• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

KUISIONER PEKERJA KANTIN Pernyataan Persetujuan

C. HIGIENE KANTIN Higiene Personal

D.1 Apa Bapak/Ibu mencuci tangan sebelum/sesudah bekerja? □ Selalu

□ Kadang-kadang

□ Tidak pernah (lanjut ke D.3)

D.2 Dengan apa Bapak/Ibu mencuci tangan? (Jawaban boleh lebih dari satu) □ Dengan air

□ Dengan sabun

D.3 Apakah Bapak/Ibu mencuci tangan setelah dari kamar mandi/toilet? □ Selalu

□ Kadang-kadang □ Tidak pernah

D.4 Apakah Bapak/Ibu memakai apron ketika memasak? □ Selalu

□ Kadang-kadang □ Tidak pernah

Lampiran 4 (lanjutan)

D.5 Apakah Bapak/Ibu memakai sarung tangan ketika menangani makanan? □ Ya

□ Tidak, tapi memakai capitan □ Tidak memakai apapun

D.6 Apakah Bapak/Ibu memotong kuku secara rutin? □ Ya

□ Tidak (lanjut ke D.8)

D.7 Seberapa sering Bapak/Ibu memotong kuku? □ Seminggu lebih dari 1 kali

□ Seminggu sekali

□ Lebih dari seminggu sekali D.8 Apakah Bapak/Ibu merokok?

□ Ya

□ Tidak (lanjut ke D.11) D.9 Di mana Bapak/Ibu merokok?

□ Di dalam kantin □ Di luar kantin

D.10 Apakah setelah merokok Bapak/Ibu mencuci tangan?

□ Ya

□ Tidak

D.11 Apakah Bapak/Ibu memakai perhiasan seperti cincin/gelang/jam tangan ketika memasak?

□ Ya □ Tidak

D.12 Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami sakit dari mulai awal bekerja di sini sampai saat ini?

□ Ya

□ Tidak (lanjut ke D.15)

D.13 Sakit apa yang pernah Bapak/Ibu alami selama bekerja? □ Diare

□ Demam

□ Flu

□ Batuk-batuk

□ Lain-lain: …………..

D.14 Apakah Bapak/Ibu tetap bekerja saat menderita sakit tersebut?

□ Ya

□ Tidak

D.15 Apakah Bapak/Ibu mandi sebelum pergi bekerja?

□ Ya

□ Tidak

D.16 Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami luka terbuka? □ Pernah

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mutu dan keamanan pangan akhir-akhir ini sering menjadi topik pembicaraan karena merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat. Pangan merupakan kebutuhan dasar setiap insan manusia yang paling hakiki dan tidak dapat dihindari sehingga manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya di muka bumi. Pangan menjadi sangat penting peranannya bagi manusia dalam meningkatkan kualitas intelektualitas dan produktifitas kerjanya sehingga manusia dapat tumbuh dan berkembang dengan baik secara fisik dan mental.

Pangan yang tidak aman dapat memengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah terhadap status gizi (Winarno 1993). Keamanan pangan menempati posisi yang penting bagi kesehatan dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang memuat tentang Keamanan Pangan pada Bab II telah diperkuat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan sehingga setiap produk makanan di masyarakat harus terjamin mutu dan keamanannya agar tidak merugikan konsumen.

Kasus keracunan makanan banyak dilaporkan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan tahun 2008 berjumlah 170 korban di Tabanan. Karakteristik epidemiologinya menunjukkan makanan rumah tangga merupakan penyebab keracunan pangan tertinggi (46.7%), diikuti jasa boga (22.4%). Sekolah atau kampus merupakan tempat terjadinya KLB keracunan pangan kedua terbanyak (2.7%) setelah tempat tinggal (39.5%). Hasil pengujian laboratorium BPOM RI menunjukkan bahwa pada sisa nasi bungkus yang dijual di kantin sekolah dan muntahan korban terdapat mikroorganisme patogen Staphylococcus aureus. Pada tahun yang sama juga terjadi keracunan di Bandar Lampung dikarenakan mengonsumsi campuran nasi dan ikan tongkol. Pada makanan tersebut ditemukan mikroorganisme patogen S. aureus dan koliform (BPOM RI 2009). Sementara itu, pada tahun 2007 terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi makanan kecil yang disajikan oleh

hotel di Kota Padang. Hasil uji laboratorium menunjukkan makanan tersebut positif mengandung S. aureus (Gentina et al. 2008).

Menurut CDC (1996) dan Jay (1996) dua penyebab utama terjadinya wabah keracunan oleh S. aureus adalah suhu penanganan (termasuk penyimpanan) yang tidak tepat dan higiene pekerja yang buruk. Bakteri S. aureus tumbuh cepat pada suhu diatas 15 °C (Blackburn & Mc Clure 2002). Suhu ruang di Indonesia yang berkisar antara 25-30 °C tentu saja merupakan suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus dan meningkatkan kemungkinan diproduksinya enterotoksin. Selain itu, praktik higiene pekerja yang sering kali belum memadai, seperti tidak mencuci tangan sebelum memegang makanan, menangani makanan secara langsung dengan tangan telanjang, ataupun berbicara pada saat menangani makanan, akan meningkatkan pertumbuhan S. aureus.

Kebiasaan pribadi (personal habit) para pekerja dan konsumen dalam mengelola bahan pangan dapat menjadi sumber yang penting dari kontaminasi sekunder. Beberapa peristiwa dari keracunan bahan pangan yang tercemar oleh S. aureus diakibatkan oleh higiene yang buruk dari pengolahan bahan pangan tersebut. Luka atau iritasi pada kulit merupakan sumber kontaminasi mikroorganisme sehingga harus ditutup pada saat mengelola bahan pangan. Batuk atau bersin di sekitar bahan pangan sebaiknya dihindarkan, demikian juga pekerja yang menderita diare tidak diperkenankan bekerja dalam mengolah bahan pangan.

Keracunan oleh S. aureus banyak terjadi pada makanan yang telah dimasak, hal ini disebabkan karena pada makanan yang telah dimasak, bakteri lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah sangat berkurang karena mati oleh proses pemasakan. Sementara itu bakteri S. aureus terdapat luas di alam, seperti udara, debu, dan air, serta sangat erat hubungannya dengan manusia terutama pada kulit, hidung, dan mulut. Dengan demikian makanan yang sudah dimasak sangat mudah tercemar oleh bakteri S. aureus.

Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki banyak kantin yang tersebar di setiap fakultas. Pihak pengelola kantin atau pekerja harus benar-benar memperhatikan keamanan dan kebersihan dalam mempersiapkan hingga menyajikan makanan yang akan dijual. Informasi mengenai tingkat higiene personal melalui gambaran kualitas mikrobiologis tangan dan baju pekerja kantin

di dalam kampus IPB belum tersedia. Penelitian ini diharapkan menghasilkan data-data yang dapat digunakan untuk pengembangan manajemen pengolahan dan penanganan makanan (food handling) sehingga dapat meningkatkan keamanan pangan dan menjamin kesehatan masyarakat khususnya di lingkungan kampus IPB.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat higiene personal dari pekerja kantin di lingkungan kampus IPB Dramaga dengan cara wawancara dan mendeteksi keberadaan S. aureus pada telapak tangan dan baju pekerja.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang higiene personal para pekerja dalam menangani makanan di kantin kampus IPB Dramaga. Data dan informasi dari penelitian ini dapat dijadikan bahan penyuluhan untuk pekerja kantin mengenai pentingnya higiene personal dalam menangani makanan sehingga dapat meningkatkan keamanan pangan.

TINJAUAN PUSTAKA

Pangan Siap Santap

Pangan siap santap atau ready to eat food (RTE) adalah pangan yang umumnya telah diproses melalui proses pemanasan (Dewanti & Haryadi 2005). Contoh RTE adalah buah-buahan dan sayuran segar yang telah mengalami perlakuan minimal, salad, sandwich, daging/ayam/ikan yang telah dimasak, roti, dan acar. Menurut Dewanti dan Haryadi (2005) terdapat perbedaan pendapat antara Food and Drug Administration (FDA) dan Food Safety and Inspection Service (FSIS) dalam mendefinisikan RTE. Food Safety and Inspection Service (FSIS) mendefinisikan RTE sebagai semua produk olahan yang mengandung daging atau produk unggas yang telah dimasak sempurna sebelum dikonsumsi. Sementara itu FDA tidak menganggap produk pangan yang telah dimasak atau mendapat perlakuan panas lainnya sebagai RTE.

Pangan siap santap harus dihindarkan dari pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengontrol suhu penyimpanannya. Suhu yang aman untuk menyimpan RTE adalah di bawah 4 °C atau di atas 60 °C (Jay 1996). Menurut Dewanti dan Hariyadi (2005), germinasi spora dapat terjadi jika RTE lambat mencapai suhu di bawah 4 °C atau tidak mengalami pemanasan ulang yang cukup hingga 60 °C. Sementara itu, jika suhu RTE tidak dijaga pada batas suhu aman, maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri yang berasal dari kontaminasi silang.

Kontaminasi silang dapat terjadi jika RTE tidak dipisahkan dari makanan mentah. Kontaminasi RTE juga dapat terjadi melalui kontak langsung manusia atau wadah yang telah tercemar oleh mikroorganisme dari manusia (Eley 1992). Menurut SFC (2004) RTE tidak boleh ditangani menggunakan tangan secara langsung melainkan dengan menggunakan sarung tangan, sendok, garpu, spatula, atau penjepit yang diyakini bersih.

Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Jasa Boga

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Jasa Boga, jasa boga adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar

tempat usaha atas dasar pesanan. Jasa boga dapat digolongkan menjadi beberapa golongan berdasarkan kapasitas pengolahan, jangkauan pelayanan, dan kemungkinan besarnya risiko masyarakat yang dilayani (Kepmenkes RI 2003). Penggolongan tersebut adalah Golongan A, Golongan B, dan Golongan C. Penggolongan tersebut dianggap penting karena semakin tinggi kapasitas pengolahan dan jangkauan pelayanan maka semakin besar pula tuntutan akan adanya pengelolaan yang profesional. Pengelolaan yang profesional ini diharapkan dapat menekan terjadinya risiko pencemaran pada pangan yang diolah. Setiap usaha Jasa Boga/ usaha Katering di Indonesia menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 diharuskan memiliki sertifikat Laik Higiene Sanitasi jasa boga yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan.

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun (Depkes RI 2006). Higiene digunakan untuk menggambarkan penerapan prinsip- prinsip sanitasi untuk melindungi kesehatan (Marriot 1999). Higiene merupakan suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut hidup.

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya (Depkes RI 2006). Sanitasi berasal dari kata latin”sanus”yang berarti bersih atau sehat. Sanitasi mengandung dua pengertian yaitu usaha pencegahan penyakit dan kesehatan lingkungan hidup. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit. Sanitasi dalam pengolahan pangan adalah penciptaan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya kontaminasi makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan (Marriot 1999).

Persyaratan mengenai higiene fasilitas suatu kantin atau rumah makan yaitu tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang, tersedianya air bersih yang cukup dan memadai selama proses produksi, terdapat fasilitas mencuci tangan dan toilet dalam keadaan bersih, mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan, dan tersedia tempat penyimpanan yang baik agar dapat menjamin mutu dan

keamanan bahan dan produk pangan yang diolah (BPOM RI 2003). Penyimpanan bahan makanan yang baik yaitu menyimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi dari hama (Cuprasitrut et al. 2011).

Saluran pembuangan air, baik air sisa pencucian bahan makanan maupun pembuangan sisa makanan yang cair, serta air kotor dari pencucian alat dapur dan alat saji sedapat mungkin harus berjalan lancar. Apabila saluran tersebut terletak di bagian dapur maka sebaiknya sepanjang saluran tertutup dengan alat yang dibuka atau ditutup untuk memudahkan perbaikan apabila terjadi kemacetan aliran air. Saluran air ini berfungsi juga untuk pembuangan air sewaktu membersihkan lantai dapur. Menurut CAC (2003) ketersediaan air yang cukup dengan tempat penyimpanan yang memadai dan kontrol suhu yang tepat harus tersedia untuk menjamin keamanan makanan. Air untuk diminum harus terpisah dari air yang digunakan untuk tujuan lain, seperti mencuci, agar tidak terjadi kontaminasi silang.

Persyaratan higiene fasilitas kantin lainnya yaitu peralatan harus mudah untuk dibersihkan (Aarnisalo et al. 2006). Peralatan yang berkontak dengan makanan harus dibersihkan sebelum dan setelah digunakan, khususnya untuk pisau dan talenan. Semua peralatan yang telah dicuci bersih sebaiknya tidak ditumpuk dalam keadaan basah. Hal ini dikarenakan air yang tertinggal dalam peralatan yang masih basah akan memungkinkan terdapat sisa mikroorganisme yang terus berkembang biak. Peralatan harus disimpan dalam keadaan kering (HITM 2006).

Masalah lain dari higiene fasilitas yaitu lantai yang kotor dan berdebu (Cuprasitrut et al. 2011). Lantai dan meja harus dibersihkan dan didisinfeksi secara teratur untuk mengurangi potensi kontaminasi silang dan meminimalkan infestasi hama (TPH 2004). Kotoran dari bawah peralatan, di tiap sudut, dan pada daerah yang sulit dijangkau juga harus dibersihkan untuk mencegah dari kehadiran hama. Meja untuk menyimpan dan menyajikan makanan harus memiliki tinggi lebih dari 60 cm untuk mencegah kontaminasi dari hama atau serangga pengganggu (Cuprasitrut et al. 2011).

Sampah merupakan salah satu penyebab tempat tercemarnya makanan. sehingga perlu disediakan tempat sampah yang tidak permanen agar mudah

dibersihkan dan diangkat pada setiap pusat-pusat bekerja, misalnya meja kerja, bak cuci bahan makanan, tempat pengolahan, dan tempat penyajian. Bak sampah pada umumnya terbuat dari plastik ringan dan lengkap dengan penutupnya. Sebelum tempat sampah tersebut digunakan sebaiknya dilapisi dulu dengan kantong plastik sampah. Sampah yang terbungkus tersebut bertujuan agar tidak mengundang lalat dan tidak berbau. Tempat sampah harus tersedia dan dibersihkan setiap kali dilakukan pembuangan ke tempat pembuangan umum. Daerah sekitar tempat sampah juga harus dijaga kebersihannya untuk mengurangi bau dan penyebaran mikroorganisme berbahaya (TPH 2004).

Higiene Personal Pekerja Kantin sebagai Pengolah Makanan

Sumber utama kontaminasi makanan oleh S. aureus berasal dari manusia. Kebanyakan S. aureus terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroorganisme endogen dan juga terdapat pada saluran hidung serta tenggorokan (Eley 1992). Pekerja yang menangani makanan merupakan sumber kontaminasi yang penting karena kandungan mikroorganisme patogen pada manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Manusia merupakan sumber potensial bagi mikroorganisme seperti S. aureus, Salmonella, Clostridium perfrigens dan Streptococcus yang berasal dari kotoran (tinja). Staphylococcus umumnya terdapat pada kulit, hidung, mulut, dan tenggorokan serta dapat dengan mudah dipindahkan ke dalam makanan (Jenie 1988).

Jalur masuknya S. aureus ke dalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih jika disertai dengan praktik sanitasi yang buruk dikarenakan dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al. 1993).

Menurut Buckle et al. (1987) kebiasaan pribadi para pekerja dalam mengolah makanan merupakan sumber yang penting dalam pencemaran sekunder. Menurut Jenie (1988) sumber kontaminasi potensial ini terdapat selama jam kerja dari para penjual yang menangani makanan. Setiap kali tangan penjual kontak dengan bagian-bagian tubuh yang mengandung S. aureus maka tangan tersebut

akan terkontaminasi dan segera akan mengontaminasi makanan yang tersentuh. Perpindahan langsung S. aureus dari alat pernafasan ke makanan terjadi ketika batuk dan bersin tanpa menutup hidung dan mulut. Tangan dengan luka atau memar yang terinfeksi merupakan sumber stafilococcus virulen, demikian pula pada bagian tubuh lain yang terinfeksi.

Mikroorganisme yang berasal dari saluran pencernaan dapat mencemari tangan penjual yang mengunjungi kamar kecil dan tidak mencuci tangannya dengan baik sebelum kembali bekerja. Mikroorganisme patogen yang berasal dari alat pencernaan yang menimbulkan penyakit melalui makanan adalah Salmonella, Streptococcus faecalis, Clostridium perfringens, Escheria coli, dan Shigella (Jenie 1988).

Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan higiene personal pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. Pangan yang dilaporkan dalam berbagai KLB umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan penggilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. Staphylococcus aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan (Robinson et al. 2000).

Menurut CAC (2003), higiene personal dalam menangani makanan meliputi:

a) Status kesehatan

Orang yang menderita suatu penyakit atau diduga menjadi pembawa penyakit yang mungkin ditularkan melalui makanan seharusnya tidak diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan. Pemeriksaan medis terhadap pekerja yang menangani makanan harus dilakukan jika menunjukkan gejala secara klinis maupun epidemiologis.

b) Sakit dan Cidera

Menurut Bas et al. (2006), pekerja yang menangani makanan dapat menjadi sumber mikroorganisme, baik selama menderita penyakit gangguan pencernaan atau selama dan setelah masa pemulihan, meskipun tidak terlihat lagi gejala klinisnya. Kondisi yang harus dilaporkan oleh pekerja untuk mendapatkan pemeriksaan medis sehingga tidak dapat menangani

makanan, yaitu sakit kuning, diare, muntah, demam, sakit tenggorokan dengan demam, lesio pada kulit (bisul, luka, dan lain-lain), discharge atau cairan yang keluar dari mata, telinga, atau hidung.

c) Kebersihan Personal

Pekerja yang menangani makanan dapat menyebarkan mikro- organisme dari sumber yang terkontaminasi, misalnya dari bahan mentah ke makanan yang telah dimasak (Bas et al. 2006). Menurut Hall (1999), menjaga kebersihan pakaian setiap kali memasuki area produksi makanan merupakan standar utama yang perlu diperhatikan pada setiap orang yang menangani makanan. Idealnya, semua pakaian harus diganti setiap selesai bekerja dan lebih sering diganti jika dalam keadaan berminyak. Selain itu, beberapa praktik kebersihan personal lain yaitu memotong dan membersihkan kuku, serta mengobati dan menutup luka terbuka (NFSMI 2009). Tangan pekerja yang menangani makanan dapat menjadi vektor dalam penyebaran penyakit keracunan pangan karena kebersihan diri yang buruk atau kontaminasi silang (Bas et al. 2006). Hal ini menjadi penting bagi pekerja untuk selalu mencuci tangan.

Selain mencuci tangan, pekerja yang menangani makanan juga disarankan untuk memakai sarung tangan. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari kontaminasi silang. Pemakaian sarung tangan plastik atau karet digunakan setelah mencuci tangan dengan bersih dan diganti setiap setelah menangani makanan (TPH 2004).

d) Perilaku Personal

Pekerja yang menangani makanan harus menahan diri dari perilaku yang dapat mengakibatkan kontaminasi makanan, misalnya merokok, meludah, mengunyah atau makan, bersin atau batuk. Selain itu, pekerja juga harus menghindari pemakaian cat warna pada kuku dan tidak menggunakan perhiasan apapun di tangan saat memasak karena akan memungkinkan pencemaran pada makanan (Nel et al. 2004; NFSMI 2009).

Semua pekerja harus menyadari peran dan tanggung jawab dalam melindungi makanan dari kontaminasi atau kerusakan. Orang yang menangani makanan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan untuk menangani makanan secara higienis. Penanganan dengan bahan kimia pembersih yang kuat atau bahan kimia yang berpotensi berbahaya lainnya harus diinstruksikan dalam teknik penanganan yang aman (CAC 2003).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri non motil, Gram positif, berbentuk bulat, bersifat fakultatif anaerob, dan tidak membentuk spora (Gambar 1) (Eley 1992). Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “staphyle” dan “kokkos”, yang berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus (bulat). Sedangkan nama aureus berasal dari bahasa latin yaitu “gold” yang berarti bahwa bakteri ini tumbuh dalam koloni besar dan berwarna kuning (Cook & Cook 2006).

Ukuran bakteri ini sangat kecil dengan diameter 0.5-1.5 μm. Karakteristik penting dari S. aureus adalah pembentukan pigmen koloni yang umumnya berwarna kuning keemasan dan beta hemolisis positif pada media Blood Agar (Saksono 1986). Staphylococcus aureus dapat tumbuh dalam kondisi aerob dan anaerob, tetapi umumnya tumbuh lebih lambat pada kondisi anaerob. Sebaliknya, ketahanan sel dapat meningkat pada kondisi anaerob daripada aerob (ICMSF 1996). Secara umum suhu pertumbuhan S. aureus berkisar antara 7-48 °C, dengan suhu optimum untuk pertumbuhan 35-37 °C. Kisaran pH untuk pertumbuhan bakteri ini antara 4-9.8 dengan pH optimum antara 6.0-7.0 (Adams & Moss 2005). Berdasarkan aktivitas air (aw), S. aureus mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih

rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan S. aureus tetap terjadi pada aw 0.83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk

Gambar 1 Staphylococcus aureus di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x (Ray & Bhunia 2008).

Pada media Brain Heart Infusion (BHI) agar S. aureus berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga oranye sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni akan menjadi gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30 °C atau pada suhu ruang (Ash 2000). Koloni S. aureus pada media Baird Parker Agar (BPA) berbentuk bulat, licin, halus, cembung, lembab, berdiameter 2-3 mm, berwarna abu-abu hingga hitam pekat, dikelilingi batas berwarna terang, serta dikelilingi zona keruh dengan batas luar berupa zona jernih (Bennett & Amos 1982).

Kebanyakan galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus. Bakteri ini tidak membentuk spora sehingga pertumbuhannya di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease karena S. aureus dapat mengontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan (Le Loir et al. 2003).

Staphylococcus aureus hidup di kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas, termasuk manusia. Sekitar 25-50% dari populasi manusia kemungkinan membawa S. aureus (Eley 1992). Membran hidung merupakan habitat S. aureus yang sangat baik karena hangat dan basah. Diperkirakan

10-40% dari manusia dewasa ditemukan S. aureus di hidungnya. Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah “carrier” S. aureus (Le Loir et al. 2003). Walaupun dapat hidup dengan baik pada manusia, S. aureus juga ditemukan pada habitat lainnya yaitu di dalam air, bahan yang busuk, dan di berbagai permukaaan (Cook & Cook 2006). Bakteri ini tahan pada lingkungan beku sampai beberapa tahun dan tahan pengeringan selama beberapa minggu. Sel vegetatif S. aureus dapat diinaktivasi pada suhu >46 °C namun toksinnya masih mampu bertahan pada pemanasan 100-120 °C. Menurut Deshpande (2002), S. aureus dapat berpindah melalui bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Beberapa strain S. aureus dapat membentuk koloni pada peralatan dan lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn & Mc Clure 2002).

Staphylococcus aureus memiliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin, kinase, dan hyaluronidase, untuk mendukung penyebarannya pada jaringan. Leukosidin adalah sitotoksin yang

Dokumen terkait