiologi yaitu pemeriksaan foto thoraks. Adanya defek pada diafragma bila dilihat dari thoraks foto dapat ditemukan gambaran abnormal seperti adanya isi abdomen pada rongga thoraks, terlihat selang NGT di dalam rongga thoraks, peninggian hemia diafragma (kiri lebih tinggi dari kanan), dan batas diafragma yang tidak jelas. Pemasangan sonde langsung dapat di gunakan untuk memastikan diagnosis sebab sonde dapat membelok kembali ke atas diafragma. Foto zat kontras kadang diperlukan jika kolon tersangkut di dalamnya. Bila di dapatkan abnormalitas pada pemeriksaan foto thoraks, selanjutnya dilakukan pemeriksaan CT-scan atau USG FAST untuk memastikan diagnosis rupture diafragma dan hernia diafragma. Kadang-kadang diperlukan fluoroskopi untuk membedakan antara paralisis diafragmatika dengan eventerasi (usus menonjol ke depan dari dalam abdomen).
Pada hernia diafragmatika dapat terjadi penyulit berupa perdarahan dan obstruksi. Bila defek hernia besar kemungkinan terjadi insufisiensi kardiovaskular yang dapat mengancam jiwa. Komplikasi yang paling membahayakan adalah strangulasi isi hernia. Lambung, usus, hati dan limfa dapat menonjol melalui hernia. Jika hernia yang besar, biasanya paru-paru pada sisi hernia tidak berkembang secara sempurna. Setelah lahir, bayi akan menangis dan bernafas sehingga usus akan segera terisi oleh udara. Terbentuk massa yang mendorong jantung sehingga menekan paru- paru dan terjadilah sindroma gawat pernafasan.
Konseling prenatal dilakukan segera setelah diagnosis dibuat berdasarkan USG. Setelah melalui berbagai pemeriksaan tersebut, tim medis harus menjelaskan segala kemungkinan pilihan tatalaksana kepada orangtua seperti terminasi kehamilan, meneruskan kehamilan dan melahirkan bayi tersebutdi pusat pelayanan medis yang memadai termasuk prognosis dari kasus ini. Tatalaksana hernia diafragmatika yang optimal harus memperhatikan berbagai hal yang terkait antara lain :
1. Proses persalinan dan unit perawatan intensif neonatus 2. Stabiliasai preoperative
4. Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) 5. Pemberian Surfaktan
6. Terapi Antenatal
7. Terapi Pembedahan Perinatal 8. Transplantasi Paru
9. Perawatan Pasca Bedah
Perawatan pasca bedah meliputi perawatan jangka pendek (segera setelah pembedahan) dan perawatan jangka panjang. Perawatan bedah jangka pendek meliputi deteksi dan tatalaksana komplikasi yang dapat terjadi setelah pembedahan. Komplikasi yang mungkin timbul dapat berupa perdarahan, distress pernafasan, hipotermia, produksi urin yang menurun, infeksi dan obstruksi usus. Pengawasan yang dilakukan saat pasien masih dirawat di rumah sakit meliputi monitoring pernafasan, evaluasi neurologis, dan masalah pemberian makanan. Perawatan jangka panjang meliputi pemantauan tumbuh kembang pasien. Pertumbuhan kasus dipantau karena risiko terjadi gagal tumbuh besar akibat adanya penurunan asupan kalori sebagai akibat penyakit paru khronis, gastroesophageal refluks dan feeding yang buruk terutama pada pasien dengan defek neurologis yang berat.
3. TEF (Tracheo Esofageal Fistula)
TEF merupakan suatu kelainan kongenital dimana terdapat saluran abnormal yang menghubungkan trakea dengan esofagus .
Di dunia, angka insiden TEF adalah satu dalam 3.000-4.500 kelahiran hidup. Sebagian kelahiran dengan TEF terjadi bersamaan dengan kelainan lainnya dimana yang tersering ialah kelainan jantung (cardiac). Keadaan ini merupakan bagian dari sindrom VACTERL, yaitu vertebral (17%), anorektal (12%), cardiac (20%), tracheo, esophageal, renal (16%), dan limb (10%). TEF dapat pula terjadi hanya sendiri tanpa kelainan penyerta (nonsyndromic oesophageal atresia).
Sampai saat ini penyebab TEF belum diketahui secara pasti, namun dikatakan terjadi akibat multifaktorial, termasuk faktor genetik sebesar 6-10%. Faktor genetik tersebut antara lain kelainan kromosom [trisomi 13 (Patau syndrome), 18 (Edwards syndrome), 21 (Down syndrome)] dan gangguan single gene (CHARGE syndrome, Feingold syndrome, Opitz syndrome, Fanconi anemia). Faktor lingkungan diduga juga ikut berpengaruh terhadap kelahiran bayi dengan TEF. Faktor tersebut antara lain ibu terpapar zat methimazole atau diethylstilbestrol (DES), pengguna hormon sex eksogen, perokok atau peminum alkohol, dan pekerja di pertanian atau perkebunan, penggunaan insulin pada diabetes mellitus, usia terlalu tua, dan defisiensi vitamin A.
Bayi dengan AE/TEF dapat mengalami gangguan proses menelan karena tidak normalnya peristaltik esofagus. Selain itu dapat terjadi trakeomalasia yang disebabkan oleh dilatasi segmen proksimal akibat menumpuknya cairan amnion sehingga terjadi penekanan pada perkembangan trakea dan mengakibatkan gangguan perkembangan cincin tulang rawan trakea.
Janin dengan AE tidak dapat menelan cairan amnion dengan efektif. Pada janin dengan AE dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir menuju trakea ke fistula kemudian ke usus yang dapat mengakibatkan terjadinya polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan kelahiran prematur. Trakea dapat mengalami kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi atau terjadi GERD yang dapat mengakibatkan kegagalan nafas, hipoksia, bahkan apnea.
Beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda TEF antara lain:
a. Gangguan menelan saliva sehingga terjadi penumpukan saliva dan sekret. b. Mulut berbuih karena adanya gelembung udara dari hidung dan mulut. c. Tersedak atau batuk saat menyusui.
e. Sianosis.
f. Gejala pneumonia akibat regurgitasi saliva dari esogafus yang buntu dan regurgitasi cairan lambung melalui fistula ke dalam jalan nafas.
g. Perut kembung karena udara melalui fistula masuk ke dalam lambung dan usus. h. Oligouria karena tidak ada cairan yang masuk.
i. Sering disertai dengan kelainan bawaan lainnya yang disingkat dengan VACTERL yaitu Vertebra, Anorektal, Cardiac, Tracheal, Esophageal, Renal, dan Limb.
Diagnosis prenatal sering sulit diketahui sebab skrining hanya dapat dilakukan saat wanita hamil melakukan USG kandungan. TEF dan kelainan lainnya biasanya tidak tampak jelas hingga umur kehamilan 24 minggu. Terjadinya polihidramnion (33-66%) berhubungan dengan obstruksi aliran cairan amnion melalui janin. Pada USG juga tidak ditemukan gambaran cairan dalam gaster (10-40%) dengan tampak gaster berukuran kecil, perkiraan berat badan janin rendah (40%), dan ditemukan kantong esofagus yang melebar.
Diagnosis Postnatal : Bayi akan terlihat sangat lapar dan apabila diberikan susu akan terlihat rakus, tetapi pada saat menelan, maka susu tersebut akan keluar melalui mulut dan hidung yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada pernafasannya. Bayi akan mengeluarkan saliva putih berbuih yang sangat banyak pada mulut dan terkadang pula lewat hidung. Sekret tersebut dapat dibersihkan dengan pengisapan secara agresif tetapi dengan cepat berulang. Pernafasan bayi dapat terdengar berderak dengan episode batuk, tersedak, dan sianosis. Episode ini akan meningkat selama pemberian makanan. Apabila terdapat fistula antara trakea dan esofagus akan terlihat abdomen semakin distensi. Kelainan lain seperti pada anus, tulang atau jantung dapat terdeteksi dalam pemeriksaan fisik tetapi dapat pula tidak sehingga memerlukan perhatian dan pemeriksaan yang teliti.
Apabila timbul kecurigaan adanya AE/TEF segera dilakukan pemasangan selang nasogastrik yang radioopaque dengan ukuran 8 F (untuk bayi prematur) atau 10 F (untuk bayi yang matur) melalui hidung menuju lambung. Pada penderita AE/TEF, selang tersebut akan berhenti setelah masuk 10-12 cm.
Pemeriksaan Penunjang : foto polos thoraks AP/lateral dan abdomen dapat menunjukkan selang nasogastrik yang melingkar di kantong atas esofagus. Jika AE dengan TEF akan tampak gaster dan usus yang terisi udara di bagian bawah diafragma. Terkadang selang nasogastrik dapat menggulung di dalam esophagus proksimal. Foto toraks juga memberikan informasi mengenai bayangan jantung, lokasi arkus aorta, anomali dari vertebra atau tulang kosta serta adanya infiltrat pada paru-paru.
CT scan beresolusi tinggi merupakan modalitas non-invasif alternatif. Diagnosis AE dengan CT-scan 3D sangatlah berguna, dengan tingkat sensitivitas dan spesifitas sebesar 100%.
MRI prenatal memungkinkan visualisasi seluruh lesi dan hubungan anatominya. MRI fetus terbukti akurat menetapkan diagnosis prenatal AE dengan atau tanpa TEF pada bayi berisiko tinggi berdasarkan temuan USG. Namun, MRI fetus tidak akurat pada kasus polihidramnion.
Berdasarkan klasifikasi Waterston, evaluasi faktor risiko akan mampu memprediksi hasil dan menentukan waktu yang tepat untuk pembedahan. Tiga faktor utama yang dipertimbangkan antara lain berat badan lahir, adanya kelainan kongenital, dan pneumonia. Bayi dengan berat lahir kurang dari 1.500 gram dan disertai penyakit jantung bawaan diprediksikan akan meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas secara signifikan.
Klasifikasi Waterston
Category Weight/Comorbidities Surgical Timing
A > 2.500 gram Can undergo surgery
B 1.800-2.500 gram or pneumonia or congenital anomaly
Short-term delay, needs stabilizing treatment before surgery
severe pneumonia or congenital anomaly
Penanganan Awal
Sebagai penatalaksanaan preoperasi, daerah faring dan mulut harus dibersihkan dan selang nasogastrik 8 F dipasang agar dapat dilakukan pengisapan secara teratur. Kepala bayi harus dievaluasikan dengan posisi setengah duduk sebab aspirasi cairan lambung lebih berbahaya dibandingkan dengan saliva sedangkan bayi dengan AE murni diletakkan dengan kepala lebih rendah (posisi Trendelenberg). Pemasangan akses vena harus dilakukan untuk memberikan nutrisi, cairan dan elektrolit. Terapi oksigen diberikan untuk menjaga agar saturasi oksigen tetap normal. Apabila bayi mengalami distress pernafasan perlu diberikan perhatian khusus, seperti intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Ventilasi dengan bag dan masker tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan distensi lambung akut yang membutuhkan gastrostomi segera. Pemantauan tekanan intraabdomen yang meningkat akibat udara juga perlu dilakukan. Apabila dicurigai adanya sepsis atau infeksi paru, perlu diberikan antibiotika spektrum luas (ampisilin dan gentamisin) yang telah terbukti secara empiris sebagai profilaksis karena tingginya risiko terjadinya aspirasi. Bayi harus dirujuk ke pusat kesehatan yang mempunyai unit perawatan intensif untuk neonatus dan diletakkan pada inkubator dan terus dipantau tanda vitalnya.
Sebelum koreksi bedah, bayi harus dievaluasi dengan teliti terhadap adanya kelainan lain misalnya dengan pemeriksaan foto thorak untuk mengevaluasi kelainan pada tulang, jantung, atau pneumonia serta EKG untuk mencari kelainan jantung. Pemberian terapi untuk kelainan lain yang ada, seperti hipoglikemi, hiperbilirubinemia dan pnemonia harus diberikan. Bila terjadi atelektasis yang persisten yang umumnya terjadi di lobus kanan atas, perlu dilakukan penghisapan dengan laringoskopik direk. Gastrostomi untuk dekompresi dari lambung dilakukan untuk penderita dengan pneumonia dan atelektasis untuk mencegah refluks isi lambung melalui fistula ke dalam trakea.
Tindakan Pembedahan
Tindakan pembedahan merupakan terapi definitif untuk atresia esofagus. Pada umumnya tindakan pembedahan dilakukan dalam jangka waktu 24-72 jam pada neonatus yang sehat. Hal ini termasuk tindakan penyelamatan hidup (life threatening) yang memerlukan penanganan segera karena bahaya masuknya saliva dan sekresi gaster ke paru-paru melalui fistula serta ketidakmampuan untuk makan dan minum per oral.
Tindakan pembedahan primer meliputi isolasi dan ligasi fistula yang diikuti oleh anastomosis primer esofagus yang dilakukan dengan pembiusan umum. Pada kondisi yang berbeda dimana esofagus bagian atas terlalu pendek dan terdapat jarak yang cukup jauh antara ujung esofagus bagian atas dan bawah, tindakan pembedahan rekonstruksi tidak dapat dilakukan segera, namun asupan nutrisi harus tetap diberikan untuk pertumbuhan bayi. Untuk kasus ini, pilihannya adalah dilakukan gastrostomi, yaitu saluran yang langsung menuju lambung untuk pemberian nutrisi.
Prognosis
Prognosis menjadi lebih buruk apabila diagnosis terlambat ditegakkan akibat penyulit pada paru. Keberhasilan pembedahan tergantung pada beberapa faktor risiko antara lain berat badan bayi lahir, ada atau tidaknya komplikasi pneumonia dan kelainan kongenital lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang lainnya tergantung pada ada tidaknya kelainan bawaan lain yang mungkin multipel.
Kriteria menurut Spitz dipakai untuk menentukan prognosis bayi dengan TEF berdasarkan berat badan lahir dan keberadaan penyakit jantung kongenital.
Klasifikasi Spitz
Group Features Survival,
%
I Birth weight >1,500 gram; no major cardiac anomaly
98,5
II Birth weight <1,500 gram or major cardiac anomaly
82
III Birth weight <1,500 gram and major cardiac anomaly
50
4. PENYAKIT HIRSCHSPRUNG’S
Penyakit Hirschsprung’s (Megakolon Kongenital) adalah suatu kelainan kongenital dengan karakteristik tidak terdapatnya sel ganglion pada pleksus myenterik Auerbach, submukosa dalam pleksus Henle dan submukosa pleksus Meissner pada kolon distal. Sehingga menyebabkan terakumulasinya feses dan dilatasi kolon yang masif.
Penyakit Hirschsprung’s terjadi akibat tidak adanya sel ganglion di dinding usus (dari anus sampai ke proximal dengan derajat yang bervariasi). Segmen Aganglion yang ada di recto sigmoid terjadi pada 75 % pasien, 10 % pada seluruh colon. Total Aganglion bowel disease sangatlah jarang terjadi.
Penyakit Hirschsprung’s dikategorikan berdasarkan seberapa banyak kolon yang terkena. Tipe penyakit Hirschsprung’s meliputi:
• Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rectum. • Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari colon. • Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
• Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan kadang sampai sebagian usus kecil.
Diagnosis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terjadi adalah distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung’s akan sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung’s klasik ditandai dengan adanya gambaran spastik pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal.
Gambaran klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung’s dapat dibedakan berdasarkan usia . Pada neonatus ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat
(lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung’s . Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.
Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome 2. Mekonium ileus
3. Atresia ani
4. Neuronal intestinal dysplasia 5. Konstipasi fungsional Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung’s. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosis Hirschsprung’s adalah barium enema, yakni akan dijumpai 3 tanda khas.
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi. 2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi 3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung’s, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24- 48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.
Biopsi rektal merupakan "gold standard" untuk mendiagnosis penyakit hirschsprung’s Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rektum.
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan.
Penatalaksanaan
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan penyakit Hirschsprung’s tergantung dari diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari terapi awal. Dekompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena.
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung’s adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini bertujuan menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.
Dalam beberapa tahun terakhir sudah terbukti bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskopi. Terapi definitif yang umum dilakukan pada penyakit Hirschsprung’s meliputi :
1. Prosedur Swenson