• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Tentang Harta Tirkah (Harta Peninggalan) Ditinjau Dari Sistem Hukum Kewarisan Islam (Studi Putusan MA RI NO. 633 K AG 2013) Chapter III V"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTATIRKAH

(HARTA PENINGGALAN) MENURUT HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan mengatur tentang penyelesaian hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang. Dalam perkembangannya sampai saat ini, para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum, belum ada keseragaman istilah maupun pengertian tentang hukum kewarisan. Istilah yang beranekaragam tersebut dapat dilihat dari penggunaan istilah para ahli hukum seperti, Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah hukum warisan93, Soepomo yang menyebutnya dengan istilah hukum waris94 dan Hazairin yang menggunakan istilah hukum kewarisan95sebagaimana juga digunakan dalam penelitian ini.

Hukum kewarisan yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan suatu unifikasi hukum. Pluralisme hukum kewarisan di Indonesia dilatarbelakangi oleh keanekaragaman sistem kekeluargaan maupun adat-istiadat masyarakat.96Hukum kewarisan yang berlaku di Indonesiaada 3 (tiga), yaitu hukum kewarisan adat, hukum kewarisan Barat maupun hukum kewarisan Islam.97

Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

93Eman Suparman,Op.Cit., hal.1

94Soepomo,Bab-bab Tentang Hukum Adat,(Jakarta : Penerbitan Universitas, 1996), hal.72 95Eman Suparman,Op.Cit., hal.1

96Ibid.,hal.6 97Ibid., hal.8

(2)

sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Hukum kewarisan khususnya hukum kewarisan Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.98

Hukum kewarisan Islam dianggap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Hukum kewarisan Islam dianggap sebagai compulsory law

(dwingentrecht) yakni hukum yang berlaku secara mutlak dan baku.99Hukum

kewarisan Islam sering dikenal dengan istilahfaraidh.Hal tersebutdisebabkan karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al Qur’an. Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Pembagian itu lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.100

Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir

“ketentuan”. Dalam istilah syara’ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.101Hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih

yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar

98Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, 1995, Op.Cit., hal.355

99Aminullah HM., Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam Semangat Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Munawir Sjadzali, dk.,Polemik Reaktualisasi(Jakarta : Pustaka Panjimas, 1998), hal. 164

(3)

sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.102

Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebutAl-miirats.MaknaAl-miiratsmenurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurutsyari’i.103

Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.104

Pemaparan secara lebih mendalam mengenai sumber hukum kewarisan Islam, ada baiknya didahului dengan uraian defenisi sumber hukum secara umum.Sumber hukum didefenisikan sebagai segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum. Sumber hukum dapat juga disebut asal mulanya hukum, menimbulkan aturan yang bersifat memaksa dan mengikat, jika melanggar akan mendapatkan sanksi yang

102http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/, diakses pada tanggal 20 September 2015

103Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal.33

(4)

tegas dan nyata.105Sumber hukum juga sering didefenisikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.106

Sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil, dimana para ahli memberikan defenisi yang berbeda-beda terhadap kedua jenis sumber hukum tersebut. Uthrecht berpendapat bahwa sumber hukum materil merupakan perasaan hukum atau keyakinan hukum individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi faktor penentu dari isi hukum (determinant materiil).107

Dalam literatur yang lain, diuraikan bahwa sumber hukum dalam arti materiil merupakan sumber berasalnya substansi hukum. Salmon dan Bodenheimer berpendapat bahwa sumber hukum materiil merujuk kepada hukum yang tidak dibuat oleh organ negara, yaitu berupa kebiasaan, perjanjian dan lain-lain.108

Sumber hukum materiil merupakan tempat darimana materi hukum diambil. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu intas), perkembangan internasional dan keadaan geografis.109Pada umumnya sumber hukum

105Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, Cet-II, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2005),hal.25

106Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta : Kencana, 2009), hal.301 107Dudu Duswara Macmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung : Refika Aditama, 2010), hal.77

108Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.,hal.304

(5)

materil berupa aneka gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang telah menjelma menjadi suatu peristiwa.110

Di samping sumber hukum materiil, terdapat pula sumber hukum formil. Menurut Uthrecht, sumber hukum formil (determinant formal) merupakan sumber yang menentukan berlakunya hukum (formele determinanten van de

rechtsvorming).111 Dalam sumber hukum formil terdapat berbagai aturan yang

merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan agar ditaati oleh masyarakat dan penegak hukum. Sumber hukum formil dapat dikatakan juga sebagai causa efficient

hukum.

Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal tersebut berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.112Sumber hukum merupakan sumber berasalnya kekuatan mengikat danvaliditassuatu hukum. Sumber tersebut tersedia dalam formulasi-formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen resmi yang dibuat oleh negara113dan memiliki bentuk-bentuk tersendiri yang secara yuridis telah diketahui berlaku umum.114

Sumber hukum dalam arti formil secara umum dapat dibedakan menjadi115: 1. Undang-undang

110Ridwan Halim,Op.Cit.,hal.25

111Dudu Duswara Macmudin,Op.Cit.,hal.78 112Sudikno Mertokusumo,Op.Cit., hal.83 113Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.,hal.305 114Ridwan Halim,Op.Cit.,hal.25

(6)

2. Kebiasaan dan adat

3. Traktat atau perjanjian atau konvensi internasional 4. Yurisprudensi

5. Pendapat ahli hukum terkenal

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa sumber hukum dapat diartikan sebagai116:

1. Sebagai asas hukum, yaitu sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa dan sebagainya 2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan kepada hukum

yang sekarang berlaku

3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlakunya secara formal kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat)

4. Sebagai sumber darimana dapat mengenal hukum misalnya dokumen, undang-undang, lontar, batu bertulis dan sebagainya

5. Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum Defenisi hukum kewarisan Islam dan sumber hukum secara umum, memberikan pemahaman bahwa sumber hukum kewarisan Islam dapat diartikan sebagai sumber dimana dapat ditemukan peraturan yang mengatur tentang perpindahan hak milik atas harta peninggalan (tirkah) seseorang yang telah meninggal serta dasar mengikatnya peraturan tersebut.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, hukum kewarisan Islam yangberlaku di Indonesia masih pluralisme dan belum diunifikasi, yang terdiri dari hukum kewarisan adat, hukum kewarisan Barat dan Hukum Kewarisan Islam. Hal tersebut berkaitan erat juga dengan beranekaragamnya sumber hukum kewarisan masing-masing.

(7)

Sumber hukum kewarisan adat berasal dari adat istiadat pewaris dan hukum kewarisan Barat berdasarkan pada KUH Perdata.

Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.117Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.

Menurut Syamsul Rijal Hamid bahwa pengertian warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.118Warisan itu menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia.119

Dalam hukum kewarisan Islamdikenal terdapat beberapa syarat terjadinya waris atau disebut juga rukun waris, yaitu :

1. Pewaris benar-benar telah meninggal atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal misalnya orang yang ditangkap dalam peperangan dan orang hilang (mafqud) yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketahui 117R.Soetojo Prawirohamidjojo,Hukum Waris Kodifikasi,(Surabaya : Airlangga University Press), hal.3

(8)

ihwalnya.120 Syarat matinya pewaris mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru disebut pewaris jika telah meninggal dunia, sehingga jika seseorang memberikan harta kepada ahli warisnya ketika masih hidup, maka itu bukan waris.121

Kematian pewaris dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu122:

a. Mati sejati (haqiqy), yaitu kematian yang dapat disaksikan oleh panca indera

b. Mati menurut putusan hakim (mati hukmy), yaitu kematian yang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup atau telah mati.

c. Mati menurut dugaan (taqdiry), yaitu kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang tersebut telah mati.

2. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal. Dalam keadaan ada dua pewaris yang saling mewaris satu sama lain meninggal dalam waktu yang sama dan tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal, maka di antara keduanya tidak ada saling mewarisi.123

3. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris mempunyai hak waris.124 4. Tidak ada halangan waris. Halangan waris dapat berupa perbedaan agama antara

pewaris dan ahli waris, pembunuhan dan menjadi budak orang lain.125Di

120M.Hasballah Thaib,Op.Cit.,hal.26

121Otje Salman dan Mustofa Haffas,Hukum Waris Islam,2002,Op.Cit., hal.5 122Fatchur Rahman, 1981,Op.Cit., hal.79

(9)

samping itu, halangan waris juga dapat berupa hijab, dimana hijabmerupakan keadaan dimana seorang ahli waris terhalang untuk menerima warisan, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari padanya.126Hijab terdiri atas 2 (dua) macam, yakni hijab nuqshaan dan hijab hirman.127

Ahli waris merupakan sekumpulan orang-orang atau individu atau himpunan kerabat atau keluarga yang berhak menerima harta tirkah (harta peninggalan) yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal.128AhliWaris

(Al Waarits) merupakan orang yang berhak mewaris karena hubungan

kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.129

Orang – orang yang merupakan ahli waris, dapat berupa130:

1. Anak-anak beserta keturunan, baik laki-laki maupun perempuan

2. Orangtua, ibu dan bapak beserta mawali/pengganti dari orangtua bila tidak ada orangtua lain

3. Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan dan suami-istri

4. Jika bukan merupakan ahli waris sebagaimana dimaksud poina sampai dengan c, maka harta tirkah (harta peninggalan) tersebut diserahkan kepadaBaith’al Mal(baitul maal).

125Ibid.

126Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak,Op.Cit.,hal .59 127Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal.500

128Idris Ramulyo,Op.Cit.,hal.47

(10)

Bayi yang masih berada dalam kandungan walaupun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka si janin tersebut merupakan ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan setelah dilahirkan. Batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan penting untuk diketahui untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.131 Ahli waris yang beragama Islam yang dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam. Ahli waris dapat dipandang Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut agama dari ayahnya atau lingkungan sekitar bayi tersebut.61

Menurut Pasal 171 huruf c KHI, ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Seseorang merupakan ahli waris disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu132: 1. Hubungan keturunan atau nasab, yang dapat diketahui dari AlQuran yaitu

Surat An-Nisa 4 Ayat 7 yang artinya bagi laki-laki ada bahagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan ada pula bahagian harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut pembagian yang telah ditetapkan. Ahli waris berdasarkan keturunan antara lain bapak, ibu, anak, datuk, nenek, cucu dan lain-lain

(11)

2. Hubungan nikah (perkawinan), yaitu suami atau istri walaupun belum pernah berkumpul atau telah bercerai tetapi masih dalam masa ‘iddah talak raj’l

(talak rujuk) sebagaimana dapat diketahui dari AlQuran Surat An-Nisa 4 ayat 11 dan 12

3. Hubungan wala’ yaitu hubungan antara bekas budak dan orang yang memerdekakannya apabila bekas budak tersebut tidak mempunyai ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh hartatirkah(harta peninggalan).

Ahli waris karena hubunganwala’dapat diketahui dari keduaHaditsberikut, yaitu :

“barangsiapa yang memerdekakan seorang hamba, maka ia berhak mendapat pusaka dari hamba itu, kalau hamba itu tidak meninggalkan ahli waris ‘ashabahlaki-laki”, dan

“bahwa seorang bekas hamba milik Hamzah wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang anak perempuan Hamzah (anak Hamzah), maka Nabi SAW memberikan kepadanya sebagian harta dan sebagian lagi kepada anak Hamzah’ (Daruquthni)

Dalam suatu keadaan dan peristiwa tertentu, dapat terjadi kemungkinan yang menyebabkan ahli waris untuk tidak dapat menerima hak warisnya. Hal tersebut dapat terjadi oleh karena perbuatan yang dilakukannya dan kedudukannya sebagai ahli waris jika dibandingkan dengan kedudukan ahli waris lainnya dalam sistem hukum kewarisan Islam.

Penyebab halangan mewaris dalam hukum kewarisan Islam dapat dibedakan atas 2 (dua), yaitu :

1. Mahrum(yang diharamkan) /Mamnu’(yang dilarang) :

Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan pewaris.133Ahli waris yang terkena halangan ini disebut mahrum atau mamnu’.

Dalam hukum kewarisan Islam ada 3 (tiga) penghalang mewaris, yaitu : a. Pembunuhan

(12)

Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ahli waris tersebut terhalang haknya untuk mewarisi.134Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan.”135

Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis, yaitu136: 1). Pembunuhan langsung (mubasyarah), dibedakan menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak sengaja.

2). Pembunuhan tidak langsung (tasabub), misalnya pembunuhan tidak langsung yang dilakukan seseorang dengan membuat lubang di kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tersebut dan meninggal dunia.

Menurut para ulama Hanafiyah, pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung bukan penghalang untuk mewaris.137

b. Berbeda agama

Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris, misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen, atau sebaliknya.138 Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat apabila

134Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,1995, Op.Cit.,hal.404 135Ibid.

136A.Rachmad Budiono,Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,1995), hal.12

137Ibid.

(13)

seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisandilakukan, maka ahli waris tersebut tidak terhalang untuk mewarisi, karena status berlainan agama sudah tidak ada sebelum harta warisan dibagi.139

c. Perbudakan

Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiannya tetapi karena status formalnya sebagai hamba sahaya

(budak). Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya Islam sangat menganjurkan agar setiap budak dimerdekakan.140

Menurut Pasal 173 KHI, seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau melakukan penganiayaan berat terhadap pewaris

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

2. Hijab

Hijab adalah keadaan dimana seorang ahli waris terhalang untuk menerima

warisan, disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari

(14)

padanya.141Hijab terdiri atas 2 (dua) macam, yakni hijab nuqshaan dan hijab hirmaniyang diuraikan sebagai berikut142:

a. Hijab nuqshan merupakan keadaan dimana warisan salah seorang ahli waris

berkurang karena adanya orang lain. Hijab nuqshan ini berlaku pada lima orang berikut :

1. Suami terhalang dari ½ bagian menjadi ¼ bagan apabila ada anak; 2. Istri terhalang dari ¼ menjadi 1/8 apabila ada anak;

3. Ibu terhalang dari 1/3 menjadi 1/6 apabila ada keturunan yang mewarisi; 4. Anak perempuan dari anak laki-laki;

5. Saudara perempuan seayah;

b. Hijab hirman atau hijab penuh merupakan keadaan dimana semua warisan

seseorang terhalang karena adanya orang lain.143

Hijab hirmanditegaskan dari dua asas berikut ini, yaitu :144

1). Setiap orang lain yang mempunyai hubungan dengan pewaris, dimana dengan adanya orang lain tersebut maka ahli waris tidak menerima warisan misalnya, anak laki laki dari anak laki-laki tidak menerima warisan bersama dengan adanya anak laki-laki. Hal tersebut dikecualikan jika anak anak laki-laki berasal dari ibu maka anak laki-laki tersebut mewarisi bersama dengan ibu, padahal mempunyai hubungan denganpewaris (mayit)

2). Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Jika keduanya dalam derajat yang sama, maka diseleksi dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki sebapak.Hijab Hirman tidak berlaku bagi semua ahli waris. Ahli waris yang tidak terkenahijab hirman yaitu anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami dan istri.

Hijab Hirmandapat dikenakan pada beberapa ahli waris diantaranya145:

141Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak,Op.Cit.,hal .59 142Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal.500

(15)

1). Kakek terhalang karena adanya bapak dan juga oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris

2). Saudara kandung laki-laki terhalang karena adanya bapak dan keturunan laki-laki yaitu anak,cucu,cicit dan seterusnya.

3). Saudara laki sebapak terhalang karena adanya saudara kandung laki-laki dan/atau saudara kandung perempuan yang menjadi‘ashabah ma’al

ghair dan/atau adanya bapak serta keturunan laki-laki (anak,cucu,cicit

dan seterusnya)

4). Saudara laki-laki dan perempuan seibu terhalang oleh pokok (ayah, kakek dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan. 5). Cucu laki keturunan anak laki terhalang oleh adanya anak

laki-laki dan juga jika ada cucu yang paling dekat (lebih dekat) 6). Nenek (dari bapak ataupun dari ibu) terhalang oleh adanya ibu

7). Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) terhalang oleh karena adanya anak laki-laki, baik cucu tersebut hanya satu orang atau lebih.

8). Saudara kandung perempuan terhalang oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit dan seterusnya yang laki-laki.

9). Saudara perempuan seibu baik laki-laki atau perempuan terhalang oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek dan seterusnya)

10). Saudara perempuan seayah karena adanya saudara perempuan (jika menjadi ashabah maal ghair), juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak cucu, cicit dan seterusnya) yang laki-laki.

Berdasarkan uraian tentang mahrum dan hijab tersebut di atas, maka antara

mahrum dan hijab dapat dibedakan. Mahrum dan hijab memiliki beberapa

perbedaan, yaitu146:

1. Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang

membunuh pewaris, sedangkan hijab berhak mendapatkan warisan, tetapi dalam keadaan terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama untuk mendapatkan warisan;

2. Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka tidak

menghalanginya sama sekali, bahkan dianggap seperti tidak ada, misalnya apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim, maka semua warisan tersebut dibagikan kepada saudara laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak mendapatkan

(16)

apa. Keadaan tersebut berbeda dengan hijab, dimana keberadaan seseorang yang terhijab dapat mempengaruhi orang lain.

Penyelesaian pembagian harta tirkah (Harta Peninggalan) adalah dimulai dari melaksanakan kewajiban ahli waris. Dalam bentuk :

a. Tajhijsh jenazah (adalah segala pengurusan pemakaman, pengafanan, pemandian, mensholatkan jenazah serta upacara yang diadakan oleh keluarga si peninggal

b. Membayar hutang mayat

c. Mengembalikan titipan orang pada pewaris dan d. Melaksanakan wasiat.

Setelah itu baru mengadakan pembahagian warisan menurut petunjuk alquran, sunnah, dan kompilasi hukum islam indonesia.

B. Pembagian HartaTirkahdalam Tinjauan Qur’an dan Hadis

Pelaksanaan syariat yang ditunjuk oleh nash yang sharih merupakan suatu keharusanbagi umat Islam. Pelaksanaan waris berdasarkan hukum kewarisan Islam bersifat wajib dilakukan.147 Ketentuan mengenai pembagian harta tirkah (harta peninggalan) telah diatur secara jelas di dalam Alquran, akan tetapi di samping itu terdapat ketentuanlain diatur juga dalam sumber hukum kewarisan Islam lainnya berupa Ijma dan Ijtihad.

(17)

penerimaannya, dimana penggolongan ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman atas para ahli waris dan bagian warisnya. Adapun penggolongan ahli waris tersebut, yaitu :

1. GolonganAschabul Furudh148

Golongan Aschabul Furudh (AshabAl-furudh),merupakan golongan pertama untuk diberikan bagian waris dimana bagiannya sudah ditentukan dalam Alquran. Pembagian waris yang telah ditetapkan Alquran ada 6 (enam) yaitu 2/3 (dua per tiga), ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga) dan 1/6 (seperenam).

GolonganAschabul Furudhdibedakan atas dua macam, yaitu Aschabul Furudh

Is-sababiyyah dan Aschabul Furudh In-nasabiyyah. Janda (istri yang ditinggal

mati) dan duda (suami yang ditinggal mati) merupakan ahli waris yang digolongkan dalam Aschabul Furudh Is-sababiyah karena adanya ikatan perkawinan dengan si pewaris.

Golongan Aschabul Furudh In-nasabiyyah, merupakan golongan ahli waris sebagai akibat hubungan darah dengan si pewaris, yaitu :

a. Leluhur perempuan terdiri dari ibu dan nenek b. Leluhur laki-laki terdiri dari bapak dan kakek

c. Keturunan perempuan terdiri dari anak perempuan dan cucu perempuan d. Saudara seibu terdiri dari saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki

seibu

e. Saudara sekandung/sebapak terdiri dari saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak.

2. Ashabah

Menurut istilah para fuqaha, ashabah merupakan ahli waris yang tidak disebutkan jumlah ketetapan bagiannya dalam Alquran dengan tegas. Ashabah

merupakan orang yang menguasai seluruh harta waris karena menjadi ahli waris tunggal.149

Ashabahdigolongkan menjadi tiga, yaitu150:

148Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002,Op.Cit.,hal.49 149Beni Ahmad Saebani,Op.Cit.,hal.156

(18)

a. Ashabah binnafsih merupakan kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan pewaris tanpa diselingi oleh perempuan, terdiri dari :

1). Leluhur laki-laki yaitu bapak dan kakek

2). Keturunan laki-laki yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki

3). Saudara sekandung/sebapak yaitu saudara laki-laki sekandung/sebapak

b. Ashabah bil-gahir merupakan kerabat perempuan yang memerlukan orang

lain untuk menjadi ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah,

yaitu :

1). Anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-laki 2). Cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki

3). Saudara perempuan sekandung/sebapak yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki sekandung/sebapak

c. Ashabah ma’al ghair merupakan kerabat perempuan yang memerlukan orang

lain untuk menjadi ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah, yaitu saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan.

3. Dzawil Arham

Dzawil Arham merupakan golongan kerabat yang tidak termasuk golongan

Aschabul FurudhdanAshabah.Golongan kerabat ini berhak mewaris jika tidak ada

kerabat yang termasuk kedua golongan ahli waris tersebut.

Masing-masing ahli waris yang terdapat dalam golongan Aschabul Furudh

dan Ashabah, dalam kedudukannya memperoleh bagian waris masing-masing.

Adapun yang menjadi bagian waris dapat diuraikan sebagai berikut151: a. Ahli Waris Utama

Ahli waris utama terdiri dari janda, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Keberadaan salah satu pihak tidak menjadi penghalang bagi pihak untuk menerima bagian waris, sehingga dalam keadaan bersama-sama masing-masing ahli waris menerima sebagaimana bagian waris yang telah ditentukan.

Janda, ibu dan anak perempuan menerima waris dengan bagian yang pasti, anak laki-laki menerima waris dengan bagian yang tidak pasti(sisa) dan bapak menerima waris dengan bagian yang pasti dan atau tidak pasti. Hal tersebut

(19)

menyebabkan dalam keadaan terdapat ahli waris anak laki-laki dan atau bapak maka dapat dipastikan bahwaharta tirkah(harta peninggalan) akan habis dibagi di antara para ahli waris utama dan para ahli waris pengganti tidak akan menerima bagian waris.

Uraian bagian waris masing-masing ahli waris utama diuraikan sebagai berikut : 1). Janda

Di dalam hukum kewarisan Islam, bagian waris untuk janda laki-laki dengan janda perempuan tidak sama. Janda perempuan memperoleh :

a). Janda perempuan memperoleh 1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak b). ¼ bagian jika tidak mempunyai anak

Janda laki-laki memperoleh : c). ¼ bagian jika mempunyai anak d). ½ bagian jika tidak mempunyai anak 2). Ibu mempunyai bagian :

1). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak

2). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara 3). 1/3 bagian jika jika pewaris tidak mempunyai anak 3). Bapak mempunyai bagian :

1). 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak

2). 1/6 bagian + sisa jika pewaris mempunyai anak perempuan 3). Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak

4). Anak perempuan mempunyai bagian : 1). ½ bagian jika sendiri

2). 2/3 bagian jika beberapa orang

3). Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mewaris bersama anak laki-laki. 5). Anak laki-laki

Anak laki-laki tidak memiliki bagian yang pasti, karena menerima waris dengan jalan ushubahbaik di antara sesama laki-laki atau bersama dengan anak perempuan. Bagian anak laki-laki adalah :

a). Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mewaris bersama dengan anak laki-laki lainnya. (kedudukannya sebagaiashabah binnafsih)

b). Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mewaris bersama anak perempuan. (kedudukannya sebagaiashabah bil-ghair)

b. Ahli Waris Pengganti/Penggantian Tempat Ahli Waris

Istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti, secara harfiah terdiri dari kata waris dan kalimat pengganti. Kata-kata ahli waris adalah mereka yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya.152

(20)

Dalam kamus hukum disebutkan penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti adalah pengganti dalam pembagian warisan bilamana ahli waris tersebut lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris, maka warisannya dapat diterima kepada anak-anak waris yang meninggal.153

Menurut Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orangtuanya meninggal dunia dari kakek dan neneknya, secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) dapat menggantikan kedudukan orangtuanya dalam memperoleh warisan secara umum (dengan tanpa membedakan jenis kelamin) pula. Pemahaman Hazairin tentang adanya penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti ini didasarkan pada pemahaman katamawalidalam Q.S An-Nisa (4) : 33, yaitu154:

“Bagi setiap orang Allah SWT mengadakan mawali bagi harta peninggalan orangtua dari keluarga dekat, dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah SWT menyaksikan segala sesuatu”.

Terjemahan Hazairin tersebut berbeda dengan terjemahan ulama pada umumnya, termasuk terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia. Mawali

berasal dari bahasa arab dalam bentuk jamak (plural), mufradnya (singularnya) al maula yang berarti al-malik-u wa al-sayyi-u : raja atau tuan, majikan, budak, yang memerdekakan, yang dimerdekakan, pemberi nikmat, yang mencintai, teman (sahabat), sekutu, tetangga, pengikut, tamu, anak laki-laki, paman, anak laki-laki

(21)

paman, menantu, kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan), kerabat yang dekat secara mutlak.155

Menurut H.Toha Jahja Omar, katamawalidalam Q.S An-Nisa (4) : 33 adalah

lafaz mujmalyangmufradnya maulayang mempunyai arti lebih dari satu, yaitu tuan

yang memerdekakan, budak yang dimerdekakan dan sahabat, lafaz mujmal perlu kepada mubayyin.Mubayyin terdiri dari tiga, yaitu Al-Quran sebagai firman Allah SWT, Sabda Rasul dan perbuatan Rasul.156

Lafaz mawali dalam ayat itu sudah ada mubayyinnya, yaitu terdiri dari dua kalimat, karena itu Q.S An-Nisa (4) ayat 33 harus dibaca, sebagai berikut :

Bagi tiap-tiap pewaris kami jadikan mawali, dari harta peninggalannya dan mereka itu adalah dua ibu-bapak dan kerabat-kerabat yang terdekat. Al Walidaini wa al-Aqrabuna bukan menjadifa’il dari taraka, tetapi menerangkan maksud al-Mawali, sedangkanfa’ildaritarakakembali kepadalafaz kullinyang dalam hal ini pewaris.

Mahmud Yunus, setelah mengutip Q.S An-Nisa (4) ayat 33, menyebutkan bahwa :

arti mawali (jamak maula) menurut bahasa banyak sekali, yaitu yang

mempunyai (tuan), budak, yang memerdekakan, yang dimerdekakan, halif,

tetangga, anak, anak paman, anak saudara perempuan, paman, dan lain-lain. Tetapi bila kata itu disusun dalam satu kalimat, maknaya hanya satu, bukan semua makna itu. Bahkan Mahmud Yunus, telah sepakat ahli tafsir, arti

mawalidalam ayat tersebut adalah anak atau ahli waris atauashabahatau yang

mempunyai wilayah atas harta peninggalan, namun mereka berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.157

155Ramlan Yusuf Rangkuti,Fiqih Kontemporer di Indonesia (Studi tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia), (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010), hal. 346

156Toha Yahya Omar,Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, (Jakarta : Tintamas, 1964), hal. 20

(22)

Ahli tafsir sepakat artimawalimerupakan ahli waris, karena Q.S An-Nisa (4) ayat 33 itu diterangkan oleh Q.S Maryam (19) : 5-6 bahwa mawali disebutkan maknanya dengan ahli waris dan wali adalahawala. Demikian pula Q.S An-Nisa (4) ayat 7 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan (mawali bapak dan karib-karib yang terdekat). Berdasarkan penjelasan ayat terhadap ayat tersebut, maka ulama tafsir sepakat bahwa mawali dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33 itu maknaknya adalah ahli waris.158

Berdasarkan Q.S An-Nisa (4) ayat 1 dan Q.S Al-Ahzab (33) ayat 6 yang menyebutkan al-arham dan ulu al-arham, Hazairin menyimpulkan hubungan darah menurut al-quran itu ada 4 (empat) macam, yaitu :walidan, aulad, aqrabun dan uli

al-qurba. Istilah walidan dan aqrabun secara khusus diartikan sebagai ahli waris,

tetapi kata-kata itu digunakan sebagai istilah hubungan kekeluargaan yang selalu berarti hubungan dan hubungan tersebut selalu berupa hubungan timbal-balik.

Walidandapat menjadi ahli waris bagi anaknya danaqrabundapat pula menjadi ahli

waris bagi sesama aqrabunnya. Berbeda dengan istilah ulu al-qurba, ditinjau dari sudut kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, maka jelas orang tersebut bukan ahli warisnya tetapi masih sepertalian darah.

Hal tersebut berarti ulu al-qurba itu menurut Al-Qur’an sebagai hubungan timbal balik yang tidak mungkin menjadi pewaris bagi sesama ulu al-qurbannya. Berdasarkan uhal tersebut, dapat diketahui bahwa aqrabun dapat diartikan sebagai

(23)

keluarga dekat yang dapat diwarisi sesamanya, sedangulu al-qurbasebagai keluarga jauh yang tidak mungkin saling mewarisi baik sebagai pewaris dan ahli waris.

Dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33, Allah SWT memerintahkan agar memberikan nasib (harta) pewaris kepada mawali si fulan (orang yang terlebih dahulu meninggal dari pewaris). Dengan demikian, berartimawali si fulanitu adalah ahli waris yang akan memperoleh harta warisan, disamping adanya ahli waris lain, seperti ayah dan ibu. Sebab itu, harta warisan wajib diberikan kepada mawali si fulan, bukan kepadasi fulan(yang lebih dahulu meninggal dari pewaris).

Pertanyaan muncul mengenai hubungan si fulan dengan pewaris (si mayit) sehinggamawali si fulanitu ikut pula menjadi ahli waris terhadap simayit(pewaris), padahal si fulan itu sendiri tidak ikut menjadi ahli waris karena lebih dahulu meninggal dari si pewaris. Hazairin menjelaskan bahwasi fulanitu tidak ahli waris, karena prinsip umum Al-Quran menyatakan bahwa pewarisan itu terjadi didasarkan kepada adanya hubungan pertalian darah antara simayitdengan anggota keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu si fulan adalah anggota keluarga yang telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka tidak lagi sebagai ahli waris.

Adapun mawali si fulan tersebut menjadi ahli waris adalah merupakan keturunan si mayit yang bukan status anak baginya. Hubungan si fulan dengan

mawali-nya bisa terjadi dalam 3 (tiga) jalur, yaitu : sebagai walidan(orangtua) dari

si mawali, atau aulad (anak) dari si mawali. Dengan demikian, dapat dipahami

(24)

pewaris). Jadi hubungan si mawali dengan si pewaris adalah melalui anaknya yang telah terlebih dahulu meninggal dunia. Karena itulah, mawalitersebut masuk dalam istilah aqrabun (para keluarga dekat yang memperoleh warisan, selain kedua ibu bapak).159

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mawali itu adalah karena penggantian, yaitu orang-orang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.

Allah SWT menjadikan mawali bagi seseorang bukanlah sia-sia, tetapi dengan maksud tertentu. Harta itu memang bukan untuk si fulan, karena telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum sipewaris meninggal, tetapi bahagian yang diperolehnya seandainyasi fulanmasih hidup pada saat si pewaris mewariskan harta peninggalannya akan dibagi-bagikan kepadamawali-nya itu.Mawali tersebut bukan sebagai ahli warissi fulan, tetapi sebagai ahli waris dari yang mewariskan kepada si

fulan tersebut, misalnya bapak atau ibu si fulan tersebut. Pengertian tersebut

tergambar bagi anak-anaknya yang telah meninggal terlebih dahulu. Bisa saja terjadi pengertian lain, seperti seorang bapak atau ibu yang hanya diwarisi oleh mawali

untuk anak-anaknya yang semuanya telah meninggal terlebih dahulu.160

Ahli waris pengganti dalam Hukum Islam dapat ditinjau dari beberapa perspektif, yaitu fiqih klasik dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana akan diuraikan berikut ini :

(25)

1). Ahli Waris Pengganti dalam Konsep Fiqih Klasik

Konsep Fiqih klasik seperti as-Sarakhsiy dalam al-Mabsut, Imam Malik dalam al-Muwatto, Imam Syafi’i dalam al-Ummdan Ibn Qudamah dalamal-Mugni,

tidak dikenal istilah ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris, tetapi Syamsuddin Muhammad ar-Ramli dalam karyanya, mencatat161:

a). Cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin.

b). Cucu tersebut baru dapat menggantikan orangtuanya apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih hidup.

c). Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin berkurang.

Istilah ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sesungguhnya telah dikenal dalam hukum Islam, jadi kurang tepat apa yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal ahli waris pengganti.162 Tafsiran Wirjono Prodjodikoro tersebut sampai sekarang hampir merata dianut di daerah-daerah yang pengaruh hukum Islam ada agak kuat, sehingga menimbulkan kemungkinan persoalan, apakah penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini diakui oleh masyarakat.

Muhammad Amin al-Asyi mencatat163:

cucu dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki, hanya ia tidak mendapat dua kali bahagian bersama anak perempuan. Cucu perempuan dari anak laki-laki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak laki-laki. Nenek perempuan adalah seperti ibu, hanya ia tidak dapat

161Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit.,hal. 351

162Wirjono Prodjodikoro,Hukum Warisan di Indonesia,Cet-V, (Bandung : Sumur, 1976), hal. 43

(26)

menerima 1/3 atau 1/3 sisa. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara sebapak. Saudara laki-laki sebapak adalah seperti saudara laki-laki seibu-sebapak, kecuali ia tidak menerima dua kali banyaknya, bersama saudara perempuan sebapak. Saudara perempuan sebapak adalah seperti saudara perempuan seibu-sebapak kecuali ia terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu-sebapak.164

Berdasarkan pendapat Muhammad Amin al-Asyi diatas, dapat dipahami bahwa istilah penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti telah lama dikenal dalam konsepfiqihklasik, hanya saja bentuk penggantiannya yang berbeda serta hak ahli waris pengganti tidak sama dengan hak ahli waris yang digantikannya. Sebagai contoh cucu dari pancar anak perempuan tidak mendapat bahagian warisan seperti yang didapat oleh cucu pancar anak laki-laki.

2). Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya sebagai ahli waris dapat digantikan oleh anaknya, sebagaimana dapat diketahui dari isi Pasal 185 ayat 1 KHI, “ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.”

Anak dari yang seharusnya menjadi ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris sebagai ahli waris pengganti. Anak dari ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris dapat menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris

(27)

dengan syarat anak itu tidak terhalang menjadi ahli waris, seperti yang disebut dalam pasal 173KHI.

Adapun isi Pasal 173 KHI tersebut, yaitu :

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan keputusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris dan dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

KHI juga mengatur bahwa bagian bagi ahli waris pengganti belum tentu sama jumlahnya dengan ahli waris yang digantikan jika masih hidup, karena ada disyaratkan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.165

A. Sukris Sarmadi dengan memperhatikan ketentuan Pasal 185 KHI tersebut, berpendapat bahwa :

Ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang menggantikan kedudukan ahli waris, yang didalam situasi tertentu sama pengertiannya Hazairin dan sistem pewarisan mawali, tetapi bersyarat, yakni tidak boleh melebihi bahagian orang yang sederajat dengan orang yang diganti, dan ada kemungkinan semakna dengan Syi’ah dalam hal menggantikan kedudukan orang tua mereka, tetapi tidak terhijab dengan orang yang sederajat dengan orang yang diganti.166

Berdasarkan pengertian diatas, yang dimaksud dengan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu adalah ahli waris dari ahli waris yang diganti (orang yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pada si pewaris). Itu berarti tidak

165Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat 2 KHI

(28)

hanya anak dari ahli waris yang telah meninggal terlebih dahulu, seperti yang tertera di dalam Pasal 185 ayat 1 KHI.

Hal ini dapat dilihat dari penyamaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu dengan ahli waris mawali menurut pendapat Hazairin, yaitu

mawali (ahli waris pengganti) adalah berupa nama yang umum dari mereka yang

menjadi ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.167

Istilah penghubung antaramawalidengan sipewaris ini bisa diartikan dengan ahli warisnya, bila demikian halnya, maka dimungkinkan terjadi pada tiga arah hubungan kekerabatan, yaitu hubungan ke bawah, ke atas, dan ke samping. Dengan demikian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam KHI itu disimpulkan mencakup tiga arah hubungan kekerabatan tersebut.

Imran AM. berpendapat bahwa sistem kewarisan yang dianut KHI adalah sistem kewarisan bilateral sesuai dengan Q.S. An-Nisa (4): 7 dan 11, yaitu baik anak laki-laki maupun anak perempuan, demikian juga cucu dari anak laki-laki maupun cucu dari anak perempuan adalah sama-sama dinyatakan sebagai ahli waris. Berbeda halnya dengan sistem kewarisan yang dianut Fiqih Sunni yang menyatakan bahwa cucu dari anak perempuan dinyatakan tidak sebagai ahli waris (zawil arham), sedangkan cucu dari anak laki-laki tetap sebagai ahli waris.168

Departemen Agama RI telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Analisis Hukum Islam Bidang Kewarisan”. Didalam buku tersebut dinyatakan, “Walaupun tidak bersifat memaksa, pencatuman ketentuan ini (ahli waris pengganti)

167Hazairin,Op.Cit.,hal.132

(29)

di dalam Kompilasi Hukum Islam secara tidak langsung akan bersinggungan dan mengubah banyak aturan didalamfaraid(fiqihkewarisan Islam).”

Bila bahagian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sama besarnya dengan bahagian ahli waris yang diganti (mawali), dimana kedudukan ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sama dengan ahli waris yang diganti dalam menerima bahagian harta warisan pewaris, maka demikian juga halnya kedudukan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam masalahhijab

mahjub (mendinding dan didinding). Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli

waris itu akan menghijab setiap orang yang semestinya dihijab oleh orang yang digantikannya. Hal ini berlaku umum, tanpa membedakan jenis kelamin ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu, apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti, tanpa membedakan jenis kelamin mereka ( laki-laki atau perempuan) dapat menghijab saudara.

Dalam Pasal 185 KHI, kata anak disebut secara mutlak tanpa keterangan disebutkan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, jika ada anak, tanpa membedakan laki laki dan perempuan, maka anak tersebut dapat

menghijab hirman (menutup total) terhadap saudara-saudara kandung ataupun

paman pewaris. Sedangkan menurutFiqih Klasik (Sunni) yang berlaku di Indonesia selama ini, kalau anak tersebut perempuan hanya dapat menghijab nuqsan

(mengurangi bagian ahli warisashabah).169

Kata anak secara mutlak, tanpa membedakan laki-laki dengan perempuan, seperti dalam KHI, nampaknya didasarkan kepada kajian kata walad yang tercantum dalam Q.S.An-Nisa (4): 176. Dalam riwayat Ibn Jarir, diketahui makna kata walad

yang ada dalam ayat tersebut meliputi anak laki-laki dan anak perempuan, bahkan

(30)

kata walad dalam ayat tersebut, bukan hanya dipergunakan dalam pengertian anak tapi juga mencakup bapak. Hal ini didasarkan atas putusan Abu Bakar RA, kemudian dianut oleh Jumhur Ulama.170

Berdasarkan penafsiran ini, ayat diatas bisa berarti bahwa jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, bapak juga dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Jika dalam satu kasus, seseorang meninggal dan meninggalkan ayah dan saudari perempuan, maka saudari perempuan itu tidak mewarisi sama sekali, karenamahjub(terdinding) oleh bapak.

Hal tersebut disepakati ulama, dimana penggunaan kata walad untuk pengertian anak sudah dijelaskan berdasarkan nas, sedang penggunaan kata walad

untuk pengertian bapak adalah bersifatijtihadi (taammuli).171

Rachmad Budiono menyatakan, bahwa Kompilasi Hukum Islam merumuskan ketentuan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris didasarkan pada pendapat Hazairin, yang dipandang sebagai pencetus gagasan tentang ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam hukum waris Islam.172

Menurut Ismuha, Hazairin adalah orang yang pertama kali mengeluarkan pendapat bahwa cucu dapat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris, meskipun pewaris memiliki anak laki-laki lain yang masih hidup.173

170Ibid., hal.356 171Ibid.

172A.Rachmad Budiono,Op.Cit.,hal. 22

(31)

Pendapat Hazairin itu didasarkan atas analisanya terhadap Q.S.An-Nisa (4): 33, dimana kata-kata mawali diartikan sebagai ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris, yaitu ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang digantikan itu seandainya masih hidup.174

Sayuti Thalib, sebagai murid Hazairin, menjelaskan tentang mawali sebagai ahli waris pengganti, menarik 4 (empat) garis hukum, yaitu :

a). Dan bagi setiap orang, kami (allah SWT) telah menjadikanmawali (ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris) untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).

b). Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali

untuk mewarisi harta peninggalan aqrabun-nya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).

c). Menjadikan mawali untuk mewarisi harta peninggalan dalam seperjanjiannya.

d). Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.175

Amrullah Ahmad memberikan pendapat atas Teori Hazairin yang menyatakan bahwa dalam sistem kewarisan bilateral ahli waris dibagi kepada 3 (tiga) golongan, golongan Zawi al-Faraid, Zawi al-qarabah dan mawali (ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris) :

a). Mawaliadalah sebagai ahli waris pengganti.

b). Mawali menerima bagian sebanyak yang diterima oleh orang tuanya

seandainya mereka masih hidup.

c). Mawaliyang berkedudukannya sama dalam satu jurai akan berbagi diantara

mereka menurut prinsip bagian seorang anak laki-laki memperoleh dua bagian dari anak perempuan.

174Hazairin,Op.Cit.,hal.29-31

(32)

d). Penggantian ini merupakan prinsip yang bersifat umum dan terbuka sampai keturunan yang terbawah.

e). Hijab mahjubhanya berlaku dalam satu jurai.

f). Yang digantikan maupun yang menggantikan tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.176

Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa yang menjadi dasar memasukkan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris ke dalam Kompilasi Hukum Islam adalah memberlakukan asas keadilan yang berimbang, karena keadilan merupakan salah satu tujuan hukum disamping kepastian hukum dan perikemanusiaan.177

Menurut Aristoteles keadilan adalah kebaikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Adil berarti menurut hukum ada apa yang dibanding, taitu yang semestinya atau keadilan berimbang.178Adanya keseimbangan antara berbagai kepentingan sehingga tidak terjadi benturan-benturan dan untuk itu perlu ada aturan-aturan. Oleh sebab itu perlu ada suatu rumusan hukum yang dapat bertindak sebagai wasit jika terjadi perbedaan perbedaan diantara pemilik kepentingan tersebut.

Prinsip Hukum Islam dalam menerapkan suatu hukum adalah berupaya mewujudkan keadilan, sebab sistem hukum yang tidak punya akar subtansial pada keadilan dan moralitas akhirnya akan ditinggalkan oleh masyarakat.179Rumusan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris seperti tersebut pada Pasal 185

176Amrullah Ahmad,Dimensi Hukum Islam dan Sistem Hukum Nasional,(Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal. 65-66

177Muhammad Daud Ali,Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Huku Islam di Indonesia,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 292

178 Dardji Darmonodiharjo dan Sidharto,Pokok-pokok Filasafat Hukum,(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 154

(33)

Kompilasi Hukum Islam, menjadikan prinsip tersebut sebagai motivasi pelembagaan waris pengganti berdasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan dimana cucu menerima warisan dengan jalan penggantian.

Selain didasarkan atas tujuan hukum Islam tersebut, menurut Daud Ali, Ulama Indonesia menerima rumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam itu, karena dalam Fiqih mawaris selama ini telah diterapkan lembaga wasiat wajibah yang diperuntukkan bagi cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris.180

Berbeda dengan pandangan Daud Ali diatas, M.Yahya Harahap berpendapat bahwa sumber utama yang digunakan dalam perumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, seperti ditafsirkan oleh Hazairin. Bahkan dalam pelembagaan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, M.Yahya Harahap mencatat :

a). Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau nila-nilai hukum Eropa.

b). Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat wajibah seperti yang dilakukan beberapa negera seperti Mesir, tapi langsung secara tegas menerima konsepsi yuridis waris pengganti (plaatsvervulling) baik dalam bentuk dan perumusan.

c). Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi, dalam acuan penerapan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Jika kalau ahli waris pengganti hanya seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, agar bagiannya sebagai ahli waris pengganti tidak lebih besar dari bagian saudara perempuan ayahnya, harta warisan dibagi dua diantara ahli waris pengganti dengan bibinya.181

180 M. Daud Ali,Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 297

(34)

Berbicara masalah motif pelembagaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris yang didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan, M. Yahya Harahap mempertanyakan : patutkah melenyapkan hak seorang cucu oleh karena ditinggal yatim, melarat dan miskin untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi bagian bapaknya. Tentu tidak layak dan tidak adil dan tidak manusiawi menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh ayahnya hanya karena faktor takdir dari Allah SWT ayahnya lebih dahulu meningga dari kakeknya. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek meninggal, anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan.182

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, bahwa pemberlakuan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut bersifat tentatif, bukan imperatif. Oleh karena itu sangat besar peran dari Para Hakim Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dalam menentukan/menetapkan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris.

Adapun ahli waris yang termasuk dalam ahli waris pengganti, yaitu183: 1). Saudara Seibu

Saudara seibu mempunyai hak waris apabila tidak ada bapak dan anak pewaris. Kedudukan saudara seibu, baik perempuan maupun laki-laki adalah sama. Jika saudara seibu hanya satu orang maka bagiannya adalah 1/6, jika lebih dari satu orang maka bagiannya adalah 1/3 untuk semua.

2). Saudara Sekandung/Sebapak

Saudara sekandung/sebapak mempunyai hak waris apabila tidak ada bapak dan anak pewaris, sehingga dapat dikatakan pembagiannya sama dengan saudara seibu.

Hukum Islam dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII, (Jakarta : Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996), hal. 55

(35)

Uraian penggolongan ahli waris di atas dapat mempermudah penentuan ahli waris. Penentuan ahli waris merupakan salah satu langkah dari beberapa langkah dalam melakukan pembagian waris. Dalam bukunya, Suhrawardi K.Lubis dan Komis Simanjuntak menguraikan beberapa tahapan dalam melakukan pembagian waris sebagaimana diuraikan berikut ini184:

1. Menentukan Ahli Waris

Penentuan ahli waris harus dilakukan dengan tepat agar bagian waris tidak diberikan kepada orang yang tidak berhak atau bukan ahli waris, sehingga tidak mengakibatkan ahli waris yang berhak tidak memperoleh bagian dari harta warisan. Kesalahan dalam penentuan ahli waris dapat berakibat fatal terhadap tahapan-tahapan pembagian waris selanjutnya.

2. MasalahHijabatau halang menghalangi

Pada tahap ini penting untuk diketahui siapa saja di antara ahli waris yang telah ditentukan sebelumnya yang berhak mendapatkan warisan, sebab tidak semua ahli waris tersebut berhak. Ahli waris tidak memperoleh bagian harta waris apabila terhalang (terhijab) oleh keberadaan ahli waris yang lain. Kesalahan dalam menentukan ahli waris yang terhijab akan terus berlanjut dan sama fatalnya dengan kesalahan dalam menentukan ahli waris.

3. MenentukanAshabah

Ahli waris yang tidak terhalangi atau tidak terhijab tidak secara otomatis memperoleh bagian harta waris. Hal tersebut dikarenakan terdapat kemungkinan adanya ahli waris yang tidak dapat ditentukan jumlah bagiannya atau porsidi antara ahli waris yang tidak terhalang atau terhijab

tersebut. Konsekuensi ashabah adalah menunggu sisa pembagian, dengan sendirinya seorang ashabah dapat saja memperoleh bagian yang lebih besar atau memperoleh sedikit atau juga tidak memperoleh sisa sama sekali.

4. Menentukan porsi atau bagian masing-masing yang diketahui dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al Quran dan Hadis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

5. Melaksanakan pembagian

Pembagian waris tidak hanya dapat ditinjau dari ayat-ayat Al Qur’an saja, akan tetapi dapat juga ditinjau dari Hadis. Ketentuan hukum cara untuk melakukan

(36)

pembagian warisan dapat ditemukan dalam Hadis Ibnu Abbas ra. yang disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersiksa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat.” Di samping Hadis tersebut, masih terdapat beberapa Hadis yang berkaitan dengan pembagian warisan, antara lain sebagai berikut185:

1. Orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi dengan dasar Hadis dari Usamah putra Zaid yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Orang Islam tidak punya hak waris atas orang kafir dan orang kafir tidak mempunyai hak waris atas orang Islam.”

2. Bagian anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan dalam keadaan tidak ada ahli waris laki-laki dengan dasar Hadis dari Ibnu Mas’ud, ra. yang diriwayatkan Imam Bukhari, maka Rasullullah saw menghukumi anak perempuan separo bagian, cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam bagian dan sebagai pelengkap dari sepertiga dan sisanya untuk saudara perempuan.

3. Bagian nenek dari cucu yang tidak mempunyai ibu dengan dasar Hadis Ibnu Buraidah,ra. yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Nasa’i) dari ayahnya berkata,”Rasullullah saw. menerapkan seperenam buat nenek, bila cucunya itu (yang meninggal dunia) tidak punya ibu.

4. Paman menjadi ahli waris keponakannya dengan dasar Hadis yang diriwayatkan Miqdam putra Ma’ di Kariba ra., bersabda Rasullullah saw “paman itu ialah ahli warisnya orang (ponakan) yang tidak mempunyai ahli waris.

5. Ashabah yang dengan beberapa Hadis sebagai dasar hukumnya, yaitu : a. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas

bahwa Nabi saw bersabda, “Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada ashabah laki-laki yang terdekat kepada si mayat.” dan ”Jadikanlah saudara-saudara perempuan dan anak perempuan itu satu ashabah”

(37)

keluarga oleh si mayat, maka hendaklah dia datang kepadaku, karena akulah maulanya.”

6. Waktu untuk menetapkan kematian dengan dasar Hadis keluaran Al-Bukhari dan Asy-Syafi’I “setiap istri yang ditinggal pergi oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya maka dia menunggu empat tahun kemudian dia ber’idah selama empat tahun sepuluh hari, kemudian lepaslah dia”.

7. Anak zina dan Anak Li’an dengan dasar Hadis Riwayat Al Bukhari dan Abu Dawud, “menjadikan pewarisan anak li’an kepada ibunya dan ahli waris ibu sepeninggal si ibu”.

C. Kompilasi Hukum Islam sebagai Pedoman Hakim Peradilan Agama dalam Memutus Perkara Waris

Dalam perkembangannya, upaya penyempurnaan hukum kewarisan Islam di Indonesia dilakukan dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI dipandang sebagai hukum material Peradilan Agama yang terkodifikasi dan unifikasi yang pertama sampai saat ini. KHI merupakan himpunan dari komposisi aturan formal yang menjabarkan keinginan Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.186

Peradilan Agama merupakan lembaga yang sangat berkepentingan dengan adanya KHI. KHI sebagai hukum terapan Peradilan Agama merupakan hukum tertulis dan hukum tidak terulis jika ditinjau dari materinya. KHI sebagai hukum tertulis sebab sebagian materi KHI merupakan kutipan dari atau menunjuk materi perundang-undangan yang berlaku seperti UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU lainnya. KHI merupakan hukum tidak tertulis sebab sebagian materi KHI

(38)

merupakan rumusan yang diambil dari materi fiqh dan Ijtihad para ulama dan kesepakatan para peserta lokakarya.187

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No.154 Tahun 1991 Tentang Pelaksaan Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 merupakan dasar hukum berlakunya KHI. KHI mempermudah pencarian terhadap sumber hukum kewarisan Islam.188 KHI memberikan pedoman yang jelas tentang hukum kewarisan serta mempunyai kekuatan mengikat. Hal tersebut dapat diketahui dari masa sebelumnya dimana sering terjadi perbedaan keputusan Peradilan Agama untuk kasus yang sama dan oleh Peradilan Agama yang setingkat.189

KHI merupakan sumber hukum positif hukum kewarisan Islam di Indonesia dan bagi masyarakat beragama Islam disarankan untuk menjadikan KHI sebagai pedoman apabila akan melakukan pembagian waris.190Menurut Imran AM, sistem kewarisan KHI yang saat ini bersifat bilateral, digali dari kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia yang telah tumbuh lama dan dijalankan secara sukarela.191

187H.Moh.Muhibbin dan H.Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.180

188Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2002,Op.Cit.,hal.3 189M.Hasballah Thaib,Op.Cit.,hal.14

190Beni Ahmad Saebani,Op.Cit.,hal.100

(39)

Asas hukum kewarisan Islan dalam KHI ada 5, yaitu192:

1. Asas Ijbari (asas memaksa) merupakan asas yang terkandung dalam kewarisan Islam yang menciptakan adanya proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Hal tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 187 ayat 2 KHI, yaitu “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.” Kata harus pada Pasal 187 ayat 2 tersebut yang menujukkan adanya asas Ijbari

atau asas memaksa.

2. Asas Bilateral merupakan asas yang berlaku secara timbal balik baik untuk laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut berarti bahwa seorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, baik kerabat laki-laki maupun dari kerabat perempuan. Demikian juga halnya bagi seorang yang meninggal dunia akan mewariskan hartanya terhadap ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Dengan demikian tidak ada diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam hukum kewarisan yang ada di dalam KHI.

3. Asas Individual diartikan bahwa, harta warisan yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris secara perorangan untuk dimiliki masing-masing ahli waris tersebut secara mutlak. Hal tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 176 KHI sampai dengan Pasal 180 KHI yang mengatur bagian masing-masing ahli waris.Secara khusus untuk ahli waris yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan, maka untuk memelihara harta tersebut sampai dewasa atau mampu bertindak terhadap hartanya, maka diangkat wali yang diberi amanah dan tanggung jawab, sehingga dengan demikian hak perorangan tersebut akan tetap terpelihara.

4. Asas Keadilan Berimbang dimaksudkan bahwa seseorang akan memperoleh hak dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya. Hal tersebut dapat diketahui misalnya dalam Ketentuan Pasal 185 KHI tentang

plaatsvervulling, dimana dengan mengacu kepada asas ini tidak sesuai

dengan asas keadilan berimbang jika seorang cucu yang secara kebutuhan ayahnya meninggal terlebih dahulu dari kakek dan pamannya, dimana terjadi kehidupan ekonomi yang sulit dan tidak diberikan pula harta warisan dari kakeknya kepadanya.

5. Asas Kewarisan Terjadi Hanya Kalau Ada Yang Meninggal Dunia, dimana meninggalnya seseorang dapat dibedakan atas mati secara hakiki yaitu secara hakikat benar-benar disaksikan bahwa pewaris tersebut telah meninggal dunia, serta mati secara hukmidimana kematian pewaris tidak disaksikan dan hanya bersifat dugaan saja, sehingga dimohonkan penetapan kematian pewaris tersebut ke pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian pewaris dalam Pasal 171 huruf b KHI.

(40)

KHI mengatur hukum kewarisan Islam pada Buku II tentang Hukum Kewarisan yang terdiri dari 6 (enam) bab dimulai dari Pasal 171 KHI sampai dengan Pasal 214 KHI. Dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan KHI tersebut diatur tentang ahli waris, besarnya bagian waris, wasiat, Aul dan Raad serta hibah.Pasal 183 KHI, mengatur bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelahmasing-masing menyadari bagiannya. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pembagian harta tirkah yang merupakan hasil kesepakatan para ahli waris atau dengan kata lain tidak terjadi sengketa atau perselisihan di antara para ahli waris.

Pasal 188 KHI, mengatur bahwa bila ada diantara ahli warisyang tidak menyetujui permintaan pembagian harta waris oleh ahli waris secara perorangan atau bersama-sama kepada ahli waris lainnya, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melaluiPeradilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa permintaan pembagian harta warisan yang ditolak oleh ahli waris yang lain menimbulkan sengketa pembagian waris, dimana sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan mengajukan surat gugatan melaluiPeradilan Agama.

(41)

Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat badan peradilan di Indonesia selain Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa pembagian waris didasarkan pada kewenangan Peradilan Agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 49 Ayat 1 UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agamabertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.

Bidang kewarisan yang dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 tersebut meliputi penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.193

Pihak yang berperkara diberikan hak untuk mengajukan banding terhadap putusan dan penetapan Peradilan Agama(tingkat pertama)ke Pengadilan Tinggi Agama sesuai dengan kewenangan Pengadilan Tinggi Agama yang diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pihak yang berperkara selanjutnya juga berhak mengajukan kasasi terhadap putusan dan penetapan Pengadilan Tinggi Agama ke Mahkamah agung sesuai dengan tugas dan

(42)

kewenangan Mahkamah Agung yang diatur dalam ketentuan Pasal 63 UU No.7 tahun 1989tentang Peradilan Agama.

KHI masih merupakan hukum terapan Pengadilan Agama yang belum diatur secara tersendiri dalam bentuk perundang-undangan. Usaha untuk menjadikan KHI dalam bentuk perundang-undangan terus dilakukan dari waktu ke waktu namun selalu mengalami kegagalan karena situasi politik yang belum memungkinkan.194Keadaan tersebut mengakibatkan tidak adanya kewajiban bagi hakim untuk menggunakan KHI sebagai pedoman dalam memutus perkara waris. Dalam praktik peradilan terdapat perbedaan dalam penggunaan KHI, sebagian hakim ada yang menggunakannya secara eksplisit dan ada pula yang tidak menggunakan KHI sebagai pedoman.

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama terhadap 1008 putusan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, secara implisit hampir seluruh putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan secara ekplisit 715 (71%) menggunakan KHI sebagai pedoman dalam memutus perkara waris.195Keadaan demikian dalam praktik peradilan tidak menjadikan hakim mengesampingkan KHI dalam memutus perkara waris. Keadaan tersebut menunjukkan keberhasilan sosialisasi KHI di kalangan hakim dan kepedulian hakim terhadap hukum yang hidup di tengah masyarakat walaupun KHI

(43)

tidak tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mewajibkan hakim untuk menggunakannya.

D. Hibah Dan WasiatWajibahDalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam

1. Hibah Dalam Perspektif Hukum Kewarisan Islam a. Pengertian Hibah

Hibah merupakan peristiwa hukum yang tidak hanya diatur dalam hukum Islam dan terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragama Islam, melainkan juga diatur dalam hukum perdata maupun hukum adat dan terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara umum.BerdasarkanPasal 1666 KUH Perdata, hibah merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Dari rumusan pengertian hibah tersebut dapat diketahui196:

1). Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma-uma (tidak ada kontraprestasi)

2).Hibah yang dilakukan mengisyaratkan bahwa hibah bertujuan untuk menguntungkan pihak yang menerima hibah

3).Objek hibah dapat berupa segala macam benda milik penghibah, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidk bergerak serta termasuk juga segala macam piutang pemberi hibah

4).Hibah tidak dapat ditarik kembali

5).Hibah harus dilakukan pada waktu pemberi hibah masih hidup

Referensi

Dokumen terkait

Setelah bagian intro pertama yang dimainkan oleh instrumen cetik dengan menggunakan pola tabuh khapot , kemudian bagian kedua dimainkan dengan bentuk

In term of laboratory classifi cation, the fi rst class compared with second and third class laboratories had higher chance having complete PPE, biosafety cabinet, and availability

Latar belakang penulisan skripsi ini berkaitan dengan keinginan penulis untuk menganalisis pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat I pada Putusan Nomor

Hal yang harus dicari dalam refleksi setelah siswa mempelajari menentukan rumus fungsi adalah apakah siswa di akhir pembelajaran dapat (1) memahami bahwa apabila

Universitas Hasanuddin | 29 Bagi kebanyakan orang, kata komunitas akan memasukkan sebentuk perasaan „memiliki‟, atau perasaan diterima dan dihargai dalam lingkup kelompok

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peserta didik yang tuntas pembelajaran, dari prasiklus sebanyak 6 orang (25%) mejadi 15 siswa tuntas pada siklus I (62,5%) dan pada

Selain Uji F reg, yang digunakan untuk mengukur pengaruh yang signifikan Metode student facillitator and explaining terhadap pemahaman materi peserta didik, maka

Perbedaan warna tersebut terjadi dikarenakan pada analisis minyak atsiri daun sirih menggunakan kromatografi gas-spektrometri massa diperoleh hasil bahwa minyak atsiri daun sirih