• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hibah Dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam a. Pengertian Hibah

Hibah merupakan peristiwa hukum yang tidak hanya diatur dalam hukum Islam dan terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragama Islam, melainkan juga diatur dalam hukum perdata maupun hukum adat dan terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara umum.BerdasarkanPasal 1666 KUH Perdata, hibah merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Dari rumusan pengertian hibah tersebut dapat diketahui196:

1). Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma-uma (tidak ada kontraprestasi)

2).Hibah yang dilakukan mengisyaratkan bahwa hibah bertujuan untuk menguntungkan pihak yang menerima hibah

3).Objek hibah dapat berupa segala macam benda milik penghibah, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidk bergerak serta termasuk juga segala macam piutang pemberi hibah

4).Hibah tidak dapat ditarik kembali

5).Hibah harus dilakukan pada waktu pemberi hibah masih hidup

Dalam hukum adat, istilah hibah telah dikenal sejak lama. Pengertian hibah menurut hukum adat adalah suatu pemberian sukarela kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan suatu apapun. Objek hibah merupakan harta kekayaan yang dimiliki pemberi hibah semasa hidupnya.197Hibah dalam hukum adat dimaksudkan sebagai dasar kehidupan materil anggota-anggota keluarga, dimana penyerahan barang (objek) berlaku dengan seketika.198

Selain dalam hukum adat dan KUH Perdata, hibah juga dikenal dalam hukum Islam. Menurut Syamsudin al Muqdasiy, hibah dalam hukum Islam merupakan pemberian seseorang yang hidup dengan tiada perjanjian untuk mendapatkan balasan yang baik. Hibah menurut terminologi syara’ adalah pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.199

Pada awalnya kata hibah berasal dari bahasa Arab yang artinya memberikan atau menghadirkan, sedangkan hibah merupakan jenis kata benda yang artinya pemberian.Dalam kitab Mukhtasarul Ahkamil Fiqhiyyah dijelaskan bahwa pengertian hibah itu merupakan suatu sedekah atau derma dari seseorang (yang balig/dewasa) dari suatu harta yang dimilikinya.200

197Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1973), hal.204

198Ter Haar,Azas-azas dan Susunan Hukum Adat,(Jakarta : Pradnya Paramita, 1994), hal.210 199Anwar Sadat, Fungsi Hibah Dalam Memberikan Perlindungan Bagi Kepentingan Anak Pada Pembagian Harta Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Kasus di Kecamatan Padang Bolak), Tesis, (Medan : PPs-USU, 2002), hal.7

Hibah dalam pengertian umum merupakan sadaqah dan hadiah, dimana apabila dilihat dari aspek vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) maka hibah mempunyai dimensi taqorrubartinya seseorang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang dengan sering melakukan hibah.201Dilihat dari sudut lain hibah juga mempunyai aspek horisontal (hubungan sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara orang kaya dan miskin serta dapat menghilangkan rasa kecemburuan sosial.202

Para Fukaha (ahli Fiqih) mendefenisikan hibah sebagai akad yang

mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi atau tidak mengharapkan suatu imbalan.203Makna hibah secara khusus meliputi hal-hal di bawah ini204:

1).Ibraa, artinya menghibahkan kepada orang lain yang berhutang(pembebasan

hutang).

2).Sadaqah, artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala dihari

akhirat. Pada motivasi ingin mencari pahala dan keridhaanAllah itulah letak perbedaan yang mendasar antara sedekah dan hibah. Paraulama membagi sedekah itu kepada sedekah wajib dan sedekah sunat.

3).Hadiah, artinya imbalan yang diberikan kepada seseorang karena telah mendapatkan hibah. Pada dasarnya hadiah itu berasal dari hibah, akan tetapi dalam kebiasaan, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman kepada seseorang.

b. Hibah dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam

201Chuzaimah T.Yanggo dan A Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004), hal.81

202Ibid.

203Depdiknas,Ensiklopedi Islam Faskal II,(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoece) hal.106 204Helmi Karim,Fiqh Muamalah,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal.74

Dasar hibah menurut Islam ada pada firman Allah Subhanahuwa ta’alayang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik daripada menerima, namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa ta’ala dan mempererat tali persaudaraan.

Firman Allah Subhanahuwa ta’ala:

“...Dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan), dan orang orang yang meminta...”. (Q.S. Al – Baqarah 177: ).

Rasulallah juga bersabda, artinya Dari Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad

Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : saling memberi hadiahlah kamu sekalian

niscaya kamu akan mencintai”. (HR. Al – Bukhari). Di dalam Al–Qur’an maupun Hadis, memang tidak ditemui ayat dan Hadis Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadis di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, memberi hadiah, melakukaninfaq,sedekah,ibraa,hadiah,’umra,

ruqbahdan pemberian pemberian lain termasuk hibah.

Para tokoh Islam memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang sah atau tidaknya suatu hibah dalam Islam. Mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa hibah baru dikatakan sah apabila disertai oleh ijab dan kabul atau dengan bentuk lain yang mengandung isi pemberian harta kepada seseorang tanpa disertai imbalan. Menurut

mazhab Syafi’i, ijab dan qabul harus sesuai antara qabul dengan ijab-nya, qabul

mengikat ijab dan aqad hibah tidak dikaitkan dengansesuatu misalnya aqad tidak tergantung pada perkataan.205

Perbedaan pendapat ditunjukkan oleh pengikut Hanafi dan Hambali. Menurut pengikut mazhab Hanafi, hibah bermanfaat dan sah hanya dengan ijab saja sedangkan menurut pengikut Hambali, sahnya suatu hibah cukup hanya ditunjukkan dengan perbuatannya saja yang berpedoman dengan perbuatan Nabi SAW terdahulu yang diberi hadiah dan memberi hadiah.206

Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid diterangkan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu pemberi hibah (Al Wahib), penerima hibah (Al Mauhub Lahu) dan perbuatan hibah itu sendiri. Berdasarkan hukum Islam, hibah menjadi sah apabila telah memenuhi syarat, yakni ijab, qabul dan qabda.207 Berdasarkan Buku Muamalah,

Fiqh menerangkan bahwa rukun hibah ada 4, yaitu, shigat hibah, penghibah, penerima hibah dan barang hibah.208

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai pengertian dan syarat rukun hibah tersebut, maka dapat diketahui bahwa syarat sahnya hibah menurut hukum Islam adalah :

Pertama,adanyaijabdan kabulyang menunjukkan telah terjadi pemindahan

hak milik dari seseorang yang menghibahkan kepada orang lain yang menerima 205H.Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal.76

206Anwar Sadat,Op.Cit.,hal.20

207Sudarsono,Pokok-Pokok Hukum Islam,(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1992), hal.372 208Anwar Sadat,Op.Cit., hal.21

hibah. Pemindahan hak milik tersebut ditandai dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah atau dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian.

Kedua, ada orang yang menghibahkan dan yang akan menerima hibah. Harta

yang diserahkan benar-benar milik penghibah secara sempurna dan penghibah harus merupakan orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar.

Ketiga, ada harta yang akan dihibahkan dengan syarat harta itu milik

penghibah secara sempurna tidak bercampur dengan harta orang lain serta rnerupakan harta yang bermanfaat dan diakui agama. Dengan demikian, hibah tidak sah jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, bukan milik penghibah secara sempurna misalnya harta pinjaman dari orang lain, harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda yang materinya diharamkan agama.

Hibah dalam hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, dimana hukum Islam telah menetapkan secara tegas, bahwa pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Pemberian itu dapat juga dinyatakan dalam tulisan jika

selanjutnya, dikehendaki bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik.209

Pemberian yang dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu210:

1). Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian.

2). Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka harus didaftarkan.

Dalam perspektif hukum Islam, hibah tidak diberikan dengan tanpa ketentuan.Hibah dilakukan dengan berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang peruntukan hibah, kriteria pemberi dan penerima hibah, serta syarat tentang batasan objek yang dapat dihibahkan. Berdasarkan Al-Baqarah ayat 177, penerima hibah dapat berupa kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta.Hibah itu hukumnya sunnah dan lebih utama diberikan kepada kaum kerabat.

Hibah juga dapat diberikan kepada seorang yang selaku berhak menjadi ahli waris, misalnya hibah kepada anak yang merupakan ahli waris.Imam Malik berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi orang tua untuk tidak menghibahkan seluruh hartanya kepada salah seorang dari anaknya.211

209Eman Suparman Op.Cit., hal.82-83 210Ibid.

211Masjfuk Zuhdi, dalam Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : Tintamas, 1996), hal.48

Peruntukan hibah dikecualikan terhadap beberapa orang berikut, dengan ketentuan212:

1). Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka hibah harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang tidak waras tersebut

2). Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang diwakili oleh saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah menjadi batal

3). Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal.

Adapun yang menjadi syarat atau kriteria orang yang menghibahkan atau pemberi hibah, yaitu213:

1). Pemberi hibah adalah pemilik sah dari barang yang akan dihibahkan 2). Pemberi hibah berada dalam keadaan sehat

3). Pemberi hibahsudah dewasa (sudahbalik) 4). Pemberi hibah memiliki kebebasan

5). Pemberi hibah merupakan orang yang telah mampu melakukantabarru,yaitu dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, jika terjadi suatu perkara atau persoalan di kemudian hari.

KHI mengatur secara khusus tentang hibah dalam Bab V tentang Hibah mulai dari Pasal 210 sampai dengan Pasal 214, sebagaimana diuraikan berikut :

1). Pasal 210 Ayat 1 KHI, pemberi hibah merupakan orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan pada saat melakukan hibah. Pemberi hibah hanya dapat menghibahkan sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di

212Abdur Rahman I Doi,Hudud dan Kewarisan,(Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal.202

hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.Ayat 2,harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

2). Pasal 211 Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

3). Pasal 212 Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

4). Pasal 213 Hibah yang diberikan pada saatu penerima hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

5). Pasal 214 Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.

2. WasiatWajibahdalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam a. Pengertian WasiatWajibah

Wasiat wajibah merupakan kata majemuk yang terdiri dari dari dua kata, yaitu wasiat dan wajibah. Wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata ta’nis. Menurut Adul Wahab Khallaf, Wajibah adalah sesuatu yang diperintahkansyara’ untuk secara kemestian dilakukan oleh mukallaf karena secara langsung dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya.

Dalam perspektif hukum kewarisan Islam, wasiat wajibah diartikan sebagai lawan kata dari wasiatikhtiariyah. Menurut Jumhur, sifat wasiat ikhtiariyah wasiat hanya dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban, kecuali kewajiban berwasiat terhadap tanggung jawab yang berkenaan dengan pemenuhan hak Allah atau hak hamba yang menjadi tanggungan si pemberi wasiat yang harus ditunaikan.214Contoh wasiat ikhtiariyah seperti zakat, hutang yang belum dibayar, sehingga pengadilan atau keluarga tidak mempunyai hak untuk memaksakan pelaksanaannya jika orang yang sudah meninggal dunia tidak berwasiat.

Berdasaran pendapat Jumhur tersebut, sebagai lawan kata defenisi wasiat

ikhtiariyah,maka wasiat wajibahmerupakan suatu wasiat yang tidak hanya sekedar

anjuran, akan tetapi suatu kewajiban. Suatu wasiat dikategorikan sebagai wasiat

wajibahdisebabkan karena215:

1).Hilangnya unsur ikhtiyar bagi sipemberi wasiat dalam munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan dari si penerima wasiat.

2).Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah merupakan wasiat yang dibebankan oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat 214Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal.462 215Fatchur Rahman,Op.Cit.,1975, hal.63

secara sukarela, memberikan harta tirkah (harta peninggalannya) kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.216

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, mendefenisikan wasiat wajibah

sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tegantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia.217 Pelaksanaan tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.

Menurut Ibn Hazm setiap Muslim diwajibkan untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak bisa mewarisi, baik yang disebabkan karena adanya perbudakan, kekufuran (non-muslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (bukan ahli waris). Jika pewaris tidak berwasiat bagi kerabatnya tersebut, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat tersebut harus memberikan wasiat tersebut kepada kerabat tersebut menurut kepatutan.218

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa menurut Ibnu Hazm wasiat

wajibah adalah wasiat yang diberikan kepada kerabat yang karena alasan tertentu

tidak mendapatkan bagian warisan serta tidak diberi wasiat oleh orang yang

216Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,2000,Op.Cit.,hal.462

217Suparman Usman, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), hal.89

meninggal dunia, sementara orang yang meninggal dunia tersebut mempunyai harta yang baginya berlaku kewajiban untuk berwasiat.

Pendapat Ibn Hazm mengenai wasiat wajibahadalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa dan dilaksanakan oleh hakim untuk orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, dan tidak memperoleh warisan karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, atau terhalang mewarisi, sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya berlaku wasiatwajibah.219

b. WasiatWajibahdalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam Fiqih Islam, wasiat wajibahdidasarkan pada suatu pemikiran bahwa di satu sisi wasiat wajibah dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris tetapi secarasya’itidak memperoleh bagian dari jalurfaraidh.220

KHI yang mengatur tentang wasiatwajibahterdapat dalam Pasal 209.

1).Pasal 209 KHI Ayat 1 mengatur bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 KHI, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari warisananak angkatnya.

2).Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3dari harta warisan orang tua angkatnya.

219Ibid.

Sehingga dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang berhak menerima wasiatwajibahadalah anak angkat dan orangtua angkat, dimana besarnya wasiatwajibahdibatasi sampai dengan 1/3 bagian harta peninggalan pewaris.

Latar belakang KHI memungkinkan memberikan wasiat wajibah kepada orang tua angkat atau anak angkat disebabkan tanggung jawab terhadap anak angkat tidak hanya terletak pada tanggung jawab untuk memberi nafkah dan perawatan, melainkan kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, karena itu terkadang nama ayah angkat selalu melekat kepada anak angkatnya sebagai identitas diri pribadi. Anak angkat dianggap mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung terhadap kedua orang tuanya dan begitu pula sebaliknya. Atas dasar inilah maka antara anak angkat dan orang tua angkat saling mewarisi dan dianggap sebagai mahram (orang yang haram dinikahi).

Akan tetapi status anak angkat tidak dihubungkan kepada orang tua angkatnya, tetapi tetap seperti sediakala, yaitu dinisbatkan kepada orang tua kandungnya. Status pengangkatan anak tidak menciptakan adanya hubungan hukum pewarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, begitu juga dengan keluarganya.

Menurut Rachmadi Usman Pasal 209 KHI masih belum lengkap dan kurang tepat, akan tetapi walaupun demikian, ketentuan Pasal 209 KHI harus ditafsirkan sebagai berikut221:

1). Seorang anak angkat telah mempunyai hubungan kewarisan dengan orang tua kandungnya maupun kerabat-kerabatnya.

2). Orang tua angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan anak angkatnya dengan jalan wasiat atau wasiat Wajibah. Besarnya wasiat atau wasiat wajibah tersebut maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya.

3). Demikian pula anak angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya juga dengan cara waiat atau wasiat wajibah. Besarnya pun maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya.

Menurut M.Yahya Harahap, bahwa wasiat wajibah seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata in

concreto. Anggapan hukum itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah

menetapkan harus wajib berwasiat, maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya.222

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM

Dokumen terkait